|
C © updated 27092004 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
►e-ti/kompas |
|
|
Nama:
Sitor Situmorang
Lahir:
Harianboho, 2 Oktober 1924
Istri:
1. Almarhum Tiominar
2. Barbara Brouwer
Anak:
1. Retni Situmorang
2. Ratna Situmorang
3. Gulon Situmorang
4. Iman Situmorang
5. Logo Situmorang
6. Rianti Situmorang
7. Leonard Situmorang
Pendidikan:
AMS di Jakarta
Pengalaman Pekerjaan:
1. Pemimpin Redaksi “Suara Nasional
2. Wartawan Kantor Berita “Antara”
3. Wartawan Harian “Waspada”
Karya sastra:
Surat Kertas Hijau, 1953
Dalam Sajak, 1955
Wajah Tak Bernama, 1955
Drama Jalan Mutiara, 1954
Cerpen Pertempuran dan Salju di Paris, 1956
Terjemahan, karya John Wyndham, E Du Perron RS Maenocol,M Nijhoff.
Zaman Baru, 1962
Cerpen Pangeran, 1963
Esai, Sastra Revolusioner, 1965 (tulisan ini yang menyebabkannya masuk
penjara)
Karya selama di tahanan:
Dinding Waktu, 1976
Peta Perjalanan, 1977
Karya selama dalam pengembaraan:
Cerpen Danau Toba, 1981
Angin Danau, 1982
Cerita anak-anak Gajah, Harimau dan Ikan, 1981
Guru Simailang dan Mogliani Utusan Raja Rom, 1993
Toba Na Sae, 1993 (esai yang mengetengahkan tinjauan sejarah dan
antropologi)
Bloem op een rots dan Oude Tijger, 1990 (diterjemahkan dan dibukukan
dalam bahasa Belanda)
To Love, To Wonder, 1996 (diterjemahkan dalam bahasa Inggris)
Paris Ia Nuit, 2001 (diterjemahkan dalam Bahasa Perancis, Cina, Italia,
Jerman, Jepang, dan Rusia)
|
|
|
|
|
|
|
Sitor Situmorang
'Kepala Suku' Sastrawan ‘45
Pria Batak kelahiran Harianboho, Samosir, Sumatera Utara 2 Oktober 1924
ini sudah menjadi seorang Pemimpin Redaksi harian Suara Nasional terbitan
Sibolga, pada saat usianya masih sangat belia 19 tahun, di tahun 1943.
Padahal, sebelumnya ia sama sekali belum pernah bersentuhan dengan profesi
jurnalistik.
Sastrawan Angkatan ’45, ini kemudian bergabung dengan Kantor Berita
Nasional Antara, di Pematang Siantar. Dan sejak tahun 1947, atas
permintaan resmi dari Menteri Penerangan Muhammad Natsir, Sitor menjadi
koresponden Waspada, sebuah harian lokal terbitan kota Medan, Sumatera
Utara. Ia ditugaskan menempati pos di Yogyakarta.
Jika di kemudian hari persepsi tentang diri Sitor Situmorang identik
sebagai sastrawan Angkatan ’45 yang kritis, bahkan menjadi susah
memilah-milah apakah ia seorang sastrawan, wartawan, atau politisi,
agaknya bermula dari kisah sukses besarnya sebagai wartawan saat
berlangsung Konferensi Federal di Bandung, tahun 1947.
Hadir bermodalkan tuksedo pinjaman dari Rosihan Anwar, saat itu nama
wartawan muda berusia 23 tahun, Sitor, sangat begitu fenomenal bahkan
menjadi buah bibir hingga ke tingkat dunia. Ia berhasil melakukan
wawancara dengan Sultan Hamid, tokoh negara federal bentukan Negeri
Belanda yang sekaligus menjadi ajudan Ratu Belanda.
Sultan Hamid adalah orang yang diplot menjadi tokoh federal, tentu dengan
maksud untuk memecah-belah keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
menjadi terdiri berbagai negara boneka dalam wadah negara federal.
Kisah suksesnya bukan sekedar karena berhasil menembus nara sumber Sultan
Hamid. Materi wawancara itu sendirilah yang memang lebih menarik. Sebab,
kepada Sultan Hamid Sitor berkesempatan menanyakan, ’bagaimana pendapatnya
tentang negara Indonesia’, dan uniknya dia jawab dengan, ’oh terang
Republik itu ada, dan tidak bisa dianggap tidak ada’.
Esok harinya isi wawancara itu menjadi headline dan semua kantor berita
asing mengutipnya. Peristiwa ini terjadi justru sebelum konferensi resmi
dimulai, sehingga sudah ada gong awal yang memantapkan eksistensi NKRI.
Ultah 80
Menjelang usia genap 80 tahun Sitor mempersiapkan perayaan ulang
tahun dengan matang. Ia merayakannya di Taman Ismail Marzuki (TIM),
Jakarta, antara lain dengan memamerkan puluhan kumpulan puisi dan berbagai
dokumentasi tentang kontribusinya dalam peta perjalanan sastra dan politik
di Tanah Air.
Bahkan, beberapa hari sebelumnya, 27 September 2004 ia memperkenalkan
karya-karya puisinya yang belum pernah dikenal orang. Apakah itu barupa
puisi karya terbaru, atau puisi lama namun sama sekali belum pernah
dikenal orang. Maklum, siklus kepenyairan Sitor Situmorang, yang menikah
untuk yang kedua kalinya dengan seorang diplomat berkewarnegaraan Belanda
Barbara Brouwer, yang memberinya satu orang anak, Leonard, sudah berbilang
setengah abad lebih. Dari istri pertama almarhum Tiominar, dia mempunyai
enam orang anak, yakni Retni, Ratna, Gulon, Iman, Logo, dan Rianti.
Semenjak tahun 1950-an karya-karya sastranya sudah mengalir ringan begitu
saja. Sitor pada tahun 1950-an itu pulang dari Eropa sebagai wartawan,
lalu memutuskan berhenti dan bergiat sebagai sastrawan. Kumpulan puisi
pertamanya terbit tahun 1953, diterbitkan oleh Poestaka Rakjat pimpinan
Sutan Takdir Alisjahbana (STA).
Dia begitu hafal setiap karya puisinya. Malah, beberapa orang sahabat
sesama sastrawan, seperti almarhum Arifin C. Noor, W.S. Rendra, maupun
sastrawan asal Madura Zawawi, menyapanya dengan melafalkan petikan puisi
karya Sitor sebagai sapaan salam. Dari lafal petikan itu pula Sitor kenal
siapa nama dan identitas orang yang menyapanya.
Beragam karya sastra Sitor yang sudah diterbitkan, antara lain Surat
Kertas Hijau (1953), Dalam Sajak (1955), Wajah Tak Bernama (1955), Drama
Jalan Mutiara (1954), cerpen Pertempuran dan Salju di Paris (1956), dan
terjemahan karya dari John Wyndham, E Du Perron RS Maenocol, M Nijhoff.
Karya sastra lain, yang sudah diterbitkan, antara lain puisi Zaman Baru
(1962), cerpen Pangeran (1963), dan esai Sastra Revolusioner (1965).
Esai Sastra Revolusioner inilah yang mengakibatkan Sitor Situmorang harus
mendekam di penjara Gang Tengah Salemba (1967-1975), Jakarta tanpa melalui
proses peradilan. Ia dimasukkan begitu saja ke dalam tahanan dengan
tuduhan terlibat pemberontakan. Selain karena isi esai Sastra Revolusioner
sarat dengan kritik-kritik tajam, posisi mantan anggota MPRS ini ketika
itu sebagai Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) periode
1959-1965, sebuah lembaga kebudayaan di bawah naungan PNI, membuat rezim
merasa berkepentingan untuk “menghentikan” kreativitas Sitor.
Karenanya ia dengan ringan menyebutkan, “Mungkin karena saya anti-Soeharto
saja,” sebagai alasan kenapa ia harus mendekam di penjara Salemba selama
delapan tahun berturut-turut. Hingga keluar tahanan Sitor tak pernah tahu
apa kesalahannya.
Kepada Sitor tak diizinkan masuk tahanan membawa pulpen atau kertas. Namun,
walau berada dalam penjara Sitor tetap berkarya. “Tidak ada orang yang
bisa melarang saya untuk menulis,” ucapnya tentang keteguhan hatinya untuk
tetap berkarya dalam kondisi dan situasi tertekan seberat apapun, termasuk
ketika terkungkung oleh tembok-tembok beton penjara.
Ia berhasil merilis dua karya sastra, yang berhasil ia gubah selama dalam
tahanan, yakni Dinding Waktu (1976) dan Peta Perjalanan (1977). Kedua
karya itu diluncurkan masih dalam status Sitor tidak bebas murni 100
persen sebab ketika kemudian dibebaskan, Sitor lagi-lagi harus menjalani
tahanan rumah selama dua tahun.
Sitor akhirnya memilih menetap di luar negeri, terutama Kota Paris yang
disebutnya sudah sebagai desa keduanya setelah Harianboho. Harianboho,
yang terletak persis di bibir-mulut pinggiran Tanau Toba nan indah, itu
punya arti spesifik dalam diri Sitor. Paris yang megah boleh menjadi desa
kedua. Namun Harianboho tetaplah satu-satunya kampung halaman bagi Sitor.
Sejak tahun 1981 Sitor diangkat menjadi dosen di Universitas Leiden,
Belanda. Sepuluh tahun kemudian pensiun pada tahun 1991. Selama dalam
pengembaraan ia tetap produktif berkarya. Maklum, menulis baginya sudah
seperti berolahraga. Jika tak menulis dirasakannya badan gemetaran.
“Kalau tidak menulis badan saya malah gemetaran. Bagi saya menulis adalah
olahraga”, ujar pria Batak yang walau lama mengembara di luar negeri namun
masih saja selalu kental dengan logat Bataknya. Kekentalan logat ini
membuat banyak orang kecele, menilai Sitor sebagai seorang yang berkesan
galak dan saklijk, tak ada kompromi.
Padahal ia adalah seorang lelaki tua periang yang jarang mengeluh perihal
kemampuan fisiknya yang sudah menua. Pada usai 80 tahun ia masih dengan
mudah melewati lantai berundak yang terdapat di kamar tidurnya tanpa
bantuan tongkat sedikitpun.
Ia malah menyebut dirinya sudah seharusnya tampil sebagai “Kepala Suku”,
jika saja konsep dan sistem tata nilai lama adat Batak itu diberlakukan
kembali. Kalaupun istilah dan sebutan kepala suku adat Batak sudah lama
dihapus, namun, dalam dunia sastra khususnya Angkatan ’45 Sitor Situmorang
tak pelak lagi adalah “Kepala Suku” Sastrawan Angkatan ’45. Bukan hanya
karena ia sastrawan Angkatan ’45 yang masih hidup, namun hasil karyanya
ikut menunjukkan siapa jati diri dia yang sesungguhnya.
Selama melanglang buana di berbagai negara, antara lain di Pakistan,
Perancis, dan Belanda ia menghasilkan beragam karya-karya pengembaraan.
Antara lain berupa cerpen Danau Toba (1981), Angin Danau (1982), cerita
anak-anak Gajah, Harimau, dan Ikan (1981), Guru Simailang dan Mogliani
Utusan Raja Rom (1993), Toba Na Sae (1993).
Kemudian, karya sastra esai yang mengetengahkan tinjauan sejarah dan
antropologi, berjudul Bloem op een rots dan Oude Tijger (1990) yang sudah
diterjemahkan dan dibukukan dalam bahasa Belanda, To Love, To Wonder
(1996) diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Paris Ia Nuit (2001)
diterjemahkan dalam enam bahasa yakni Bahasa Perancis, Cina, Italia,
Jerman, Jepang, dan Rusia.
Sejak tahun 2001 Sitor Situmorang kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi,
Indonesia mengikuti istrinya Barbara Brouwer yang kebetulan mendapat tugas
di Jakarta. Walau dua pertiga dari usianya dihabiskannya di negeri orang,
para sahabat, kolega, teman sejawat, seniman, sastrawan, dan budayawan
lain tidak pernah menganggap Sitor sebagai “anak yang hilang”.
Mereka, seperti Adjip Rosidi, Onghokham, Fuad Hasan, Djenar Maesa Ayu,
Ramadhan KH, Richard Oh, Rieke Diah Pitaloka, Sitok Srengenge, HS. Dillon,
Teguh Ostenrijk, Srihadi Soedarsono, dan Antonio Soriente, tetap menyambut
hangat kepulangan Sitor Situmorang. Mereka, menganggap tak beda seperti
menemukan teman yang sudah lama tak berjumpa.
Sitor memang mempunyai pergaulan yang sangat luas di mancanegara seperti
di Belanda, Jerman, Italia, dan Inggris seluas pengenalan masyarakat
Indonesia terhadapnya. Padahal, jika ditelisik jauh ke belakang belajar
menulis bagi Sitor berlangsung secara otodidak saja selepas bersekolah AMS
di Jakarta. Pilihannya menjadi penulis pun berawal dari keterlibatan
dirinya sebagai wartawan Waspada sebuah harian lokal terbitan Kota Medan,
Sumatera Utara.
Sebagai wartawan tahun 1950-an ia pulang dari Eropa, kemudian berhenti dan
memutuskan diri menjadi penyair. Itulah awal kekreativitasan Sitor
Situmorang sebagai sastrawan secara intens. Sebelumnya, tahun 1943 untuk
pertama kali ia memang sudah menuliskan sebuah puisi, berjudul Kaliurang
dimuat di majalah Siasat pimpinan “Sang Paus Sastra Indonesia” HB Jassin.
Sedangkan, kumpulan puisi pertama Sitor Situmorang baru terbit tahun 1953,
persis setelah sepulangnya dari Eropa. Ketika itu ia secara kebetulan
bertemu dengan Sutan Takdir Alisjahbana (STA), yang waktu itu memiliki
penerbit Pustaka Rakjat, lalu menerbitkan kumpulan puisi Sitor.
Sitor adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang secara sadar
mengatakan diri turut berpolitik. Ketika Waspada menugaskannya menempati
pos di Yogyakarta, membuatnya berkesempatan berkenalan dengan “Bapak-bapak
Republik”, ini istilah Sitor Situmorang sendiri untuk menyebutkan
orang-orang yang dimaksudkannya seperti Bung Karno, Bung Hatta, serta para
pimpinan Partai Nasional Indonesia (PNI), telah memperkaya daya juang
kreativitas sastranya dengan warna baru politik. Sitor bahkan pernah
diangkat menjadi anggota MPRS. ►ht, Sumber: Kompas 26
September 2004
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia) |
|