|
C © updated 11122004 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
►e-ti/sctv |
|
|
Nama:
Harry Roesli
Nama Lengkap
Djauhar Zahrsyah Fachrudin Roesli
Lahir :
Bandung, 10 September 1951
Meninggal:
Jakarta, 11 Desember 2004
Agama :
Islam
Isteri:
Kania Perdani Handiman (Menikah 1981)
Anak:
Layala Khrisna Patria dan Lahami Khrisna Parana (Kembar, lahir
1982)
Ayah:
Mayjen (pur) Roeshan Roesli
Pendidikan:
= Jurusan Sipil ITB Bandung, sampai tingkat IV (1970-1975)
= Jurusan Komposisi LPKJ kini IKJ (1975-1977)
= Jurusan musik elektronik di Rotterdam Conservatorium, Negeri Belanda
(1977-1981)
Karir :
= Pemain musik dan Pencipta lagu
= Pendiri dan pemain grup musik ''Gang of Harry Roesli'' bersama Albert
Warnerin, Indra Rivai, dan Iwan A Rachman (1971-1975)
= Pendiri grup teater Ken Arok (1973-1977)
= Guru besar psikologi musik Universitas Pendidikan (UPI), Bandung dan
Universitas Pasundan, Bandung
= Pimpinan Depot Kreasi Seni Bandung (DKSB)
Karya:
= Musik Rumah Sakit (1979 di Bandung dan 1980 di Jakarta)
= Parenthese
= Musik Sikat Gigi (1982 di Jakarta)
= Opera Ikan Asin
= Opera Kecoa
Alamat Rumah :
Jalan W.R. Soepratman 57, Bandung
Sumber:
Berbagai sumber, di antaranya PDAT
|
|
|
|
|
|
|
Harry Roesli (1951-2004)
Doktor Musik Kontemporer
Profesor psikologi musik ini bukan musisi biasa. Dia melahirkan fenomena
budaya musik kontemporer yang berbeda, komunikatif dan konsisten
memancarkan kritik sosial. Doktor musik bernama lengkap Djauhar Zaharsyah
Fachrudin Roesli yang lebih dikenal dengan Harry Roesli dan dipanggil Kang
Harry, ini meninggal dunia Sabtu 11 Desember 2004, pukul 19.55 di RS
Harapan Kita Jakarta.
Musikus mbeling kelahiran Bandung, 10 September 1951 itu meninggal dunia
dalam usia 53 tahun setelah menjalani perawatan jantung di rumah sakit
tersebut sejak Jumat 3 Desember 2004. Kang Harry menderita serangan
jantung juga hipertensi dan diabetes. Jenazah disemayamkan di rumah
kakaknya, Ratwini Soemarso, Jl Besuki 10 Menteng, Jakarta Pusat dan
dimakamkan 12 Desember 2004 di pemakaman keluarga di Ciomas, Bogor, Jabar.
Cucu pujangga besar Marah Roesli ini meninggalkan seorang isteri Kania
Perdani Handiman dan dua anak kembar Layala Khrisna Patria dan Lahami
Khrisna Parana. Pemusik bertubuh tambun ini melahirkan fenomena budaya
musik populer yang tumbuh berbeda dengan sejumlah penggiat musik
kontemporer lainnya. Dia mampu secara kreatif melahirkan dan menyajikan
kesenian secara komunikatif. Karya- karyanya konsisten memunculkan kritik
sosial secara lugas dalam watak musik teater lenong.
Doktor musik alumni Rotterdam Conservatorium, Belanda (1981), ini
terbilang sangat sibuk. Selain tetap berkreasi melahirkan karya-karya
musik dan teater, juga aktif mengajar di Jurusan Seni Musik di beberapa
perguruan tinggi seperti Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung
dan Universitas Pasundan Bandung.
Seniman yang berpenampilan khas, berkumis, bercambang, berjanggut lebat,
berambut gondrong dan berpakaian serba hitam, ini juga aktif menulis di
berbagai media. Pria ini juga kerap bikin aransemen musik untuk teater,
sinetron dan film, di antaranya untuk kelompok Teater Mandiri dan Teater
Koma. Juga menjadi pembicara dalam seminar-seminar di berbagai kota di
Indonesia dan luar negeri.
Dan yang paling menyibukkan adalah aktivitas pemusik yang dikenal
berselera humor tinggi, ini adalah membina para seniman jalanan dan kaum
pemulung di Bandung lewat Depot Kreasi Seni Bandung (DKSB) yang
didirikannya. Bahkan pria bersahaja dan dermawan ini sering terlibat dalam
berbagai aksi dan advokasi ketidakadilan.
Putera bungsu Mayjen (pur) Roeshan Roesli dari empat bersaudara, ini
menjadikan rumahnya di Jl WR Supratman 57 Bandung, sekaligus markas DKSB.
Markas ini nyaris tak pernah sepi dari kegiatan para seniman jalanan dan
‘kaum tertindas’. Selain itu, dia juga kerap melahirkan karya-karya yang
sarat kritik sosial dan bahkan bernuansa pemberontakan terhadap kekuasaan
diktator dan korup. Maka tak heran bila kegiatannya di markas ini atau di
mana saja tak pernah lepas dari pengawasan aparat.
Saat bergulirnya reformasi Mei 1998 untuk menggulingkan rezim Soeharto,
Kang Harry bahkan berada ikut di barisan depan. Pada masa Orde Baru, tak
jarang pementasan musik dan teater keponakan mantan Presiden BJ Habibie,
ini dicekal aparat keamanan. Bahkan, setelah reformasi, saat pemerintahan
BJ Habibie, salah satu karyanya yang dikemas 24 jam nonstop juga nyaris
tidak bisa dipentaskan. Juga pada awal pemerintahan Megawati, dia sempat
diperiksa Polda Metro Jaya gara-gara memelesetkan lagu wajib Garuda
Pancasila.
Dia berbeda dari kakaknya (Ratwini, Utami, dan Rully) yang ketiga-tiganya
jadi dokter spesialis. Dari masa belia dia tidak bercita-cita jadi dokter
seperti ketiga kakaknya yang mengikuti jejak ibunya yang dokter spesialis
anak. Harry bercita-cita jadi insinyur. Dia pun sempat kuliah di Jurusan
Teknik Sipil ITB Bandung. Namun hanya sampai tingkat IV, karena dia merasa
lebih menjiwai musik.
Namun ayahnya, pada mulanya menyatakan tidak setuju. Salah satu alasan
ayahnya, karena anak-anak band itu tukang mabuk-mabukan. Tapi Harry
berpandangan lain. Begitu pula ibu dan ketiga kakaknya, mendukung Harry.
Bahkan, Sang Ibu memberi pengertian kepada Sang Ayah: "Biarkan Harry jadi
dokter musik." Akhirnya ayahnya pun mengizinkan, asal tak dikomersialkan.
Pernyataan Sang Ibu itu memberi dorongan semangat tersendiri bagi Harry.
Dia pun belajar dan berkarya dengan sungguh-sungguh dan kreatif. Sampai
dia benar-benar menjadi doktor musik dari Rotterdam Conservatorium,
selesai 1981. Dia juga aktif di Departemen Musik Institut Kesenian Jakarta
(IKJ).
Begitu pula syarat yang dinyatakan Sang Ayah, jangan komersial, memandu
kreativitasnya melahirkan karya-karya musik dan teater yang eksperimental.
Karya musik dan teater yang tak akrab komersial alias tak laku dijual,
tapi terkenal dan menjadi bahan kajian di berbagai universitas mancanegara,
seperti di Jepang, Eropa dan Amerika.
Profesor psikologi musik ini bukan musisi biasa. Kehidupan yang
sesunguhnya baginya adalah seni musik. Kehidupannya adalah kegiatan musik,
mulai dari perkusi, band, rekaman musik, dan lain-lain. Dalam bermain
musik, dia pun memakai peralatan yang unik. Seperti gitar, drum, gong,
botol, kaleng rombeng, pecahan beling dan kliningan kecil.
Pada awal 1970-an, namanya sudah mulai melambung. Saat membentuk kelompok
musik Gang of Harry Roesli bersama Albert Warnerin, Indra Rivai dan Iwan A
Rachman. Lima tahun kemudian (1975) kelompok musik ini bubar karena para
pemainnya menikah dan Harry sendiri belajar ke Belanda.
Di tengah kesibukannya bermain band, dia pun mendirikan kelompok teater
Ken Arok 1973. Setelah melakukan beberapa kali pementasan, antara lain,
Opera Ken Arok di TIM Jakarta pada Agustus 1975, grup teater ini bubar,
karena Harry mendapat beasiswa dari Ministerie Cultuur, Recreatie en
Maatschapelijk Werk (CRM), belajar ke Rotterdam Conservatorium, Negeri
Belanda.
Selama belajar di negeri kincir angin itu, Harry juga aktif bermain piano
di restoran-restoran Indonesia dan main band dengan anak-anak keturunan
Ambon di sana. Selain untuk menyalurkan talenta musiknya sekaligus untuk
memenuhi kebutuhan sehari-harinya yang tidak mencukupi dari beasiswa.
Suatu ketika cucu pengarang roman Siti Nurbaya, Marah Roesli, ini pulang
liburan. Dia pun memanfaatkan kesempatan itu untuk menikah dengan
kekasihnya, Kania Perdani Handiman, yang kemudian diboyongnya ke Balanda.
Pernikahan itu, melahirkan buah hati anak lelaki kembar pada 1982.
Sekembalinya ke tanah air, sejak tahun 1983, dia menggarap musik untuk
hampir semua produksi Teater Mandiri dan Teater Koma sejak produksinya
bertajuk Opera Ikan Asin. ►e-ti/tsl
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia) |
|