ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA
Search     A   B     D     F       I       L     N   O   P   Q   R   S     U     W     Y   Z
BAPPENAS
:: Beranda :: Berita :: Profesi :: Politisi :: Pejabat :: Pengusaha :: Pemuka :: Selebriti :: Aneka ::
C © updated 060103
INDEX PEJABAT   

garis

:::::: Pejabat garis

:::::: Lembaga Tinggi
garis
:::::::::::: Presiden
garis
:::::::::::: MPR/DPR/DPD
garis
:::::::::::: MA
garis
:::::::::::: Bepeka
garis
:::::::::::: DPA
garis
:::::: Kabinet
garis
:::::: Departemen
garis
:::::: Badan-Lembaga
garis
:::::: Pemda
garis
:::::: BUMN
garis
:::::: Asosiasi
garis
::::::::::: Korpri
garis
::::::::::: APPSI
garis
::::::::::: Apeksi
garis
::::::::::: Apkasi
garis
::::::::::: Lainnya
garis
:::::: MK
garis
:::::: Purnabakti
garis
:::::: Redaksi
garis

 
garis
garis

 


Nama:
Drs. Dadang Solihin, MA
Lahir:
Bandung, 6 November, 1961
Agama:
Islam
Ayah:
Oesman Wiratmadja (almarhum)
Ibu:
Hj. Sobariah (almarhumah)
Isteri:
Dra. Greesia Yudiastuti
Anak:
Bahana Wiradanti (lahir: 1989), Gemala Wiradinta (lahir 1991), Galura Wirayudanto (lahir: 1993)

Bidang Keahlian:
Ekonomi Pembangunan (Development Economics)
Pengembangan Masyarakat (Community Development)
Pembangunan Wilayah (Regional Development)
Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (SME’s Development)
Kajian Kepemerintahan Yang Baik (Good Governance Studies)
Desentralisasi dan Otonomi Daerah (Decentralization and Local Autonomous)
Pengembangan Sumberdaya Manusia (Human Resources Development)

Pengalaman Kerja:
2002-Sekarang: Kepala Sub-Direktorat Informasi Tata Ruang dan Pertanahan, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas, Jakarta
2000-2002 : Kepala Sub-Direktorat Pemberdayaan Aparatur Pembangunan Daerah, Direktorat Peningkatan Kapasitas Daerah, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Jakarta
1998-2000: Kepala Sub-Bagian Pembangunan Dati I, Biro Bantuan Pembangunan Regional II (Kawasan Timur Indonesia), Bappenas, Jakarta
1988-1998: Staf Perencana Biro Regional III Bappenas, Jakarta
1987-1988: Staf Administrasi Keuangan pada Second University Development Project (World Bank XVII), Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta

Pendidikan Formal:
1998-sekarang: Mahasiswa Pascasarjana Program S3 Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Universitas Padjadjaran (UNPAD), Bandung
1995-1997: Master of Arts, Department of Economics, University of Colorado, Denver, CO, USA
1981-1986: Sarjana Ekonomi (Drs), Fakultas Ekonomi Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung

Pendidikan Penjenjangan:
1998: Sekolah Pimpinan Madya Adminsitrasi (SPAMA), Pusdiklat Renbang Bappenas, Jakarta
1997: Pendidikan dan Pelatihan Administrasi Umum (ADUM), Pusdiklat Renbang Bappenas, Jakarta
1989: Latihan Pra-Jabatan Pegawai Negeri Sipil, Pusdiklat Departemen Penerangan, Jakarta

Kursus/Seminar/Pelatihan:
2002: Peserta Applied Policy Development Training, CIDA, British Columbia, Canada
2001: Peserta Local Government Administration Training Course, JICA, Higashihiroshima, Hiroshima, Japan
2001: Pembicara utama pada The Seminar on Political and Administrative Reform in Indonesia: Present Situation and Future Perspective, Presenter for Corruption and Good Governance session, Hiroshima University, Japan
2001: Peserta International Symposium on Intergovernmental Transfers in Asian Countries: Issues and Practices, Hitotsubashi University, Tokyo, Japan
1999: Peserta Regional Development and Planning Training Course, JICA, Sapporo, Hokkaido, Japan
1999: Peserta The General Japanese Language Course, Hokkaido International Center, JICA, Sapporo, Hokkaido, Japan
1998: Peserta The Seminar on Quantitative and Policy Analysis for Economic Development, kerjasama Bappenas-JICA, Jakarta
1997: Peserta International Workshop on Regional Development Policy, Kerjasama RI-the World Bank, Jakarta
1997: Peserta The Annual Convention of the Allied Social Science Associations, New Orleans, LA, U.S.A
1996: Peserta The Seminar on Innovative Financing for Local Economic Development, University of Guelph, Ontario, Canada
1989/1991: Peserta Kursus Perencanaan Nasional, Fase I dan II, Universitas Indonesia (UI), Jakarta

Pengalaman dalam Tim dan Kegiatan Lain
2002-Sekarang: Initiative for Local Governance Reform, World Bank-Bappenas, Jakarta, Sekretaris Sekretariat Nasional
2001-Sekarang: Sekretaris Jenderal, Lembaga Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan, Jakarta
2001-Sekarang: Pemimpin Redaksi, Jurnal Kajian Teori dan Terapan Perencana “Visi Perencana,” Jakarta
2001-Sekarang: Sekretaris Dewan Penyantun Universitas Padjadjaran
2001-Sekarang: Anggota Tim Perumus Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Perencana, Bappenas, Jakarta
2001-Sekarang: Anggota Tim Perumus Budget Sharing, Overseas Training Office, Bappenas, Jakarta
2000-2001: Koorinator Tim Kecil Kelompok Kerja Gender Mainstreaming, Kerjasama RI-CIDA, Jakarta
1999-2000: Ketua Unit Pengaduan Masyarakat (UPM), Program Pemberdayaan Daerah Dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE Pusat), Bappenas, Jakarta
1999-2000: Anggota tim teknis Program Kelangsungan Hidup, Perkembangan, Perlindungan Ibu dan Anak (KHPPIA), Kerjasama RI-UNICEF, Jakarta
1998-2000: Pemimpin Proyek Pembinaan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia, Jakarta
1998: Anggota tim Evaluation of the Area Based Planning Process under the MCSDP Program, Kerjasama RI-UNICEF, Jakarta
1997-2000: Anggota Kelompok Kerja Malaysia-Indonesia Social Economic Development, Jakarta
1997-2000: Kepala Perwakilan Indonesia Sann Research Institute, International Student Services Study Abroad, Boulder, CO, USA
1997-2000: Anggota Kelompok Kerja Sumber Daya Manusia Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia, Jakarta
1997: Anggota tim Social Need Assessment South Kalimantan Agriculture Area Development Project, Bekerja bersama Alice Stewart Carloni, Ph.D., Stanford University.
1997: Instruktur pada pelatihan Regional Executive Training on Human Resources Development Planning, Kerjasama Bappenas-UNPAD, Jakarta
1988-1993: Sulawesi Regional Development Project-CIDA, Jakarta: organizational problem solver and system development, Bekerja bersama Tim G. Babcock, Ph.D., University of Guelph
1991: A Framework for Analyzing the Rural Integrated Area Development Projects in Indonesia: anggota tim, Bekerja bersama Karen Polenske, Ph.D., MIT
1988-1991 Pompengan (Luwu-South Sulawesi) Integrated Area Development Project, Jakarta: yearly budget arrangement and monitoring, Bekerja bersama Ir. A.R. Van Nes

Pengalaman Penelitian:
1. Prospek Pengembangan Ekonomi Terpadu Pada Kawasan Andalan di Kawasan Barat Indonesia, Kerjasama Bappenas-UNPAD, Jakarta 1997
2. Konsep Pengembangan Kawasan Potensial Terpilih di Kabupaten Sorong-Irian Jaya, Kerjasama Bappenas-UNPAD, Jakarta 1998
3. Evaluation of the Area Based Planning Process under the MCSDP Program (with Agus Prabowo, MB Siadari, Erman Rahman, and Mike Freeman), research report, GOI-UNICEF, Jakarta, Indonesia 1998
4. Alokasi Anggaran Pembangunan Dalam Rangka Percepatan Pembangunan Daerah di Kawasan Timur Indonesia (KTI), Kerjasama Bappenas-UI, Jakarta 1998
5. Visi dan Produktivitas Masyarakat Kapet Parepare, Sulawesi Selatan Dalam Pembangunan Daerah, Modul Training, Kerjasama Bappenas-UNPAD, Jakarta 1998
6. Keterkaitan Investasi Pemerintah Terhadap Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi Daerah di KTI, Kerjasama Bappenas-UI, Jakarta 1998
7. Updating Model SSD (Simultaneous Supply Demand) untuk Repelita VII, Kerjasama Bappenas-UI, Jakarta 1999
8. Studi Model Perencanaan Pembangunan Daerah Yang Berwawasan Regional Menuju Visi Pembangunan Daerah Tahun 2018, Kerjasama Bappenas-UNPAD, Jakarta 1999
9. Konsep Pengembangan Ekonomi Rakyat Terpilih di Kawasan Teluk Cenderawasih Irian Jaya, Kerjasama Bappenas-UNPAD, Jakarta 1999

Publikasi:
Segera Terbit: Vademecum Keuangan Daerah, Ismee, Jakarta
Februari 2002: Panduan Lengkap Otonomi Daerah, ISMEE, Jakarta
September 2001: Kamus Istilah Otonomi Daerah, ISMEE, Jakarta
April 2001: Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (bersama Deddy Bratakusumah, Ph.D), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Agustus 2000: Anti Corruption and Good Governance, discussion paper, Good Governance Team, Bappenas, Jakarta, http://www.bappenas.go.id
Agustus 1998: Wagner`s Law: An Econometrics Study of Public Expenditure in High Performing Asian Economies, Buletin Simpul,v.8,pp.6-11,36, Jakarta.
Januari 1997: Repelita VI and Economic Reform, Buletin Simpul,v.6,pp.29-32,50, Jakarta
Desember 1996: Indonesia: Corruption and Growth, Project Paper, Department of Economics University of Colorado, Denver, U.S.A. (unpublished)

Alamat:
Jl. Pondok Kelapa Barat Blok B.9 No. 8, Jakarta 13450

E-mail:
dangsol@hotmail.com

Drs. Dadang Solihin, MA

Berobsesi Dahulukan Kepentingan Rakyat


Ia seorang pegawai negeri sipil yang sejak awal kariernya sudah memiliki komitmen yang kuat untuk mendahulukan kepentingan rakyat. Moto hidupnya “Putting People First”. Hal ini pula yang mendorongnya menulis “Indonesia: Corruption and Growth” untuk Final Project program S2-nya (1996) di University of Colorado at Denver. Suatu hal yang amat sensitif pada masa itu. Sampai-sampai para profesornya terheran-heran dan bertanya, “Apakah kamu berani pulang ke Indonesia?” Kini, ia menjabat Kepala Sub-Direktorat Informasi Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas.

Topik Economic of Corruption dan Good Governance ini pula yang saat ini dipersiapkan oleh pria yang berkeahlian Ekonomi Pembangunan, Pengembangan Masyarakat, Pembangunan Wilayah, Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah, Kajian Kepemerintahan yang Baik, Desentralisasi dan Otonomi Daerah, dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, ini untuk menyelesaikan program S3-nya di Universitas Padjadjaran Bandung.

Ia percaya bahwa setiap orang dapat melakukan sesuatu untuk bangsa ini. “Kita harus tetap optimis bahwa bangsa ini akan menjadi bangsa yang maju,” ujarnya dalam percakapan dengan Yusak Sahat, Wartawan Tokoh Indonesia, di ruang kerjanya, Kamis 19 Desember 2002. Keadaan saat ini, ia sebut sebagai sebuah masa transisi. Seperti orang yang sedang mengalami sakit demam tinggi, kelihatannya seperti sekarat, padahal hanya demam. Apabila mendisiplinkan diri dalam memakan obat dan serius berkeinginan sembuh, pasti dapat sembuh.

Ia mengungkapkan beberapa hasil penelitian ilmiah bahwa praktek-praktek korupsi banyak terjadi di negara-negara yang memiliki ciri-ciri: yang sedang mengalami masa transisi dari pemerintahan yang otoriter kepada demokrasi dan ekonomi pasar (Patrick Glynn et.al/Davos Club, 1997); yang memiliki Sumber Daya Alam melimpah (Warner, 1995); yang memiliki banyak etnis (Shleifer dan Vishny 1993, Mauro 1994); dan yang pernah dijajah bangsa lain (Taylor dan Hudson 1972, Mauro 1997). Dari berbagai temuan empirik tersebut dan dari gelar yang disandang sebagai 5 besar negara terkorup di Asia dan di dunia, serta dari praktek kehidupan sehari-hari, tampaknya Indonesia sudah masuk ke dalam kategori negara yang sudah ditakdirkan untuk dikorupsi, baik oleh warga negaranya maupun oleh pihak asing.

Ia menjelaskan fenomena korupsi di Indonesia dengan analogi seorang anak laki-laki yang sejak kecil sudah senang mengenakan rok, lipstik, dan bermain boneka. Apabila dibiarkan terus, sangat diyakinkan sudah besarnya nanti menjadi waria. Begitu juga Bangsa Indonesia yang memiliki ciri-ciri tersebut harus memiliki sikap yang ekstra hati-hati terhadap kecenderungan korupsi. Sehingga dengan kesadaran ini, seluruh pihak harus semakin serius dalam menangani persoalan korupsi ini, bukan dicampur-adukan dengan politik dan kepentingan tertentu. Sebab akibat dari korupsi ini akan ditanggung oleh rakyat banyak.

Ia adalah seorang yang selalu optimis. Namun, juga seorang yang realistis. “Bangsa kita adalah bangsa yang besar, namun kita juga memiliki sejarah yang menunjukkan bahwa kita juga adalah bangsa yang rentan terhadap perpecahan,” katanya.

Ia mengutip WS Rendra, ketika bangsa Eropa masih primitif, mereka memakan daging cukup dengan dibakar di atas kayu api. Pada saat itu di wilayah Bumi Pertiwi malah sudah mengenal santan, tempe bacem dan lain-lain. Teknologi makanan Indonesia sudah maju, namun yang terjadi kemudian seakan-akan saat ini Indonesia sudah ketinggalan beberapa abad dibanding bangsa lain. Hal ini disebabkan bangsa kita memiliki kecenderungan mudah dipengaruhi. Sampai-sampai dapat dijajah 350 tahun. Dan ternyata yang menjajah itu bukanlah negeri Belanda yang kecil itu, tetapi hanya sebuah perusahaan dagang swasta (VOC) dengan memperalat orang-orang setempat dengan uang dan kekuasaan.

Ia menyebutkan, banyak dari bangsa lain yang mengalami cobaan lebih berat dari yang dialami Indonesia. Namun ketika cobaan itu terjadi mereka segera mengubah paradigma. Seperti Jepang dengan bom atomnya, Jerman dengan tembok Berlinnya, Bosnia dan yang lain. Ia berharap, jangan sampai bangsa kita baru berubah setelah cobaan besar terjadi, sehingga sulit memperbaikinya lagi, dan terjerumus jurang point of no return. Karena krisis yang terlalu berat dapat menjadikan Indonesia hanya tinggal sejarah (gone with the wind) atau bangsa ini hanya menjadi masyarakat dunia kelas dua. Sehingga, menurutnya, harus dimulai dari sekarang semakin serius terhadap usaha pemberantasan dan pencegahan korupsi.

Menurutnya langkah pemerintah dalam melaksanakan paradigma otonomi daerah adalah sebuah langkah tepat. Sebab dengan otonomi daerah pengawasan terhadap KKN semakin dekat dengan masyarakat sehingga menjadi lebih efektif dan efisien. Walaupun masih ada beberapa praktek korupsi yang serupa dengan masa lalu, namun ia yakin itu adalah sebuah proses ke arah perubahan paradigma Good Governance yang menuntut akan akuntabilitas, partisipasi dan transparansi.

Pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh bangsa ini sungguh sangat bertumpuk-tumpuk. Negara-negara lain telah menyelesaikan permasalahan poverty relief pada dekade 1940an, pendekatan projects to help people help themselves telah diselesaikan pada dekade 1950an, dan pilihan development plans and strategies telah dilewati dengan lewatnya dekade 1960an.

Demikian pula pendekatan proyek telah berubah menjadi pendekatan program terpadu pada dekade 1970an, kebijakan stabilization and structural adjustment adalah agenda yang sudah diselesaikan negara-negara lain pada dekade 1980an, dan mereka telah menyelesaikan agenda good governance pada dekade 1990an.

Kalau ingin selamat, Indonesia harus menyelesaikan semua PR ini dalam waktu yang bersamaan. Suatu hal yang mustahil memang. “Tetapi dengan mengetahui keadaan sedini mungkin seperti analogi anak kecil tadi, akan membantu kita dalam menyelesaikan permasalahan. Dan bangsa Indonesia masih memiliki modal yang besar,” tutur Kepala Sub-Direktorat Informasi Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas ini.

Sebagai seorang Muslim ia yakin kalau Allah SWT tidak pernah memberikan cobaan kepada umat-Nya di luar kemampuan menerima cobaan itu. Dan Allah SWT juga tidak akan mengubah nasib suatu bangsa, kalau bangsa itu sendiri tidak mau berubah.

Filosofi hidupnya sangat sederhana yang ia sebutkan dalam bahasa Sunda “Ulah unggut kalinduan, ulah gedag kaanginan” yang berarti konsisten dan konsekuen terhadap kebenaran. Jika benar jangan takut dan terus maju. Filosofi ini dianutnya dari pengasuhan kedua orang tuanya.

Ayahnya seorang prajurit Siliwangi pada zaman revolusi dan penyandang 10 bintang gerilya. Namun setelah masa pengungsian dari Yogyakarta, ayahnya beralih ke kepolisian. Ibunya adalah seorang aktivis organisasi “Aisyiyah” dan “Persatuan Islam Isteri” (Persistri) sambil berjualan kecil-kecilan. Ia berasal dari keluarga besar, 15 orang bersaudara, tapi meninggal 4 orang pada zaman pengungsian, sekarang tinggal 11 orang. Sebagian besar bekerja sebagai PNS dan tentara. Ia hidup dan dibesarkan dalam keluarga sederhana. Pangkat terakhir ayahnya adalah perwira pertama polisi di Poltabes 86 Bandung. Pada tahun 1988 ayahnya wafat dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra Bandung. Sedangkan Ibunya sudah meninggal terlebih dahulu, yaitu pada tahun 1983.

Sejak kecil, ia bangga sekali kepada kedua orang tuanya. Ia baru mengetahui ayahnya seorang polisi dalam waktu yang cukup lama. Karena ayahnya tidak pernah memakai seragam polisi. Sedangkan ibunya rajin berceramah agama di acara pengajian ibu-ibu. Ketika di bangku kuliah, ia bangga karena banyak teman-temannya adalah anak perwira tinggi di kepolisian maupun militer. Sedangkan ia hanya anak seorang polisi rendahan. Ia bangga karena kedua orang tuanya mampu menyekolahkan dia dan saudara-saudaranya, sama baiknya dengan yang lain.

Ia lahir di Bandung, 6 November 1961. Sejak sekolah dasar sampai lulus S1, ia selesaikan semua di Bandung dengan hasil yang baik. Setelah lulus dari SD, ia masuk ke SMP Negeri 1 Bandung. SMP 1 dikenal sebagai sekolah unggulan, merupakan sekolah anak-anak pandai. Selepas SMP ia masuk ke SMA Negeri 3 Bandung. Hampir 90% lulusan SMA 3 ini masuk ITB. Tetapi ketika Perintis (UMPTN – red) diadakan, ia jatuh sakit terserang tifus sehingga kesempatan untuk memasuki universitas negeri hilang. Akhirnya pada tahun itu juga ia kuliah di Universitas Katolik Parahyangan mengambil Fakultas Ekonomi jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan.

Pada tahun berikutnya kembali ia mengikuti tes masuk UNPAD mengambil jurusan sastra Inggris dan ternyata lulus. Tujuan dia kuliah di UNPAD jurusan bahasa Inggris untuk meningkatkan kemampuan membaca literatur ekonomi berbahasa Inggris. Tapi ternyata tugas-tugas di jurusan sastra Inggris sangat banyak, sehingga akhirnya ia berpikir untuk berfokus saja pada kuliahnya di UNPAR.

Selama kuliah, ia juga tergabung di senat mahasiswa, resimen mahasiswa dan berbagai kegiatan kemahasiswaan lainnya. Setelah lulus dari UNPAR, ia sempat bergabung sebagai Staf Administrasi Keuangan pada Second University Development Project (World Bank XVII), Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1987-1988. Baginya pekerjaan itu merupakan sebuah pengalaman kerja pertama sebelum memasuki lingkungan Bappenas.

Perjalanannya ke Bappenas cukup unik. Ketika lulus dari bangku kuliah ia minta kepada teman-temannya yang berasal dari Jakarta untuk membawa buku Yellow Pages apabila ke Bandung, karena di buku tersebut ia pernah melihat daftar nama dan alamat departemen pemerintahan. Untungnya ada yang ingat dan membawakan buku tersebut kepadanya. Lalu dengan modal buku tersebut, ia menulis lamaran ke 50 instansi pemerintahan dengan menggunakan tulisan tangan.
Untuk biaya perangko dan fotocopy ia peroleh dari penghasilan membantu teman dalam usaha jual-beli motor. Tidak lupa pula ia lampirkan berbagai ijazah dan tanda penghargaan, karena pada saat itu ia yakin semakin tebal lamarannya semakin besar kemungkinan diterima.

Tidak disangka-sangka, ia menerima panggilan pertama dari Departemen Pertanian untuk wilayah Jawa Barat. Ia mengikuti tes, namun setelah itu tidak ada berita kelanjutannya. Tetapi itu belum akhir dari kuasa Allah SWT. Kembali panggilan menjadi pegawai negeri ia terima dari tiga departemen, yaitu Departemen Keuangan, Departemen Perdagangan dan Bappenas.

Ketika panggilan-panggilan itu ia terima, ia masih bekerja di proyek Bank Dunia. Saat itu ia kost di jalan Nipah, Jakarta Selatan. Di rumah kost itu banyak karyawan dari perusahaan minyak Arco. Dari mereka ia mengenal dan belajar tentang tes-tes yang diperlukan dalam mengikuti tes penerimaan pegawai. Karena ketika kuliah, ia tidak banyak mengenal psikotes, TPA, TOEFL dan sebagainya. Dan ternyata dengan belajar dan melatih diri dengan sungguh-sungguh, ia diterima di ketiga instansi tersebut. Pertama diterima di Departemen Keuangan dan Bappenas kemudian menyusul Departemen Perdagangan.

Selama sebulan pertama ia bekerja di dua instansi, di Depkeu dan di Bappenas. Ia katakan kepada Kepala Biro Regional Bappenas, waktu itu Pak Suryaman, “untuk sebulan ini saya hanya bisa setengah hari pagi sampai siang, sebab saya harus mengurusi kantor yang lama.” Hal yang sama juga ia katakan kepada atasannya di Depkeu. Padahal ia bekerja di dua departemen pemerintah itu.

Alasannya mengapa ia berbuat demikian adalah untuk mengetahui mana dari antara kedua instansi ini yang menjanjikan. Sebab ia berpikir, bahwa ini adalah untuk masa depannya, jadi ia harus benar-benar serius. Dan obsesinya saat itu, instansi mana yang terlebih dahulu dapat menyekolahkannya ke luar negeri. Akhirnya ia memilih Bappenas sebab ia melihat pekerjaan yang diserahkan kepadanya memiliki cakupan yang lebih luas dibandingkan di Depkeu.

Setelah berada di Bappenas, ia mendapat beasiswa dari pemerintah untuk kuliah mengambil jenjang MA bidang ekonomi di University Colorado at Denver. Selama kuliah di Denver, isteri dan ketiga anaknya juga ikut diboyong. Uang yang ia peroleh dari beasiswa sekitar US$ 800 per bulan adalah standar bagi mereka yang masih lajang, sedangkan keluarga tidak diperhitungkan. Jumlah itu jauh di bawah garis kemiskinan sebuah keluarga di Denver dengan satu isteri dan satu anak, yakni US$ 1100 per bulan. Sehingga untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarganya, ia harus mencari pekerjaan tambahan, walaupun oleh Bappenas hal itu dilarang.

Ia pernah bekerja sebagai pengantar koran, kasir di book store, penjaga perpustakaan kampus, bahkan juga pernah menjadi pengantar pizza. Kalau sudah musim dingin dan masa Natal penghasilan yang ia peroleh lumayan banyak. Sebab ketika musim Natal dan tahun baru banyak petugas pengantar pizza yang cuti.

Setelah bergumul dengan persoalan finansial dan kuliah, akhirnya ia dapat menyelesaikan final project paper yang berjudul “Pengaruh Korupsi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia”, ditulisnya pada awal tahun 1996, dan dipresentasikan pada akhir tahun itu di depan para profesor. Para pengajarnya terheran-heran dengan tulisannya tersebut, dan berkata, “Apakah kamu berani pulang ke Indonesia, kamu disekolahkan oleh negara, tapi menuliskan tentang hal-hal yang sensitif seperti itu?” Tapi justru ia katakan, bahwa tulisan ini bertujuan untuk menyadarkan dan meyakinkan bahwa betapa signifikannya pengaruh korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi sebuah negara.

Pada saat itu ia menemukan bahwa korupsi dapat menurunkan tingkat investasi, sehingga dapat menurunkan pula laju pertumbuhan ekonomi. Apabila Indonesia dapat memperbaiki indeks birokrasinya sehingga sejajar dengan Singapura, maka tingkat investasi di Indonesia akan naik sebesar 18%, dan GDP per kapita akan naik sebesar 4,7%. Namun sayang sekali, pada waktu itu Indonesia sedang sibuk dengan pujian dan tepuk tangan dunia internasional, karena merasa berbagai program dan strategi pembangunan berhasil, sehingga seruannya melalui tulisan itu tidak terdengar.

Setelah mendapat gelar MA ada keinginannya untuk melanjutkan kuliah di dalam negeri, agar lebih mudah dalam menggarap beberapa penelitian. Sehingga ia mengambil program S3 di Universitas Padjadjaran bidang ilmu ekonomi dan studi pembangunan berfokus pada Economic of Corruption dan Good Governance.

Namun dalam perjalanan kuliahnya, ia merasakan kejenuhan bahkan hampir tidak tertarik lagi. Karena ia melihat perkembangan ilmu yang dipelajari berkembang lebih cepat di luar dirinya, dibandingkan dengan apa yang dimiliki dan telah dipelajari. Padahal ia berkeinginan menjadi seorang pelopor, menemukan hal-hal baru dan menarik kemudian menjadi orang pertama yang menulisnya. Namun ia menemukan bahwa dirinya banyak ketinggalan jauh. Menurut dia, kejenuhan ini tidak menyurutkan niatnya untuk menyelesaikan program S3nya ini. Oleh karena itu setelah ia lulus ujian prelium (sebuah ujian yang harus diambil oleh calon doktor sebelum dapat melaksanakan disertasi – Red) beberapa waktu yang lalu, ia berusaha untuk menggali lebih dalam lagi, sebelum maju ke tahap berikutnya.

Karena suami Dra. Greesia Yudiastuti ini dikenal kuliah di UNPAD dalam jenjang S3, maka otomatis ia dianggap warga UNPAD. Jadi ketika seniornya di Bappenas, Ginandjar Kartasasmita menjabat Ketua Dewan Penyantun UNPAD dan kebetulan pada saat itu dewan penyantun membutuhkan sekretaris, ia diminta untuk membantu dalam posisi tersebut. Teman-temannya dari UNPAR heran, sebab seorang lulusan UNPAR bisa menjadi sekretaris di Dewan Penyantun UNPAD, padahal di UNPAD sendiri ia belum lulus.

Pada angkatannya terdapat sekitar 100 orang yang sama-sama memulai karier di Bappenas, yang sekarang rata-rata bergelar Ph.D dari luar negeri. Mereka di awal-awal masa kerja sering berdialog dalam forum-forum diskusi informal, membicarakan hal-hal yang menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan karena sejak awal bekerja di Bappenas ia ditempatkan di biro perencanaan regional, maka dari dahulu ia sangat konsern dengan pemikiran bagaimana pemerintah dapat semakin dekat dengan masyarakat.

Pemikiran ini dikenal saat ini dengan istilah proses disentralisasi. Yang menarik dan lucu, banyak dari teman-temannya yang sudah bekerja sejak awal 1988, tetapi ketika diadakan diskusi kembali mengenai perubahan-perubahan yang sedang berlangsung di bangsa ini, merasa perubahan tersebut sedikit-banyak merugikan mereka. Lalu ia pun berusaha mengingatkan kembali, bahwa sebetulnya hal-hal ini adalah merupakan pikiran-pikiran awal mereka bersama, yaitu sebuah cita-cita, pemerintah yang sedekat mungkin dengan masyarakat, wewenang yang didesentralisasikan yang akan membawa kepada efisiensi sumber daya yang ada.

Kehadiran undang-undang 22 dan UU 25 tahun 1999 tentang otonomi daerah, itu merupakan cita-cita mereka dari dulu. Namun mungkin oleh kesibukan selama ini dan mungkin juga ada jenis orang, apa yang dibicarakan berbeda dengan apa yang dipikirkannya, akhirnya menimbulkan berbagai perbedaan persepsi. Namun yang ia ingin tekankan adalah bahwa hal ini (otonomi daerah) adalah sebuah reformasi besar dalam bidang pemerintahan dan birokrasi.

Menurutnya, Undang-undang 22 dan 25 tahun 1999 adalah sebuah wahana baru bagi kita untuk membangun bangsa ini. UU ini adalah sesuatu yang bagus dan baik. Tetapi yang menjadi masalah adalah bahwa UU ini lahir pada masa krisis. Pada bulan Mei 1999 ditetapkan dan mulai berlaku pada bulan Januari 2001. Padahal awalnya, seperti pada tahun 1997 di Indonesia terjadi El-nino dan La-nina dan berlanjut pada tahun 1997-1998 krisis ekonomi dan moneter, pada masa-masa itu lahir undang-undang ini yang menyebabkan dampak lebih berat serta respons yang kurang siap.

Negara-negara lain mempersiapkan otonomi daerah dengan baik. Contohnya, Jepang mempersiapkan otonomi daerah selama 50 tahun dalam kebutuhan struktur dan infrastrukturnya. Pertama mereka mempersiapkan Undang-undangnya, peraturan pemerintahnya, SDM dan juga gedung-gedung, dinas apa yang harus dibangun dan dinas apa yang harus dilikuidasi. Dan ketika waktunya sudah rampung dan otonomi digulirkan, tetap ada yang namanya biro pembangunan Hokkaido di Tokyo (masih sentralistis). Ini menunjukkan bahwa dalam melaksanakan proses desentralisasi, Jepang ingin melaksanakan sesuai dengan kebutuhannya, tidak terburu-buru, dan tidak usah diatur oleh pihak lain.

Mengapa Indonesia tidak bisa seperti itu? Sebab Indonesia selain mendapat tekanan dari dalam yang berupa gerakan reformasi pada tahun 1998, juga mendapat tekanan dari luar yang salah satunya adalah LoI dari IMF, dan tekanan-tekanan lainnya. Itulah mengapa pelaksanaan proses desentralisasi di Indonesia sepertinya terburu-buru.

Contoh yang sangat dramatis mungkin adalah kota Hiroshima, Jepang. Pada tahun 1945 ketika kota tersebut dihantam oleh bom atom, kota itu hancur dengan kekuatan bom yang menghasilkan panas 300 derajat celcius di wilayah radius 10 km2. Kota itu hancur sama sekali dan fakta masih dapat terlihat hingga sekarang. Namun ketika ia mengunjungi kota itu setelah 50 tahun sejak kejadian tersebut, ia mendapati Hiroshima sebagai kota yang dipenuhi dengan gedung-gedung bertingkat dan sarana serta prasarana yang canggih, hutan yang semakin lebat, serta rakyat yang hidup sejahtera.

Lalu bandingkan dengan keadaan Indonesia pada tahun 1945. Saat itu Indonesia masih memiliki sumber daya alam yang melimpah serta relatif tidak punya hutang. Isi perut bumi ibu pertiwi masih dipenuhi oleh gas alam pada lapisan paling bawah, selanjutnya di bagian atasnya terdapat minyak bumi, batuan mineral seperti emas, perak, dsb, lalu ada batu bara, serta di atas perut bumi ditumbuhi oleh hutan tropis yang sangat kaya, dan kekayaan flora dan fauna lainnya yang tak ternilai. Apa yang terjadi di Indonesia 50 tahun kemudian?

Hal-hal inilah yang menjadi perhatiannya sejak lama. Bagaimana masyarakat dapat mengetahui apa yang patut mereka ketahui tentang negara ini. Tidak seperti masa-masa lalu di mana untuk mendapatkan buku-buku Repelita saja sangat sulit. Sehingga alasan itulah yang terus mendorongnya untuk menulis buku-buku pendidikan bagi masyarakat yang mengangkat tema-tema otonomi daerah.

Menurutnya, saat ini masih banyak masyarakat dan pejabat-pejabat daerah yang masih salah dalam mengartikan apa itu otonomi daerah. Padahal esensi dari otonomi daerah adalah penyerahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat, yaitu desa. Ketika kita sudah sampai kepada tahap itu tidak usah lagi berbicara tentang aspirasi masyarakat atau “Top-Down, Buttom-Up”. Sebab kewenangan sudah ada di tangan masyarakat. Masyarakat yang menentukan akan kebutuhan mereka bagi daerah mereka masing-masing.

Sehingga ketika pemerintah kabupaten menerima anggaran dari pusat, menyerahkan langsung kepada pemerintahan desa. Keuntungan yang diterima yaitu dalam lingkungan desa, masyarakat mengetahui dengan jelas ke mana dana itu digunakan dan apa yang menjadi kebutuhan mereka. Dan bila ada penyimpangan-penyimpangan akan lebih mudah diketahui dan diprediksi, karena ada pengawasan langsung dari masyarakat.

Dalam rangka melaksanakan konsep tersebut, ia bersama rekan-rekannya di Bappenas sudah menyusun program best practices yaitu Initiatives for local Governance Reform. Sebuah kerja sama antara Bank Dunia dan pemerintah RI. Ia sendiri dipercayakan sebagai Sekretaris untuk Sekretariat Nasional. Dari beberapa kabupaten di Indonesia, kita bisa banyak belajar tentang Good Local Governance, di antaranya dari Kabupaten Solok dengan sistem pemerintahan Nagarinya, dari Kabupaten Bantul dengan jiwa entrepreneurship bupatinya, dan dari Kabupaten Bandung dengan rencana menjadikan kantor Bapeda kabupaten menjadi “rumah perencanaan rakyat.”

Selain bekerja dalam lingkungan Bappenas, ayah dari Bahana Wiradanti (13), Gemala Wiradinta (11), dan Galura Wirayudanto (9) ini juga mengelola sebuah komunitas diskusi ekonomi kerakyatan di yahoo-groups yang saat ini sudah memiliki lebih dari 500 orang anggota dari seluruh dunia. Di dalam komunitas ini setiap anggota saling memberi masukan dan kritik terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang menyangkut ekonomi kerakyatan dan pemberdayaan masyarakat.

Di komunitas ini juga masyarakat didorong terlibat dan bersikap kritis terhadap segala rancangan kebijakan pemerintah daerah atau pusat. Dengan demikian ketika saatnya akan dilaksanakan sebuah peraturan tertentu tidak perlu lagi usaha sosialisasi, sebab masyarakat sudah mengetahuinya sejak awal bahkan terlibat di dalamnya.

Sambil mengelola komunitas diskusi berbasis internet tersebut, untuk melengkapi perjuangan membela rakyat kecil maka ia meluncurkan sebuah situs bernama www.dadangsolihin.com. Situs ini mengurai tentang otonomi daerah, ekonomi kerakyatan, pemikiran-pemikiran kekinian para tokoh dalam mengkritisi kondisi masa kini dan datang. Dan lebih penting adalah sarana untuk berkonsultasi, berdiskusi, memberi saran atau pertanyaan kepada para narasumber, yang akan direspon sesegera mungkin.

Saat ini ia juga menjabat sebagai anggota Badan Pendiri dan Sekretaris Umum di Lembaga Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan, yaitu sebuah lembaga profesional untuk membangun ekonomi kerakyatan yang berdaya saing, merata, bermoral, berkeadilan dan berperikemanusiaan, yang responsif terhadap dinamika perubahan lokal, nasional dan internasional berdasarkan asas kekeluargaan. Lembaga ini juga berupaya untuk mewujudkan sistem ekonomi partisipatif yang memberikan akses yang sebesar-besarnya secara adil dan merata bagi seluruh lapisan masyarakat, baik dari proses produksi, distribusi hingga konsumsi nasional, yang tetap memperhatikan dukungan sumber daya alam dan lingkungan.

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
Copyright © 2002 Ensiklopedi Tokoh Indonesia. All right reserved. Design and Maintenance by Esero
Dilarang mengutip isi web site ini  tanpa izin