A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z
:: Beranda :: Berita :: Profesi :: Politisi :: Pejabat :: Pengusaha :: Pemuka :: Selebriti :: Aneka ::
  H O M E
 ► Home
 ► Biografi
 ► Versi Majalah
 ► Berita
 ► Wawancara
 ► Pidato
 ► Buku
 ► Organisasi
 ► Galeri
  P E J A B A T
 ► Pejabat
 ► Presiden
 ► MA
 ► Bepeka
 ► MK
 ► Kabinet
 ► Departemen
 ► Badan-Lembaga
 ► Mabes TNI
 ► Mabes Polri
 ► Pemda
 ► BUMN
 ► Purnabakti
 ► Asosiasi
 ► Search
 ► Poling Tokoh
 ► Selamat HUT
 ► Pernikahan
 ► In Memoriam
 ► Majalah TI
 ► Redaksi
 ► Buku Tamu
 

 
  C © updated 01092004  
   
  ► e-ti/atur  
  Nama :
Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla
Lahir :
Watampone, 15 Mei 1942
Jabatan Kenegaraan:
= Wakil Presiden RI (2004-2009)

Alamat Kantor:
Jalan Kebon Sirih Jakarta Pusat

Alamat Rumah:
Jl. Brawijaya Raya No. 6 Jakarta Selatan
wa
 
     
 
WAWANCARA

 

==   01   02   03   ==

H.M.Jusuf Kalla (02)

Sekitar 74% Rakyat Ingin Perubahan


Calon Wakil Presiden kelahiran Watampone, Sulawesi Selatan 15 Mei 1942, ini optimis akan mendapat dukungan dari sebagian besar rakyat Indonesia yang saat ini menginginkan perubahan. Berpasangan dengan Susilo Bambang Yudhoyono, Calon Presiden dari Partai Demokrat, pasangan ini diprediksi akan meraih lebih 60 sampai 70 persen suara pada Pemilu Presiden putaran kedua.

Dalam percakapan dengan wartawan Tokoh Indonesia, di kantornya Graha Anugerah, Jalan Raya Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Selasa 3 Agustus 2004, pengusaha sukses ini berkeyakinan bahwa 74 persen rakyat yang tidak menginginkan status quo akan memilih pasangan ini.

Percakapan itu berlangsung santai, tulus dan bersahaja. Tak terkesan dia seorang pengusaha besar, mantan menteri dan bahkan Calon Wakil Presiden yang sangat berpeluang memenangkan Pemilu Presiden-Wakil Presiden putaran kedua. Ia menyapa seperti seorang sahabat, tulus tanpa prasangka. Berbicara dengannya terasa seperti berbicara dengan ayah sendiri bahkan seperti bicara dengan sahabat sendiri. Terbuka dan bersahaja, apa danya.

Percakapan yang santai, tidak terkesan formal, ringan dan terbuka ini, bukan berarti kurang bermakna, karena tidak membahas secara mendalam mengenai platform dan program-program formal lainnya. Bahkan sebaliknya, percakapan yang ringan dan humanis ini, justru mengandung makna yang sangat hakiki dalam kapasitasnya sebagai Cawapres serta perspektif pasangan Capres-Cawapres ini dalam memimpin bangsa dan negara ini di masa hadapan, termasuk pembagian tugas di antara dwitunggal ini. Berikut ini kami sajikan petikan percakapan itu:

MTI: Prediksi sebagian besar orang dan para pengamat bahwa pasangan Anda (Susilo-Jusuf Kalla) akan menjadi pemenang Pemilu Presdien putaran pertama 5 Juli 2004, ternyata terbukti. Bagaimana perasaan Anda dan anggota keluarga menyikapinya?
MJK: Ya, memang sudah diprediksi sebelumnya, dan kita merasa bersyukur bahwa itu, pilihan rakyat. Bagi kita, itu merupakan suatu amanah dari rakyat. Dan dari itu, kita lalu mengambil kesimpulan bahwa masyarakat bangsa ini, ingin perubahan yang lebih baik.

MTI: Ada komentar khusus dari anak dan istri?
MJK: Ya, bersyukur saja, bahwa sudah dicapai pilihan suara itu, dan tentu karena tahu betul bahwa ini belum final jadi tetap kemudian merancang lagi bagaimana nanti. Jadi tentu, karena belum final maka kita hati-hati.

MTI: Tapi tentu muncul ekspektasi yang lebih tinggi lagi untuk nanti?
MJK: Ya.

MTI: Menurut Anda, apa kira-kira kata kunci kemenangan?
MJK: Ini pilihan yang tergantung figur. Jadi artinya, masyarakat itu ingin figur yang bisa berkomunikasi dengan masyarakat, ingin figur yang mempunyai harapan, ada leadership dan ingin perbaikan. Jadi itu, mungkin kebalikan dari Ibu Mega yang terlalu diam sehingga tidak punya komunikasi dengan masyarakat. Itu, salah satu intinya: Komunikasi.

MTI: Kemudian, menjelang Pemilu putaran kedua, selain perlu berkomunikasi adakah varian-varian baru?
MJK: Ya, kita semakin intesifkan komunikasi, terutama untuk mengonsolidasikan pemilih kita yang 33,5% itu. Kemudian bagaimana yang 40% lagi yang sebelumnya memilih Pak Wiranto dan Pak Amien itu untuk dapat beserta dan memilih kita. Nah, kita jelaskan bagaimana perencanaan, program dan platform kita kepada masyarakat.

MTI: Pergerakan kenaikan pemilih kepada dua pasangan kontestan Pemilu Presiden putaran kedua, apakah nanti akan linear, paralel atau bagaimana menurut Anda?
MJK: Oh, menurut perkiraan kami begini. Dari hasil pemilihan 5 Juli lalu, kita dapat melihat bahwa 74% rakyat Indonesia menginginkan perubahan. Dengan kata lain, hanya 26% yang memilih Bu Mega berarti itu status quo. Perubahan itu mau lewat Pak SBY, Pak Wiranto atau lewat Pak Amien. Dari situ kita melihat bahwa masyarakat yang ingin berubah ini harus dapat disolidkan. Caranya, mari kita lakukan perubahan bersama-sama. Karena itu kita optimis, karena mereka ingin perubahan. Yang kedua dari segi kultur, pemilu yang lalu itu selain karena figur banyak juga pilihan karena soal agama, soal kultur, baru yang terakhir pada platform.

MTI: Apakah esensi perubahan itu adalah pada perubahan figur atau platform?
MJK: Ya, kedua-duanya. Tentu figur termasuk salah satu di dalamnya. Orang melihat, ‘oh, Pak SBY di sana, dia baik, artinya dia energik dan karena itu dia bisa melakukan perubahan. Programnya apa, ekonomi yang lebih baik, demikian pula kehidupan sosial dan politik yang lebih baik. Dua-duanya. Sebab, bisa juga bikin program yang lebih baik tapi figurnya tidak bisa melaksanakan, ya orang tidak pilih. Atau, ada figur yang baik tapi tidak punya program, orang lihat, apa ini?

MTI: Tadi Anda sebutkan ada 40% yang tadinya memilih Wiranto/Wahid dan Amien/Siswono yang menginginkan perubahan. Tapi belakangan dari komunikasi yang kita lihat, SBY sendiri sepertinya tidak menginginkan adanya koalisi?
MJK: Itu, persisnya tidak sepenuhnya benar. Kita hanya ingin menjaga etika politik. Kita tidak ingin berkomunikasi langsung sebelum tanggal 26 Juli, pengumuman akhir. Karena itu, komunikasi politik kita sebelum tanggal 26 Juli, bersifat tertutup. Saya berkomunikasi dengan semua pimpinan partai, berbicara dengan mereka semua. Nah, setelah tanggal 26 Juli barulah terbuka. Karena itu, baru tanggal 26 Pak SBY terbuka bicara dengan Pak Amien. Nanti, insya Allah akan terbuka juga bicara dengan Pak Akbar. Sebelum itu kita juga bicara dengan semua pimpinan partai yang ada.

MTI: Peta persaingan politik menjelang 20 September akan bagaimana menurut Anda?
MJK: Tentu, ketat. Sebab, dengan Ibu Mega sebagai presiden yang sedang berkuasa tentu mempunyai lebih banyak kesempatan berkomunikasi dengan rakyat. Dan, kita mengkhawatirkan presiden memakai aparat negara untuk itu. Seperti yang kita lihat dalam kasus Polri di Banyumas, kan? Setiap saat memanggil Kepala Desa. Itu yang kita lihat bisa menjadi masalah. Pemakaian aparatur negara dan penggunaan isyu-isyu negatif, tapi kita siap menghadapi mereka.

MTI: Tapi, bukankah posisi pasangan Anda sebagai penantang bisa bersuara lebih lantang dan juga lebih bebas dan belum bisa dinilai?
MJK: Kita tidak mau juga. Kia menjaga etika juga untuk tidak berkampanye secara negatif. Kita di sini berkampanye berdasarkan platform dan program yang ada, berdasarkan harapan yang ada. Bisa saja kita menantang dengan beragam cara, tapi kita tidak ingin lakukan itu. Kita tidak ingin melakukan kampanye negatif, black campaign.

MTI: Pemerintahan Megawati sudah bisa diukur sejauhmana keberhasilannya. Sementara kepada pasangan Anda belum bisa diberikan ukuran?
MJK: Ya, begini. Pada Pemerintahan Megawati, tiga tahun kami bagian dari itu. Jadi, keberhasilan dan kegagalan Pemerintahan Megawati juga tak lepas dari peranan kami di situ. Tapi yang paling ingin kami sampaikan justru, karena persis kami tahu di mana masalah-masalah berbangsa ini sehingga kita tahu bagaimana seharusnya memimpin agar bangsa ini bisa maju jauh ke depan.

MTI: Apa saja isu baru yang lebih segar yang ingin Anda tawarkan menjelang 20 September?
MJK: Kita tentu tidak berubah-ubah, tetap konsisten pada platform dasar. Bahwa tujuan kita ingin menciptakan suatu bangsa yang aman, yang adil secara sosial ekonomi dan politik dan ingin menciptakan suatu masyarakat yang sejahtera. Jadi, hal ini sulit dilakukan apabila tanpa perubahan kepemimpinan bangsa. Karena kita tahu betul sebagai orang yang berada di pemerintahan, pemimpin yang ada susah membawa itu.

MTI: Sepertinya, pasangan Anda, SBY selalu berusaha mencoba memotong hubungan dan alur psikologis antara rakyat pemilih dengan pimpinan partai, ini sebuah strategi khusus atau apa?
MJK: Sama seperti tadi saya katakan, orang selalu salah tafsir tentang kita, bahwa kita ini tidak mau berkoalisi. Padahal sebaliknya. Coba kita lihat kejadian kemarin. Siapa kandidat yang berkoalisi, kan cuma kami antara Partai Demokrat, PBB dan PKPI. Mega sendirian, terakhir dia tidak disebutkan berkoalisi tapi didukung oleh PDS. Golkar tidak juga, setelah hari terakhir baru didukung bukan mencalonkan tapi didukung oleh PKB. PAN sendirian, Hamzah sendirian. Yang berkoalisi resmi mendaftar ke KPU cuma kami.
Kedua, yang pertama bicara dengan Akbar saya, yang pertama bicara dengan Amien Rais saya, yang pertama bicara dengan Nurwahid saya. Cuma memang sistem saya ini belum mau terbuka ketika itu.

MTI: Kita melihat agak berbeda antara Pak Jusuf Kalla dengan Pak SBY. Ketika Anda melihat pentingnya mesin politik, kita lihat, ini pengamatan kami, Pak SBY itu begitu terlalu percaya diri sehingga apa yang Anda lakukan itu sepertinya tidak perlu?
MJK: Sebenarnya, itu hanya pembagian tugas saja. Kita ini sepakat pembagian tugas seperti itu. Supaya dalam setiap perundingan itu jangan langsung yang nomor satu. Tapi sebaiknya didahului orang nomor dua, karena nomor dua bisa lebih fleksibel.

MTI: Sebuah strategi?
MJK: Nah… Saya sebagai wakil harus lebih fleksibel. Apalagi, karena background pengusaha kan tiap hari berunding. Jadi saya berunding dengan siapa saja.

MTI: Apakah itu sebuah pembelaan saja, barangkali?
MJK: Nggak juga. Ini real. Cuma mungkin ada kata-kata yang terucapkan Pak SBY atau saya kurang dimengerti oleh masyarakat, seperti koalisi terbatas. Itu, kata-kata yang sering disalahartikan. Koalisi terbatas itu artinya ada batasannya. Jadi, ada yang masuk dan ada yang tidak. Berarti ada oposisi.

MTI: Padahal sesungguhnya dia ingin mengembangkan demokrasi secara sehat?
MJK: Ya. Jangan seperti kabinet yang sekarang, karena pelangi semua di dalam tapi semua juga tidak mendukung. Kadang-kadang tidak mendukung kadang-kadang mendukung.

MTI: Kita mau kembali dulu lihat ke belakang. Anda kan calon presiden dalam konvensi Partai Golkar tiba-tiba menjadi calon wakil presiden SBY dari Partai Demokrat. Apa kontraknya sehingga Anda mau. Partai Golkar besar, sedangkan Demokrat partai kecil?
MJK: Saya realistis. Bukan soal partai kecil besar, tapi yang mana paling mungkin menang. Ketika itu, konstalasi Golkar dengan begitu tingginya persaingan. Konvensi itu sebenarnya diadakan karena Pak Akbar ada perkara. Terakhir dia sudah bebas, tidak ada perkara maka saya secara sopan keluar dari situ dan beri kesempatan kepada Pak Akbar, itu alasan pertama. Yang kedua, tapi dengan demikian saya juga ingin menggunakan hak saya dipilih. Yang paling realistis bagi saya, karena saya teman baik dengan Pak SBY, bersama-sama Pak SBY itu pasti lebih baik bagi saya. Saya sendiri juga secara kultur memahami bahwa pada masa ini belum mudahlah kita dari luar Jawa untuk menjadi running well ke kursi presiden. Tidak cenderung mudah, karena pemilih 60% di Jawa.

MTI: Siapa sesungguhnya yang lebih dulu menawarkan berpasangan, di awal mulanya?
MJK: Tentu, karena saya sudah bersahabat lama dan bersama-sama, ya tentu Pak SBY yang mengundang saya.

MTI: Kapan, dimulainya itu?
MJK: Setelah habis Pemilu Legislatif 5 April, ya, kira-kira satu bulan setelah itu.

MTI: Suasananya bagaimana, ketika baru pertama kali dipinang oleh Pak SBY?
MJK: Ya, kita setuju saja sudah. Toh kita sudah mengerti apa kelebihan dan apa kekurangan.

MTI: Ada pertemuan khusus membicarakan itu?
MJK: Tentu, tentu, ada pertemuan khusus.

MTI: Feeling sudah ada sebelumnya, mungkin?
MJK: Ya, kita kan sebelumnya kerjasama selama tiga tahun, malah sebelumnya kita sudah kerjasama.

MTI: Waktu Pak SBY mundur, Anda ke tempat Pak SBY, barangkali pada saat itu sudah ada feeling, atau bagaimana?
MJK: Ya… saya bersimpati kepada teman yang meninggalkan kita.

MTI: Kami bersimpati pada Anda, terutama dari gaya hidup yang bersahaja. Gaya hidup itu mungkin bisa dibawa ke pemerintahan yang akan datang. Tapi harus jelas mengenai pembagian kewenangan, sebab biar pun bagaimana talenta yang Anda miliki menjadi tidak ada artinya apa-apa kalau Presidennya tidak memberikan kewenangan apa-apa. Bagaimana sebenarnya komitmen antara Anda dengan SBY?
MJK: Itu, pertama harus dipahami dulu bahwa wakil presiden sebelumnya berbeda cara pemilihannya dengan sekarang. Itu, wakil presiden jaman dahulu sebelum Undang-Undang Dasar diamandemen, itu dipilih setelah pemilihan presiden. Dan itu, dulu pada waktu zaman Presiden Soeharto cara pemilihannya tergantung bagaimana mau presiden. Ya, otomatis itu tidak bersama-sama. Sekarang, pemilihan itu langsung dan kita bersama-sama, saling berjuang bersama-sama, dengan resiko yang sama, konstituen yang menambah kepercayaan kita, sehingga kalau dalam pemilihan ini kita punya share yang cukup.
Nah, juga sebelumnya tentu ada pembicaraan-pembicaraan bahwa kita harus bekerja bersama sesuai dengan kompetensi dan kemampuan yang ada. Dulu, presiden ya presiden, wapres ya wapres. Tetapi ada suatu sistem yang kita akan bangun yaitu semacam bekerja berdasarkan kemampuan yang ada.

MTI: Jadi, potensi Anda sebagai seorang enterpreneurship, akankah diarahkan ke arah itu atau…?
MJK: Ya, kita harus bekerja berdasarkan kemampuan. Dan, ini bukan hal yang baru dalam sejarah kepemimpinan kita. Waktu Sukarno dan Hatta, Bung Hatta itu seperti perdana menteri, awalnya. Pada waktu Pak Harto dengan Hamengkubuwono, Wapres itu menangani masalah ekonomi. Pada waktu Adam Malik, Adam Malik itu diberi tugas menangani masalah luar negeri. Pada waktu Try Sutrisno, itu wakil presiden menangani masalah pengawasan.

MTI: Adakah feeling Bapak bahwa kerjasama ini suatu ketika bisa seperti kejadian antara Bung Karno dan Bung Hatta?
MJK: Ya, tentu kemungkinan itu ada saja. Namun, sebenarnya persoalan antara Bung Karno dan Bung Hatta bukan soal pekerjaan, intinya adalah kepada paham demokrasi, bukan soal tugas. Begitu Sukarno berkecenderungan, katakanlah otoriter, Bung Hatta keluar. Jadi, bukan masalah kerjaan. Tapi paham otoriter.

MTI: Soalnya, sekarang antara Pak SBY dengan Anda, lagi dikembangkan semacam padanan antara Bung Karno sama Bung Hatta?
MJK: Ya, setidak-tidaknya antara Jawa-luar Jawa, militer-sipil.

MTI: Tapi, yang jeleknya kan jangan-jangan menjadi….
MJK: Mudah-mudahan tidak!

MTI: Kita berpikiran positif, tapi kan perlu….?
MJK: Ya, perlu.

MTI: Karena kami melihat indikasi, kemarin waktu acara Dialog Capres-Cawapres dengan Kadin, Pak SBY mengatakan, ‘saya bersyukur bepasangan dengan Pak Jusuf Kalla yang belatar dunia usaha, dan nanti saran-sarannya mengenai dunia usaha dan ekonomi mungkin akan banyak membantu saya dalam rangka saya mengambil keputusan.’
MJK: Ha…ha…ha….! Saya kira tidak begitu. Saya malah terbalik kadang-kadang. Malah kerjaan Pak SBY saya yang kerjain semasa di kabinet. Banyak hal sering kita saling kerjasama. Apalagi melaksanakan pekerjaan yang saling tahu, ya kadang-kadang kita saling mintain tolong: kerjakan ini.

MTI: Mungkin, nanti kalau terpilih sebagai Wapres sekecil apapun peranannya dalam pembagian tugas tapi jelas pengaruhnya mungkin akan besar. Misalnya, paling tidak dalam kultur, gaya hidup birokrasi, mungkin paling tidak itu bisa diterapkan. Apa kira-kira yang Anda lihat dalam soal gaya hidup ini?
MJK: Ya, kita harus memahami rakyat, dengan cara bersama-sama dan berkomunikasi dengan rakyat. Kultur itu bisa diubah. Cara saya selalu bekerja dengan pakai mata, melihat rakyat dengan mata.

MTI: Secara karakter, ada nggak hambatan yang Anda alami bersama Pak SBY?
MJK: Saya kira, justru karakter itu kan harus berbeda supaya itu lebih sinkron. Kalau semua kita pakai karakter yang katakanlah tenang, semuanya tenang, ya artinya tidak ada yang bergerak. Mungkin karakter dia bisa tenang tapi saya tidak. Atau semuanya bergejolak dan dinamis bahaya juga tidak ada yang ngerem.

MTI: Jadi, ini adalah pasangan yang serasi?
MJK: Ya, benar, justru sinergi itu harus berbeda.

MTI: Jadi, Anda melihat ada perbedaan karakter dengan Pak SBY?
MJK: Oh iya, karakter Jawa dengan Bugis itu berbeda.

MTI: Kampanye nanti menjelang 20 September hanya tiga hari, sementara perjalanan masih panjang. Dan, sedang ada trend menurun popularitas SBY-JK. Apa strateginya untuk mengantisipasi dan menaikkan kembali popularitas itu?
MJK: Begini. Trend itu sebenarnya tidak juga menurun. Cuma lihat waktunya diambil survei itu. Banyak orang salah sangka. Kalau kita lihat trendnya, itu 60% pada awal Mei 2004. Pada saat itu yang lain belum punya pasangan, jadi bagaimana bisa menilai mereka. Sementara kita sendirian waktu itu yang sudah siap, malah dalam Mei sudah ada iklan untuk kenalkan nama. Itu yang pertama.
Kedua, waktu itu pasangan lain belum berusaha apa-apa. Survei setelah tanggal 21 Mei itu ada artinya, karena yang dibagi 100% oleh lima pasangan, otomatis terjadi penurunan, itu biasa.

MTI: Ada nggak usaha dari pihak Anda untuk menambah jadwal kampanye, jangan hanya tiga hari?
MJK: Jadwal ini sulit diubah karena sesuai dengan undang-undang. Tetapi, yang namanya konsolidasi itu bisa saja terjadi.

MTI: Jadi, akan dilakukan melalui berbagai konsolidasi. Cuma beriklan barangkali tidak bisa?
MJK: Kami jalan, konsolidasi.

MTI: Setelah diketahui bahwa dua pasangan yang maju ke putaran kedua adalah SBY-JK dan Mega-Hasyim, bisa saja orang menjadi berpaling melihat Ibu Mega. Sebab ketika masih ada lima pasangan orang cenderung melihat SBY-JK tidak memandang Mega-Hasyim. Bagaimana Anda melihat fenomena ini?
MJK: Ya, kalau mau cara gampangnya bisa dilihat dari sisi pemilih. Yang swing itu ada 40%, ya, pemilih Pak Amien dan Wiranto. Kita lihat siapa pemilih Pak Amien, itu PAN-Muhammadiyah-PKS. Pemilih Muhammadiyah secara kultur susah memilih Mega-Hasyim. PKS sudah memutuskan tidak memilih Mega. Jadi, dari 14% pemilih Amien-Siswono itu katakanlah 12% memilih kita.
Siapa pemilih Pak Wiranto? Pemilih Pak Wiranto itu adalah Golkar dan PKB yaitu NU yang konservatif. NU itu saya kira di situ ada lima persen yang memilih Pak Wiranto, di mana NU yang konservatif ini sudah memfatwakan tidak memilih perempuan.
Begitu pula dengan Golkar. Golkar ini sudah setahun mengampanyekan untuk tidak memilih Megawati. Orang Golkar pidato, perlu perubahan, perlu ini, KKN, segala macam, sewaktu konvensi, sewaktu Pemilu Legislatif, sewaktu Pemilu Presiden, semua mengeritik. Apa mungkin dalam waktu singkat itu dapat dibalik pikiran orang?
Jadi kita optimis, yang memilih Pak Amien sebagian besar akan memilih kita, yang memilih Pak Wiranto akan bersama-sama dengan kita.

MTI: Bukankah itu bisa fifty-fifty?
MJK: Lebih, lebih dari itu. Dan, kalau pun fifty-fifty itu berarti kita sudah dapat 54%, separuh dari 40% dapat kita 20% ditambah 33,5% kita akan dapat 53,5%

MTI: Proyeksi Anda kemenangan ini nanti bisa di atas 60%?
MJK: Ya, di atas 60% sampai 70% dengan melihat kultur itu tadi.

MTI: Anda sering mengintrodusir masalah kultur dan fatwa ulama untuk cenderung tidak memilih pemimpin perempuan. Bagi Anda, introduksi itu merupakan pengungkapan kenyataan atau memang demikian sikap politik Anda terhadap masalah jender?
MJK: Tidak, tidak, kita tidak! Saya belum tentu setuju dengan hal tersebut. Tapi yang saya katakan itu pemilih yang terpengaruh oleh objek fatwa tersebut. Dan fatwa itu diserahkan kepada pemilih itu. Di Jawa Timur contohnya, mau apapun kalau C bilang nggak ya nggak jalan itu. Sama dengan orang Muhammadiyah, sulit itu.

MTI: Ketika dialog Capres-Cawapres di televisi 1 Juli 2004 yang difasilitasi oleh KPU, jawaban Anda mengenai hambatan budaya dan adanya fatwa ulama tidak memilih pemimpin perempuan mendapat kritik dan dikesankan anti jender?
MJK: Oh, saya hanya mengingatkan adanya fatwa itu, bukan anti jender. Saya cuma menganalisa, jadi bukan sikap politik saya. Saya hanya menganalisa pemilih itu begini, pemilih ini tidak bisa goyah karena adanya fatwa itu.

MTI: Apakah sikap pemilih itu tidak mungkin bisa berubah dalam waktu singkat?
MJK: Nggak bisa. Sama dengan bagaimana mengubah pemilih Golkar yang hampir setahun dikampanyein Golkar anti KKN, pemerintah sekarang tidak mampu, perlu perubahan dan sebagainya.

MTI: Bisakah Anda menilai secara fair apa kelebihan dan kekurangan kompetitor menjelang 20 September ini?
MJK: Secara jujur, ya, kami berdua kan bekas menteri, kami tahu betul pemerintah ini sulit bertumbuh dengan baik dengan cara kepemimpinan yang seperti ini. Tiga tahun kami tahu betul, susah. Itu kekurangannya. Dan tentu sebaliknya, kelebihannya bahwa tentu kami mampu lebih baik dari itu.

MTI: Sudah tahu di dalamnya?
MJK: Iya, bagaimana caranya dengan kepemimpinan seperti itu. Tidak ada komunikasi dengan masyarakat, tidak bisa mengambil keputusan yang baik.

MTI: Tapi, apakah Pak SBY bisa mengambil keputusan dengan cepat sebab dia juga disebut orang sebagai peragu?
MJK: Itu pandangan orang. Saya lebih kenal SBY.

MTI: Apa kira-kira tema selain yang sudah ada dalam platform dalam menghadapi putaran kedua?
MJK: Ya, kita ingin perubahan dengan cara berubah. Tidak mungkin status quo. Jadi, implikasi status quo dengan perubahan, itu saja yang kita ingin bedakan.

MTI: Pasangan Anda dicalonkan oleh Partai Demokrat, PKPI dan PBB yang total suaranya di parlemen rendah. Bagaimana pemerintahan Anda nanti jika tidak memperoleh dukungan parlemen untuk mengambil keputusan-keputusan?
MJK: Karena itu kita akan bangun koalisi lagi di tahap kedua. Sekarang ini sudah dengan PBB dan PKPI. Dengan PAN, PKS, Golkar dan PKB sedang kita bicarakan. Kita insya Allah akan mencapai sekitar 50% di parlemen. Tapi kalaupun 50% itu tidak tercapai, tidak apa-apa juga. Justru, kalau pemerintah itu minoritas, kecil suaranya di parlemen, akan terjadi check and balances yang lebih baik.

MTI: Dan, itu sering terjadi di Amerika?
MJK: Iya, di Amerika. Pada saat Clinton (Partai Demokrat) yang memerintah, Kongres mayoritas dikuasai oleh Partai Republik. Buktinya Clinton terpilih dua kali.
Sekarang juga di Australia, Perdana Menteri Howard dari Partai Buruh, sementara parlemen dikuasai Partai Liberal, cukup balance.
MTI: Anda dan Pak SBY membentuk koalisi bersifat permanen atau hanya untuk Pemilihan Presiden?
MJK: Nggak, yang dimaksud koalisi masuk pemerintahan berarti ya harus juga berkoalisi di parlemen.

MTI: Tentu harus ada kontrak dan power sharing-nya?
MJK: Ya, power sharing itu di kabinet.

MTI: Kami teringat ketika Anda ketemu dengan Pak Hamzah Haz. Anda mengatakan 40% kabinet untuk koalisi dan 60% untuk profesional. Tapi ada semacam bantahan dari Pak SBY?
MJK: Sebenarnya itu tidak dibantah. Kan saya tanya kepadanya, dia mengatakan bahwa, wah belum secara tegas mengatakan itu. Sebenarnya, biasanya itu hanya perbedaan cara mengukur. Kalau pengusaha kan perhitungan cepat. Karena itu, sekian untuk partai-partai ini kira-kira 12, 12 itu kan berarti 40 persen, kalau 30 orang menterinya. Itu saja.
Dan saya ngomong ke wartawan pun tidak begitu. “Bagaimana kabinetnya, Pak Jusuf?” Oh, ya, kabinetnya profesional. “Bagaimana maksudnya?” Ya, isi kabinet lebih banyak orang profesional dibanding orang partai. “Berapa?” Ya, sekitar 60-40. Kan, begitu, arahnya. Dan pas saya hitung berapa sih, saya hitung oh 12 atau 13 dari 30 menteri ya 40 persen.

MTI: Itu jawaban taktis atau memang sudah disiapkan demikian?
MJK: Sudah, sudah demikian. Dan saya kan sudah ngitung.

MTI: Departemen Penerangan sudah dilikuidasi. Tapi Indonesia di bidang telematika sangat jauh tertinggal. Bagaimana konsepsi dalam kabinet yang baru untuk menangani masalah itu, di mana teknologi informasi itu sudah sangat menentukan?
MJK: Ya, itu dikembangkan bukan hanya oleh satu Departemen Telematika atau apa, tapi harus dimulai dari pendidikan. Pendidikan dan dunia usaha yang harus mengembangkan itu. Contohnya, India yang maju di bidang ini, itu karena pendidikannya yang lebih dulu digarap. Pendidikan matematika di pendidikan dasar diajar dengan kuat sehingga kemudian ahli-ahli komputernya banyak dan dengan mudah dan banyak dikembangkan software yang murah. Kita juga harus mulai dari sistem pendidikan.

MTI: Sekarang, yang kita lihat masing-masing instansi pemerintah bikin servernya sendiri-sendiri tentu dengan biaya yang lebih mahal. Kalau ada satu tempat dan lembaga yang menyediakan bahwa semua server Indonesia ada di sana sehingga bisa dibangun jalan tol bukan jalan tikus sehingga mudah diakses, sebagaimana sudah diterapkan negara lain?
MJK: Iya, itu memang, di mana-mana itu suatu upaya perusahaan-perusahaan. Jadi harus kita kembangkan dunia usaha ke arah itu. Sebenarnya itu pun bukan urusan pemerintah, server-server itu urusan di dunia usaha. Walaupun kita tahu semua, dulu banyak yang bersemangat, tapi kemudian juga banyak yang mati. Ini banyak yang makai loan luar negeri lagi.

MTI: Tugas Anda di kabinet kira-kira apa saja nanti?
MJK: Ya, membantu presiden untuk melaksanakan pemerintahan tentunya, membangun bangsa ini, dan membangun sesuai dengan sektor masing-masing.

MTI: Bentuk, susunan, dan komposisi kabinetnya sudah bisa digambarkan?
MJK: Belum, sebab belum selesai 100%. Karena kita baru melihat itu programnya, lagi menggarap sistem dan orang-orangnya. Harus dihitung-hitunglah.

MTI: Posisi tawar Anda dengan SBY soal kabinet ini?
MJK: Ya, kita dukung bersamalah ha…ha…ha….

MTI: Anda orang Golkar, dan awalnya menjadi calon presiden lewat konvensi. Sekarang, sebagai wakil presiden dari Partai Demokrat, bagaimana hubungan Anda dengan Golkar saat ini?
MJK: Ya, tetap saja baik. Kemarin saya ketemu dengan seorang kawan, dan itu it’s oke. Saya sebelum keluar dari konvensi, kan minta izin sama Akbar, dan baik. Karena, kita sebagai warga negara mempunyai dua hak, hak pokok dalam demokrasi yakni hak memilih dan hak dipilih. Kita ini punya hak pribadi untuk itu.

MTI: Nanti, setelah terpilih jadi Wapres masuk Partai Demokrat atau tetap di Partai Golkar?
MJK: Ya, saya tetap Golkar.

MTI: Dalam Pemilu Presiden nanti bagaimana Anda melihat pemilih di Konvensi Golkar apakah akan memilih Anda atau bagaimana?
MJK: Ya, buktinya, di Sulawesi Selatan Golkar menang dan itu memilih kami di Pemilu Presiden, paling tidak Sulawesi Selatan dulu.

MTI: Kalau pada Pemilu Presiden putaran kedua ini apa itu tidak bisa dikembangkan lagi?
MJK: Ya pasti, pasti, apalagi Golkar.

MTI: Jadi, Anda intensif ke Golkar sekarang?
MJK: Iya, dalam berkomunikasi politik.

MTI: Masih ada jalinan hubungan?
MJK: Oh iya, masih.

MTI: Kalau Anda terpilih, adakah ukuran pencapaian misalnya dalam tempo satu tahun, tiga tahun dan lima tahun atau di akhir masa tugas?
MJK: Oh ya ada, kita buat khususnya di bidang ekonomi, yang bisa dipro-gram dan target-target di bidang ekonominya, bagaimana target-target pendapatan perkapita, GNP, pencapaian ekspor bagaimana dan sebagainya. Ya, semua pemerintah harus mempunyai target-target yang ingin dicapai.

MTI: Pada kabinet Gotong Royong ada Kementerian Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia (KTI) dan Anda sendiri dari wilayah Indonesia Timur. Apa saja keberhasilannya?
MJK: Saya jelaskan juga dalam pertemuan dengan Kadin. Kalau kita lihat perkembangan lima tahun terakhir memang Indonesia Timur itu secara umum terkebelakang. Tapi tidak berarti di daerah Barat juga tidak terkebelakang. Saya baru dari Sibolga, Padang Sidempuan, dari Bengkulu, dari Banten, daerah-daerah itu secara pisik lebih terkebelakang, katakanlah dibanding propinsi Sulawesi Utara dan Gorontalo. Kalau kita lihat rumah-rumah orang. Tapi secara umum ketinggalan KTI itu di infrastruktur dan pendidikan.

MTI: Bukan maksud untuk berharap buruk, seandainya Bapak tidak terpilih 20 September nanti ada jalur escape nggak atau akan menunggu kembali tahun 2009?
MJK: Oh, ndak! Pulang kampung, pulang ke Makassar, urus liburan ke Bali.

MTI: Itu kan jawaban lama yang menjadi klise?
MJK: Itu memang betul-betul, tidak ada jawaban lain kecuali itu. Saya ini lebih suka tinggal di daerah sebenarnya, terus terang, bukan main-main.

MTI: Atau sekarang, setiap akhir pekan Sabtu-Minggu sudah lebih sering tinggal di Makassar?
MJK: Tidak juga, karena kalau saya kembali sekarang terlalu banyak yang ngawallah, repot jalanan. Dan, kadang-kadang jalan di muka rumah saya ditutup polisi, saya marah kenapa ditutup. Peraturan? Waduh, kasihan orang.  ►ht-ms-Majalah Tokoh Indonesia Volume 14


*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)