|
C © updated 12082008-11122005 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
► e-ti/kompas |
|
|
Nama:
Dr Marty Natalegawa
Nama Lengkap:
Raden Mohammad Marty Muliana Natalegawa
Lahir:
Bandung, 22 Maret 1963
Agama:
Islam
Isteri:
Sranya Bamrungphong
Anak:
- Raden Siti Annisa Nadia Natalegawa
- Raden Mohammad Anantha Prasetya Natalegawa
- Raden Mohammad Andreyka Ariif Natalegawa
Jabatan:
- Wakil Tetap RI untuk PBB, 2007- sekarang
- Duta Besar RI untuk Inggris, 2005-2007
Pendidikan:
- SD, Kris Jakarta, 1974
- SMP, Singapore International School, Singapura, 1974
- SMP, Ellesmere College, Inggris, 1978
- SMA, Concord College, Inggris, 1981
- BSc, Homour, in International Relations, London School of Economics
and Political Science, University of London, 1984
- Master of Philosophy in International Relations, Corpus Christi
College, Cambridge University, 1985
- Doctor oh Philosophy in International Relations, Australian National
University, 1993
Pengalaman Kerja:
- Staf Badan Litbang, 1986-1990
- Staf/Kasubbid Politik II PTRI New York, 1994-1997
- Kepala Bidang Politik II, Perwakilan Tetap RI pada PBB, New York,
1997-1999
- Kepala Subdirektorat Organisasi Internasional, 2000-2001
- Direktur Organisasi Internasional, Deplu, 2001-2002
- Kepala Biro Administrasi/Juru Bicara Deplu, 2002-2004
- Direktur Jenderal Kerjasama ASEAN/Juru Bicara Deplu, 2003-2005
- Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Indonesia untuk Inggris,
2005-2007
- Wakil Tetap Republik
Indonesia (RI) untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), 2007-sekarang
- Ketua Komite Khusus PBB
untuk Dekolonisasi periode 2008
|
|
|
|
|
|
|
MARTY HOME |
|
|
Marty Natalegawa
Dubes Termuda Menuju Puncak Dia diplomat muda yang
tengah menuju puncak karir dan tampaknya tengah dipersiapkan menjadi Menteri Luar
Negeri.
Setelah dipercaya menjadi Duta Besar RI untuk Inggris, pria kelahiran Bandung 22 Maret
1963, ini kemudian tak berapa lama diangkat menjadi Wakil Tetap Republik
Indonesia (RI) untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Di PBB, kiprah Dr. Raden Marty Muliana Natalegawa, M.Phil, B.Sc, cukup menonjol. Salah satu
sikapnya (mewakili Indonesia) yang cukup menonjol tatkala dia
satu-satunya yang bersikap abstain ketika Dewan Keamanan Perserikatan
Bangsa Bangsa sepakat menjatuhkan sanksi baru bagi Iran, terkait dengan
masalah sengketa atom. Resolusi DK No. 1803 itu diambil lewat voting di
Markas Besar PBB, New York, Selasa 4 Maret 2008 (WIB). Dari 15 negara
anggota Dewan Keamanan PBB, 14 negara menyetujui, hanya Indonesia
satu-satunya yang bersikap abstain.
Marty Natalegawa menjelaskan alasan dia mengacungkan tangan
menunjukkan sikap Indonesia: “Tujuan dari strategi resolusi sebelumnya
sudah tercapai. Iran telah bekerjasama dengan Badan Energi Atom
Internasional IAEA. Pada titik ini, pemberian sanksi baru bukanlah
langkah terbaik.“
Keberanian bersikap abstain dan kepiawaian berdiplomasi membuat dirinya
pantas di acungi jempol, bukan oleh bangsa Indonesia saja, melainkan
juga para diplomat dunia. Hal itu terbukti tatkala pada saat hampir
bersamaan, 28 Februari 2008, Marty (Indonesia) terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Komite Khusus PBB
untuk Dekolonisasi periode 2008.
Marty Natalegawa yang sebelumnya dikenal
sebagai Juru Bicara Departemen Luar Negeri, 11 November 2005 hingga 5
September 2007, dipercaya menjadi Duta Besar Luar Biasa dan
Berkuasa Penuh Indonesia untuk Inggris. Suami dari Sranya Bamrungphong, ini merupakan duta besar termuda, apalagi untuk pos dubes penting,
Inggris, AS dan Jepang. Dia
Dia seorang diplomat muda yang jenjang karirnya menanjak demikian
cepat. Dia berhasil melintasi hambatan enjang urut kacang dan birokrasi
(kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah).
Kepercayaan semakin tinggi diberikan kepadanya, dengan mengangkatnya
menjadi Wakil Tetap Republik Indonesia (RI) untuk Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB), sejak 5 September 2007. Dia mengoptimalkan peran Indonesia di PBB dengan
jabatan itu.
Pada bulan November 2007, Marty mendapat kepercayaan penting sebagai
Presiden Dewan Keamaan PBB. Kemudian, dia pun terpilih sebagai Ketua Komite Khusus PBB untuk
Dekolonisasi periode 2008. Pemilihan ini dilakukan pada sesi pertama
sidang Komite tanggal 28 Februari 2008 yang dipimpin oleh Sekjen PBB,
Ban Ki-Moon.
Komite Khusus Dekolonisasi, atau dikenal juga sebagai Komite 24 (dari
jumlah negara yang menjadi anggota komite ini pada masa awal
pendiriannya), merupakan badan yang diberi kewenangan untuk melakukan
implementasi Deklarasi Pemberian Kemerdekaan bagi Wilayah-wilayah
Jajahan dan Penduduknya.
Dalam sambutannya, Dubes Marty mengatakan, Indonesia sangat terhormat dengan kepercayaan yang diberikan
masyarakat internasional melalui pemilihannya sebagai Ketua Komite
Khusus Dekolonisasi secara aklamasi itu. Menurut Marty, kesediaan
Indonesia untuk menerima mandat sebagai ketua komite ini merupakan salah
satu perwujudan pelaksanaan lebih lanjut dari semangat Dasasila Bandung
Konferensi Asia-Afrika (KAA) 1955.
Dia menjelaskan bahwa KAA telah turut meletakkan dasar bagi upaya
dekolonisasi di bekas wilayah-wilayah terjajah di seluruh penjuru dunia.
Dekolonisasi merupakan salah satu mandat terpenting PBB yang paling
sukses dalam pelaksanaannya, sejak PBB didirikan tahun 1945, lebih dari
750 juta jiwa umat manusia telah melaksanakan hak penentuan nasib
sendiri, dan lebih dari 80 wilayah yang sebelumnya merupakan jajahan
telah memperoleh kemerdekaan.
Hingga saat ini komite masih memiliki tanggung jawab untuk menuntaskan
proses dekolonisasi terhadap 16 wilayah yang belum berpemerintahan
sendiri (Non-Self-Governing Territories/NSGTs), yaitu Sahara Barat,
Samoa Amerika, Guam, Kaledonia Baru, Pitcairn, Tokelau, Anguilla,
Bermuda, Kepulauan Virgins Enggris, Kepulauan Cayman, Kepulauan Falkland
(Malvinas), Gibraltar, Monserrat, Saint Helena, Kepulauan Turks dan
Caicos, dan Kepulauan Virgin Amerika Serikat.
Sementara, negara-negara yang menjadi anggota Komite Khusus
Dekolonisasi saat ini berjumlah 27 negara, yaitu Antigua dan Barbuda,
Bolivia, Chile, China, Kongo, Cote d’Ivoire, Dominika, Etiopia, Fiji,
Grenada, India, Indonesia, Iran, Irak, Mali, Papua Nugini, Federasi
Rusia, Saint Kiits dan Nevis, Saint Lucia, Saint Vincent dan Grenadines,
Sierra Leone, Suriah, Timor Leste, Tunisia, Tanzania dan Venezuela.
Marty Natalegawa menegaskan bahwa keketuaan Indonesia akan secara
proaktif terus menjajaki berbagai cara inovatif dan mengembangkan opsi
untuk memajukan proses dekolonisasi, dengan melibatkan seluruh pemangku
kepentingan yang ada, khususnya para penduduk di wilayah NSGTs serta
negara-negara yang menjadi penguasa administratif wilayah tersebut (Administeering
Power).
Menuju Puncak Karir
Marty yang dikenal sebagai sosok bersahaja dan rendah hati, selalu
menempatkan diri menjadi seseorang
yang bisa diperintahkan ke mana juga oleh siapa pun. Dia bukan tipe
orang yang betah menunggu terus
di belakang meja. Dalam perjalanan karirnya yang tergolong cepat, dia
terlihat selalu tahu persis targetnya, yang dirancang dalam
program.
Dari kecil, SD hingga mencapai gelar doktor, dia sudah berada dalam
pergaulan dunia. Dia pernah duduk di bangku SMP, Singapore International
School, Singapura, 1974, sebelum pindah ke SMP, Ellesmere College, Inggris, 1978.
Kemudian dia masuk SMA, Concord College, Inggris, 1981.
Setelah itu meraih gelar BSc, Homour, in International Relations, London School of Economics
and Political Science, University of London, 1984 dan Master of Philosophy in International Relations, Corpus Christi
College, Cambridge University, 1985. Jadi sejak sekolah menengah pertama hingga menamatkan S2,
Marty selalu bersekolah di Inggris. Gelar doktornya (Doctor oh Philosophy in International Relations)
diraih di Australian National
University, 1993.
Dari kecil, dia memang bercita-cita menggumuli dan berkarir di bidang
hubungan internasional. Maka setelah menyelesaikan studi dan kembali ke
Indonesia, dia pun langsung merapat ke
Departemen Luar Negeri. Dia memulai karir sebagai Staf Badan Litbang,
Deplu, 1986-1990.
Kala itu, pada awal memasuki lingkungan birokrasi Deplu RI, Marty
mengaku sempat mengalami cultural shock, sehingga harus banyak menyesuaikan
diri, namun tedak melebur diri. Misalnya, dia
melihat urusan gampang dibuat jadi susah, dilempar kiri-kanan. Karena itu,
sejak hari pertama masuk Deplu, dia mengatakan tidak akan membiarkan
diri terbawa arus yang tidak selalu positif ini.
Dia bertekad harus punya
prinsip dasar kalau melihat satu lingkungan yang tidak benar, harus
berani mengoreksi. Dia bertekad harus berani mencoba mengubah, yang
dimulai dari diri sendiri. Dia memberi misal, sikap birokrat yang menutup diri, minta
dilayani, yang sudah begitu mengakar dalam sistem birokrasi kita. Harus
diubah, dan kalau ingin berubah, harus mulai dari diri sendiri.
Prinsip ini selalu ditularkan kepada rekan dan staf di lingkungan
kerjanya. Kalau sedang sidang, kadang dia minta teman
membacakan kertas posisi.
Pengalaman seperti ini, menurutnya, penting karena pengalaman tidak tergantung usia.
Ada yang sudah senior, tetapi kalau tidak pernah belajar ya
begitu-begitu saja.
Menurutnya, siapa pun bisa mendapat pengalaman dengan
cepat, padat, dan singkat kalau mau berpihak pada tanggung jawab yang
terus-menerus. Karena itu, tak heran bila di Deplu dia bisa meraih
jenjang karir dengan sangat singkat. Dia melihat
karena di Deplu ada faktor kevakuman pada tahap tertentu, jadi harus
dipadatkan proses membangun pengalamannya. "Kalau mau terus ”urut
kacang”, bagi intern tidak apa-apa. Tetapi, ketika harus berinteraksi
dengan negara lain akan kelihatan," urainya.
Walaupun pernah dikabarkan, Marty sempat menjadi korban urut kacang
dalam menapaki jenjang karirnya. Namun, dia menyebut bukan korban, tetapi memang dalam birokrasi ada aturan. Justru
dia
merasa sebaliknya. Menteri memberi kesempatan seluas-luasnya
kepada siapa pun yang dianggap punya kemampuan memikul tanggung jawab
lebih.
Pengalaman Marty dalam menapaki jenjang karirnya, patut mendapat
catatan tersendiri. Dalam lingkungan birokrasi yang kalau bisa
dipersulit mengapa dipermudah dan jenjang karir urut kacang, dia
berhasil melewati semua hambatan itu dengan gemilang.
Setelah beberapa tahun menjadi staf Badan Litbang, 1986-1990, dia
ditugaskan menjadi staf (tanpa jabatan) di Perwakilan Tetap RI (PTRI)
pada PBB, New York. Kemudian menjadi kepala seksi, lalu kasubdit, dan
kepala bidang, yang tahapannya selalu menjadi acting atau pelaksana.
Selalu dia terlebih dahulu menunjukkan kemampuan dalam melaksanakan
berbagai tugas, baru kemudian jabatannya diformalkan.
Setelah menampakkan kemampuan sebagai Kepala Bidang Politik II, Perwakilan Tetap RI pada PBB, New York,
1997-1999, dia pun ditarik menjabat Kepala Subdirektorat Organisasi Internasional,
Deplu, 2000-2001. Tidak berapa lama, dia diangkat menjabat Direktur Organisasi Internasional, Deplu, 2001-2002.
Tidak berapa lama juga dia dipercaya menjabat Kepala Biro Administrasi
Menlu sekaligus merangkap Juru Bicara Deplu, 2002-2004. Dalam posisi
itu, dia pun dipercaya menjabat pelaksana tugas Direktur Jenderal Kerjasama ASEAN/Juru Bicara Deplu, 2003-2005.
Saat dia diberi tugas rangkap pelaksana tugas Dirjen ASEAN, Kepala
Biro Administrasi Menteri, dan Juru Bicara Deplu, dia melakoninya dengan
sangat baik. Dia tidak pernah melihatnya sebagai masalah. Bahkan namanya
pun makin poluler di mata publik dalam dan luar negeri. Sebagai juru
bicara Deplu, dia menunjukkan dirinya sebagai seorang diplomat muda yang
berpotensi menduduki jabatan puncak di Deplu.
Maka tidak heran bila banyak pihak yang menaruh harapan, bahwa dalam
posisinya sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Indonesia
untuk Inggris, dia akan berhasil membuat hubungan bilateral
Indonesia-Inggris dalam posisi saling menghormati dan saling
menguntungkan.
Dalam hal jenjang karirnya, Marty dalam wawancara dengan Kompas
menyebut satu hal yang ingin saya sampaikan, bila saya telah membuka ”pintu”
untuk aplikasi sistem yang selalu Pak Menlu bilang meritocracy—yang
mampu diberi tanggung jawab lebih—saya ingin pintu itu dibuka semakin
lebar. Jangan setelah saya lewat dan menikmati sistem itu pintu
cepat-cepat ditutup rapat lagi.
Karena saya yang menjadi kasus pertama, saya merasa yang penting bukan
hanya mampu secara substansi, tetapi juga cukup humble untuk tidak
merasa menjadi orang penting berlebihan. Yang penting amanat pekerjaan,
kita bukan apa-apa. Karena kadang orang bila dikasih tugas malah
menikmati pernik-pernik yang melekat pada jabatan itu dan justru
melupakan pekerjaannya.
Juga jangan sampai merusak ”pasar” sehingga orang akan bilang, lihat
kalau seorang relatif muda diberi tanggung jawab lebih dia tidak bisa
karena substansinya. Atau kalau bisa menjadi berlebihan sehingga tidak
cukup matang mengemban tanggung jawab seperti ini. Jadi, semakin tugas
dan tanggung jawab kita banyak, seharusnya kita semakin merunduk.
Pos Penting
Inggris tergolong pos penting untuk Indonesia karena berbagai
pertimbangan. Antara lain: Inggris adalah penanam modal terbesar kedua
di Indonesia setelah Jepang sejak tahun 1967; Inggris anggota tetap
Dewan Keamanan PBB; London sebagai salah
satu kota keuangan terpenting di dunia; surplus perdagangan Indonesia
dengan Inggris; dan Inggris sebagai bagian dari
komunitas Eropa.
Mantan Direktur Jenderal Kerjasama ASEAN, Deplu, bernama lengkap Raden Mohammad Marty Muliana Natalegawa,
ini menduduki pos penting tersebut merupakan tantangan yang diperkirakan
akan mengantarkannya ke jabatan penting pada masa mendatang. Jika
berhasil, dia kandidat Menteri Luar Negeri beberapa tahun mendatang
(2009).
Menurut Marty dalam wawancaranya dengan Kompas (Kompas 12 Desember
2005), secara bilateral Inggris pasti penting penting karena ”3 in 1”.
Yakni, pertama, dia anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB yang punya kemampuan
memengaruhi debat di DK. Jadi, kalau kita menjalin hubungan ini dengan
benar, kita mendapat DK juga.
Kedua,
Inggris juga penting dalam konteks Uni Eropa (UE). Di UE ada tiga kubu:
Inggris, Perancis dan Jerman, serta anggota baru. Visi Eropa, Inggris,
ke depan adalah inklusif, lebih modern, kebijakan sosial dan pertanian
lebih terbuka. Jadi, bila kita berhubungan baik dengan Inggris kita juga
menjalin hubungan baik dengan UE. Belum lagi hubungan historisnya dengan
Amerika Serikat.
Ketiga, London sebagai kota keuangan. "Saya mengutamakan posisi London dalam
bidang keuangan dan meyakinkan mereka Jakarta adalah tempat di mana
kegiatan terjadi bila ingin sesuatu yang lebih menarik dengan potensi
keuntungan luar biasa,".
Ketiga, Inggris peduli pada
penyelesaian masalah Timur Tengah dan berharap kepada Indonesia
untuk ikut berperan dalam penyelesaian konflik di sana.
Marty juga mengedepankan apa yang akan segera diakukan dalam
posisinya sebagai Dubes untuk Inggris. Dia menyebut rencana sangat sederhana, tetapi esensial. Pertama,
meningkatkan profil Indonesia di Inggris. Sebab dalam pengamatannya,
jika Inggris membayangkan
Asia atau Asia Timur yang pertama akan tampil dalam radar
skema politik dan ekonomi mereka adalah negara seperti India karena ada
ikatan kultur dan sejarah. Kalau Asia Tenggara pasti Malaysia dan
Singapura. Karena itu, dia ingin mencoba memastikan Indonesia ada di
dalam radar itu.
Dia melihat modal dasarnya sudah ada. Ketika terjadi tsunami bantuan masyarakat
Inggris adalah salah satu yang terbesar dari seluruh dunia, bahkan jauh
lebih besar dari bantuan pemerintahnya. Ini satu indikasi sebenarnya
orang Inggris bisa digerakkan.
Marty juga menyebut salah satu aset politik luar negeri kita adalah Indonesia yang
demokratis dan moderat. Ini sangat relevan dalam konteks hubungan
Indonesia-Inggris, terutama karena Inggris memiliki kehendak baik dari
pemerintah maupun masyarakatnya kepada Indonesia.
Sementara tantangan utamanya adalah bagaimana mencapai ”progress beyond polite words”.
Menurutnya, kita harus tampil proaktif dengan konsep bila bicara hal konkret
peningkatan investasi, perdagangan, pariwisata, yang sebenarnya sangat
generik dan berlaku di semua perwakilan.
Di samping itu, tantangan lainnya dalam politik, Marty melihat masalah Papua.
Menurutnya, bila kita tidak rapi menyelesaikan Papua akan
ada potensi. Sepanjang ada kelompok masyarakat yang punya pandangan
tertentu, mereka akan terus. Ini yang harus dipastikan agar teman-teman
ini sampai pada pandangan yang sama mengenai Papua. Tetapi, juga jangan
membangunkan macan tidur.
Suami dari Sranya Bamrungphong ini melihat hubungan Indonesia-Inggris
tidak ada yang rusak dan berkembang cukup konsisten.
Bila membandingkan dengan negara tetangga, misalnya hubungan Inggris
dengan Malaysia, Thailand, dan negara lain di sekitar kita, terlihat
betapa sebenarnya banyak ruang membuat hubungan Indonesia-Inggris lebih
baik. Namun, menurutnya, jangan terlalu puas diri karena risikonya hubungan kedua negara
menjadi relatif, bahkan jika dibanding dengan negara lain, semakin
tertinggal.
Sedangkan mengenai targetnya, Marty menyebut pariwisata. Mantan Direktur
Organisasi Internasional, Deplu (2001-2002) yang mengecap pendidikan SMP
(1978), SMA (1981) hingga meraih Master of Philosophy in International Relations
(1985) di Inggris, itu menyebut bahwa di Inggris ada konsep gap year students, yaitu
anak-anak muda Inggris yang setelah lulus SMA tidak langsung kuliah
tetapi ingin memperoleh pengalaman dulu satu tahun untuk melakukan hal
bermanfaat, biasanya mengajar bahasa Inggris di luar negeri.
Menurutnya, mereka
pasti lebih ada sense of adventure, tidak usah dengan kenyamanan dan
tingkat keamanan tinggi. Maka dia melihat kita bisa mengemasnya ke Indonesia untuk enam
bulan. Perlahan-lahan, mereka nantinya akan menjadi orang penting di
Inggris dan kita sudah memiliki konstituen yang berpengalaman dengan
Indonesia.
Selain itu, katanya, orang Inggris yang mendekati usia pensiun. Mereka sering
menghabiskan musim dingin di negara tropis. Setahu Marty, Malaysia membuat
berbagai kemudahan untuk menangkap komunitas ini. "Saya ingin tahu apa
yang memungkinkan Malaysia melakukan itu. Seandainya ada hambatan, tugas
sayalah memberi tahu pusat dan instansi terkait sebenarnya ada potensi
sekian ribu wisatawan untuk masa kunjungan cukup lama, jika kita bisa
menyesuaikan beberapa kebijakan kita," ujarnya.
Di Inggris sudah ada puluhan asosiasi persahabatan Indonesia-Inggris,
terutama di bidang sosial-budaya. Kalau tidak salah, keanggotaannya
terbentuk karena ada ikatan keluarga, entah istri atau suaminya orang
Indonesia. Saya rasa keanggotaan ini perlu diperluas konstituennya.
Sementara mengenai Papua, Marty berencana akan mengajak kelompok-kelompok seperti amnesti
internasional berdiskusi. Dalam posisi tidak duta besar (dubes) pun dia sudah
pernah melakukannya. Saat SMP (di luar London) dan usia saya 13 tahun. Waktu itu ada acara
sekolah berkunjung ke British Museum di London. Ketika ada waktu luang
satu jam, dia memilih langsung ke Kantor Amnesti Internasional tanpa
ditugasi siapa pun. Dia ingin tahu apa yang menjadi keprihatinan
mereka. "Apalagi sekarang (dalam posisi dubes), mungkin mereka akan bosan
melihat saya," katanya.
Sebelum menempati posnya di London itu, Marty lebih dulu bertemu orang-orang Inggris di Jakarta.
Dia minta tolong diberi daftar orang yang harus ditemui.
Dukungan Keluarga
Pengalamannya hidup di asrama selama sekolah di Inggris sangat berguna
dalam pembentukan pribadinya yang mandiri dan bekerja dengan tim. Di
asrama Inggris itu di satu pihak sangat mengutamakan senioritas, tetapi
di lain pihak juga sangat egaliter dalam pengertian ada spirit tim yang
sangat kuat.
Ketika study di Inggris itu pula
Marty bertemu seorang gadis cantik berdarah Thailand, Sranya Bamrungphong,
yang juga bersekolah di London School of Economics and
Political Science, University of London. Mereka pun menikah dan
dikaruniai tiga anak yakni Raden Siti Annisa Nadia Natalegawa, Raden
Mohammad Anantha Prasetya Natalegawa dan Raden Mohammad Andreyka Ariif
Natalegawa,
Semasa Marty bertugas di Jakarta, Sranya mengisi waktunya dengan
mengajar di sebuah sekolah di Jakarta Selatan.
Marty merasa mendapat dukungan penuh dari keluarga dalam setiap
pelaksanaan tugas dan jabatannya. Dia merasa beruntung karena
keluarganya memang keluarga diplomat. Menurutnya, salah satu ciri yang dimiliki keluarga diplomat adalah kemampuan
menyesuaikan diri dengan keadaan, situasi, dan perubahan.
Dia pun selalu menanamkan kepadanak-anaknya untuk
melihat sisi positifnya, bahwa dalam arti tidak semua orang punya kesempatan
mengalami hidup di luar negeri dengan segala konsekuensinya ke dalam.
Apalagi isterinya,
Sranya, yang juga dari keluarga diplomat. Sranya merasa sudah terbiasa.
Bahkan ketika Sranya memutuskan menikah dengan Marty, Ayahnya mengatakan karena
kalian dari kultur berbeda, maka harus seperti air. Ada karakter, tetapi harus
bisa berada di mana pun. Alhamdulillah anak-anak umumnya baik.
Barangkali karena kami selalu membicarakan apa pun dengan mereka.
Marty menimpali, kami terbuka. Dia memberi contoh, saat putri pertamanya, Annisa, menjelang
memilih universitas, memilih sekolah yang kebetulan mahal. Marty lalu
tanya ke Sranya, bagaimana. "Bagi kami pendidikan segala-galanya. Saya
mau hidup kekurangan, tetapi pendidikan nomor urut satu, dua, ketiga,
dan terus ke bawah."
Pendidikan adalah sesuatu yang tidak bisa diambil dari kita. Kalau
jabatan, harta, bisa dicopot. Anissa akhirnya memilih ke School of
Oriental and African Studies, University of London, tanpa kami tahu
sebelumnya kami akhirnya akan ke Inggris. ►e-ti/crs,
dari berbagai sumber
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
|
|