Hj. Rr. Windrati Nur Asmoro Edi, SH, Spi
Meretas Karir Sambil Berpolitik
Perempuan darah biru ini tidak suka terpaku di belakang meja sepanjang
hari. Juga tidak mau diperintah. Karena itu, dia menentukan sendiri apa
yang harus dikerjakannya. Tadinya Windrati pernah terkooptasi oleh
konotasi tidak sedap bahwa politik itu kotor. Begitu pindah ke Jakarta,
Windrati menanggalkan baju partai (PDIP), memusatkan diri pada karirnya.
Namun semakin dia ingin menjauhinya, semakin tergoda terjun ke dalamnya.
Kenyataan pahit memaksa Windrati (46) mengambil jalan kompromi. Setamat
kuliah di Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, tahun 1980, Windrati
menggantungkan niatnya untuk masuk sekolah notaris. Dia putri kesayangan
ayahnya, lurah desa Srimartani, Piungan, Yogyakarta. Sang ayah tercinta
sakit-sakitan, kemudian meninggal tahun 1984.
Sebenarnya dia sudah melupakan keinginannya yang menggebu-gebu menjadi
notaris. Tetapi ketika bekerja di Bank Niaga Cabang Bandung (tahun 1985),
Windrati muda acapkali memperhatikan seorang notaris perempuan cantik yang
menjadi mitra kerja kantornya. Sekali waktu dia memergoki notaris itu
menerima fee Rp 10.000.000 dari banknya. Hatinya tergoda kembali untuk
menjadi notaris, meskipun saat itu sudah dipersunting oleh pimpinan bank
di mana dia jadi karyawati.
Lama Windrati memendam niatnya jadi notaris, karena harus mengikuti irama
kerja suaminya. Dia ingin jadi ibu rumah tangga dan segera punya anak.
Tetapi lama kelamaan jenuh juga tinggal di rumah terus. Lantas Windrati
mendaftar ke sekolah notaris, Universitas Pajajaran, Bandung, tahun 1988.
Secara ekonomis, rumah tangga pasangan Windrati tidak mengalami kekurangan,
bahkan berkelebihan. Karenanya dia kuliah santai saja. Menunggu kelahiran
bayinya, dia berhenti kuliah. Kuliahnya selesai dalam enam tahun. Lantas
berhenti melakukan aktivitas diluar karena harus merawat bayi, meskipun
dia mempekerjakan baby sitter.
Karena banyak waktu lowong, seorang temannya memberi saran supaya melamar
sebagai agen asuransi. Temannya melihat posisi Windrati sebagai istri
seorang dikretur bank yang punya banyak relasi, terutama pengusaha. Saran
itu dia terima.
Nasib baik sedang berpihak padanya. Akhirnya bukan dia yang melamar,
malahan beberapa perusahaan asuransi mengajukan tawaran. Windrati memilih
sebagai agen asuransi Niaga Life. Para calon nasabah dia hubungi lewat
telepon dari rumah, atau ketika mengikuti suaminya main golf.
Banyak transaksi yang dilakukan di lapangan golf. Jarang sekali calon
nasabah menolak tawarannya jadi peserta asuransi. Tak disangka bekerja
sambilan sebagai agen asuransi memberinya penghasilan yang cukup besar.
Setiap tahun dia mendapat penghargaan the top agent and the top premium
untuk seluruh Indonesia. Dia juga meraih penghargaan dari Dewan Asuransi
Indonesia (DAI) empat tahun berturut-turut.
Windrati memilih berhenti jadi agen asuransi lantaran diangkat menjadi
notaris tahun 1997. Surat keputusan pengangkatan dari Menteri Kehakiman
dan HAM berlaku sampai dia berusia 65 tahun. Sedangkan selaku pejabat
Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT), dia diangkat oleh Badan Pertanahan
Nasional (BPN).
Peraturan melarang notaris pemula membuka praktik di kota besar, seperti
Bandung. Karena itu, dia menerima penempatan di kota Tasik, tidak seberapa
jauh dari Bandung. Windrati bersama putranya yang masih kecil harus pindah
ke Tasik, sementara suaminya tetap di Bandung.
Meskipun berstatus pegawai negeri, notaris tidak digaji oleh negara dan
tidak mendapat tunjangan pensiun. Di tengah kondisi yang lebih banyak
dukanya, Windrati bertahan di Tasik selama lima tahun.
Berpraktik sebagai notaris di kota kecil menghadapi berbagai kendala.
Banyak warga masyarakat tidak memahami tugas notaris, lebih mempercayai
figur setempat untuk pengukuhan akte perjanjian jual-beli. Peluangnya
terkuak ketika terjun ke arena politik. Kebetulan seorang rekannya di PDIP
menawarkan jadi calon anggota DPRD. Karena itu dia mulai berkecimpung di
politik. Buahnya, dia mulai dikenal di kalangan elit politik daerah.
Dari sini dia terbawa arus, masuk ke lingkaran pergaulan para petinggi dan
pejabat daerah. Kantor notaris dan PPAT Windrati mulai dikenal luas di
kalangan mereka. Tidak sebatas di Tasik, tetapi juga dikenal sampai ke
Ciamis, tetangga Tasik.
Windrati dilirik Bupati Ciamis yang mempercayakannya menangani proses
pembebasan tanah yang akan digunakan oleh sebuah perusahaan pengembang.
Nilai transaksi cukup besar sehingga bisa menutup masa sepi selama lima
tahun.
Ketika karirnya mulai meretas, Windrati malahan menyimpan niat pindah ke
Jakarta. Alasannya sepele saja, jenuh terus-terusan menetap di Tasik. Maka
diapun mulai mengurus proses kepindahannya ke Jakarta. Sebelum pindah
praktik, dia harus mendapatkan surat keputusan baru dari Menteri Kehakiman
dan HAM. Surat itupun diperolehnya dalam tempo relatif singkat, meskipun
dengan penuh pengorbanan. Windrati pindah ke Jakarta tahun 2002.
Di Jakarta, dia berkantor di Jalan Matraman Raya nomor 44. Di sini dia
melihat banyak peluang untuk berkembang, juga untuk tergelincir. “Dunia
notaris dan PPAT memang dekat dengan kebohongan dan penipuan. Banyak klien
yang suka membohongi notaris. Ada juga notaris yang mau kompromi,” kata
Windrati dalam wawancara dengan Tokoh Indonesia DotCom.
Yang sering terjadi, penipuan lewat pengubahan identitas, disesuaikan
dengan sertifikat tanah yang ada. Misalnya ada orang yang mau jual beli
tanah. Ternyata yang menghadap notaris, orang yang disuruh mengaku bernama
A. Si A punya dokumen identitas lengkap. Notaris harus benar-benar
meneliti, apakah dokumen itu sah atau palsu. Supaya tidak terkecoh,
notaris harus meneliti sampai ke RT/RW, apakah betul dia bernama A.
Windrati acapkali mengalami hal seperti itu. Pernah, suatu hari dia
menangkap sebuah kebohongan. Sertifikatnya fiktif, perjanjiannya fiktif.
Bahkan ada yang terus terang, “Bu bagaimana kalau kita ajukan yang fiktif.”
Tentu Windrati menolak tawaran seperti itu.
Windrati memiliki banyak klien asing, terutama para investor PMA. Mereka
seringkali membuat akta PMA. Di Indonesia, minta izin hanya dikasih sekali
setahun dan harus diperpanjang setiap tahun. Orang asing tidak mau repot.
Agar lebih praktis, orang asing kadang-kadang membikin akta fiktif, maunya
main di belakang layar, yang berperan di depan orang Indonesia. Dia
mengangkat orang Indonesia sebagai figur untuk membuat akte perseroan
terbatas (PT). Tetapi peraturan tidak melarang praktik seperti itu.
Di jajaran PPAT juga ada praktik yang menyimpang. Misalnya, seseorang mau
melakukan transaksi jual beli tanah tanpa kehadiran istrinya. Padahal
transaksi seperti itu akan batal demi hukum. Sebab bagi PPAT berlaku
aturan main, para klien yang berkepentingan dengan jual beli harus
suami-istri. Tidak bisa dilakukan sendirian, kecuali dia belum menikah.
Tidak Sebatas Slogan
Seorang notaris sebelum berpraktik harus disumpah, karena itu merupakan
syarat mutlak. Lantaran sudah disumpah, Windrati tidak berani melanggarnya.
Dia tidak setuju jika sumpah jabatan hanya dianggap sebagai slogan,
basa-basi dan bagian dari acara seremonial pelantikan seorang petinggi
atau pejabat negara. Setelah itu dilupakan, diabaikan, bahkan dilecehkan.
Dia berpendapat jika sumpah jabatan benar-benar dipatuhi, maka tidak akan
ada KKN di kalangan petinggi dan pejabat negara.
Namun di dalam praktik sumpah itu tidak diresapi, tidak dipatuhi dan
seringkali dilanggar. Meskipun secara terang benderang seorang petinggi
atau pejabat berbuat yang melanggar sumpah jabatan, dia tidak dikenakan
sanksi. Kebanyakan lolos dari tuntutan hukum. Atau kalau terjerat,
berbagai cara ditempuh untuk meloloskannya dari jeratan hukum.
Kata Windrati, yang sangat menyedihkan, atasan tidak merasa berkewajiban
mengambil tindakan terhadap bawahannya yang melakukan pelanggaran.
Atasannya pura-pura tidak tahu, bahkan melindungi bawahannya. Tak salah
jika ada anggapan bahwa pelanggaran sumpah jabatan terjadi secara
berjenjang, dari bawah sampai ke atas. “Atau telah terjadi kolusi secara
komunal antara atasan dan bawahan,” kata Windrati.
Kalaupun masyarakat merasa frustrasi, jengkel dan tidak sabar melihat
kasus KKN yang merajalela, tak lain karena fenomena ini tidak pernah
ditangani secara sistematis dan sungguh-sungguh. Windrati mengharapkan
pemerintahan baru di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memutus mata
rantai KKN.
Karena itu dia menyarankan suatu gerakan nasional agar para pejabat dan
petinggi negara patuh dan takut pada sumpah yang telah diucapkannya. Sebab
menurut ajaran agama apapun, siapa saja yang melanggar sumpah, dia berdosa
dan menerima akibatnya, baik langsung maupun tidak langsung.
Kepatuhan terhadap sumpah jabatan, katanya, mesti ditanamkan kepada semua
pejabat negara, dari tingkat paling bawah sampai paling atas. ►Sy
Perempuan dan Politik
Dunia politik bukan hanya dominasi kaum pria, tetapi juga lahan kaum
perempuan. Fakta yang tak terbantahkan bahwa Indonesia pernah dipimpin
oleh presiden perempuan, Megawati Soekarnoputri. Tadinya Windrati pernah
terkooptasi oleh konotasi tidak sedap bahwa politik itu kotor. Begitu
pindah ke Jakarta, Windrati menanggalkan baju partai (PDIP), memusatkan
diri pada karirnya. Namun semakin dia ingin menjauhinya, semakin tergoda
terjun ke dalamnya.
Kisah kembalinya Windrati ke panggung politik terjadi begitu saja. Suatu
hari di bulan Maret 2004, dia menonton televisi, mengikuti polemik tentang
posisi Menko Polkam Susilo Bambang yang terpojok. Mulai saat itu dia
menaruh empati pada SBY, tokoh yang kemudian melejit menjadi orang nomor
satu di negeri ini.
Windrati tidak salah pilih ketika mengambil posisi berpihak kepada SBY.
Awalnya dia diangkat menjadi Ketua Task Force Pemenangan SBY-JK. Lantas
ditunjuk sebagai Ketua DPD Barisan Muda Demokrat Jakarta, awal Juli 2004.
Sejak itu, di tengah kesibukannya sebagai notaris, Windrati memimpin
kampanye BMD dengan biaya sendiri bagi kemenangan SBY-JK. Pengorbanan
Windrati agaknya tidak sia-sia.
Di tengah hiruk pikuk kemenangan SBY-JK, Windrati malah kembali ke
basisnya semula, menata kembali kegiatan kantornya. Dia tidak ingin
berlomba mendekati sang pemenang. Windrati tidak ingin berpolitik lantaran
ada pamrih sesaat.
Windrati mendambakan tokoh perempuan Indonesia sekaliber the Iron Lady
Margaret Tatcher dari Inggris atau mendiang Indira Gandhi dari India.
Tokoh-tokoh perempuan Indonesia mutakhir masih berkutat pada diri mereka
sendiri, melupakan kaumnya yang tengah merana akibat deraan kehidupan.
Padahal, kata Windrati, tokoh perempuan menyimpan potensi, jadi contoh di
dalam memegang etika berpolitik. Perempuan masih memiliki rasa malu, rasa
menjaga sopan santun berpolitik. “Saya pikir banyak perempuan yang lebih
pandai dari pria,” kata Windrati sembari tertawa.
Cuma kendalanya, perempuan meskipun pandai masih suka cengeng, pemalu dan
tidak mau menonjolkan diri. Padahal di dalam dunia politik diperlukan
keberanian tampil ke depan, mengemukakan pendapat, bertindak pada tempat
dan waktu yang tepat.
Sah-sah saja jika Windrati punya cita-cita, obsesi dan ambisi menjadi
pemimpin perempuan. Namun secara jujur dia katakan, belum berpikir meraih
target jangka panjang, masih sebatas untuk mendukung profesinya sebagai
notaris.
Windrati sedang belajar mengelola sebuah organisasi yang berorientasi
politik. Massa BMD berasal dari macam-macam latar belakang dan karakter,
kemauannya bermacam-macam. Cara mereka meraih target politik juga
bermacam-macam. Ada dinamika. Namun dia senang melihat dan menghadapi
tantangan seperti itu. Karena ini memacunya memahami seni politik, seni
memadu berbagai unsur yang berbeda.
Namun demikian Windrati tidak memungkiri, terjun ke politik tentu punya
target dan tujuan, pasti ada yang ingin dicapai. Punya tujuan luhur
sah-sah saja asalkan tidak menjadi politisi yang tidak bertanggung jawab.
Windrati, dengan wewenang yang ada padanya, ingin menjadi inspirator bagi
kaumnya. Dia ingin menjadi mesin penggerak agar harkat dan martabat kaum
perempuan terangkat. Katanya, perempuan bukan semata-mata jadi penghibur
laki-laki atau buruh maupun pembantu di negeri orang.
Dia tidak sefaham dengan anggapan bahwa perempuan di belakang layar saja,
di rumah saja. Menurut Windrati, perempuan bukan sekedar kembang dalam
dunia politik. Mereka wajib memainkan perannya supaya mampu mengedepankan,
menyalurkan dan mewujudkan aspirasi dan kehendak kaum perempuan. “Porsi
perempuan dan pria sama di dalam politik,” kata Windrati.
Karena itu dia menerima tawaran menjadi pemimpin organisasi politik (BMD),
supaya bisa menyampaikan buah pikiran, gagasan dan aspirasi politik.
Dengan sendirinya dia bisa berharap bahwa buah pikirannya serta
pendapatnya di dengar oleh para pemimpin di atas.
Perempuan kelahiran desa Srimartani Piungan, Yogya, 17 September 1958, ini merasa bangga jika bisa memberi
kontribusi sebesar apapun bagi kemajuan perempuan dan bangsanya. ►Sy
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia) |