|
C © updated 17012003 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
► e-ti |
|
|
Nama:
Sri Sultan Hamengku Buwono IX
Nama Kecil:
Dorodjatun
Lahir:
Sompilan Ngasem, Jogjakarta, Sabtu Paing 12 April 1912 (tarikh Jawa Islam tanggal Rabingulakir tahun Jimakir 1842)
Meninggal:
RS George Washington University
Amerika Serikat,
1 Oktober 1988
Dimakamkan:
Astana Saptarengga, Komplek Pemakaman Raja Mataram di Imogiri, Yogyakarta, 8 Oktober 1988
Agama:
Islam:
Ayah:
Gusti Pangeran Haryo Puruboyo
Ibu:
Raden Ajeng Kustilah, puteri Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar
Raden Ayu Adipati Anom.
Pendidikan:
Taman kanak-kanak atau Frobel School asuhan Juffrouw Willer di Bintaran
Kidul
Eerste Europese Lagere School (1925)
Hogere Burger School (HBS, setingkat SMP dan SMU) di Semarang dan Bandung
(1931)
Rijkuniversiteit Leiden, jurusan Indologie (ilmu tentang Indonesia)
kemudian ekonomi
Jabatan:
Selepas Proklamasi 1945 Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Gubernur
Militer DIY
Kabinet Syahrir (2 Oktober 1946 sampai 27 Juni 1947) Menteri Negara
Kabinet Amirsyarifuddin I & II (3 juli 1947 s.d. 11 November 1947 dan 11
November 1947 s.d. 28 Januari 1948) Menteri Negara
Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 s/d 4 Agustus 1949) Menteri Negara
Kabinet Hatta II (4 Agustus 1949 s/d 20 Desember 1949) Menteri Pertahanan/Koordinator
Keamanan Dalam Negeri
Pada masa RIS (20 Desember 1949 s.d. 6 September 1950) Menteri Pertahanan
Kabinet Natsir (6 September 1950 s.d. 27 April 1951) Wakil Perdana Menteri
Tahun 1951 Ketua Dewan Kurator UGM Yogyakarta
Tahun 1956 Ketua Dewan Pariwisata Indonesia
Tahun 1957 Ketua Sidang ke-4 ECAFE (Economic Commision for Asia and the
Far East) dan menjadi Ketua Pertemuan Regional ke-11 Panitia Konsultatif
Colombo Plan
Tahun 1958 Ketua Federasi Asean Games
5 Juli 1959 Menteri/Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Tahun 1963 Ketua Delegasi Indonesia dalam pertemuan PBB tentang Perjalanan
dan Pariwisata
21 Februari 1966 Menteri Koordinator Pembangunan
11 Maret 1966 Wakil Perdana Menteri Bidang Ekonomi (Ekubang)
Tahun 1968 Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka
Tahun 1968 Ketua Umum KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia)
Tahun 1968 Ketua Delegasi Indonesia ke Konferensi PATA (PAsific Area
Travel Association) di California, Amerika Serikat
25 Maret 1973 Wakil Presiden RI
23 Maret 1978 Mengundurkan diri sebagai Wapres RI dengan alasan kesehatan
Sumber:
crs dari berbagai sumber
terutama Kompas, CyberNews dan www.jawapalace.org
|
|
|
|
|
|
|
Sri Sultan Hamengku Buwono IX
Sang Bangsawan yang Demokratis
Pemerintahan Kesultanan Yogyakarta mengalami banyak perubahan di bawah
pimpinannya. Pendidikan Barat yang dijalaninya sejak usia 4 tahun membuat
Sri Sultan Hamengku Buwono IX (HB IX) menemukan banyak alternatif budaya
untuk menyelenggarakan Keraton Yogyakarta. Dengan wawasan barunya ia
menunjukkan bahwa raja bukan lagi gung binathara, melainkan demokratis.
Raja berprinsip kedaulatan rakyat tetapi tetap berbudi bawa leksana. Ia
memiliki paham kebangsaan yang tinggi.
Dilahirkan di nDalem Pakuningratan kampung Sompilan Ngasem pada hari Sabtu
Paing tanggal 12 April 1912 atau menurut tarikh Jawa Islam pada tanggal
Rabingulakir tahun Jimakir 1842 dengan nama Dorodjatun. Ayahnya adalah
Gusti Pangeran Haryo Puruboyo, yang kemudian hari ketika Dorodjatun
berusia 3 tahun Beliau diangkat menjadi putera mahkota (calon raja) dengan
gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibya Raja
Putera Narendra ing Mataram.
Sedangkan ibunya bernama Raden Ajeng Kustilah, puteri Pangeran Mangkubumi
yang kemudian bergelar Raden Ayu Adipati Anom.
Sejak usia 4 tahun Dorodjatun sudah hidup terpisah dari keluarganya,
dititipkan pada keluarga Mulder seorang Belanda yang tinggal di
Gondokusuman untuk mendapat pendidikan yang penuh disiplin dan gaya hidup
yang sederhana sekalipun ia putra seorang raja.
Dalam keluarga Mulder itu Dorodjatun diberi nama panggilan Henkie yang
diambil dari nama Pangeran Hendrik, suami Ratu Wilhelmina dari Negeri
Belanda. Henkie mulai bersekolah di taman kanak-kanak atau Frobel School
asuhan Juffrouw Willer yang terletak di Bintaran Kidul. Pada usia 6 tahun
Dorodjatun masuk sekolah dasar Eerste Europese Lagere School dan tamat
pada tahun 1925. Kemudian Dorodjatun melanjutkan pendidikan ke Hogere
Burger School (HBS, setingkat SMP dan SMU) di Semarang dan kemudian di
Bandung. Pada tahun 1931 ia berangkat ke Belanda untuk kuliah di
Rijkuniversiteit Leiden, mengambil jurusan Indologie (ilmu tentang
Indonesia) kemudian ekonomi. Ia kembali ke Indonesia tahun 1939.
Setahun kemudian, tepatnya pada hari Senin Pon tanggal 18 Maret 1940 atau
tanggal 8 bulan Sapar tahun Jawa Dal 1871, Dorodjatun dinobatkan sebagai
raja Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Sampeyandalem Ingkang Sinuwun
Kanjeng Sultan Hamengkubuwono, Senopati Ing Ngalogo, Abdurrahman Sayidin
Panoto Gomo, Kalifatullah Ingkang Kaping IX.
Arti gelar tersebut ialah bahwa sultanlah penguasa yang sah dunia yang
fana ini, dia juga Senopati Ing Ngalogo yang berarti mempunyai kekuasaan
untuk menentukan perdamaian atau peperangan dan bahwa dia pulalah panglima
tertinggi angkatan perang pada saat terjadi peperangan. Sultan juga
Abdurrahman Sayidin Panoto Gomo atau penata agama yang pemurah, sebab dia
diakui sebagai Kalifatullah, pengganti Muhammad Rasul Allah.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX merupakan contoh bangsawan yang demokratis.
Pemerintahan Kesultanan Yogyakarta mengalami banyak perubahan di bawah
pimpinannya. Pendidikan Barat yang dijalaninya sejak usia 4 tahun membuat
HB IX menemukan banyak alternatif budaya untuk menyelenggarakan Keraton
Yogyakarta di kemudian hari. Berbagai tradisi keraton yang kurang
menguntungkan dihapusnya dan dengan alternatif budaya baru HB IX
menghapusnya.
Meski begitu bukan berarti ia menghilangkan substansi sendiri sejauh itu
perlu dipertahankan. Bahkan wawasan budayanya yang luas mempu menemukan
terobosan baru untuk memulihkan kejayaan kerajaan Yogyakarta. Bila dalam
masa kejayaan Mataram pernah berhasil mengembangkan konsep politik
keagungbinataraan yaitu bahwa kekuasaan raja adalah agung binathara bahu
dhenda nyakrawati, berbudi bawa leksana ambeg adil para marta (besar
laksana kekuasaan dewa, pemeliharaan hukum dan penguasa dunia, meluap budi
luhur mulianya, dan bersikap adil terhadap sesama), maka HB IX dengan
wawasan barunya menunjukkan bahwa raja bukan lagi gung binathara,
melainkan demokratis. Raja berprinsip kedaulatan rakyat tetapi tetap
berbudi bawa leksana.
Di samping itu HB IX juga memiliki paham kebangsaan yang tinggi. Dalam
pidato penobatannya sebagai Sri Sultan HB IX ada dua hal penting yang
menunjukkan sikap tersebut. Pertama, adalah kalimat yang berbunyi: "Walaupun
saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, namun pertama-tama
saya adalah dan tetap adalah orang Jawa." Kedua, adalah ucapannya yang
berisi janji perjuangan: "Izinkanlah saya mengakhiri pidato saya ini
dengan berjanji, semoga saya dapat bekerja untuk memuhi kepentingan nusa
dan bangsa, sebatas pengetahuan dan kemampuan yang ada pada saya."
Wawasan kebangsaan HB IX juga terlihat dari sikap tegasnya yang mendukung
Republik Indonesia dengan sangat konsekuen. Segera setelah Proklamasi RI
ia mengirimkan amanat kepada Presiden RI yang menyataak keinginan kerajaan
Yogyakarta untuk mendukung pemerintahan RI. Ketika Jakarta sebagai ibukota
RI mengalami situasi gawat, HB IX tidak keberatan ibukota RI dipindahkan
ke Yogyakarta. Begitu juga ketika ibukota RI diduduki musuh, ia bukan saja
tidak mau menerima bujukan Belanda untuk berpihak pada mereka, namun juga
mengambil inisatif yang sebenarnya dapat membahayakan dirinya, termasuk
mengijinkan para gerilyawan bersembunyi di kompleks keraton pada serangan
oemoem 1 Maret 1949. Jelaslah bahwa ia seorang raja yang republiken.
Setelah bergabung dengan RI, HB IX terjun dalam dunia politik nasional.
Penggagas Serangan Oemoem
Berdasarkan dokumen-dokumen asli yang kini dimiliki Arsip Nasional RI
semakin jelas, penggagas Serangan Oemoem (SO) 1 Maret 1949 adalah mendiang
Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Sebuah dokumen hasil wawancara mendiang
Raja Yogyakarta itu dengan Radio BBC London tahun 1980-an secara jelas
mengatakan hal itu. Dari wawancara itu juga terungkap, peran mantan
Presiden Soeharto yang ketika itu masih berpangkat Letnan Kolonel hanya
sebatas sebagai pelaksana saja.
"Yang pasti, penggagas Serangan Oemoem itu adalah mendiang Sri Sultan
Hamengku Buwono IX dan bukan Pak Harto seperti selama ini diyakini
pemerintah Orde Baru," kata Kepala Arsip Nasional RI Dr Muhklis Paeni,
dalam konferensi pers di gedung Arsip Nasional RI Jakarta, Jumat (10/3)
petang.
Menurut Muhklis, gagasan mendiang Sri Sultan Hamengku Buwono IX mau
mengadakan SO 1 Maret 1949 itu karena dilatarbelakangi oleh kepentingan
nasional yakni menunjukkan kepada dunia internasional bahwa "denyut nadi"
Republik Indonesia masih hidup. Ide itu, jelas Muhklis, lalu didiskusikan
dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman dan akhirnya disetujui. Atas saran
Jenderal Sudirman, Sri Sultan lalu menghubungi Letkol Soeharto soal ide
itu dan membicarakan pengoperasiannya.
Sejarah Mudah Berbaur Dongeng
Penulisan sejarah cenderung memilih kejadian yang dramatis dengan
menampilkan pelaku sejarah yang serba heroik. Maka, sejarah seringkali
mudah berbaur dengan dongeng, di mana seorang tokoh dimitoskan layaknya
wong agung. Hal tersebut diungkapkan oleh Sultan Hamengku Buwono (HB) X
dalam sambutannya pada peresmian Tetenger (tanda) Pelurusan Sejarah
Serangan Oemoem (SO) 1 Maret 1949 di kompleks Keraton Yogyakarta, Kamis
(29/6/02).
Sultan HB X menyatakan, seorang pelaku sejarah atau tokoh sejarah yang
memberikan keterangan dengan mendistorsikan peristiwanya tidak hanya
merusak nama baiknya sendiri, tetapi hakikatnya juga merusak bangsa. Sebab,
apa yang ditulis berdasarkan keterangannya itu akan memberikan nuansa
tertentu dalam proses pemahaman terhadap jati diri bangsa.
Sumbangan masyarakat
Tetenger Pelurusan Sejarah SO 1 Maret itu terbuat dari batu besar seberat
8,4 ton diambil dari lereng Merapi, yang disangga oleh bangunan patma dari
cor beton. Di batu itu terdapat tulisan Tetenger Pelurusan Sejarah
Serangan Oemum 1 Maret 1949. Di kaki penyangga juga terdapat tulisan
Pertemuan Sultan HB IX dengan Komandan Werkhreise (WK) III, dengan
penunjuk arah panah ke selatan. Artinya, di sebuah ruangan kompleks
Keraton Yogyakarta yang terletak di sebelah selatan tetenger itu menjadi
tempat pertemuan HB IX dengan Komandan WK III. Komandan WK III yang
dimaksudkan itu adalah Letkol Soeharto (mantan Presiden).
Letak tetenger ini di sebuah taman luar keraton yang disebut Keben, atau
berjarak sekitar 200 meter dari Monumen SO 1 Maret yang terletak di depan
Istana Presiden Gedung Agung yang dibangun pada masa pemerintahan Orde
Baru. Dana tetenger yang digarap oleh seniman patung kenamaan Yogyakarta
Edhi Sunarso ini didanai dari masyarakat lewat dompet yang dibuka oleh
Harian Kedaulatan Rakyat, Bernas dan Radar Yogya.
Makna tetenger pelurusan sejarah SO 1 Maret ini, sebagaimana diungkapkan
oleh Ketua Panitia Marsoedi (pelaku sejarah), bahwa penggagas ide SO 1
Maret 1949 bukan Letkol Soeharto sebagaimana tertulis dalam sejarah yang
ada saat ini, tetapi HB IX. Sedang pelaksanaan operasi lapangan adalah
pasukan WK III yang dikomandani oleh Letkol Soeharto.
Penting
Dalam sambutannya HB X menyatakan, iklim reformasi ditandai suasana
keterbukaan sikap kritis terhadap penulisan berbagai peristiwa dalam
sejarah modern Indonesia. Dalam hubungan itu, keterangan saksi sejarah
untuk pelurusan suatu peristiwa sejarah mendapatkan momentum yang tepat,
karena sesungguhnya penulisan sejarah bukanlah persoalan kecil.
"Historiografi harus bisa menempatkan visi yang didukung oleh verifikasi,
untuk mendudukkan secara proporsional peran pelaku sejarah dalam kaitan
peristiwa sejarah," tegas HB X.
Menyinggung sejarah SO 1 Maret 1949, HB X menyatakan, pada tanggal itu
sekitar pukul 06.00 pasukan TNI menyerang Yogyakarta yang diduduki Belanda
sejak 19 Maret 1948. Pasukan TNI mampu bertahan selama enam jam di
Yogyakarta. Berdasarkan peristiwa sejarah ini, di tahun 1950-an Usmar
Ismail memproduksi film semidokumenter yang diberi judul Enam Jam di Yogya.
Sementara setelah itu diproduksi peristiwa yang sama dengan nuansa yang
berbeda dengan judul Janur Kuning.
Meskipun situasi telah berubah dengan munculnya Tetenger SO 1 Maret 1949,
bagaimanapun tak bisa dipungkiri peranan Letnan Kolonel Soeharto waktu itu
tetap penting dan patut dicatat dalam sejarah. Tidak mudah dalam kondisi
yang serba terbatas, dengan alat komunikasi yang primitif, merencanakan
dan melancarkan suatu serangan terkoordinasi dengan melibatkan paling
sedikit 2.000 prajurit.
Namun, lanjut HB X, SO 1 Maret 1949 yang dimaksudkan sebagai persitiwa
politik-militer dengan dampak internasional -meskipun pimpinan negara
ditawan di Pulau Bangka- pasti telah melibatkan tokoh-tokoh lain, bukan
seorang Soeharto sendiri.
***
SULTAN HAMENGKU BUWONO X
Lahir dengan nama Bendoro Raden Mas Herjuno Darpito pada tanggal 2 April
1946. Setelah dewasa bergelar KGPH Mangkubumi dan setelah diangkat sebagai
putra mahkota diberi gelar KGPAA Hamengku Negara Sudibyo Raja Putra
Nalendra Mataram. Lulusan Fakultas Hukum UGM ini dinobatkan pada tanggal 7
Maret 1989 (Selasa Wage 19 Rajab 1921).
Aktif dalam berbagai organisasi yaitu ketua umum Kadinda DIY, ketua DPD
Golkar DIY, ketua KONI DIY, Dirut PT Punokawan yang bergerak dalam bidang
jasa konstruksi, Presiden Komisaris PG Madukismo, dan pada bulan Juli 1996
diangkat sebagai Ketua Tim Ahli Gubernur DIY.
SULTAN HAMENGKU BUWONO IX
Dilahirkan di nDalem Pakuningratan kampung Sompilan Ngasem pada hari Sabtu
Paing tanggal 12 April 1912 atau menurut tarikh Jawa Islam pada tanggal
Rabingulakir tahun Jimakir 1842 dengan nama Dorodjatun. Ayahnya adalah
Gusti Pangeran Haryo Puruboyo, yang kemudian hari ketika Dorodjatun
berusia 3 tahun Beliau diangkat menjadi putera mahkota (calon raja) dengan
gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibya Raja
Putera Narendra ing Mataram. Sedangkan ibunya bernama Raden Ajeng Kustilah,
puteri Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Raden Ayu Adipati Anom.
SULTAN HAMENGKU BUWONO VIII
Pada masa HB VIII Kesultanan Yogyakarta mempunyai banyak dana yang dipakai
untuk berbagai kegiatan termasuk membiayai sekolah-sekolah kesultanan.
Putra-putra HB VIII banyak disekolahkan hingga perguruan tinggi, banyak
diantaranya di Belanda.
Beliau mangkat pada tanggal 22 Oktober 1939 di RS Panti Rapih Yogyakarta.
SULTAN HAMENGKU BUWONO VII
Pada masa kepemimpinannya banyak didirikan pabrik gula di Yogyakarta,
seluruhnya berjumlah 17 pabrik. Setiap pendirian pabrik memberikan peluang
pada Sultan untuk menerima dana sebesar Rp 200.000,00. Hal ini
mengakibatkan Sultan sangat kaya seringga sering dijuluki Sultan Sugih.
Pada masa kepemimpinannnya juga merupakan masa transisi menuju modernisasi
di Yogyakarta. Banyak sekolah modern didirikan dan karenanya
putra-putranya diharuskan mengenyam pendidikan modern, bahkan hingga ke
negeri Belanda.
Tahun 1920 dalam usia 80 tahun, Sultan turun tahta dan mengangkat putra
mahkotanya sebagai penggantinya.
SULTAN HAMENGKU BUWONO VI
Adalah adik HB V yang semula bernama Pangeran Adipati Mangkubumi.
Kedekatannya dengan Belanda membuatnya mendapat pangkat Letnan Kolonel
(1839) dan Kolonel (1847) dari Belanda.
Perkawinannya dengan putri Solo (1848) yaitu kemenakan Susuhunan Paku
Buwono V atau cucu Paku Buwono IV dari garwa ampeyan (selir) merupakan
catatan sejarah bagi terjalinnya kembali hubungan antara Kesunanan
Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta yang sejak perjanjian Gianti (1755)
sering terjadi pertikaian antara kedua belah pihak.
SULTAN HAMENGKU BUWONO V
Bernama kecil Raden Mas Menol dan dinobatkan dalam usia 3 tahun. Dalam
memerintah dibantu dewan perwalian yang antara lain beranggotakan Pangeran
Diponegoro sampai tahun 1836.
Beliau mangkat pada tahun 1855 tanpa meninggalkan putra yang dapat
menggantikannya.
SULTAN HAMENGKU BUWONO IV (1804-1822)
Diangkat sebagai raja pada usia 10 tahun, karenanya dalam memerintah
didampingi wali yaitu Paku Alam I hingga tahun 1820. Pada masa
pemerintahannya diberlakukan sistem sewa tanah untuk swasta tetapi justru
merugikan rakyat.
Tahun 1822 Beliau wafat pada saat bertamasya sehingga diberi gelar Sultan
Seda Ing Pesiyar.
SULTAN HAMENGKU BUWONO III
Putra Sultan Sepuh yang memegang kekuasaan pada tahun 1810. Setahun
kemudian ketika Pemerintah Belanda digantikan Pemerintah Inggris di bawah
pimpinan Letnan Gubernur Raffles, Sultan HB III turun tahta dan kerajaan
dipimpin oleh Sultan Sepuh (HB II) kembali selama satu tahun (1812).
Pada masa kepemimpinan Sultan HB III keraton Yogyakarta mengalami
kemunduran yang besar-besaran.
Kerajaan Ngayogyakarta diharuskan melepaskan daerah Kedu, separuh Pacitan,
Japan, Jipang dan Grobogan kepada Inggris dan diganti kerugian sebesar
100.000 real setahunnya.
Angkatan perang kerajaan diperkecil dan hanya beberapa tentara keamanan
keraton.
Sebagian daerah kekuasaan keraton diserahkan kepada Pangeran Notokusumo
yang berjasa kepada Raffles dan diangkat menjadi Pangeran Adipati Ario
Paku Alam I.
Tahun 1814 Beliau mangkat dalam usia 43 tahun.
SULTAN HAMENGKU BUWONO II (1792-1828)
Dikenal sebagai penentang kekuasaan imperialisme Barat, antara lain
menentang Gubernur Jenderal Daendales dan Letnan Gubernur Raffles. Sultan
HB II menentang aturan protokoler baru ciptaan Daendales mengenai alat
kebesaran yang dipakai para residen Belandan pada saat menghadap Sultan
misalnya hanya menggunakan payung dan tak perlu membuka topi. Perselisihan
antara HB II dengan Susuhunan Surakarta tentang batas wilayah daerah
kekuasaan juga mengakibatkan Daendales memaksa HB II turun tahta pada
tahun1810, kemudian mengangkat putranya sebagai Sultan Hamengku Buwono III
sehingga dalam keraton terdapat dua raja. Sultan HB II disebut Sultan
Sepuh dan Sultan HB III adalah Sultan Raja.
Tahun 1812 Raffles menyerbu Yogyakarta dan menangkap Sultan Sepuh yang
kemudian diasingkan di Pulau Pinang kemudian dipindah ke Ambon.
PANGERAN MANGKUBUMI (6 Agustus 1717 - 24 Maret 1792)
Terlahir dengan nama Raden Mas Sujono yang merupakan adik Susuhunan
Mataram Paku Buwono II di Surakarta. Pada tahun 1746 ia memberontak karena
Paku Buwono II mengingkari janji memberikan daerah Sukawati (sekarang
Sragen) atas kemenangan Mangkubumi melawan Raden Mas Said. Pemberontakan
tersebut berakhir dengan tercapainya Perjanjian Gianti (13 Februari 1755)
yang menyatakan bahwa separuh Mataram menjadi milik Mangkubumi. Dalam
perjanjian itu pula Mangkubumi diakui sebagai Sultan Hamengku Buwono I
yang bergelar Senopati Ing Ngalogo Sayidin Panotogomo Khalifatullah dengan
karatonnya di Yogyakarta.
PANGERAN DIPONEGORO ( 11 November 1785 - 8 Januari 1855).
Panglima tertinggi dalam Perang Diponegoro (1825-1830) yang dalam
buku-buku sejarah karangan penulis Belanda disebut Java Oorlog (=Perang
Jawa).
Nama kecilnya Ontowiryo, putra sulung Sultan Hamengku Buwono III.
Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan berdiri di pihak
rakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo daripada di keraton.
Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan HB V (1822)
dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi HB
V yang berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh
Patih Danurejo bersama Residen Belanda. Cara perwalian itu tidak disetujui
Diponegoro.
Dalam perkembangan selanjutnya Belanda berusaha menangkap Diponegoro dan
meletus Perang Diponegoro pada tanggal 20 Juli 1825.
28 Maret 1830 P. Diponegoro menemui Jenderal De Kock di Magelang. De Kock
memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan
perang. Permintaan itu ditolak Diponegoro. Tetapi Belanda telah menyiapkan
penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan dibuang
ke Ungaran, kemudian ke Semarang, dan langsung ke Jakarta.
8 April 1830 sampai di Jakarta dan ditawan di Stadhuis.
3 Mei 1830 diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di
benteng Amsterdam.
1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan.
8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Melayu Makassar.
*** Ensiklopedi Tokoh Indonesia (TokohIndonesia DotCom)
|
|