|
C © updated 16012004 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
►e-ti/rpr kompas |
|
|
Nama:
Prof. Sardono W. Kusumo
Lahir:
Surakarta 6 Maret 1945
Agama :
Islam
Istri :
Amna W. Kusumo
Anak :
Nugrahani
Orang Tua :
R.T. Waluyo Kusumo
Profesi:
Seniman (Budayawan dn Penata Tari)
Guru Besar IKJ
Pendidikan:
SMA Negeri 4 Surabaya
Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (tidak selesai)
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (tidak selesai)
Jasa:
Mengembangkan dan melestarikan seni budaya bangsa melalui karya Seni Tari,
khususnya Sendratari Ramayana.
Pekerjaan:
= Mengajar di Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Solo
= Mengajar di Institut Kesenian Jakarta.
Karya Seni:
Telah menghasilkan tak kurang 25 tarian di antarnya:
Samgita Pancasona, Cak Tarian Rina, Dongeng dari Dirah, Hutan Plastik,
Hutan Merintih, Passage Through the Gong, Opera Diponegoro, Cak Tarian
Rina, Awal Metamorfosis, dan Samgita Pancasona.
Penghargaan:
Distinguished Artist Award dari International Society for the
Perfoming Arts Foundation (ISPA), Singapura, 20 Juni 2003
Prince Claus Award dari pemerintah Belanda, 1998
Bintang Budaya Parama Dharma dari pemerintah Republik Indonesia 12 Agustus
2003.
Alamat :
JI. Kenanga 20 Badran, Surakarta.
Penulis:
Haposan Tampubolon dan Mearjuka, dari berbagai sumber antara lain Kompas 24 Juni
2003, Suara Pembaruan 15 Januari 2004, Indopos 15 Januari 2004,
International Society for Performing Arts (ISPA) dan
Institut Kesenian Jakarta (I.K.J.)
|
|
|
|
|
|
|
Prof. Sardono W. Kusumo
Penata Tari bagi Nurani Manusia
Seniman penata tari dan penari berambut sebahu, lulusan SMA Negeri 4
Surabaya, Sardono Waluyo Kusumo dikukuhkan menjadi Guru Besar Institut
Kesenian Jakarta (IKJ) 14 Januari 2004. Ia seniman pertama dari Asia yang
mendapat penghargaan ISPA. Sepanjang karirnya dia telah menghasilkan tak
kurang 25 tarian. Sejak usia 23 tahun ia tak pernah berhenti menciptakan
karya tari bukan untuk jual beli, tetapi mencari arti bagi nurani manusia.
Ia penata tari Indonesia berkaliber internasional.
Pagelaran tari “Nobody’s body” yang merupakan karya teranyarnya tahun 2000
serta peluncuran buku berjudul “Hanuman, Tarzan, dan Homo Erectus” turut
menyemarakkan pengukuhan sang profesor yang seluruh hidupnya diabdikan
hanya untuk seni tari.
Buku berisi kumpulan tulisan Sardono tentang tari agaknya menjadi salah
satu alasan pelengkap penganugerahan jabatan pengajar tertinggi di
lingkungan akademis itu. Mengingat, “sang prof” Mas Don --begitu pria
kelahiran Surakarta 6 Maret 1945 ini biasa dipanggil— bukanlah jebolan
sarjana setingkat S-1. Maklum, kuliah ayah satu anak ini, di Fakultas
Ekonomi Universitas Gadjah Mada maupun Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia tidak sampai selesai. Kendati demikian gelar itu dijamin tidak
palsu sebab sudah ditandatangani langsung oleh Menteri Pendidikan Nasional
Malik Fadjar pada 31 Mei 2003 lalu berdasarkan SK Bersama Menteri
Pendidikan Nasional nomor 9601/A2.7/KP/2003.
Penghargaan seni tari yang pernah diterima Mas Don bukan hanya dari dalam
negeri. Mas Don menerima Distinguished Artist Award dari International
Society for the Perfoming Arts Foundation (ISPA), pada saat Masyarakat
Seni Pertunjukan Internasional menyelenggarakan kongres di Singapura pada
20 Juni 2003 lalu.
ISPA memberi penghargaan untuk dedikasi Mas
Don bagi dunia seni pertunjukan, terutama untuk kawasan Asia. Penghargaan
sejenis pernah ISPA berikan ke beberapa seniman kaliber dunia seperti
Martha Graham, Jerome Robbins, Mikhail Barysnikov, dan Sir Yehudi Menuhin.
Dan, Sardono menjadi seniman pertama dari Asia yang mendapat penghargaan
ISPA bersama dengan seniman asal Singapura, Ong Keng Sen.
Masyarakat Seni Pertunjukan Internasional atau International
Society of Performing Arts (ISPA) yang berpusat di New York, AS dan
didirikan tahun 1949, itu adalah sebuah forum terhormat dunia yang
bertujuan mempromosikan nilai dan peran penting seni pertunjukan di dalam
kehidupan. Organisasi ini beranggotakan sekitar 600 pengelola gedung
pertunjukan, pusat kesenian, festival, kelompok seni pertunjukan, dan
lembaga kesenian/kebudayaan pemerintah.
Lembaga ISPA ini juga mengenal Mas Don sebagai sosok yang mengangkat
kebudayaan Jawa ke dunia internasional, namun uniknya, di sisi lain dia
juga sering melawan tradisi Jawa. Dr Kwok Kian Woon, Kepala Practice
Performing Arts Centre pada ISPA, menyebutkan banyak seniman Asia yang
bagus tetapi Sardono bisa dikatakan sebagai seniman terkemuka yang memberi
pengaruh pada perkembangan kesenian tradisional dan modern. Dia memberi
warna lain dalam pertunjukan kontemporer, terutama untuk negara-negara
Asia Tenggara.
Sementara dari Pemerintah negeri Belanda pada 1998, Mas Don menerima
penghargaan berupa Prince Claus Award. Pemerintah Belanda melihat
keseriusan Mas Don dalam melakukan riset di bidang seni dan budaya.
Pengakuan lain dari dalam negeri dari Pemerintah RI terhadap Mas Don
adalah penganugerahan penghargaan Bintang Budaya Parama Dharma dari
pemerintah Republik Indonesia tahun 2003.
Gelar profesor menjadi bukti tingginya pengakuan semua pihak terhadap
hidup berkesenian Mas Don, yang sejak usia 23 sudah menghasilkan tari
berjudul Samgita Pancasona yang waktu itu sudah dipentaskan di Jogjakarta,
Solo, Jakarta. Tak lama setelah pementasan itu, dengan membawa nama misi
kebudayaan ke luar negeri pada tahun 1971 Mas Don dengan bangga
mementaskan tari Cak Tarian Rina di Iran dan Jepang.
Sepanjang karirnya dia telah menghasilkan tak kurang 25 tarian.
Diantaranya adalah Dongeng dari Dirah, Hutan Plastik, Hutan Merintih,
Passage Through the Gong, Opera Diponegoro, Cak Tarian Rina, Awal
Metamorfosis, dan Samgita Pancasona. Semua karyanya punya keunikan
tersendiri sebab pasti berhubungan dengan kondisi suatu mayarakat pada
kurun waktu tertentu yang “dipotretnya” menjadi karya tari.
Dongeng dari Dirah adalah salah satu karya spektakuler Mas Don. Karya ini
sempat dibawakan di Prancis, pada tahun 1974 dan mendapat banyak pujian
dari kalangan seni tari. Dengan tarian ini pula dia dikritisi sejajar
dengan dua maestro seni pertunjukan dunia, yaitu Maurice Bejart dan Robert
Wilson. Padahal, usia Mas Don saat berkeliling dunia mementaskan
pertunjukan itu baru 29 tahun. Dongeng dari Dirah yang menorehkan nama Mas
Don ke dunia seni tari internasional, itu diangkat dari kisah klasik asal
Bali, Calon Arang.
Apresiasi dunia luar terhadap Mas Don memang tinggi. Saat melakukan
perjalanan karir keliling ke Amerika Serikat tahun 1993, adalah salah satu
saat perjalanan karir lainnya yang berkesan. Pentas penampilan berjudul
Passage Through the Gong ketika itu disambut hangat publik seni Negara
Paman Sam. Road show tersebut digelar di Next Wave Festival Broklyn
Academy of Music New York, San Francisco, Los Angeles, dan Burlington.
Begitu antusiasnya sambutan warga New York, Mas Don melakukan pergelaran
dua kali di ibu kota dunia itu. Dan di tahun yang sama, pentas kedua
digelar di BAM Carey Playhouse, New York.
Keuletan Mas Don dalam menciptakan sebuah karya tari tak pernah berhenti.
Dia terus menunjukkan kreativitas-kreativitas baru, biasanya setelah
sekian lama mendalami kehidupan masyarakat yang ingin “dipotretnya”
menjadi tarian. Dia mau masuk ke dalam kehidupan masyarakat tertentu.
Seperti, untuk membuat kreasi tari dengan latar belakang masyarakat Dayak,
Mas Don harus homestay di tengah hutan belantara Kalimantan bersama
komunitas Dayak. Begitu juga saat dia terinspirasi suku Nias di Sumatera
Utara.
Pargelaran pertunjukan berjudul Meta Ekologi yang mengetengahkan
kepeduliannya terhadap lingkungan, di tahun 1975, terinspirasi setelah dia
mendalami kehidupan Dayak dan Nias. Karya Mas Don lain tentang lingkungan
adalah Hutan Plastik di tahun 1983 dan Hutan Merintah tahun 1987. Mas Don
juga menghasilkan lakon Maha Buta pertanda dia tidak melupakan kehidupan
spiritual yang diberikan Sang Khalik.
Di usia paruh bayanya, sejak tiga tahun terakhir Mas Don mulai berperan
sebagai guru bagi siapa saja. Baginya, menjadi guru justru “menambah ilmu”,
mendapatkan hal baru sebab pengalaman mengajar itu berbeda dengan menari.
Ayah dari Nugrahani, anak buah perkawinanya
dengan Amna W.Kusumo ini tidak hanya menggeluti seni koreografi dengan
menghasilkan karya-karya koreografi, tapi juga terjun sebagai pengader
koreografer-koreografer muda. Hal itu dilakukannya dengan cara terjun
sebagai seorang pengajar di Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Solo, dan di
Institut Kesenian Jakarta.
Dan jika bicara tentang mengajar maka pria berambut sebahu ini pasti akan
bersemangat, terutama tentang perannya sebagai guru. Misalnya, Sardono
mewajibkan setiap muridnya mempresentasikan karya akhirnya di tempat asal
si murid. Dengan begitu Sardono bisa melihat bagaimana si murid "melihat"
komunitas asal si murid itu sendiri, misalnya, setelah dua tahun belajar
kesenian. Si seniman tak harus terputus interaksinya dengan masyarakatnya
sendiri.
"Saya hanya berusaha memperkaya mereka dengan apa yang sebenarnya saya
dapatkan, juga dari murid yang lain. Misalnya, saya membawa pengetahuan
dari murid di Australia ketika mengajar di Solo, atau sebaliknya, setelah
melihat presentasi murid di Padang, saya membawanya ketika mengajar di
Singapura," tuturnya. Ia memang sangat terlibat dengan pasang surut
lingkungan masyarakatnya.
Belakangan ini Sardono tak lagi menghabiskan banyak waktunya di Indonesia,
tapi sudah lintas negara Asia Tenggara. Dia mengaku masih pergi ke Padang,
Bandung, atau Jakarta, di mana muridnya menggelar presentasi. Selain itu,
ia juga pergi ke Hanoi, Kamboja, Singapura, dan lainnya. Lingkup
penggaliannya tak lagi terbatas pada tradisi di Indonesia, tetapi mencakup
Asia, terutama Asia Tenggara.
Staf pengajar IKJ ini sejak awal sudah mencoba berusaha memajukan kesenian
di Indonesia dengan ikut terlibat mendirikan Lembaga Pendidikan Kesenian
Jakarta, yang merupakan cikal bakal Institut Kesenian Jakarta, pada 1970.
Sekolah seni yang didirikannya dimaksudkannya untuk mendidik para seniman
supaya menjadi orang besar. Dia lalu menggalakkan berbagai workshop dengan
seniman tari dari luar negeri. Misalnya dengan Peter Brooks di Ecole
Superieure de Choreographie di Prancis. Lantas, melakukan workshop di
Denmark bersama dengan Odin Teatret dan Theatre du Soleil Prancis.
Dalam setiap mengajar Mas Don berusaha untuk tampil sekomprehensif mungkin,
misalnya dengan menyisipkan elemen-elemen seni lain seperti senirupa,
film, dan musik. Mas Don yang juga staf pengajar Program Pasca Sarjana
STSI Solo ini beralasan, semua unsur seni itu saling terkait. Mendalami
seni tari harus pula bisa melakukan seni peran di atas panggung, harus
bisa melihat visualisasi dari sisi penonton dan bukan hanya dirinya
sendiri.
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia) |
|