|
C © updated 14092007-10102004 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
►e-ti/dpr |
|
|
Nama:
Zaenal Ma’arif
Lahir:
Solo, 14 September 1955
Agama:
Islam
Pendidikan:
Alumnus UGM
Karir/Organisasi:
= Ketua biro hukum DPC PPP Solo
= Sekretaris DPC PPP Solo
= Wakil ketua DPW PPP Jawa Tengah
= Ketua Panwaslu pada 1997
= Wakil Ketua DPRD II Surakarta 1997-1999
= Ketua PPD II Surakarta Pemilu 1999
= Partai Bintang Reformasi (PBR)
= Anggota DPR dari daerah pemilihan Sumut I
= Ketua Fraksi PBR DPR-RI
= Wakil Ketua DPR-RI 2004-2007
Sumber:
Nur Budi H, Indo Pos, Minggu, 10 Okt 2004 |
|
|
|
|
|
|
Zaenal Ma’arif
Melesat Bak Meteor
Karir
politik Zaenal Ma’arif melesat bak meteor. Kali pertama menikmati
empuknya kursi DPR RI, dia langsung duduk di kursi wakil ketua DPR
(2004-2009).
Kemudian, pria kelahiran 14 September 1955, itu direcall DPP PBR dari
keanggotaan DPR karena dililai membangkang kepada partai. Recall itu
memaksanya melepas jabatan Wakil Ketua DPR, Juli 2007.
Riwayat organisasi yang dilakoninya
boleh dibilang lebih banyak berkutat di daerah. Kecuali, menjadi wakil
ketua Panwaslu pada 1997. Zaenal Ma’arif sebelumnya "hanya" pernah
mencicipi kursi legislatif sebagai wakil ketua DPRD II Surakarta. Aktivitas politiknya dimulai ketika Zaenal menjadi ketua biro hukum DPC
PPP Solo. Karirnya kemudian naik menjadi sekretaris DPC PPP Solo, dan
selanjutnya menjadi wakil ketua DPW PPP Jawa Tengah. Namun, dia gagal
memperoleh kursi legislatif di Jawa Tengah saat Pemilu 1999.
Ketika terjadi gonjang-ganjing perpecahan di tubuh PPP pada 2003, Zaenal
banting setir ikut bergabung menentang kepemimpinan Hamzah Haz sebagai
ketua umum partai berlambang ka’bah itu. Dia kemudian bergabung dengan
beberapa temannya membentuk Partai Bintang Reformasi (PBR) pimpinan dai
kondang Zainuddin M.Z.
Nah, keberadaannya di PBR ternyata membawa hoki. Ketika berlangsung pemilu
5 April 2004, Zaenal terpilih menjadi anggota DPR dari daerah pemilihan
Sumut I.
Yang lebih tak menyangka lagi, begitu menjadi anggota DPR, Zaenal langsung
menjadi wakil ketua DPR. Alumnus UGM itu menjadi pimpinan DPR bersama
dengan Agung Laksono (FPG), Soetarjo Soerjogoeritno (FPDIP), serta
Muhaimin Iskandar (FKB). Padahal, dia hanya berasal dari partai kecil,
yang memperoleh 14 kursi di parlemen.
"Jadi, saya ya tak menyangka. Ini benar-benar di luar dugaan dan
benar-benar takdir," ucap Zaenal ketika kali pertama bersama pimpinan DPR
berkonsultasi dengan Setjen MPR kemarin.
Zaenal menyadari, ketika masuk ke Senayan sebagai anggota DPR, dirinya
hanya dari sebuah partai yang kecil. Karena itu, sejak awal, Zaenal
mengambil sikap tahu diri untuk tak memajukan kadernya sebagai pimpinan
DPR. Bahkan, diakomodasi untuk menjadi sebuah fraksi tersendiri pun sudah
cukup.
Bintang keberuntungan itu diterima Zaenal ketika PPP "keluar" dari Koalisi
Kebangsaan dan mencalonkan kadernya sebagai ketua DPR. Ketua Umum Partai
Golkar Akbar Tandjung selaku koordinator Koalisi Kebangsaan agak kalang
kabut. Sejam sebelum pemilihan pimpinan DPR, Akbar menghubunginya. Zaenal
yang saat itu menjadi ketua fraksi PBR ditawari menjadi calon wakil ketua
DPR bersama calon yang lain dari Koalisi Kebangsaan. "Saya sempat tak
percaya," ceritanya.
Zaenal juga seolah masih tak percaya, dia menjadi pimpinan DPR. Karena itu,
Zaenal terlihat canggung saat memasuki ruang-ruang yang ada di gedung
Nusantara III, tempat pimpinan DPR berkantor. "Nanti, Bapak menempati
ruangan bekas ruang Pak Fatwa," terang seorang staf Setjen DPR. Staf itu
kemudian mengantarkan Zaenal melihat ruang kerja yang sudah bersih dan
masih kosong melompong itu.
Secara terus terang, Zaenal mengaku, dirinya belum memahami ruangan dan
para staf DPR yang akan membantunya. Dia masih canggung mengenal
seluk-beluk DPR. Bahkan, sebagai pimpinan DPR yang baru, Zaenal masih
harus melakukan orientasi dan pembelajaran terlebih dahulu.
"Saya perlu waktu lima minggu terlebih dahulu untuk proses penyesuaian
diri," kata Zaenal terus terang.
Kecanggungan Zaenal itu sangat kentara ketika melakukan rapat konsultasi
dengan Setjen DPR kali pertama. Setelah rapat, dia minta ditunjukkan
ruangan dan apa saja yang perlu dipersiapkan. *** Indo Pos 31
Oktober 2004: Hidup Nomaden, Jelang Dilantik pun Masih Numpang
Di antara empat pemimpin DPR, Zaenal Ma’arif adalah yang paling fenomenal.
Selain warna kehidupannya penuh kelokan memilukan, lompatan karir wong
Solo ini bak meteor.
PERKENALANNYA dengan Jakarta dimulai pada 1983. Saat itu, lulusan FH UGM
tersebut menjadi salah seorang tim pengacara Presiden NII H Adah Djaelani
yang sedang diadili rezim Orde Baru. Sebagai anak muda, dia menapaki ibu
kota dengan penuh idealisme.
"Sebagai pengacara, tapi ke mana-mana saya naik bus kota," ucapnya. Ongkos
transportasi itu pun hasil pemberian seniornya, Adnan Buyung Nasution dan
kawan-kawan. Sebagai pengacara kasus NII, Buyung dkk tidak dapat bayaran
dari klien. Justru mereka dibayar negara Rp 100 ribu.
"Bayaran dari negara itu oleh Bang Buyung dikasihkan ke saya," kenangnya.
Pada zaman itu, uang segitu terasa besar sekali nilainya. "Ya, cukup untuk
ongkos bus kota dan makan beberapa bulan," ucapnya. Uang itu juga dipakai
untuk ongkos pulang kampung ke Solo.
Bagaimana dengan penginapan? Yang satu ini, hingga jadi wakil ketua DPR
pun, Zaenal Ma’arif masih nomaden. Dia berpindah dari satu tempat ke
tempat lain. "Rumah dan keluarga saya tetap di Solo," katanya. Tercatat,
setidaknya, delapan tempat tinggal sempat dia diami. Semuanya adalah di
rumah orang lain, paling banter kediaman keponakan.
Rumah yang masih ditempati kemarin adalah milik rekannya, seorang tokoh
Riau. Sejak dilantik sebagai anggota DPR, lelaki kelahiran Solo, 14
September 1955 itu menempati rumah di Jl Kerinci VIII No 14, Kampung
Gunung, Kebayoran Baru, Jaksel. "Saya disuruh menempati rumah teman saya,
ketua DPW PBR Riau," katanya.
Dari rumah ’pinjaman’ itu, dia siap-siap lagi pindah ke daerah Kemanggisan,
Jakbar. Rencananya, dia akan menempati sebuah rumah dinas milik DPR. Tapi,
sifatnya sementara sebelum resmi memasuki rumah dinas jabatan lembaga
tinggi negara di Jl Denpasar, Kuningan, Jaksel, awal Desember mendatang.
"Ya, begitulah risiko seorang nomaden," katanya. Masalah tempat tinggal
adalah yang paling krusial baginya. Namun, dia tidak pernah merasa susah.
Sebab, di mana pun dia bisa tinggal. "Terkadang saya nginap di hotel ikut
teman. Kadang ada teman separtai yang kebetulan ke Jakarta. Saya bisa
nebeng," ceritanya bersemangat. "Kadang juga nginap di teman wartawan,"
tambahnya lagi. Kebiasaannya itu dia lakukan hingga setahun belakangan.
Sebenarnya, beberapa saat dia sempat mondok di rumah keponakannya di
bilangan Tebet, Jaksel. Dia menumpang di saudaranya itu hingga beberapa
hari sebelum pelantikan anggota DPR. Belakangan, dia memutuskan pindah
dari sana karena rumah keponakannya itu sedang direnovasi. "Kalau dihitung,
setidaknya, delapan kali saya nomaden di Jakarta."
Rumah yang definitif adalah tetap di Solo yang ditempati istri bersama
tiga putranya, yaitu Iqbal Albana, 20; Faisal Dwi Purnomo, 17; dan Ahmad
Hakim Pasarella, 13. "Jadi, selama berkiprah di Jakarta, saya ini bujangan,"
katanya sembari tersenyum. Istrinya hanya sesekali saja ke Jakarta ketika
ada libur. "Istri saya tidak mungkin ikut ke Jakarta karena dia pegawai
Pemkot Solo," tegasnya.
Jalan hidup sebagai nomaden di Jakarta tersebut dia nikmati sejak akhir
1999. Saat itu, dia diajak tiga tokoh PPP untuk hijrah ke ibu kota. Target
utamanya adalah ikut memajukan PPP dengan mendorong agar KH Zainuddin M.Z.
aktif di partai. Misi itu berhasil. Dia berhasil mendorong Zainuddin masuk
DPP PPP, walaupun kemudian dirinya ikut menarik keluar dai sejuta umat
tersebut untuk mendirikan partai baru bernama PBR (Partai Bintang
Reformasi).
Zaenal sempat berkarir sebagai seorang pendidik. Bahkan, dia sempat
mencapai karir sebagai sekretaris rektor di Universitas Muhammadiyah
Surakarta (UMS). Dia meninggalkan posisinya yang sudah mapan di salah satu
kampus terkemuka di Kota Solo tersebut untuk mengikuti kata hatinya
berkiprah dalam politik praktis.
PPP menjadi pilihan sebagai gerbang politiknya. Dia menjadi mitra kerja
tokoh Solo, Mudrik Sangidoe, di DPC PPP Solo. Mudrik menjadi ketua,
sedangkan Zaenal sebagai sekretaris. Kiprah politik itulah yang kemudian
mengantarkan dirinya menjadi wakil ketua DPRD II Surakarta pada 1997-1999.
Sebagai tokoh daerah, saat itu dia sudah dikenal sebagai "singa" parlemen.
Pernyataan-pernyataannya terkenal sangat berani. Waktu itu, dia sudah
nyaring berteriak agar ketua DPR/MPR cukup memakai mobil dinas Timor.
"Jadi, sebelum Pak Hidayat menyerukan tidak pakai Volvo, saya sudah lebih
dulu," ujarnya sembari membuka buku berisi kliping koran yang memuat
berita-berita seputar dirinya. Buku berisi kliping berita tersebut tampak
sudah kucel karena memuat pemberitaan mulai 1980-an. "Istri saya yang
bikin kliping ini," katanya.
Pada 1997, Zaenal juga sempat memusingkan pemerintah setelah
mengampanyekan masyarakat Solo untuk tidak membayar tagihan listrik. Dia
memprotes pelayanan PLN yang tidak profesional.
"Sebagai tokoh daerah, saya juga sempat melawan tokoh Jakarta," tegasnya.
Hal tersebut terjadi pada 1999 menjelang pemilu. Kejadiannya adalah saat
Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung diuber-uber massa yang berusaha
menolak kedatangannya ke Solo. Dalam kerusuhan itu, Zaenal berada di
antara massa tersebut dan berusaha mendinginkan suasana. "Jadi, sebagai
tokoh daerah, saya juga pernah melawan tokoh pusat," ujarnya.
Kini, atmosfer politik yang digelutinya sudah berubah. Dia tidak lagi
menjadi tokoh daerah, melainkan salah satu tokoh kunci di Senayan. "Sejak
kecil, tidak terbayangkan sama sekali bahwa saya akan menjadi pejabat
tinggi negara," ungkapnya.
Sebagaimana bayangan anak kebanyakan, yang dicita-citakan adalah menjadi
presiden. Sebab, pengetahuan tentang pejabat negara hanya presiden. "Sejak
kecil saya terbiasa mendengarkan pidato Presiden Soekarno di radio,"
jelasnya.
Lalu, akankah dia berubah? Zaenal tampak seperti dulu. Ruang kantornya di
lantai empat Gedung Nusantara III kompleks DPR/MPR terbuka bagi siapa pun.
Setiap hari, tamunya datang silih berganti. Dia juga tidak menggunakan
mobil dinas Volvo. "Saya ini kan tidak punya mobil di Jakarta. Karena itu,
saya dipinjami mobil oleh wakil Sekjen DPR untuk dipakai sementara,"
ujarnya. Mobil tersebut adalah Toyota Camry.
Sebelum naik mobil pinjaman dari Setjen DPR, dia biasanya naik taksi. "Saya
pilih naik taksi karena era naik bus kota sudah saya lakukan pada
1980-an," katanya.
Ke depan, sebagai wakil ketua DPR, dia berhak atas mobil dinas. Namun,
sesuai anjuran Ketua MPR Hidayat Nurwahid, mobil dinas pimpinan DPR itu
mungkin bukan Volvo.
"Saat bertemu presiden, Pak SBY juga bilang bahwa kemungkinan bukan Volvo.
Prinsipnya, layak, aman, dan nyaman," tegasnya. Tapi, merek dan jenisnya
kayak apa? Zaenal tidak mengetahuinya. Begitu juga dengan kebijakan
penggunaan mobil dinas Volvo lama. "Saya tidak tahu," ujarnya.
Biografi Zaenal Maarif, “Sang Pendobrak Dari Kalitan”
Diluncurkan
Jum'at, 22 April 2005 | 10:59 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta:Empat hari menjelang muktamar Partai Bintang
Reformasi (PBR), 26-28 April, Zaenal Maarif akan meluncurkan biografi
politik bertajuk, “Sang Pendobrak Dari Kalitan” di sebuah hotel
berbintang di Jalan Sudirman, selepas shalat Jum’at. Penerbitan buku ini
sepertinya terkait dengan tekad Zaenal mengambil alih kemudi PBR dari
K.H Zainuddin MZ.
Melalui buku setebal 217 halaman itu, Zaenal yang kini menjadi Wakil
Ketua DPR, hendak memperkenal dirinya lebih jauh kepada publik tentang
jati dirinya sebagai polikus. Dalam buku yang dibagi menjadi 9 bab itu,
misalnya, diungkapkan perjalanan politik Zaenal bersama Mudrick Sangidu
di Solo saat mengusung aliansi ‘Mega-Bintang’ dan menentang
‘Kuningisasi’ oleh Gubernur Jawa Tengah, Soewardi menjelang Pemilu 1997.
Mudrick menyebut Zaenal bak adiknya sendiri. Perbedaan sikap politik tak
menjadikan hubungan keduanya renggang. “Saya menghormati dia ketika
mendirikan PBR. Tapi saya tetap di PPP,” ujarnya (hal 202).
Masih di halaman yang sama, Mudrick memuji sosok Zaenal sebagai politisi
yang tak lupa pada kampung halamannya. Zaenal, katanya, “Satu-satunya
politisi yang kalau pulang kampung tetap rajin menyambangi
kelompok-kelompok dari berbagai partai.”
Selain Mudrcik, Ketua DPR Agung Laksono, dan Ketua MPR Hidayat Nur Wahid
turut memberikan kesan-kesan mereka. Namun, entah kenapa Ketua Umum PBR
Zainuddin MZ justru tak turut memberikan kesan-kesannya.
Selain Zaenal, sejauh ini yang disebut-sebut masuk bursa pencalonan
ketua umum PBR adalah Djafar Badjeber (Sekjen PBR), Bursah Zarnubi
(Ketua PBR dan Ketua F-PBR di DPR), serta Ade Daud Nasution (Ketua PBR
yang juga pengusaha).
Zaenal Ma’arif Mundur
Bursah Harapkan Keputusan Hanya Sementara, tetapi Siap Gantikan
Denpasar, Kompas - Tradisi politik baru telah dimulai dalam kehidupan
kepartaian Indonesia. Zaenal Ma’arif memutuskan mundur sebagai Wakil
Ketua DPR menyusul kekalahannya dalam Muktamar Islah PBR di Denpasar.
Muktamar memilih Bursah Zarnubi sebagai Ketua Umum PBR periode
2006-2011.
"Itu sebagai bentuk pertanggungjawaban saya. Kekalahan saya menunjukkan
saya tidak pantas sebagai pimpinan. Karena itu, mulai besok saya
mengundurkan diri sebagai Wakil Ketua DPR. Saya tidak pantas duduk di
sana," kata Zaenal, Selasa (25/4) di Sanur, Bali.
Zaenal tak menjelaskan kapan surat pengunduran diri akan disampaikan.
"Surat pengunduran diri akan saya selesaikan setelah sekembalinya ke
Jakarta. Mungkin beberapa hari lagi," katanya.
Setelah mundur sebagai Wakil Ketua DPR, Zaenal akan tetap menjadi
anggota DPR dari Fraksi Partai Bintang Reformasi (F-PBR) yang mewakili
daerah pemilihan Sumatera Selatan II. Di daerah pemilihan itu ia
mendapat 22.039 suara individual (10,8 persen).
Zaenal terpilih sebagai Wakil Ketua DPR secara paket bersama Agung
Laksono (Partai Golkar), Soetardjo Soerjogoeritno (Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan), dan Muhaimin Iskandar (Partai Kebangkitan
Bangsa). Waktu itu paket pimpinan DPR diajukan Koalisi Kebangsaan.
Menurut Zaenal, langkah yang ditempuhnya itu sesuatu yang wajar karena
ia mengaku tak punya nyali untuk memimpin sidang di DPR
pascakekalahannya dalam pemilihan Ketua Umum PBR. Sebelumnya,
berdasarkan survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia yang
disampaikan di Jakarta, Rabu (19/4), Zaenal diprediksi akan unggul dalam
muktamar. Prediksi ini meleset.
Zaenal menolak sikapnya itu sebagai bentuk kekecewaan ataupun sikap
cengeng. Ia mengatakan langkahnya sudah dipikirkan jauh-jauh hari ketika
ia memutuskan maju dalam perebutan Ketua Umum PBR.
"Ini merupakan risiko politik. Saya berharap ini menjadi pendidikan
politik bagi masyarakat bahwa berpolitik itu harus ada nurani," kata
politisi kelahiran Solo itu.
Zaenal menuturkan, dalam berkarier di politik, dia memiliki cita-cita,
termasuk keinginan membangun partai yang ideal, bukan sekadar menjadikan
uang sebagai tujuan. Namun, katanya, peluangnya kini sudah tertutup
pascakegagalannya menjadi pemimpin puncak partai di PBR.
Ditanya tentang keinginan Ketua Dewan Syuro PBR Zaenuddin MZ
mempertahankan dirinya sebagai Wakil Ketua DPR, Zaenal mengatakan hal
itu merupakan hak Zaenuddin, tetapi secara pribadi ia sudah memutuskan
untuk tidak bertahan pada jabatannya itu. "Saya tetap akan menjadi
anggota DPR dan tetap berkiprah di PBR," kata Zaenal.
Perihal penggantinya sebagai Wakil Ketua DPR, Zaenal mengatakan, jika
mengacu pada Undang-Undang (UU) Susunan dan Kedudukan DPR, penggantinya
sudah semestinya berasal dari PBR juga. Dalam Pasal 23 Ayat (1) UU Nomor
23 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD
disebutkan, "pimpinan DPR berhenti atau diberhentikan dari jabatannya:
antara lain karena (b) mengundurkan diri atas permintaan sendiri secara
tertulis".
Kaget dan kecewa
Ketika ditemui di kamar tempatnya menginap di Hotel Inna Grand Bali
Beach, Sanur, Selasa malam, Bursah mengaku kaget dan kecewa atas
keputusan Zaenal mundur sebagai Wakil Ketua DPR. Bahkan, ia yakin
keputusan itu hanya bersifat sementara karena emosi dan ungkapan
pelampiasan kekalahan di bursa ketua umum meski keputusan itu, menurut
Bursah, tidak berpengaruh pada kelangsungan dan keputusan politik partai
di lingkungan DPR. "Saya kecewa dan tak percaya Zaenal bisa mengambil
sikap gegabah seperti itu sebagai kekecewaannya tidak terpilih sebagai
ketua umum," katanya.
Namun, jika benar Zaenal tidak mengubah niatnya untuk mundur, Bursah
menegaskan, ia siap menggantikan Zaenal menjadi Wakil Ketua DPR.
"Tetapi, saya akan tetap berusaha untuk bicara kepada beliau (Zaenal)
agar mencabut kembali pernyataan mundurnya," ujarnya.
Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno (Fraksi PDI-P, DI Yogyakarta)
mengaku belum menerima informasi utuh mengenai rencana mundurnya Wakil
Ketua DPR Zaenal Ma’arif.
Pakar politik dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Riswandha Imawan,
dan Sekretaris Jenderal Forum Masyarakat Peduli Parlemen Sebastian
Salang menilai langkah Zaenal telah membuat tradisi baru dalam politik
Indonesia. "Dari sudut pandang etika politik, saya salut dengan
keputusan Zaenal yang mengedepankan etika dalam politik," kata
Riswandha.
Sebastian sependapat bahwa sikap Zaenal yang memutuskan mundur sebagai
Wakil Ketua DPR sebagai bentuk pertanggungjawaban moralnya meski
sebenarnya kekalahan dalam muktamar tak mengharuskan ia mundur sebagai
Wakil Ketua DPR. "Itu tradisi yang baik," katanya.
Ditanya kemungkinan pernyataan mundur sebagai Wakil Ketua DPR hanya
sebagai manuver politik dari Zaenal, Sebastian mengatakan, "Kalau memang
itu mainan politik dan Zaenal tak merealisasikan pernyataannya, itu akan
memengaruhi citra politik dan investasi politik Zaenal."
Hal serupa ditegaskan Riswandha Imawan. (Kompas 26 April 2006
Antara/AYS/SUT/DIk/BDM)
►tsl
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia) |
|