|
C © updated
9032005 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
► e-ti/rpr |
|
|
Nama:
Susi Susanti
Lahir:
Tasikmalaya, Jawa Barat, 11 Februari 1971
Menikah:
9 Februari 1997
Suami:
Alan Budikusuma
Anak:
- Lourencia Averina (1999)
- Albertus Edward (2000)
- Sebastianus Frederick (2003)
Prestasi:
- Hall of Fame dari International Badminton Federation (IBF), Mei 2004
- Herbert Scheele Trophy, 2002
- Juara All England (1990, 1991, 1993, 1994)
- Juara dunia (1993)
- Juara Seri Grand Prix di Bali, 1990
- Tiga kali juara di Jepang Terbuka
- Juara Olimpiade Barcelona 1992
- Juara berbagai kejuaraan seri grand prix dan Piala Dunia
|
|
|
|
|
|
|
Susi Susanti
Peraih Emas Pertama Olimpiade
Masa keemasannya yang berlangsung cukup panjang, berpuncak pada juara
tunggal putri bulutangkis Olimpiade Barcelona, Spanyol (1992). Dia
peraih emas pertama Indonesia di Olimpiade. Ketika itu Alan, pacarnya,
juga juara di tunggal putra sehingga media asing menjuluki mereka
sebagai "Pengantin Olimpiade". Predikat pengantin ini rupanya terus
melekat, terbukti saat mereka dipercaya menjadi pembawa obor Olimpiade
Athena 2004.
Prestasi yang mengharumkan nama bangsa juga diukir oleh Susi dengan meraih
sederetan kejuaraan. Dia menjuarai All England empat kali (1990, 1991,
1993, 1994). Sang juara yang punya semangat pantang menyerah ini selalu
menjadi ujung tombak tim Piala Sudirman dan Piala Uber. Juga juara dunia
(1993) dan puluhan gelar seri grand prix.
Kiprah Susi Susanti di dunia olahraga bulutangkis Indonesia memang luar
biasa. Dalam setiap pertandingan, ia menunjukkan sikap tenang bahkan
terlihat tanpa emosi di saat-saat angka penentuan. Semangatnya yang
pantang menyerah meski angkanya tertinggal jauh dari lawan membuat
banyak pendukungnya menaruh percaya bahwa Susi pasti menang.
Berkat kegigihan dan ketekunannya, perempuan kelahiran Tasikmalaya, Jawa
Barat, 11 Februari 1971 ini turut menyumbang sukses tahun 1989 ketika
Piala Sudirman direbut tim Indonesia untuk pertama kalinya dan sampai
sekarang belum lagi berulang. Dia pun turut menorehkan sukses saat
merebut Piala Uber tahun 1994 dan 1996 setelah piala itu absen lama dari
Indonesia.
Semenjak SD, Susi sudah suka bermain bulutangkis. Kebetulan orang tuanya
juga sangat mendukung dan memberinya kebebasan untuk menjadi atlit
bulutangkis. Setelah menang kejuaraan junior, ia pindah dari Tasikmalaya
ke Jakarta. Meski saat itu ia masih duduk di bangku 2 SMP, ia sudah
mulai berpikir untuk serius di dunia bulutangkis.
Kegiatan Susi berbeda dengan remaja lain karena ia tinggal di asrama dan
bersekolah di sekolah khusus untuk atlit. Ia mengaku menjadi kuper
karena hanya berteman dengan sesama atlit. Bahkan pacaran pun dengan
atlit.
Sebagai atlit, jadwal latihannya sangat padat. Enam hari dalam seminggu,
Senin - Sabtu dari jam 7 sampai jam 11 pagi, lalu disambung lagi jam 3
sore sampai jam 7 malam. Makan, jam tidur, dan pakaian juga ada
aturannya tersendiri. Ia tidak diperbolehkan memakai sepatu dengan hak
tinggi agar kakinya terhindar dari kemungkinan keseleo. Jalan-jalan ke
mal pun hanya bisa dilakukannya pada hari Minggu. Itu pun jarang karena
ia sudah terlalu capek latihan.
Memang tidak ada pilihan lain, ia harus disiplin dan berkonsentrasi
untuk menjadi juara. Ia akhirnya menyadari bahwa untuk meraih prestasi
memang perlu perjuangan dan pengorbanan. “Kalau mau santai dan
senang-senang terus, mana mungkin cita-cita saya untuk jadi juara
bulutangkis tercapai? Sekarang rasanya puas banget melihat pengorbanan
saya ada hasilnya. Ternyata benar juga kata pepatah: Bersakit-sakit
dahulu, bersenang-senang kemudian,” kata Susi mengenang.
Ketika masih menjadi pemain, Susi berusaha menjadikan dirinya sebagai
contoh bagi para pemain lainnya. Ia sangat berdisiplin dengan waktu saat
berlatih atau di luar latihan. Sementara di lapangan ia memperlihatkan
semangat pantang menyerah sebelum pertandingan berakhir. "Saya hanya
berharap teman-teman pemain mengikuti yang baik-baik dari saya," kata
Susi.
Nyatanya, cara ini tidak melulu berhasil. Sepeninggal Susi (dan Mia
Audina), sektor putri bulutangkis Indonesia mandek. Piala Uber semakin
jauh dan puncaknya, tidak satu pun pemain tunggal puteri Indonesia lolos
ke Olimpiade Athena 2004.
Susi yang telah mundur mengakui merosotnya prestasi karena memang
kekurangan bibit pemain unggul. "Kita bisa saja memberi prasayarat pemain
untuk berhasil, tetapi kalau bibitnya tidak ada bagaimana?" Susi melihat
popularitas bulutangkis semakin merosot sementara proses seleksi melalui
kejuaraan antarklub dan daerah semakin sedikit.
Merasa Sedih
Susi merasa sedih karena olahraga bulutangkis tidak lagi dipandang
antusias oleh masyarakat. Ia mengingat betapa antusiasnya masyarakat
menyambut kejuaraan bulutangkis seperti All England. Susi melihat hal ini
disebabkan karena perhatian anak-anak muda masa kini lebih ke hiburan.
Belum lagi maraknya kasus penyalahgunaan obat terlarang, seperti shabu dan
narkotika.
Masyarakat juga lebih banyak membaca, mendengar, atau menyaksikan
berita-berita kekalahan pebulutangkis Indonesia lewat media massa. Itu
tentu berbeda dengan era Tan Joe Hok cs, Liem Swie King, hingga Ardy B
Wiranata cs yang banjir mahkota juara.
Keadaan semakin rumit karena orang takut serius terjun di dunia olahraga
Indonesia karena tidak jelasnya jaminan akan masa depan. Susi sendiri
sudah berniat tidak akan mengijinkan anaknya terjun ke dunia olahraga
mengingat pengalamannya dulu. Ia melihat banyak rekannya yang pernah
menjadi juara SEA Games, Asian Games, namun hidupnya terkatung-katung.
Selain itu, menjadi atlet olahraga membutuhkan banyak resiko misalnya
sekolah yang terhenti, padahal olahraga yang ditekuni tidak mendapat
perhatian dan dukungan dari pemerintah. Susi sendiri terpaksa
mengorbankan sekolah (hanya sampai SMA). Ia pun menghadapi banyak
halangan sebab ada pihak-pihak dari organisasi yang tidak menyukainya.
Meski ia berprestasi namun kemudian berhenti, dari situlah ia mendapat
pengalaman bahwa bulutangkis belum bisa menjamin masa depannya.
Ia berharap bagi para atet berprestasi yang sudah tidak bermain diberikan
dana pensiun yang memadai. Ia khawatir kalau persoalan masa depan atlet
belum terpecahkan atau tidak ada jaminan dari pemerintah, bibit-bibit
potensial atlet akan sulit ditemukan karena mereka akan memilih jalur
pendidikan. "Saya harap PBSI dan KONI memerhatikan persoalan ini. Kalau
ini dibiarkan terus, hasilnya akan seperti sekarang ini," ujarnya.
Ia menyesalkan masalah pembinaan yang membuat olahraga semakin terpuruk.
Selama ini, hanya kesadaran dari keluarga masing-masing yang ingin
anaknya menjadi pemain bukan karena pemerintah ingin memajukan olahraga.
Pemerintah dan PBSI hanya menunggu, bukan membina dari daerah, memantau,
mencari yang berbakat, baru diambil. Mereka hanya terima jadi saja. Ia
beranggapan, semua orangtua saat ini akan seratus kali berpikir untuk
membiarkan anaknya menjadi atlet.
Susi mengaku mempunyai pengalaman yang mengecewakan terutama dalam
organisasi. Ketika ia dan Alan berprestasi, ada pihak-pihak tertentu
yang tidak senang. Mereka berusaha membagi bonus kepada Susi dan Alan
dengan asumsi mereka berdua dianggap satu orang. Hal ini menunjukkan
sikap tidak profesional pemerintah maupun PBSI yang mempunyai
kepentingan-kepentingan tertentu.
Dari segi organisasi internal, Susi berharap agar orang-orang yang
terlibat di PBSI (Persatuan Bulutangkis seluruh Indonesia) adalah orang
yang benar-benar ingin memajukan perbulutangkisan, bukan untuk kepentingan
pribadi.
Melihat keadaan dunia olahraga yang belum menjanjikan bagi para atlit,
Susi belajar dari pengalaman kakak-kakak seniornya. Susi belajar me-manage
keuangannya. Saat ia meraih berbagai prestasi dan hadiah seperti bonus, ia
usahakan untuk diinvestasikan ke dalam bentuk tanah, rumah atau tabungan.
Ia tahu bahwa prestasi olahragawan itu singkat dan tidak selamanya berada
di atas.
Kedua orang tuanya pun sering berpesan agar ia tidak sombong
dan hidup sederhana. Susi juga banyak mendapat masukan dari Ir. Ciputra,
seorang pengusaha sukses yang dulu merupakan pimpinannya di Klub
Bulutangkis Jaya Raya, agar mempergunakan waktu sebaik mungkin dan giat
berprestasi sebisa mungkin.
Mulai dari Nol
Ketika berhenti dari dunia bulutangkis, Susi harus memulai dari nol
lagi. Meski ada modal dari pendapatan saat aktif di bulutangkis, Susi
masih harus belajar dan bersabar mencari usaha apa yang akan ia
jalankan. Suaminya, Alan Budikusuma, berulang kali mencoba berbagai
jalan untuk menghidupi keluarga mulai dari jual beli mobil, dibantu
menjadi rekanan di sebuah instansi, belajar menjadi agen Gozen (alat
olahraga bikinan Malaysia) dan menjadi pelatih di Pelatnas. Itu semua
menjadi bukti bahwa bahwa setelah tidak berprestasi, mereka berdua harus
memulai lagi dari nol.
Untunglah, Susi dan Alan mendapat dukungan dari orang-orang yang
terdekatnya. Sedikit demi sedikit mereka belajar menimba pengalaman dan
pengetahuan. Baru sekitar satu setengah tahun, mereka bisa berdiri sendiri
dan mempunyai keyakinan membuat usaha sendiri.
Sebagai ibu rumah tangga yang mengasuh tiga orang anak, anak pertama
perempuan bernama Lourencia Averina, sedangkan yang kedua dan ketiga
adalah lelaki; Albertus Edward dan Sebastianus Frederick, Susi juga
ingin ikut membantu keluarga. Bila anak-anaknya sekolah, ia ingin
mempunyai kesibukan tetapi tidak menyita waktu untuk keluarga.
Oleh karena itu, ia membuka toko di ITC Mega Grosir Cempaka Mas dengan
nama D&V dari nama kedua anaknya, Edward dan Verin. Ia menjual baju-baju
dari Cina, Hongkong, dan Korea, dan sebagian produk lokal.
Sebagai mantan atlit bulutangkis, peraih penghargaan tertinggi
bulutangkis dari International Badminton Federation (IBF) ‘Hall of Fame’
2004 ini tetap peduli dengan dunia yang pernah membesarkannya ini.
Bersama suaminya, Alan Budi Kusuma - peraih medali emas Olimpiade 1992
pula - ia mendirikan Olympic Badminton Hall di Kelapa Gading. Di gedung
pusat pelatihan bulutangkis ini, Susi berharap akan muncul bibit pemain
yang akan mengembalikan kejayaan bulutangkis Indonesia.
Selain itu, pada pertengahan tahun 2002, Susi dan Alan membuat raket
dengan merek sendiri yaitu Astec, Alan-Susi Technology. Meski pabriknya
ada di Taiwan, tetapi senar yang digunakan adalah senar Jepang. Cara
pembuatan dan sebagainya, dikontrol oleh mereka sendiri. Pada awalnya
mereka mencoba produknya ke teman-teman mereka untuk mencari tahu produk
mana yang paling bisa diterima. Baru setelah itu, produk dipasarkan.
erlupakan bagi Susi adalah saat ia berhasil menyumbangkan emas Olimpiade
yang pertama bagi Indonesia di Barcelona (Olimpiade Barcelona 1992)
bersama Alan Budikusuma yang juga mendapatkan emas. Sedangkan yang paling
mengesalkan baginya adalah saat ia kalah hanya satu poin dari Sarwendah
(Kusumawardhani) di final Piala Dunia di Jakarta.
Kini pasangan yang menikah pada 9 Februari 1997 ini tinggal di rumah
mereka nan tenang di Gading Kirana Timur I Blok B2 No. 28, Komplek Gading
Kirana, Jakarta Utara. Di komplek perumahan ini Susi dan Alan masih rutin
main bulutangkis. ► e-ti/atur
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia) |
|