TRI SATYA PUTRI HOME |
|
|
Tri Satya Putri Naipospos, PhD
Dipecat Saat Berjuang
Perjuangan Melawan Flu Burung. Begitu judul Rubrik Sosok Harian Kompas
20 September 2005. Tulisan itu mengisahkan betapa sibuk, tekun dan
bertanggungjawabnya Drh Tri Satya Putri Naipospos Hutabarat PhD, selaku
Direktur Kesehatan Hewan di Direktorat Jenderal Bina Produksi
Peternakan, Departemen Pertanian, berjuang melawan flu burung. Namun
secara mendadak dan mengejutkan, besoknya (21/9), Menteri Pertanian
memberhentikannya karena dinilai gagal.
Tata, panggilan akrab Tri Satya Putri Naipospos, mengaku tidak
menduga akan dipecat secara mendadak. Dia menerima pemberitahuan dari
Dirjen Peternakan Mathur Riady tanpa ada surat pemberhentian dari
Menteri Pertanian (Mentan).
Dia pun heran, mengapa diberhentikan dengan cara demikian? Lalu, Tata
langsung mempertanyakan alasan pemberhentiannya kepada Mentan melalui
pesan layyanan singkat (SMS). Jawaban Mentan membuatnya lebih kaget.
Tata dinilai gagal menangani kasus flu burung. Dia juga dinilai tidak
mampu membuat laporan mengenai perkembangan kasus flu burung.
Tata tidak bisa menerima alasan pencopotannya itu. Dia menegaskan
penilaian itu sangat tidak adil. "Pak Anton tidak adil menilai saya
gagal hanya dari sebuah laporan," katanya kepada wartawan yang
mengkonfirmasi pemberhentiannya.
Tata pun memprotes Mentan dengan tidak menghadiri pelantikan pejabat
yang menggantikannya, Kamis 22 September 2005 sore. Dia menegaskan
protesnya tersebut bukan karena ingin mempertahankan jabatan melainkan
hanya karena dia sangat kecewa atas penilaian yang tidak objektif
tentang kinerjanya itu.
Para wartawan juga terkejut atas pencopotan Tata secara mendadak itu.
Para wartawan dalam negeri dan asing banyak yang menghubunginya
mempertanyakan kebenaran pencopotan dirinya itu. Di kalangan wartawan
Tata dikenal sebagai pejabat yang terbuka dan berani. Bahkan perempuan
yang meraih gelar doktor dari Massey University, Selandia Baru (1996),
itu tidak takut berbeda pendapat dengan Mentan Anton Apriantono (menteri
dari PKS) mengenai kebijakan yang akan diambil.
Berikut ini, artikel yang ditulis oleh Agnes Aristiarini, di Rubrik
Sososk Kompas (20/9), sehari sebelum pencopotan Tata secara mendadak
oleh Mentan Anton Apriantono:
Perjuangan Melawan Flu Burung
Hari-hari ini Drh Tri Satya Putri Naipospos Hutabarat PhD (51) kembali
sibuk. Minggu (18/9) pagi, ketika kebanyakan orang masih menikmati hari
libur dengan bergelung di tempat tidur, ia sudah sibuk rapat. Siang
hari, telepon genggamnya tak berhenti berbunyi. Minggu malam, ia rapat
maraton di Kantor Menko Kesra.
Sungguh, kasus flu burung yang September ini telah merenggut nyawa satu
korban lagi, membuat ia jadi supersibuk. Jangankan aerobik, hobinya
menyanyi juga terabaikan. Maklumlah, Tata begitu ia dipanggil adalah
Direktur Kesehatan Hewan di Direktorat Jenderal Bina Produksi
Peternakan, Departemen Pertanian.
Andai saja waktu bisa diputar. Tahun 2003, ketika sudah banyak ayam mati
dalam tempo beberapa bulan tanpa ada kejelasan, sebenarnya Tata sebagai
dokter hewan lulusan Institut Pertanian Bogor (1979) sudah merasa bahwa
flu burung telah menular ke Indonesia.
Namun, sulit sekali bagi pemerintah membukanya. Saat itu, tekanan
industri perunggasan yang khawatir tingkat konsumsi telur dan daging
ayam menurun amatlah besar.
Sebagai negara yang baru mulai bangkit dari krisis, gangguan terhadap
perekonomian mati-matian dihindari tanpa menimbang dampak lebih panjang.
Maka, ketika akhirnya pengakuan terhadap kasus flu burung muncul,
sebenarnya penanganan sudah terlambat enam bulan.
Secara profesi, saya kadang suka merasa salah melihat dampaknya
sekarang. Tetapi, kalau secara pribadi tidak karena saya tidak terkait
langsung. Saat itu saya masih Direktur Pengembangan Peternakan, katanya.
Telanjur meluas
Tata memang baru diangkat jadi Direktur Kesehatan Hewan pada 24 Desember
2003, yang membuat ia harus bergelut dengan semua dampak itu. Tiap hari
rapat dan pulang menjelang tengah malam. Situasinya gawat karena sudah
telanjur melebar. Kalau semula hanya di dua kabupaten, kini tidak satu
pun kabupaten di Jawa yang bisa mengklaim bebas flu burung.
Sepanjang 2004 situasinya cheos, penuh trial and error dan semua pihak
cari selamat. Itu betul-betul ujian dari segi teknis dan administratif,
ujar master filosofi bidang epidemiologi dan ekonomi veteriner dari
Reading University, Inggris, ini.
Belum lagi urusan dana. Dari anggaran penanggulangan flu burung yang
disetujui DPR Rp 212 miliar, hanya turun Rp 84,6 miliar. Orang bilang
dikorupsi, padahal cuma itu yang ada. Itulah yang dipakai mengatur,
memperbaiki sistem, menyiapkan vaksin, paparnya.
Tahun 2005, ketika terjadi kasus Iwan Siswara Rafei sebagai korban
manusia pertama flu burung di Indonesia, DPR menyetujui lagi dana Rp 134
miliar. Dana itu kini juga belum turun. Kalaupun turun, belum tentu
keluar semua, kata Tata.
Padahal, pertengahan Desember 2005 semua upaya penanggulangan harus
selesai. Dalam waktu tak lebih dari 2,5 bulan, kondisi ini jadi dilema
karena dana tak ada sementara pemerintah harus menyediakan desinfektan,
vaksin, dan sebagainya. Belum lagi kalau harus mengikuti aturan tender
yang bisa makan waktu satu bulan.
Dalam situasi kedaruratan, antara teori dan kenyataan sering tidak
nyambung. Ini menyulitkan karena tuduhannya bisa macam-macam, ujar Tata
yang doktornya diperoleh di Massey University, Selandia Baru (1996).
Apa yang dipercaya sebagai kaidah, misalnya tata cara prosedur
pemberantasan penyakit, juga tidak selalu bisa berjalan mulus kalau
sudah berhadapan dengan kenyataan di lapangan. Ada banyak faktor lain
yang terlibat: politik, ekonomi, sosial.
Karena itu dibutuhkan orang yang bisa mengambil keputusan cepat dengan
mempertimbangkan itu semua, tambahnya.
Penanganan ke depan
Dengan kondisi Indonesia yang sangat khas: pola peternakan yang tidak
semua dikandangkan, pencampuran ternak ayam dengan non-unggas, hingga
belum dipraktikkannya biosecurity secara merata di semua lini
peternakan, penanggulangan penyebaran flu burung bakal menjadi
perjuangan panjang.
Pemusnahan massal (stamping out) seperti yang dilakukan negara maju
tidak mempan di Indonesia karena banyak peternakan ayam kampung yang
dibiarkan berkeliaran.
Belum lagi UU Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Peternakan dan Kesehatan Hewan yang dipakai sebagai landasan hukum, yang
sangat ketinggalan zaman.
UU tersebut sangat umum, tak ada sanksi pidana maupun administratif yang
bisa jadi landasan hukum. Misalnya untuk menjerakan peternak yang
menjual ternak sakit, jelas istri Parlindungan Hutabarat ini.
Dengan situasi begini, maka yang sekarang bisa dilakukan adalah
meningkatkan kesadaran para kepala pemerintahan daerah, terutama untuk
menggalakkan vaksinasi, biosecurity, deteksi dini, dan pelaporan.
Kenyataannya, masih ada kabupaten/kota yang sama sekali tidak punya
dokter hewan. Atau ada dokter hewan tapi tidak dihargai keberadaannya.
Padahal, peran mereka strategis untuk menjaga hewan dan produknya agar
tidak menularkan penyakit kata pencinta anjing ini. ►e-ti/tsl
** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
|