|
C © updated
04102003 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Nama :
Jenderal Endriartono Sutarto
Lahir:
Purworejo, Jawa Tengah, 29 April 1947
Agama:
Islam
Jabatan:
Panglima TNI
Pendidikan:
:: Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) bagian
Darat tahun 1971.
:: Air Borne and Ranger di Amerika Serikat tahun 1977
:: Sekolah Staf dan Komando TNI AD (Seskoad) tahun 1985
:: Sesko ABRI tahun 1993
:: Lemhamnas 1995
Karir:
:: Komandan Peleton (Danton) di Batalyon Infanteri (Yonif) 305
Kostrad tahun 1972.
:: Komandan Kompi (Danki) Yonif 328 Kostrad (1976).
:: Komandan Kompi (Danki) Yonif 330 Kostrad (1979).
:: Pejabat sementara Komandan Yonif 514 (1985)
:: Kepala Staf Brigif 17 Kostrad (1988)
:: Pabandya 2 Opsdika PBN V Kostrad (1991).
:: Asisten Operasi Kodam Jaya (1993).
:: Danrem 173 Kodam Trikora, Biak Irian Jaya (1995).
:: Kepala Staf Divisi I Kostrad tahun 1995.
:: Wakil Asrenum Panglima ABRI (1996)
:: Wakil Asisten Operasi KSAD (1996).
:: Komandan Paspampres (Juni 1997- September 1998)
:: Asisten Operasi Kepala Staf Umum (Kasum) ABRI (September 1998- Maret
1999)
:: Komandan Sesko ABRI (Desember 1999- Maret 2000)
:: Wakil KSAD (Maret 2000-Oktober 2000)
:: Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) 9 Oktober 2000- 4 Juni 2002
:: Panglima TNI 7 Juni 2002
Pangkat:
Jenderal TNI (Seharusnya pensiun tahun 2002, lalu mendapat
perpanjangan dinas mulai 1 Mei 2002 hingga 30 April 2007 berdasarkan surat
keputusan nomor 1999/II/2002).
Operasi yang diikuti
:: Pasukan Garuda VIII di Timur Tengah tahun 1985.
:: Operasi Seroja Timor Timur tahun 1976.
:: Operasi Jeumpa di Aceh tahun 1979.
:: Operasi Tuntas Timtim tahun 1980
:: Pasukan Garuda IX di Irak tahun 1989
:: Operasi Irian Jaya tahun 1995.
Alamat Kantor:
Mabes TNI Cilangkap
Jakarta Timur
Telp (021) 84591243 – 84591240 pes 5006-5007
|
|
|
|
|
|
|
=
1 2
3 =
Jenderal TNI Endriartono Sutarto
Militer Menatap Masa Depan
Dengan bergantinya pemerintahan dan format politik tahun 1998, untuk
dapat mengabdikan diri bagi bangsa dan negara secara optimal sebagaimana
dimaksud para founding fathers, TNI telah dan sedang melakukan
reorientasi postur, tugas, fungsi, dan perannya dalam kehidupan bangsa
dan negara.
Sebagaimana diulas banyak pihak, selama tiga dekade sejak 1965 bersama
kekuatan politik lainnya, TNI pernah menjalankan peran sebagai penopang
utama pemerintahan yang sentralistik. Dengan segala kompleksitas dan
konsekuensinya, TNI saat itu menjalankan peran amat dominan; bukan saja
di bidang pertahanan dan keamanan saja, tetapi juga pada berbagai aspek
kehidupan lain, khususnya politik. Posisi-posisi penting penyelenggara
negara dari tingkat pusat hingga desa banyak diduduki personel TNI.
Kebijakan pemerintah dan politik negara saat itu banyak diwarnai
pendekatan keamanan. Memang kadang dirasa tidak selalu pas sehingga
menimbulkan kritik dan sorotan tajam kalangan masyarakat.
POSISI dominan seperti itu memberi banyak privilege keadaan yang boleh
disebut sebagai suatu jebakan yang nyaman (comfort zone trap). Kondisi
demikian menyebabkan terjadinya pergeseran cara pandang prajurit TNI
yang semula berorientasi aspek pertahanan-keamanan menjadi berorientasi
pada politik praktis, jabatan-jabatan politik, bahkan kepentingan bisnis
yang tidak selamanya konsisten dengan misi utama tentara sebagai penjaga
kedaulatan negara.
Menengok ke belakang, sebenarnya dominasi peran tentara di
masa lalu, semata-mata bukan kehendak TNI. Hal ini didorong perubahan
tatanan politik yang lalu melahirkan Orde Baru. Pada awal 1960-an,
hampir semua pihak mendekat dan mendukung TNI, terutama bagi mereka yang
merasa tidak nyaman dengan makin kuatnya pengaruh Partai Komunis
Indonesia (PKI). Rakyat yang takut pada kedigdayaan PKI dan tidak dapat
menerima pemerintahan komunis bersama-sama menyusun barisan di belakang
TNI; termasuk kelompok mahasiswa, intelektual, organisasi pemuda, buruh,
tani, nelayan, hingga partai-partai politik.
Namun, reformasi kehidupan kenegaraan 1998 menjadi titik balik sejarah
TNI. Meski banyak pihak mulai mencemaskan perjalanan dan masa depan
proses reformasi, yang dinilai makin tidak jelas arahnya, di sisi lain
masyarakat mendapat keterbukaan dan kebebasan luar biasa. Pers bebas
mengemukakan kritik kepada pemerintah, kekuasaan yang semula terpusat di
wilayah eksekutif kini menyebar ke legislatif; dan aspirasi untuk
menyuburkan kehidupan yang lebih demokratis mendapat tempat amat terbuka.
Singkatnya, negara dan pemerintah yang dulu serba sentralistik kini
menjadi negara dengan pemerintah yang memiliki kekuasaan yang
terfragmentasi.
Dalam situasi seperti ini, sulit bagi kekuatan politik dan kelompok mana
pun mendominasi kehidupan bernegara. Semua pihak harus melakukan
penyesuaian, termasuk TNI. Disadari, tuntutan bagi lahirnya kehidupan
bernegara yang lebih demokratis mengubah hubungan sipil- militer. Peran
dominan tentara seperti di masa lalu tidak mungkin berlanjut.
Itu semua memaksa TNI menata kembali posisi dalam format kehidupan
politik dan kenegaraan agar keberadaannya dapat memberi kontribusinya
maksimal bagi bangsa. Karena itu, reformasi dalam tubuh TNI merupakan
keniscayaan.
Salah satu tonggak penting perubahan posisi dan peran TNI adalah Tap MPR
No VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Tap MPR ini merupakan dokumen
penting yang menjadi dasar penataan selanjutnya.
Dalam Tap itu disebutkan, TNI adalah alat negara yang berperan sebagai
alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan tugas
pokok menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI berdasarkan
Pancasila dan UUD 45, serta melindungi bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia dari ancaman serta gangguan atas keutuhan bangsa dan negara.
TNI juga melaksanakan tugas negara dalam penyelenggaraan wajib militer
bagi warga negara yang diatur dengan undang-undang, serta TNI
berkewajiban memberikan bantuan berupa penyelenggaraan tugas kemanusiaan
(civic mission). Memberi bantuan kepada Kepolisian Negara RI dalam tugas
keamanan atas permintaan yang diatur undang-undang, serta aktif dalam
tugas pemeliharaan perdamaian dunia (peace keeping operation) di bawah
PBB.
SALAH satu isu pokok reposisi peran TNI adalah keterlibatannya dalam
proses penyelenggaraan negara. Dalam Tap MPR yang sama, peran TNI
dirumuskan bahwa kebijakan politik negara merupakan dasar kebijakan dan
pelaksanaan tugas TNI; TNI bersikap netral dalam kehidupan politik dan
tidak melibatkan diri kegiatan politik praktis; TNI mendukung tegaknya
demokrasi, menjunjung tinggi hukum, dan HAM; anggota TNI tidak
menggunakan hak memilih dan dipilih. Keikutsertaannya dalam menentukan
arah kebijakan nasional disalurkan melalui MPR paling lama hingga tahun
2009 dan anggota TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah
mengundurkan diri atau pensiun dari dinas ketentaraan.
Kelanjutannya, disusun pedoman normatif yang lebih operasional tentang
proses reformasi dan penataan kembali institusi dan peran TNI dalam
Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004, yang merupakan
pedoman pelaksanaan pembangunan nasional di tiap sektor. Pokok-pokok
kebijakan pembangunan nasional di bidang pertahanan dan keamanan dalam
Propenas itu meliputi: menata kembali TNI sesuai paradigma baru secara
konsisten melalui reposisi, redefinisi, dan reaktualisasi peran TNI
sebagai alat negara; mengembangkan sistem pertahanan rakyat semesta yang
bertumpu pada kekuatan rakyat dengan TNI dan Polri sebagai kekuatan
utama didukung komponen lain dengan meningkatkan kesadaran bela negara
melalui wajib latih dan membangun kondisi juang, serta mewujudkan
kebersamaan TNI, Polri, dan rakyat.
Meningkatkan profesionalitas TNI, meningkatkan rasio kekuatan komponen
utama, dan mengembangkan kekuatan pertahanan keamanan kewilayahan yang
didukung sarana, prasarana, dan anggaran memadai; serta memperluas dan
meningkatkan kualitas kerja sama bilateral bidang pertahanan dan
keamanan dalam rangka memelihara stabilitas keamanan regional dan turut
berpartisipasi dalam pemeliharaan perdamaian dunia.
Dua dokumen penting itu adalah koridor bagi langkah-langkah pembenahan
dan reposisi peran dan fungsi TNI dewasa ini dan akan terus berlanjut di
masa datang. Oleh Pimpinan TNI dua pedoman itu dijabarkan dalam program
kerja dan langkah-langkah, seperti berikut.
Pertama, melanjutkan agenda reformasi internal TNI utamanya perubahan
kultur prajurit, melalui konsistensi sikap untuk benar-benar menjadikan
diri sebagai alat negara di bidang pertahanan dengan sekali-kali tidak
memasuki wilayah politik praktis dan partisan.
Kedua, melanjutkan proses menjadikan prajurit TNI profesional dan
disiplin yang menjunjung tinggi hukum dan HAM guna meningkatkan
kemampuan dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi utama melalui
penyempurnaan kurikulum disemua tingkatan pendidikan dan juga
penyempurnaan materi latihan.
Ketiga, memelihara kehidupan prajurit yang sehat dengan menghargai
prestasi dan profesional serta pemberian sanksi secara proporsional bagi
mereka yang melanggar hukum dan indisipliner (reward and punishment)
yang harus konsisten diterapkan melalui jalur hukum, bagi prajurit
indispliner, baik itu yang dilakukan di medan tugas maupun di home base
melalui pengadilan militer atau pengadilan koneksitas serta penjatuhan
sanksi administratif berupa pemecatan atau pencopotan dari jabatan.
Keempat, berpartisipasi aktif dalam menyelesaikan setiap masalah bangsa
seperti kasus gerakan separatis, konflik horizontal, terorisme secara
proporsional sesuai peran dan tugas TNI. Kita bersyukur, kondisi konflik
horizontal di Kalimantan Barat, Poso, dan Maluku dapat diatasi,
sementara gangguan keamanan oleh GAM di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam berangsur-angsur telah membaik.
Kelima, proaktif menyelenggarakan kegiatan kemanusiaan (civic mission)
dalam membantu meringankan kesulitan masyarakat, diminta atau tidak.
Keenam, siap mengemban tugas dalam pemeliharaan perdamaian dunia di
bawah bendara PBB (peace keeping operation).
Langkah-langkah itu ditekadkan untuk terus dilakukan meski kondisi TNI
dan bangsa yang sedang terbatas. Rendahnya kemampuan keuangan negara
tidak memungkinkan alokasi anggaran memadai bagi kesejahteraan prajurit.
Jangankan memodernisasi alat dan persenjataan, untuk pemenuhan kebutuhan
dan pemeliharaan pun masih jauh dari mencukupi. Cercaan dan hujatan yang
terus-menerus kepada TNI menyebabkan sebagian prajurit mengalami
demoralisasi dan demotivasi. Di sisi lain, tuntutan masyarakat akan
peran TNI dan penyelesaian berbagai masalah konflik horizontal,
separatisme dan terjaminnya kedaulatan serta kehormatan bangsa, menuntut
kesiapan tempur dan mobilitas tinggi dari prajurit.
Faktor-faktor itu menimbulkan dilema yang sulit dipecahkan. Dengan kata
lain, usaha mengembalikan jati diri TNI tidak mudah dilaksanakan,
terlebih di tengah tarik-menarik kehidupan politik yang belum sepenuhnya
stabil. Hambatan internal dari tubuh TNI yang berpadu dengan aneka
tantangan eksternal merupakan isu yang harus ditangani dengan hati-hati.
Meski tantangan dan godaan untuk penataan kembali itu cukup besar, TNI
harus senantiasa melihat ke depan, berjuang keras membangun kembali
kredibilitas, integritas, demi mengembalikan jati dirinya sebagai
pengawal keutuhan negara dan bangsa. Aneka tarikan berbagai kelompok
untuk kembali ke gelanggang politik praktis harus disikapi dengan
kearifan dan konsistensi ucapan dan tindakan. Perjalanan panjang pasang
surut TNI di masa silam cukup menjadi pelajaran berharga agar TNI tak
lagi memasuki jebakan wilayah yang melenakan, yang dapat menyeret TNI ke
dalam kekeliruan dan distorsi peran.
Akhirnya, diharapkan arah dan reformasi internal TNI tak harus
terdistorsi adalah pada adanya kesatuan pandangan dari segenap komponen
bangsa bahwa masa transisi demokrasi seperti saat ini harus disikapi
sebagai ujian sejarah, yang harus dilalui dengan selamat. Kesalahan
mengelola perubahan yang sedang berlangsung dapat membawa bangsa ini
terperosok pada situasi yang tak diharapkan untuk kesekian kalinya. Bagi
TNI, tak ada pilihan lain kecuali terus berupaya dan bekerja keras untuk
tak menyia- nyiakan panggilan sejarah.
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia),
Endriartono Sutarto Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kompas 4
Oktober 2003. |
|