|
C © updated 06082008 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
► e-ti/kompas |
|
|
Nama:
Ansgerius Takalapeta
Lahir:
Alor
Agama:
Katolik
Jabatan:
Bupati Alor, NTT, 1999-2009
|
|
|
|
|
|
|
Ansgerius Takalapeta |
|
|
Ansgerius Takalapeta
Bupati Penggerak Tanam Pohon
Ansgerius Takalapeta, Bupati Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT) periode
1999-2009, ini berhasil menggerakkan kebiasaan menanam pohon. Pria yang
suka mengenakan songkok dengan aksesori khas Alor dan kurang menikmati
acara seremonial, ini dalam setiap kegiatan selalu menyertakan penanaman
pohon. Dia pun dianugerahi penghargaan Kalpataru dalam bidang lingkungan
hidup 2008.
Ketika memulai tugas sebagai Bupati Alor pada 1999, sebagian besar
daratan Alor masih gersang. Sejumlah sumber air di daerah ini terancam
kering karena budaya tebas bakar dan tanam masih kuat di kalangan
masyarakat setempat.
Takalapeta lalu mengeluarkan peraturan daerah (perda) yang isinya
melarang masyarakat melakukan kegiatan tebas bakar dan tanam. Dalam
perda itu juga disebutkan kewajiban masyarakat ikut menanam pohon di
setiap lahan kritis.
Pada tahun 2002, Takalapeta mencanangkan Hutan Wisata Nostalgia di
wilayah Kecamatan Kalabahi yang luasnya 10 hektar. Lahan ini disediakan
pemerintah daerah, termasuk bibit tanamannya, seperti mangga, jambu
mete, cengkih, cendana, gaharu, kelapa, jati, mangga, pisang, dan mahoni.
Hutan ini sebagai contoh agar masyarakat pun rajin menanam.
”Semua tamu yang datang ke Alor kami beri kesempatan menanam pohon,
memberi nama pohon, nama penanamnya, serta tanggal dan tahun tanamnya.
Di antara para tamu itu adalah Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia
Farida Hatta Swasono, Menteri Kehutanan, staf Unicef, sampai para turis
asing,” ceritanya.
Lokasi hutan itu sengaja dipilih yang berdekatan dengan sejumlah sumber
mata air. Dengan demikian, selama musim kemarau beberapa mata air di
sekitarnya tidak lagi mengalami kekeringan.
Dia pun giat mengontrol pohon-pohon yang ditanam itu. ”Jika ada program
menanam 1.000.000 anakan pohon, setelah sampai 999.999 anakan yang
ditanam, kami sisakan satu pohon untuk peresmian. Tetapi, sebelumnya
kami kontrol, apakah semuanya telah ditanam secara benar atau tidak,”
katanya di Kupang, pertengahan Juli 2008.
Cendana dan Jati
Setiap kunjungannya ke kecamatan atau desa, selalu diwarnai kegiatan
menanam meskipun itu ia lakukan pada musim kemarau. Setelah itu, petugas
di kecamatan atau desa yang bersangkutanlah yang bertanggung jawab
menyirami tanaman tersebut. Ia memberi contoh, dari 50 pohon yang
ditanam pada musim kemarau, sebanyak 10-20 pohon bisa tumbuh sampai
musim hujan tiba.
Di samping itu, ia juga membuat program penyediaan areal seluas 100
hektar untuk menanam cendana dan 200 hektar lahan jati di Alor. Kawasan
ini menjadi proyek percontohan tanaman cendana dan jati di NTT.
Takalapeta yang putra Alor ini mengaku tak bisa menyembunyikan rasa
senang bila pada kunjungan berikutnya ia melihat hasil tanaman itu. Ia
sering datang ke suatu desa karena diundang warga untuk ikut memanen
hasil perdana tanaman kopi, jambu mete, vanili, dan cengkih mereka.
Gerakan menanam ini merata di 17 kecamatan sehingga tidak ada
kesenjangan kemiskinan yang tajam antara kecamatan satu dan lainnya.
Kecamatan Pantai Barat di Pulau Pantar, misalnya, sampai tahun 1999 tak
punya andalan sumber daya alam dan termasuk kecamatan termiskin. Tetapi,
sejak 2005 daerah ini dijuluki ”kecamatan jambu mete”.
Setelah lima tahun Takalapeta memimpin Alor (1999-2004), kesejahteraan
hidup masyarakat meningkat. Ini antara lain dilihat dari sebagian rumah
warga yang semula berdinding bambu, berganti permanen. Siswa putus
sekolah yang semula sekitar 4.000 orang per tahun, turun menjadi sekitar
1.400 orang.
Tak heran kalau ia terpilih lagi sebagai Bupati Alor periode 2004-2009.
Selain itu, berbagai penghargaan dari pemerintah dan institusi lain pun
jatuh ke tangannya.
Penangkaran Rusa
Areal hutan itu tidak hanya dimanfaatkan untuk menanam aneka jenis pohon,
tetapi juga digunakan sebagai tempat untuk penangkaran rusa (Cervus
timorensis). Jenis hewan ini terancam punah karena maraknya perburuan
dan pembukaan lahan pertanian.
Agar masyarakat tak lagi memburu hewan, ia berusaha meyakinkan mereka
bahwa binatang peliharaan pun pada mulanya liar. Tetapi, setelah
dipelihara, hewan menjadi jinak.
Masyarakat juga diajak menangkar rusa di lahan mereka sendiri, selain di
areal Hutan Wisata Nostalgia. Sebagai imbalan, mereka yang berhasil
menangkar lebih dari tiga ekor hewan diberi penghargaan Rp 250.000.
”Jika jumlah rusa sudah banyak, kami jual. Tanduknya bisa dipakai untuk
bahan membuat aksesori,” kata Takalapeta.
Hutan Wisata Nostalgia juga disesuaikan dengan kearifan lokal masyarakat
Alor, yakni sebagai hutan pamali yang tidak boleh diganggu. Jika
masyarakat menebang pohon di hutan itu, akan terjadi bencana alam atau
arwah nenek moyang yang mendiami hutan tersebut marah dan mengganggu
penghuni rumah.
Masyarakat Alor menyebut hutan itu mamar, artinya areal sekitar sumber
mata air yang tak boleh diganggu. Bahkan, masyarakat berusaha menanam
dan merawat hutan tersebut karena terbukti menghasilkan sumber air untuk
kehidupan.
”Kami usulkan agar yang ditanam itu bernilai ekonomis, seperti kemiri,
pinang, kopi, mangga, pisang, nangka, dan kenari. Tanaman seperti itu
bernilai ganda, memelihara sumber air sekaligus memberi kesejahteraan
ekonomi masyarakat,” katanya.
Peningkatan kesejahteraan rakyat di Alor, antara lain terlihat dari
penerbangan Kupang-Alor yang semula hanya satu kali dalam sepekan sudah
menjadi enam kali. “Banyak warga Alor yang tidak lagi menggunakan
perjalanan laut, tetapi mampu menumpang pesawat ke Kupang,” kata pria
yang sering memakai baju dari tenun tradisional. Kostumnya itu
dimaksudkan sebagai ajakan bagi orang lain untuk mencintai produk lokal.
Penghargaan
Ia senang mendapat penghargaan, tetapi yang lebih membuatnya bahagia
adalah melihat ribuan putra Alor bisa menjadi sarjana dari hasil
perkebunan vanili, kopi, kelapa, kemiri, dan pinang, selain hasil laut.
Atas semua jasanya itu, Takalapeta pada 5 Juni meraih penghargaan
Kalpataru dalam bidang lingkungan hidup untuk kategori pembina. Panitia
Kapaltaru 2008 mendata 136 nomine. Dari jumlah ini mengerucut menjadi 12
orang dengan empat kategori, yakni perintis lingkungan 5 orang, pengabdi
dan penyelamat lingkungan masing-masing 3 orang, serta hanya seorang
pembina lingkungan. (Disarikan dari artikel “Takalapeta dan Gerakan
Menanam di Alor” Oleh Kornelis Kewa Ama, Kompas, Rabu, 6 Agustus 2008) ►ti
*** Tokoh Indonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia),
|
|