|
C © updated 03062006 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
► e-ti/wes |
|
|
Nama:
Sunarto Sjoekronoputra, Moh
Lahir:
Kuningan, 12 Desember 1951
Pangkat:
Laksamana Muda TNI AL
Jabatan:
Kapuspen TNI
Pendidikan :
- Akabri Angkatan Laut (1974)
- Diklapa II (1985)
- Seskoal (1994)
- Lemhanas RI (2003)
Karir:
- DPD Jankual (1974)
- Karo Mingar Jankual (1975)
- DPD Spri Dekasal (1977)
- Pemegang UUDP Dekasal (1978)
- Kadeplog KRIPTH Armada RI (1980)
- Instruktur Pusdikdukum Kodikal (1983)
- Karo Turdik Pusdikdukum Kodikal (1985)
- Kasi Rendik Pusdikdukum Kodikal (1985)
- PBU Atase Pertahanan RI New Zealand (1989)
- Kabagtaud Set Delog Mabesal (1993)
- Waka Setumal (1995)
- Kasetumal Mabesal (1999)
- Kadiskual Mabesal (2001)
- Widyaiswara Utama Bid. Hankam Lemhanas RI (2004)
- Kapuspen TNI, 2006
Tanda Kehormatan :
- Satyalancana Andhy Makayasa
- Stayalancana Dwija Sistha
- Satyalancana Kesetiaan XVIII/XVI/XXIV tahun
- Bintang Jalasena Nararya
- Bintang Yudha Dharma Nararya
|
|
|
|
|
|
|
SUNARTO HOME |
|
|
Laksda TNI Sunarto Sjoekroenoputra, Moh
Kapuspen yang Siap On Line 24 Jam
Sebagai Kapuspen TNI, Laksamana Muda TNI AL Moh. Sunarto Sjoekronoputra mengaku mendapat tantangan baru. Dia bukan saja berupaya untuk tetap menjaga citra baik
TNI, tapi juga menjalin kerjasama yang baik dengan berbagai media massa.
Untuk itu, dia siap on line dikonfirmasi 24 jam.
“Ini tugas yang benar-benar baru bagi saya. Tapi, saya sangat
menikmati,” ujar putra bangsa kelahiran Kuningan 12 Desember 1951 itu. Penampilannya memang
calm, tidak
terlalu meledak-ledak. Tapi, semangat juangnya yang tinggi tetap
terlihat di antara penampilan tenangnya itu.
Moh. Sunarto, menapaki jenjang karier di TNI slow but sure bagai air
yang mengalir, tenang tapi pasti. “Apa pun tugas yang diberikan, saya
akan berupaya mengerjakannya sebaik mungkin,” katanya. Laki-laki lulusan
Akabri Laut 1974 ini mengakui tugasnya di pusat penerangan TNI merupakan
tugas yang benar-benar baru. “Saya tidak mempunyai latarbelakang dan
pengalaman di penerangan. Betul-betul saya awam di bidang ini,” akunya.
Maka, begitu mendapat surat keputusan Panglima, Sunarto merasa
surprais. Di sisi lain, dia membayangkan tugas ini sangat berat.
“Seperti mau masuk dalam rimba raya yang semuanya gelap,” kenangnya.
Bahkan suami dari Ny. Asmanah ini sempat membayangkan hari-harinya penuh
dengan bunyi bel krang… kring… ..krang ….kring dari para wartawan yang
ingin konfirmasi.
Namun, dia bersyukur karena kenyataannya tidak sesulit yang dibayangkan.
Berdasarkan Surat Keputusan Panglima No.1 Tahun 2003, dalam hal kegiatan
penerangan di lingkungan Puspen TNI, masing-masing hingga tingkat Danton
sudah memiliki tugas dan tanggungjawab. Dengan pendelegasian wewenang
dan tugas ini paling tidak, tugas kapuspen semakin ringan.
Di samping itu, Sunarto memiliki prinsip hidup yang diyakini selama ini.
‘Jika orang lain bisa, kenapa saya tidak?’ maka, jika orang lain bisa,
dia juga harus bisa. Prinsip itu terbukti ampuh. “Alhamdulillah sekarang
saya sudah bisa melaksanakan tugas ini, walaupun sambil belajar dan
bertanya,” lanjutnya. Dia tidak segan-segan dan malu-malu bertanya, baik
kepada para staf maupun para kepala dinas. Dia juga sadar bahwa dirinya
membawa nama baik Puspen, sehingga perlu berhati-hati.
Dengan cara itu, dia merasa bisa menjalankan tugas sembari belajar.
“Staf saya bisa diajak lari, di sini saya melihat staf saya sudah kuat.
Program-programnya sudah berjalan dengan baik. Jadi, tugas saya hanya
mengoptimalkan saja. Ibaratnya, kalau mesin itu tambah gas.
Alhamdulillah selama satu bulan saya di Puspen, sudah bisa lari
kencang,” ujarnya berkelakar. Dengan cara itu, dia berharap tugas-tugas
puspen akan berjalan dengan baik dan terus meningkat profesionalismenya.
Optimalkan Kinerja Puspen
Cara kerja yang dianut putra pertama pasangan (alm) Syukroeno dan
Nursiah ini tidak setengah-setengah. Dia berupaya mengoptimalkan kinerja
pusat penerangan TNI. Apalagi puspen TNI merupakan badan pada tingkat
Mabes TNI yang telah berjalan sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Organisasi yang sudah berjalan tentunya akan selalu diperbaharui sesuai
dinamika dan perkembangannya, baik eksternal maupun internal.
“Jadi, selayaknya kami berupaya mengoptimalkan kinerja Puspen guna
menselaraskan perkembangan yang ada. Baik meningkatkan respon Puspen TNI
terhadap perkembangan pemberitaan di media masa secara tepat waktu serta
menyajikan secara cepat dan akurat analisa dan isu-isu yang berkembang
terkait dengan TNI,” lanjutnya.
Sunarto juga berupaya untuk terus menerus koordinasi dengan para
kadispen, baik Kadispen AD, Kadispen AU dan Kadispen AL. Selain itu
untuk meningkatkan kemampuan profesional jajaran personil penerangan
TNI, pihak Sunarto membuka Kursus perwira informasi yang bekerjasama
dengan kantor Berita Antara. Puspen juga mengirim beberapa perwira,
bintara, ke luar negeri antara lain ke Amerika Serikat.
Untuk mengimbangi pemberitaan media massa lainnya, puspen juga memonitor
pemberitaan, khususnya TV. “Kami memonitor seluruh pemberitaan semua
chanel TV. Begitu ada masalah mengenai TNI, kamu langsung merekamnya. Di
situ ada yang menjaga 24 jam. Kalau ada kejadian yang menonjol mereka
langsung laporan ke saya atau ke kepala dinas. Jadi, kami siaga 24 jam,”
lanjutnya.
Kesiagaan 24 jam itu bukan saja bagi media, tapi juga bagi kantor
penerangan di tingkat Kapendam dan Kapenrem. “Saya membuka diri untuk
dihubungi kapan saja, tidak perlu sungkan-sungkan,” kata Sunarto. Karena
dia tahu, biasanya secara hirarkhi tentara memiliki rasa enggan pada
komandannya. Maka dia mencoba ‘meretas’ jarak itu untuk kelancaran
tugas-tugasnya. Bahkan tak segan-segan dia memberikan nomor telepon
genggamnya kepada siapa saja yang membutuhkan. Karena itu Sunarto
berkeyakinan jika terlalu bersikap formal, maka akan ada hambatan
komunikasi.
Taruna Jadi Inspirasi
Moh Sunarto Sjoekroenoputra lahir di Kuningan, 12 Desember 1951, anak
pertama dari 12 bersaudara. Cita-citanya waktu kecil, ingin menjadi
dokter. Cita-cita itu ia katakan saat pelajaran bercerita. Sunarto
ingat, waktu masih duduk di bangku kelas tiga Sekolah Dasar, di
Kuningan, Jawa Barat. Dalam kesempatan bercerita di depan kelas, dia
bercita-cita menjadi dokter. Namun, dalam kesempatan lain dia
bercita-cita menjadi angkatan laut. “Saya masih terlalu kecil waktu itu,
sehingga dengan mudah mengubah-ubah keinginan,” ujarnya geli mengingat
masa lalu.
Namun, tampaknya gambaran seorang angkatan laut lebih melekat dalam
ingatan anak kampung dari kaki gunung Ceremai ini. Suatu ketika ia
melihat para taruna angkatan laut, dengan seragam putih-putih lengkap
dengan aksesorisnya, mengunjungi Taman Makam Pahlawan Angkatan Laut di
Desa Jalaksana, Kuningan.
Di tempat itu, selain berziarah, malamnya mereka mengadakan acara
santai. Sunarto yang waktu itu masih di bangku Sekolah Menengah Pertama,
tak melewatkan kesempatan itu. Bersama beberapa orang teman, dia melihat
kegagahan para taruna yang sedang berpesta dansa dan main band itu.
Kesan itu demikian melekat, sehingga Sunarto bertekad akan masuk AKABRI
Angkatan Laut selepas SMA nanti.
Namun, Sunarto memang bukan tipe remaja yang ekspresif. Bahkan setelah
lulus SMA pun ia masih slow. Dia ingin masuk angkatan laut, tapi tidak
terlalu menggebu-gebu. “Saya ingin masuk angkatan laut, tapi tidak
terlalu ngoyo. Diterima, ya Alhamdulillah, kalau tidak ya sudah. Jadi,
saya tidak terlalu kecewa jika keinginan saya itu tidak terwujud,”
ujarnya bernada pasrah.
Tapi, Dewi Fortuna, berpihak pada ayah dari Sri Sunaryati dan Agus
Fitrianto ini. Setelah melalui tes di Mabes TNI AL, dia dinyatakan
lulus. Kedua orangtuanya pun mendukung. Ayahnya yang seorang Sekretaris
desa, sangat berbangga hati. Pendidikan disiplin dan keras yang selama
ini diterapkan pada Sunarto dan adik-adiknya, membuahkan hasil. Sebagai
anak pertama, Sunarto menjadi motivator bagi adik-adiknya. Namun, dari
12 bersaudara, hanya Sunarto yang menjadi TNI. “Adik saya ada yang
menjadi arsitek ada juga yang ahli farmasi,” lanjutnya.
Bangga Menjadi TNI
Didikan keras sang ayah, kini benar-benar dia rasakan manfaatnya.
Disiplin, jujur dan penuh tanggungjawab yang selama ini diajarkan
ayahnya, yang dulu terasa pahit, kini terasa manis. Sedangkan kasih
sayang dan ketulusan dari sang ibu, menambah kekuatan batinnya. Setelah
benar-benar menjadi perwira angkatan laut, Sunarto merasakan betapa
bangganya menjadi prajurit. Dia pernah mendapat tugas selama 3 tahun di
KRI Fatahillah.
Suka duka sebagai angkatan laut pernah dia rasakan. Namun, dia tak mau
membebani keluarganya, ayah dan ibunya dengan cerita-cerita sedih
seputar tugas-tugasnya. “Ayah dan ibu saya cukup tegar, justru yang
sering risau itu nenek saya,” kenang Sunarto. Itu bisa dimaklumi, karena
Sunarto adalah cucu pertama yang paling besar, yang sangat dekat dengan
sang nenek. Jika cucu kesayangannya itu pamit untuk tugas, sang nenek
kerap menangis. “Disangkanya kalau angkatan laut itu renang terus di
laut, sehingga nenek khawatir,” kenangnya haru.
Maka, setiap pulang tugas, Sunarto selalu menceritakan hal yang
indah-indah. Itu juga dia terapkan pada istri dan anak-anaknya setelah
berkeluarga. Pendek kata, Sunarto tidak mau membuat orang-orang
sekitarnya susah. Beruntung, dia memiliki istri yang sangat tahu dan
bisa memahami pekerjaan suaminya. “Istri saya tidak pernah protes dan
mengomentari pekerjaan saya.
Dia ibu rumahtangga yang melayani penuh kebutuhan suami dan kedua
anak saya. Sehingga saya tenang dalam melaksanakan tugas,” kata Sunarto
memuji Aan (panggilan akrab Asmanah-red) wanita yang dikenalnya sejak
SMP yang kini setia mendampinginya. Lebih dari itu Sunarto mengaku
bangga menjadi TNI. “Saya bangga bisa mengabdi di lingkungan TNI,”
ujarnya mantap. ► e-ti/ad-sub
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
|
|