|
C © updated 03122008 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
► e-ti/Kompas Images |
|
|
BIODATA
Nama:
dr Herawati Sudoyo, MS, PhD
Lahir:
Pare, 2 November 1951
Suami:
Dr dr Aru Sudoyo, SpPD KHOM
Anak:
- Ruby Gautama Sudoyo
- Panji Nindyaputra Sudoyo
Pendidikan:
- S-1 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1977
- S-2 Fakultas Pascasarjana UI, 1985
- S-3 Departemen Biochemistry Monash University, 1990
Karir:
- Staf Pengajar Bagian Biologi FK-UI, 1978-kini
- Pendiri Lembaga Biologi Molekuler Eljikman, 1993
- Ketua Tim Unit Identifikasi DNA Forensik Lembaga Eljikman, 2004-kini
- Staf Pengajar PTIK, program Pascasarjana Universitas Hasanuddin dan
Universitas diponegoro, 2005, 2006, 2007-kini
Penghargaan:
- Habibie Award, 2008
- Australian Alumni Award of Scientific and Research Inovation, 2008
- Wing Kehormatan Kedokteran Kepolisian, 2007
- Penerima Riset Unggulan Terpadu, 1993-1996
- Thrid Word Academy of Science Award, 1992
- Toray Foundation Research Award, 1991-1992
|
|
|
|
|
|
|
HERAWATI HOME |
|
|
Herawati Sudoyo
Peletak Dasar Pemeriksaan DNA Forensik
Bercita-cita jadi arsitek, tapi jalan hidupnya menjadi dokter dan
peneliti. Dosen FK-UI ini pun justru bersyukur karena
bertemu banyak persoalan kemanusiaan. dr Herawati Sudoyo, MS, PhD
kelahiran Pare, 2 November 1951, ini pun telah membuat terobosan dalam ilmu pengetahuan
dengan meletakkan
dasar pemeriksaan DNA forensik untuk identifikasi pelaku bom bunuh diri.
Atas prestasi itu ia menjadi salah satu dari
empat penerima Habibie Award 2008.
***
Barangkali inilah jalan hidup. Dari kecil bercita-cita menjadi arsitek,
Herawati tersandung kelengkapan administrasi ketika mau mendaftar ke
Institut Teknologi Bandung. Mepetnya batas waktu pendaftaran dengan
urusan legalisasi ijazah SD membuat ia banting setir mendaftar ke
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Hasilnya, pekan lalu dr Herawati Sudoyo, MS, PhD menjadi salah satu dari
empat penerima Habibie Award 2008, penghargaan bagi para tokoh yang
membuat terobosan dalam ilmu pengetahuan. Ia dinilai telah meletakkan
dasar pemeriksaan DNA forensik untuk identifikasi pelaku bom bunuh diri.
”Saya tidak pernah menyesal menjadi dokter. Justru saya bersyukur karena
bertemu banyak persoalan kemanusiaan,” katanya suatu siang di kantornya,
Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.
Kecintaannya menata interior masih terasa di ruang kerjanya. Kecuali
komputer, satu-satunya perabot masa kini adalah rak yang dipenuhi buku
di salah satu dinding. Selebihnya mebel tua, dari kursi tamu sampai meja
kerja. Semua berpadu dengan tanaman anggrek dan berbagai kerajinan dari
pelosok Tanah Air. Beragam tas anyaman sampai tenun tradisional yang
dipajang membuat ruangannya lebih mirip galeri.
Benda-benda koleksinya yang lain tersebar di rumah. ”Kalau sempat
bertandang, jangan heran jika kursi makannya tak sama. Memang dibelinya
dari tempat yang berbeda-beda,” tuturnya.
Bisa dibilang, Hera, panggilannya, mendapatkan keduanya. Sentuhannya
membuat Lembaga Eijkman seperti oase di lingkungan Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo yang hiruk pikuk. Kecuali laboratorium yang steril, dari
ruang presentasi, perpustakaan, tempat makan, hingga selasar di gedung
tua peninggalan Belanda itu, hangat diterangi Matahari dan penuh aksen.
Ada tanaman, akuarium, lukisan, atau cendera mata.
Sementara di laboratorium, ia menikmati setiap tahapan riset yang
menjadi database penanganan berbagai kasus di Indonesia, dari kesehatan
sampai kejahatan.
Menguak terorisme
Metode Hera berawal dari ledakan bom bunuh diri di depan Kedutaan Besar
Australia, 9 September 2004. Saat itu pihak kepolisian ditantang untuk
segera mengidentifikasi pelaku dan mengungkap kelompok di baliknya.
”Ini karena di Asia Tenggara umumnya pelaku teror menyembunyikan
keterkaitannya, tidak seperti di Timur Tengah yang selalu ada kelompok
mengaku bertanggung jawab,” urainya saat presentasi di acara Paparan
Penerima Habibie Award 2008, Selasa (25/11).
Kejadian itu menewaskan 10 korban dan mencederai lebih dari 180 orang.
Mobil boks yang mengangkut bom hancur total dan tak ada bagian tubuh
yang memungkinkan untuk diidentifikasi dengan metode konvensional,
seperti sidik jari, profil gigi, apalagi pengenalan wajah. Persoalan
berikutnya, bagaimana menentukan mana pelaku dan mana korban?
Solusi persoalan pertama adalah identifikasi DNA. Singkatan dari
deoxyribonucleic acid, DNA adalah rantai informasi genetik yang
diturunkan. DNA inti mengandung informasi dari orangtua: ayah dan ibu.
Persoalan kedua diatasi dengan mengembangkan strategi pengumpulan dan
pemeriksaan serpihan tubuh berbasis prediksi trajektori ledakan bom dan
posisi pelaku. Sebagai orang yang paling dekat dengan bom, serpihan
pelaku akan terlontar lebih jauh dibanding serpihan korban.
Teori yang dikembangkan tim Hera bersama Pusat Kedokteran dan Kesehatan
(Pusdokkes) Polri ternyata betul. Jaringan tubuh yang berasal dari
tempat-tempat terjauh memiliki profil DNA yang sama. Hasil ini kemudian
dibandingkan dengan profil DNA keluarga dekat yang dicurigai. Kurang
dari dua minggu, tim gabungan Eijkman-Polri berhasil mengidentifikasi
pelakunya.
Disebut Disaster Perpetrator Identification (DPI), teknik ini melengkapi
Disaster Victim Identification (DVI) yang biasa digunakan untuk
identifikasi korban bencana massal. ”Kejadian itu juga menunjukkan
perlunya suatu database DNA populasi,” paparnya.
Penelitian mengenai genetika manusia Indonesia dengan fokus keragaman
genetik terkait dengan penyebaran penyakit memang salah satu kegiatan
Lembaga Eijkman. Demikianlah, suatu penelitian dasar telah menunjukkan
fungsinya sebagai penunjang kepentingan terapan.
Database genom populasi tidak sekadar menguak kejahatan. Variasi DNA
bisa menunjukkan struktur kekerabatan populasi, pola migrasi, hingga
penyakitnya. ”Hal ini sangat berguna untuk membuat strategi diagnostik,
manajemen penyakit, serta kebijakan kesehatan,” katanya.
Kerja keras peneliti
Menikah dan punya anak saat kuliah tak menyurutkan tekad Hera untuk
belajar. Namun, setelah lulus muncul kesadaran bahwa ternyata ia tidak
ingin praktik. ”Saya ingin meneliti,” katanya.
Maka, jadilah ia staf pengajar biologi kedokteran di almamaternya.
Ketika mendapat kesempatan menjadi doktor, pilihan hidupnya kembali
diuji. Memenuhi persyaratan Universitas Monash di Melbourne, Australia,
ia berangkat tanpa suami dan anak.
Akan tetapi, setelah tiga bulan di Australia, ia tahu tak akan sanggup
bertahan sendirian. Setelah meyakinkan para profesornya, ia pulang untuk
mengajak anak-anaknya. Sang suami tetap tinggal, karena saat itu juga
tengah mengambil spesialisasi penyakit dalam.
Lima tahun di Australia dengan jadwal penelitian yang padat, dua anak
yang waktu itu masih kelas satu SMP dan tiga SD, menempanya jadi
perempuan perkasa. Setiap pagi, seusai mengantar anak-anak ke sekolah,
ia berangkat ke laboratorium. Sore hari, ia pulang menjemput anak-anak,
memasak, lalu kembali ke laboratorium.
Menyadari kerepotannya, Hera memilih kos di rumah seorang ibu asal
Skotlandia. ”Dialah yang membantu menemani anak-anak,” katanya.
Lima tahun perjuangan itu dikenangnya sebagai masa pembentukan dirinya.
”Saya jadi disiplin, percaya diri, dan tegas memisahkan persoalan kantor
dan rumah. Percobaan yang gagal misalnya, tidak boleh merusak mood dan
terbawa pulang, karena anak-anak butuh saya.”
Anak-anaknya pun mengenang Melbourne sebagai bagian hidup yang indah.
”Mereka bilang, kalau tidak tinggal di Australia, mungkin tidak jadi
seperti sekarang,” ujar Hera.
Setelah semua didapat, adakah yang masih ingin dikejarnya? ”Bukan untuk
saya, tetapi lebih pada bagaimana menerapkan DNA forensik untuk
mengatasi masalah kemanusiaan, dari mengidentifikasi pelaku perkosaan
sampai perdagangan anak,” katanya.
Inikah misteri jalan hidup? Karya-karya Hera mungkin menjadi jawabnya.
(Agnes Aristiarini, Kompas, Rabu, 3 Desember 2008) ►TokohIndonesia.com
|
|