|
C © updated
27122003 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
► e-ti/tempo |
|
|
Nama :
Letjen TNI (Purn) Syarwan Hamid
Lahir :
Siak, Riau, 10 November 1943
Agama :
Islam
Isteri:
Endang Agustini
Anak:
3 (tiga)
Pendidikan :
- Akademi Militer Nasional (AMN), lulus 1966
- Sekolah Staf dan Komando ABRI
- Seskoad
- Lemhanas
Karier :
- Kasrem 063/SGJ (1985)
- Kapendam III/Siliwangi (1986)
- Pardor Sarli Dispenad (1988)
- Asisten Teritorial Kodam Jaya (1989)
- Danrem 011/Lilawangsa, Aceh (1990)
- Kadispen TNI Angkatan Darat (1992)
- Kapuspen TNI (1993)
- Assospol Kassospol ABRI (1995)
- Kassospol ABRI (1996)
- Wakil Ketua DPR/MPR (1997)
- Menteri Dalam Negeri (1998-1999) |
|
|
|
|
|
|
Syarwan Hamid
Dari Riau Menjabat Mendagri
Ia seorang perwira tinggi yang termasuk sukses. Saat terjadinya
Peristiwa 27 Juli, Alumnus Akademi Militer Nasional 1966, ini menjabat
Kepala Staf Sosial Politik (Kassospol) ABRI, suatu jabatan politik
militer yang amat berkuasa pada era itu. Namun tumbangnya Orde Baru
tidak serta-merta membuat karirnya terhenti. Bahkan pada awal reformasi,
pria kelahiran Siak, Riau, 10 November 1943, ini sempat menjabat Menteri
Dalam Negeri (1998-1999).
Ia putera Riau yang mencapai puncak karir sebagai Menteri Dalam Negeri.
Suatu jabatan strategis yang sebelumnya hanya diberikan kepada
orang-orang tertentu. Tetapi Syarwan memecah dominasi orang-orang
tertentu itu. Memang, bukan kali ini saja ia memecah ‘tradisi buruk’
seperti itu. Ketika ia menjabat Kapuspen ABRI dengan pangkat bintang
satu (brigadir jenderal) pada tahun 1993-1995, orang mengira itu
merupakan jabatan terakhirnya. Sebab sangat jarang terjadi seorang
perwira yang memegang jabatan juru penerang militer itu naik ke
jabatan-jabatan strategis lainnya. Tetapi, ‘tradisi buruk’ itu tidak
berlaku bagi Syarwan.
Ia berhasil menunjukkan siapa dirinya pada saat menjabat Kapuspen ABRI
itu. Sehingga ia dipromosi menjadi Asisten Sosial Politik Kepala Staf
Sosial Politik ABRI dengan pangkat Major Jenderal (bintang dua). Bahkan
satu tahun kemudian, penggemar fotografi yang memiliki koleksi puluhan
kamera, ini diangkat menjadi Kepala Staf Sosial Politik (Kassospol) ABRI,
suatu jabatan politik militer yang amat berkuasa pada era itu.
Pangkatnya pun naik menjadi letnan jenderal (bintang tiga). Dialah orang
pertama lulusan AMN 1966 yang mendapat pangkat letnan jenderal.
Kemudian, pada 1997, ia dikaryakan menjadi Wakil Ketua DPR/MPR mewakili
ABRI. Ketika reformasi bergulir, dan Soeharto jatuh, karirnya masih
menanjak. BJ Habibie menunjuknya menjadi Menteri Dalam Negeri. Barulah
setelah Habibie jatuh pada Sidang Umum MPR 1999 (pertanggungjawabannya
ditolak SU-MPR), Syarwan pun ikut turun gelanggang. Kemudian ia sempat
mencoba bangkit dengan cara memperjuangkan aspirasi masyarakat Riau. Ia
malah salah seorang yang setuju dengan gagasan negara federal. "Hubungan
pusat daerah harus diperbaiki. Bentuk negara paling berhasil adalah
negara federal," katanya ketika itu. Suatu pernyataan yang bertolak
belakang dengan prinsip militer.
Suami dari Endang Agustini, ini meniti karir di militer selepas lulus
Akademi Militer Nasional (AMN) tahun 1966. Ia juga telah mengasah diri
melalui Sekolah Staf dan Komando ABRI , Seskoad dan Lemhanas.
Ia menjabat Kasrem 063/SGJ (1985). Kemudian dipercaya menjabat Kapendam
III/Siliwangi (1986), Pardor Sarli Dispenad (1988) dan Asisten
Teritorial Kodam Jaya (1989). Setelah itu ia ditugasi menjadi Danrem
011/Lilawangsa, Aceh (1990). Saat menjabat Komandan Korem Lilawangsa,
Lhokseumawe, Aceh, ini ia dianggap berhasil meredam pemberontakan
Gerakan Aceh Merdeka terhadap NKRI. Bintangnya pun bercahaya untuk masuk
ke jajaran perwira tinggi. Ia pun diangkat menjabat Kadispen TNI
Angkatan Darat (1992) dengan pangkat brigadir jenderal (bintang satu).
Tak lama kemudian menjadi Kapuspen TNI (1993), Assospol Kassospol ABRI
(1995) sampai menjabat Kassospol ABRI (1996) dengan pangkat letnan
jederal.
Saat ia menjabat Kassospol ABRI itu terjadi Peristiwa 27 Juli 1996. Ia pun
diduga terlibat dalam kasus itu dan yang melatarbelakangi tragedi itu. Pada 27
Juli 1996 itu terjadi penyerbuan berdarah ke kantor DPP PDI di Jalan
Diponegoro Jakarta, sebagai bagian dari upaya kekerasan menggulingkan
Megawati Sukarnoputri dari posisi Ketua Umum DPP PDI.
Ketika itu pemerintah menyelenggarakan Kongres PDI (Partai Demokrasi
Indonesia) di Medan untuk mengganti Megawati dengan Soerjadi. Syarwan
membantah, ide penggulingan itu dari dirinya. Menurutnya, Mendagri
Yogie S. Memed selaku pembina politik yang menyarankan agar diadakan kongres untuk
menyelesaikan konflik dalam tubuh PDI. Ia juga membantah terlibat dalam
kasus berdarah 27 Juli 1966 itu.
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
|
|