A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z
:: Beranda :: Berita :: Profesi :: Politisi :: Pejabat :: Pengusaha :: Pemuka :: Selebriti :: Aneka ::
  P R O F E S I
 ► Advokat
 ► Akuntan
 ► Arsitek
 ► Bankir
 ► CEO-Manajer
 ► Dokter
 ► Guru-Dosen
 ► Konsultan
 ► Kurator
 ► Notaris
 ► Peneliti-Ilmuwan
 ► Pialang
 ► Psikolog
 ► Seniman
 ► Teknolog
 ► Wartawan
 ► Profesi Lainnya
 ► Search
 ► Poling Tokoh
 ► Selamat HUT
 ► Pernikahan
 ► In Memoriam
 ► Majalah TI
 ► Redaksi
 

 


 
  C © updated 13102004  
   
  ►e-ti/sy  
  Nama:
Hj. Rr. Windrati Nur Asmoro Edi, SH, Spi
Lahir:
Srimartani Piungan, Yogyakarta, 17 September 1958
Agama:
Islam
Anak:
Satu orang

Pendidikan:
S1 Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia 1975-1980
Sekolah Notaris 1988-1994
Profesi:
Notaris
Organisasi:
Aktivis PDIP 2000-2002
Ketua Barisan Muda Demokrat Jakarta 2004-2009

Alamat Kantor:
Jalan Matraman Raya No. 44





 
 
     
Hj. Rr. Windrati Nur Asmoro Edi, SH, Spi

Meretas Karir Sambil Berpolitik


Perempuan darah biru ini tidak suka terpaku di belakang meja sepanjang hari. Juga tidak mau diperintah. Karena itu, dia menentukan sendiri apa yang harus dikerjakannya. Tadinya Windrati pernah terkooptasi oleh konotasi tidak sedap bahwa politik itu kotor. Begitu pindah ke Jakarta, Windrati menanggalkan baju partai (PDIP), memusatkan diri pada karirnya. Namun semakin dia ingin menjauhinya, semakin tergoda terjun ke dalamnya.

Kenyataan pahit memaksa Windrati (46) mengambil jalan kompromi. Setamat kuliah di Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, tahun 1980, Windrati menggantungkan niatnya untuk masuk sekolah notaris. Dia putri kesayangan ayahnya, lurah desa Srimartani, Piungan, Yogyakarta. Sang ayah tercinta sakit-sakitan, kemudian meninggal tahun 1984.


Sebenarnya dia sudah melupakan keinginannya yang menggebu-gebu menjadi notaris. Tetapi ketika bekerja di Bank Niaga Cabang Bandung (tahun 1985), Windrati muda acapkali memperhatikan seorang notaris perempuan cantik yang menjadi mitra kerja kantornya. Sekali waktu dia memergoki notaris itu menerima fee Rp 10.000.000 dari banknya. Hatinya tergoda kembali untuk menjadi notaris, meskipun saat itu sudah dipersunting oleh pimpinan bank di mana dia jadi karyawati.


Lama Windrati memendam niatnya jadi notaris, karena harus mengikuti irama kerja suaminya. Dia ingin jadi ibu rumah tangga dan segera punya anak. Tetapi lama kelamaan jenuh juga tinggal di rumah terus. Lantas Windrati mendaftar ke sekolah notaris, Universitas Pajajaran, Bandung, tahun 1988.
Secara ekonomis, rumah tangga pasangan Windrati tidak mengalami kekurangan, bahkan berkelebihan. Karenanya dia kuliah santai saja. Menunggu kelahiran bayinya, dia berhenti kuliah. Kuliahnya selesai dalam enam tahun. Lantas berhenti melakukan aktivitas diluar karena harus merawat bayi, meskipun dia mempekerjakan baby sitter.


Karena banyak waktu lowong, seorang temannya memberi saran supaya melamar sebagai agen asuransi. Temannya melihat posisi Windrati sebagai istri seorang dikretur bank yang punya banyak relasi, terutama pengusaha. Saran itu dia terima.


Nasib baik sedang berpihak padanya. Akhirnya bukan dia yang melamar, malahan beberapa perusahaan asuransi mengajukan tawaran. Windrati memilih sebagai agen asuransi Niaga Life. Para calon nasabah dia hubungi lewat telepon dari rumah, atau ketika mengikuti suaminya main golf.
Banyak transaksi yang dilakukan di lapangan golf. Jarang sekali calon nasabah menolak tawarannya jadi peserta asuransi. Tak disangka bekerja sambilan sebagai agen asuransi memberinya penghasilan yang cukup besar. Setiap tahun dia mendapat penghargaan the top agent and the top premium untuk seluruh Indonesia. Dia juga meraih penghargaan dari Dewan Asuransi Indonesia (DAI) empat tahun berturut-turut.


Windrati memilih berhenti jadi agen asuransi lantaran diangkat menjadi notaris tahun 1997. Surat keputusan pengangkatan dari Menteri Kehakiman dan HAM berlaku sampai dia berusia 65 tahun. Sedangkan selaku pejabat Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT), dia diangkat oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).


Peraturan melarang notaris pemula membuka praktik di kota besar, seperti Bandung. Karena itu, dia menerima penempatan di kota Tasik, tidak seberapa jauh dari Bandung. Windrati bersama putranya yang masih kecil harus pindah ke Tasik, sementara suaminya tetap di Bandung.
Meskipun berstatus pegawai negeri, notaris tidak digaji oleh negara dan tidak mendapat tunjangan pensiun. Di tengah kondisi yang lebih banyak dukanya, Windrati bertahan di Tasik selama lima tahun.


Berpraktik sebagai notaris di kota kecil menghadapi berbagai kendala. Banyak warga masyarakat tidak memahami tugas notaris, lebih mempercayai figur setempat untuk pengukuhan akte perjanjian jual-beli. Peluangnya terkuak ketika terjun ke arena politik. Kebetulan seorang rekannya di PDIP menawarkan jadi calon anggota DPRD. Karena itu dia mulai berkecimpung di politik. Buahnya, dia mulai dikenal di kalangan elit politik daerah.


Dari sini dia terbawa arus, masuk ke lingkaran pergaulan para petinggi dan pejabat daerah. Kantor notaris dan PPAT Windrati mulai dikenal luas di kalangan mereka. Tidak sebatas di Tasik, tetapi juga dikenal sampai ke Ciamis, tetangga Tasik.
Windrati dilirik Bupati Ciamis yang mempercayakannya menangani proses pembebasan tanah yang akan digunakan oleh sebuah perusahaan pengembang. Nilai transaksi cukup besar sehingga bisa menutup masa sepi selama lima tahun.


Ketika karirnya mulai meretas, Windrati malahan menyimpan niat pindah ke Jakarta. Alasannya sepele saja, jenuh terus-terusan menetap di Tasik. Maka diapun mulai mengurus proses kepindahannya ke Jakarta. Sebelum pindah praktik, dia harus mendapatkan surat keputusan baru dari Menteri Kehakiman dan HAM. Surat itupun diperolehnya dalam tempo relatif singkat, meskipun dengan penuh pengorbanan. Windrati pindah ke Jakarta tahun 2002.


Di Jakarta, dia berkantor di Jalan Matraman Raya nomor 44. Di sini dia melihat banyak peluang untuk berkembang, juga untuk tergelincir. “Dunia notaris dan PPAT memang dekat dengan kebohongan dan penipuan. Banyak klien yang suka membohongi notaris. Ada juga notaris yang mau kompromi,” kata Windrati dalam wawancara dengan Tokoh Indonesia DotCom.


Yang sering terjadi, penipuan lewat pengubahan identitas, disesuaikan dengan sertifikat tanah yang ada. Misalnya ada orang yang mau jual beli tanah. Ternyata yang menghadap notaris, orang yang disuruh mengaku bernama A. Si A punya dokumen identitas lengkap. Notaris harus benar-benar meneliti, apakah dokumen itu sah atau palsu. Supaya tidak terkecoh, notaris harus meneliti sampai ke RT/RW, apakah betul dia bernama A.


Windrati acapkali mengalami hal seperti itu. Pernah, suatu hari dia menangkap sebuah kebohongan. Sertifikatnya fiktif, perjanjiannya fiktif. Bahkan ada yang terus terang, “Bu bagaimana kalau kita ajukan yang fiktif.” Tentu Windrati menolak tawaran seperti itu.


Windrati memiliki banyak klien asing, terutama para investor PMA. Mereka seringkali membuat akta PMA. Di Indonesia, minta izin hanya dikasih sekali setahun dan harus diperpanjang setiap tahun. Orang asing tidak mau repot. Agar lebih praktis, orang asing kadang-kadang membikin akta fiktif, maunya main di belakang layar, yang berperan di depan orang Indonesia. Dia mengangkat orang Indonesia sebagai figur untuk membuat akte perseroan terbatas (PT). Tetapi peraturan tidak melarang praktik seperti itu.


Di jajaran PPAT juga ada praktik yang menyimpang. Misalnya, seseorang mau melakukan transaksi jual beli tanah tanpa kehadiran istrinya. Padahal transaksi seperti itu akan batal demi hukum. Sebab bagi PPAT berlaku aturan main, para klien yang berkepentingan dengan jual beli harus suami-istri. Tidak bisa dilakukan sendirian, kecuali dia belum menikah.

Tidak Sebatas Slogan

Seorang notaris sebelum berpraktik harus disumpah, karena itu merupakan syarat mutlak. Lantaran sudah disumpah, Windrati tidak berani melanggarnya.


Dia tidak setuju jika sumpah jabatan hanya dianggap sebagai slogan, basa-basi dan bagian dari acara seremonial pelantikan seorang petinggi atau pejabat negara. Setelah itu dilupakan, diabaikan, bahkan dilecehkan. Dia berpendapat jika sumpah jabatan benar-benar dipatuhi, maka tidak akan ada KKN di kalangan petinggi dan pejabat negara.


Namun di dalam praktik sumpah itu tidak diresapi, tidak dipatuhi dan seringkali dilanggar. Meskipun secara terang benderang seorang petinggi atau pejabat berbuat yang melanggar sumpah jabatan, dia tidak dikenakan sanksi. Kebanyakan lolos dari tuntutan hukum. Atau kalau terjerat, berbagai cara ditempuh untuk meloloskannya dari jeratan hukum.


Kata Windrati, yang sangat menyedihkan, atasan tidak merasa berkewajiban mengambil tindakan terhadap bawahannya yang melakukan pelanggaran. Atasannya pura-pura tidak tahu, bahkan melindungi bawahannya. Tak salah jika ada anggapan bahwa pelanggaran sumpah jabatan terjadi secara berjenjang, dari bawah sampai ke atas. “Atau telah terjadi kolusi secara komunal antara atasan dan bawahan,” kata Windrati.


Kalaupun masyarakat merasa frustrasi, jengkel dan tidak sabar melihat kasus KKN yang merajalela, tak lain karena fenomena ini tidak pernah ditangani secara sistematis dan sungguh-sungguh. Windrati mengharapkan pemerintahan baru di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memutus mata rantai KKN.


Karena itu dia menyarankan suatu gerakan nasional agar para pejabat dan petinggi negara patuh dan takut pada sumpah yang telah diucapkannya. Sebab menurut ajaran agama apapun, siapa saja yang melanggar sumpah, dia berdosa dan menerima akibatnya, baik langsung maupun tidak langsung.
Kepatuhan terhadap sumpah jabatan, katanya, mesti ditanamkan kepada semua pejabat negara, dari tingkat paling bawah sampai paling atas. ►Sy


Perempuan dan Politik

Dunia politik bukan hanya dominasi kaum pria, tetapi juga lahan kaum perempuan. Fakta yang tak terbantahkan bahwa Indonesia pernah dipimpin oleh presiden perempuan, Megawati Soekarnoputri. Tadinya Windrati pernah terkooptasi oleh konotasi tidak sedap bahwa politik itu kotor. Begitu pindah ke Jakarta, Windrati menanggalkan baju partai (PDIP), memusatkan diri pada karirnya. Namun semakin dia ingin menjauhinya, semakin tergoda terjun ke dalamnya.

Kisah kembalinya Windrati ke panggung politik terjadi begitu saja. Suatu hari di bulan Maret 2004, dia menonton televisi, mengikuti polemik tentang posisi Menko Polkam Susilo Bambang yang terpojok. Mulai saat itu dia menaruh empati pada SBY, tokoh yang kemudian melejit menjadi orang nomor satu di negeri ini.


Windrati tidak salah pilih ketika mengambil posisi berpihak kepada SBY. Awalnya dia diangkat menjadi Ketua Task Force Pemenangan SBY-JK. Lantas ditunjuk sebagai Ketua DPD Barisan Muda Demokrat Jakarta, awal Juli 2004. Sejak itu, di tengah kesibukannya sebagai notaris, Windrati memimpin kampanye BMD dengan biaya sendiri bagi kemenangan SBY-JK. Pengorbanan Windrati agaknya tidak sia-sia.


Di tengah hiruk pikuk kemenangan SBY-JK, Windrati malah kembali ke basisnya semula, menata kembali kegiatan kantornya. Dia tidak ingin berlomba mendekati sang pemenang. Windrati tidak ingin berpolitik lantaran ada pamrih sesaat.


Windrati mendambakan tokoh perempuan Indonesia sekaliber the Iron Lady Margaret Tatcher dari Inggris atau mendiang Indira Gandhi dari India. Tokoh-tokoh perempuan Indonesia mutakhir masih berkutat pada diri mereka sendiri, melupakan kaumnya yang tengah merana akibat deraan kehidupan.
Padahal, kata Windrati, tokoh perempuan menyimpan potensi, jadi contoh di dalam memegang etika berpolitik. Perempuan masih memiliki rasa malu, rasa menjaga sopan santun berpolitik. “Saya pikir banyak perempuan yang lebih pandai dari pria,” kata Windrati sembari tertawa.


Cuma kendalanya, perempuan meskipun pandai masih suka cengeng, pemalu dan tidak mau menonjolkan diri. Padahal di dalam dunia politik diperlukan keberanian tampil ke depan, mengemukakan pendapat, bertindak pada tempat dan waktu yang tepat.


Sah-sah saja jika Windrati punya cita-cita, obsesi dan ambisi menjadi pemimpin perempuan. Namun secara jujur dia katakan, belum berpikir meraih target jangka panjang, masih sebatas untuk mendukung profesinya sebagai notaris.


Windrati sedang belajar mengelola sebuah organisasi yang berorientasi politik. Massa BMD berasal dari macam-macam latar belakang dan karakter, kemauannya bermacam-macam. Cara mereka meraih target politik juga bermacam-macam. Ada dinamika. Namun dia senang melihat dan menghadapi tantangan seperti itu. Karena ini memacunya memahami seni politik, seni memadu berbagai unsur yang berbeda.


Namun demikian Windrati tidak memungkiri, terjun ke politik tentu punya target dan tujuan, pasti ada yang ingin dicapai. Punya tujuan luhur sah-sah saja asalkan tidak menjadi politisi yang tidak bertanggung jawab.


Windrati, dengan wewenang yang ada padanya, ingin menjadi inspirator bagi kaumnya. Dia ingin menjadi mesin penggerak agar harkat dan martabat kaum perempuan terangkat. Katanya, perempuan bukan semata-mata jadi penghibur laki-laki atau buruh maupun pembantu di negeri orang.


Dia tidak sefaham dengan anggapan bahwa perempuan di belakang layar saja, di rumah saja. Menurut Windrati, perempuan bukan sekedar kembang dalam dunia politik. Mereka wajib memainkan perannya supaya mampu mengedepankan, menyalurkan dan mewujudkan aspirasi dan kehendak kaum perempuan. “Porsi perempuan dan pria sama di dalam politik,” kata Windrati.


Karena itu dia menerima tawaran menjadi pemimpin organisasi politik (BMD), supaya bisa menyampaikan buah pikiran, gagasan dan aspirasi politik. Dengan sendirinya dia bisa berharap bahwa buah pikirannya serta pendapatnya di dengar oleh para pemimpin di atas.


Perempuan kelahiran desa Srimartani Piungan, Yogya, 17 September 1958, ini merasa bangga jika bisa memberi kontribusi sebesar apapun bagi kemajuan perempuan dan bangsanya. ►Sy


*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)