ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA
Search      A   B     D     F       I       L     N   O   P   Q   R   S     U     W     Y   Z
POLITISI
:: Beranda :: Berita :: Profesi :: Politisi :: Pejabat :: Pengusaha :: Pemuka :: Selebriti :: Aneka ::
C © updated 170902
PPBI
INDEX POLITISI   

garis

:::::: Politisi garis

:::::: Legislatif garis
:::::::::::::: MPR-RI
garis
:::::::::::::: DPR-RI
garis
:::::::::::::: DPD
garis
:::::::::::::: DPRD
garis
:::::: Partai
garis
:::::: Ormas
garis
:::::: OKP
garis
:::::: LSM-Aktivis
garis

:::::: Redaksi
garis

garis
garis

 


Nama:
Tjahjadi Nugroho, MA, PhD
Lahir:
Magelang, 26 Mei 1945
Jabatan:
Ketua Umum DPP Partai Persatuan Bangsa Indonesia
Wakil Ketua Umum Partai Pelopor
Ayah:
Damaris Wibowo (alm)
Ibu:
A Minah (84 tahun)
Istri:
Indra Kustiati, Semarang, 21 Maret 1951
Pekerjaan Istri:
Bidan
Anak:
1. Aryanto Nugrohom SE, MM
Semarang, 20 Oktober 1977
2. Ellen Kristiani Nugroho, SH, M.Hum
Semarang, 11 Maret 1979
3. Eunike Kristianti Nugroho
Semarang, 28 Maret 1981
4. Samuel Rapha Nugroho
Semarang, 23 Juni 2000
Pendidikan:
S-1 Ekonomi, Universitas Diponegoro, Semarang
S-2 Teologia Kristen, India
S-3 Filsafat, India
Jabatan/kegiatan lain:
1. Ketua Sinode Gereja Jemaat Allah, Semarang
2. Ketua Yayasan Telapak/RB Bhakti Ibu, Semarang
3. Ketua Yayasan Sadar/Sekolah Tinggi Agama dan Filsafat”Pancasila, Semarang
4. Penasihat Forum Komunikasi Umat Beragama Pusat
5. Ketua RW IV Jeruk, Kelurahan Lamper Lor, Semarang
6. Fasilitator Direktorat Pusat Kerukunan Umat Beragama, Departemen Agama RI, Jakarta
7. Penasehat Forum Nasional, Jakarta
8. Pakar CCICC ( Komite Musyawarah Umat Kristen Indonesia) Pusat, Jakarta
9. Ketua Umum Partai Persatuan Bangsa Indonesia (PPBI)
10. Wakil Ketua Umum Partai Pelopor
Alamat rumah:
Jl. Jeruk VII/28, Semarang 50249
Tjahjadi Nugroho, MA, PhD

Reformasi Penegak Keteladanan Moral


Bangsa ini sedang menderita bahkan sudah di tepi jurang kehancuran. Penyebab utamanya adalah merosotnya moral dan harga diri akibat korupsi dan ketergantungan kepada kreditor asing. Kondisi inilah antara lain yang mendorong Tjahjadi Nugroho, MA, PhD dan kawan-kawan menyelenggarakan Kongres Bangsa Indonesia di Jakarta, 2-5 Juli 2001. Kongres yang melahirkan Sumpah Bangsa Indonesia itu kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Partai Persatuan Bangsa Indonesia (PPBI) untuk dapat memperjuangkannya melalui jalur politik praktis.

Reformasi, kata Ketua Umum DPP PPBI yang juga Wakil Ketua Umum Partai Pelopor, Tjahjadi Nugroho, diharapkan dapat menegakkan keteladanan moral, demokratisasi dan memperteguh NKRI. Namun harapan ini hingga kini masih hanya sebuah mimpi. Euforia reformasi malah sering kebablasan. Tidak ada lagi kepastian hukum, anarkhi, noney politic dan korupsi makin subur. Gerakan reformasi sudah nyaris mati suri dan mengecewakan rakyat. Penderitaan rakyat makin dalam dan negara terancam disintegrasi.

Maka pada tahun 2001, ketika krisis sudah benar-benar berbahaya, apalagi dengan munculnya isu separatisme, GAM, konflik Maluku dan sebagainya, Tjahjadi Nugroho dan kawan-kawan mengundang berbagai pihak menyelenggarakan Kongres Bangsa Indonesia, tanggal 2-5 Juli 2001 di Hotel Sahid, Jakarta. Kongres tersebut dihadiri 600 peserta dari seluruh Indonesia, 24 propinsi terwakili, 104 LSM, dan 36 partai. Kongres itu berhasil membentuk sebuah komite perjuangan dengan nama Komite Penyelamat Reformasi. Ketua Komite adalah Harsudiono Hartas dan Tjahjadi menjadi Sekjen.

Pada kongres tersebut komite sudah melihat krisis mulai memuncak, termasuk krisis kepemimpinan. Hal itu ditandai dengan penolakan Sidang Istimewa MPR oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan kelompoknya di satu pihak dan penolakan Dekrit Presiden oleh Amien Rais dan kawan-kawan di lain pihak. Kondisi politik yang panas itu tercermin juga pada kongres, sehingga tidak ada keputusan konkrit menyikapi krisis kepemimpinan nasional itu.

Namun, pada Kongres II yang dilaksanakan di lapangan banteng, berhasil membuat satu keputusan bulat yang diterima semua peserta yaitu Sumpah Bangsa Indonesia. Isinya ada tiga poin, Mempertahankan negara kesatuan RI, mempertahankan UUD 1945 dan Pancasila, dan menegakan keteladan moral.

Ketika akhirnya Gus Dur jatuh, Tjahjadi dkk berpendapat bahwa bangsa ini sudah tidak sehat lagi. Berangkat dari itu, perlu ada langkah antisipatif untuk menyelamatkan bangsa. Maka, peserta kongres bersepakat melahirkan sebuah partai baru yang bertujuan menyelamatkan bangsa Indonesia. Lahirlah Partai Persatuan Bangsa Indonesia (PPBI). Partai jelmaan hasil Kongres Bangsa Indonesia. Sumpahnya pun adalah Sumpah Bangsa Indonesia yang dicetuskan dalam kongres itu. Untuk itu pula, menurut Tjahjadi, alumni Fakultas Ekonomi, Universitas Diponegoro, Semarang, ini setiap anggota PPBI harus bersumpah/berjanji tidak akan menyakiti hati nurani rakyat.


Jadi PPBI lahir untuk menyelamatkan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk itu, PPBI mengajak semua komponen cinta bangsa dan tanah air untuk bersatu: (1) Menegakkan persatuan bangsa. Mendahulukan kepentingan bangsa dari kepentingan kelompok atau golongan sehingga tidak mudah diadu-domba untuk kepentingan asing atau sisa orde baru; (2) Memberi teladan sikap moral. Sebab sumber kehancuran bangsa adalah merosotnya moral dan merajalelanya korupsi; (3) Menegakkan prinsip sehat berbangsa. Harga diri bangsa adalah kehormatan bangsa. Prinsip sehat bagi bangsa Indonesia adalah pemulihan harkat dan martabat bangsa. Ketegantungan kepada hutang harus dihentikan. Sikap hidup sederhana harus dikobarkan.

Lebih khusus tentang keteladanan moral dan hukum, Tjahjadi Nugroho yang juga menjabat Penasihat Forum Komunikasi Umat Beragama Pusat, ini mengungkapkan keteladanan Nabi Muhammad SAW. Nabi menegaskan kepada Fatimah anak kesayangannya: “Pencuri harus dipotong tangannya, jika Fatimah yang mencuri, aku (Nabi) yang akan memotong sendiri tanganmu”.

Menurut Tjahjadi Nugroho, yang selain menjabat Ketua Umum PPBI juga masih menjabat Ketua Sinode Gereja Jemaat Allah, Semarang, teladan moral ini perlu bagi para pemimpin untuk menindak tegas keluarganya atau anggotanya, bukan menyelamatkan kroninya dengan pembebasan terselubung. Masyarakat Pancasilais hanya bisa dibangun oleh orang Pancasilais. Selama ini praktek Pancasila belum benar.

Selain itu, Tjahjadi juga mengedepankan keteladanan Raja Daud. Bangsa Indonesia yang agamis mendapat tamsil indah dari pengalaman Raja Daud. Ketika ia terbuang dan dikejar-kejar Saul, mertuanya sendiri, ia mendapat simpati dan dukungan dari 400 orang sengsara, tersisih dan korban tekanan hutang. Tetapi teladan moral Daud berhasil mengubah mereka semua menjadi pahlawan.

PPBI, kata Tjahjadi, lahir untuk mencari pahlawan pemersatu bangsa yang seperti itu, yang mampu mengubah rakyat Indonesia yang apatis, tidak berdaya, dililit hutang, kena PHK, tenggelam dalam krisis, bangkit menjadi pahlawan.

Namun mengingat besarnya perjuangan itu, PPBI ingin mengggalang aliansi dengan partai-partai lain dan semua komponen bangsa yang mempunyai visi dan misi yang sama. Maka mereka pun ikut bergabung dalam Forum Nasional yang dipimpin Rachmawati Soekarnoputri. Forum yang terdiri dari beberapa partai dari berbagai komponen bangsa ini akan melahirkan partai baru, yakni Partai Pelopor. Partai ini akan dipimpin oleh orang-orang yang memiliki kemampuan tinggi dan dikenal sebagai sosok demokrat. Mereka adalah rachmawati Soekarnoputri, Abdurrahman Wahid, dan Nurcholish Madjid. Tjahjadi berharap ketiga tokoh nasional tersebut mudah-mudahan bisa kompak. Dari penempatan tiga nama besar itu diharapkan sudah terlihat bahwa Partai Pelopor tidak mementingkan primordialisme, maupun kepentingan satu kelompok. Partai ini lebih mementingkan keselamatan bangsa. Tjahjadi salah satu tokoh partai yang ikut mendorong segera terbentuknya aliansi partai-partai itu.

Dengan terbentuknya Partai Pelopor, eksistensi partai-partai yang bergabung di dalamnya termasuk PPBI tetap dipertahankan. Tapi keikutsertaan pada Pemilu bergabung dalam satu bendera Partai Pelopor. Jadi, masing-masing partai terus melakukan konsolidasi. Saat ini PPBI pun sudah terbentuk 18 provinsi (DPD).

Hal ini sekaligus mencerminkan keteladanan untuk mendahulukan kepentingan bangsa daripada kepentingan kelompok atau golongan. Karena niat Tjahjadi Nugroho dan kawan-kawan membentuk partai politik baru bukan semata-mata ingin menjadi aktor politik untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Niat utamanya adalah demi keselamatan bangsa. Partai politik dibentuk sebagai sarana agar bangsa Indonesia tetap selamat, utuh, dan tidak hancur lebur.

Salah satu syarat utamanya adalah persatuan. Tanpa persatuan, bangsa Indonesia bisa apa? “Kurang hebatnya apa Imam Bonjol, tapi kenapa Imam Bonjol kalah? Karena ketika ia melawan Belanda, dikirimlah pasukan dari Jawa. Kurang hebatnya apa Diponegoro? Ketika Diponegoro berontak, maka dikirim pasukan dari Bugis. Demikian pula halnya dengan Cut Nya Dien yang ketika berontak dikirim tentara dari luar Aceh. Ini yang bikin celaka. Tanpa persatuan Indonesia akan hancur, ini inti perjuangan kami,” jelasnya pria kelahiran Magelang, 26 Mei 1945, panjang lebar.

Latar belakang pendirian PPBI adalah keprihatinan Tjahjadi dkk terhadap keterpurukan bangsa Indonesia akibat krisis yang berkepanjangan dan terkesan tidak kunjung berakhir. Tjahjadi menjelaskan bahwa jauh sebelum krisis, ia sudah prihatin dengan kehidupan rakyat. Maka, sejak tahun 1982, ia dan teman-temannya sudah terjun dalam berbagai kegiatan sosial, semacam LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Saat itu istilah LSM belum dikenal.

Untuk memudahkan pelaksanaan kegiatan sosial itu dibentuklah dua lembaga yaitu Yayasan Telapak (Teladan Laku Putra Kemerdekaan) atau Teladan Keluarga eks Polisi Militer dan Yayasan Sadar.

Yayasan Telapak bergerak di bidang sosial, antara lain pelayanan kesehatan, pemberian beasiswa, menyantuni pedagang kaki lima, membantu pendirian rumah tangga yang perlu dibangun, dan sebagainya. Sedangkan Yayasan Sadar bergerak di bidang pendidikan dengan mendirikan perguruan tinggi Sekolah Tinggi Agama dan Filsafat Pancasila di Semarang.

Memasuki tahun 1997, Tjahjadi telah melihat bahwa bangsa Indonesia akan menuju ke arah krisis. Alasannya, ia melihat perilaku kotor dalam bentuk pembodohan di bidang ekonomi. Secara tegas ia menyebutkan, banyak biaya pembangunan yang ditutup dengan utang. Hal ini katanya merupakan kondisi yang sangat tidak sehat. Kenyataan tersebut sebenarnya sudah disosialisasikan kepada masyarakat luas melalui seminar-seminar dan berbagai pertemuan lainnya.

Tahun 1997 Indonesia sudah di ambang krisis. Pada waktu itu Tjahjadi masih optimistis dapat menghindari krisis bila dilakukan dengan cara yang benar. “Cuma satu obatnya, tidak ada dua, yaitu membangkitkan kembali patriotisme,” katanya. Maka ia dan teman-temannya di Yayasan Telapak berniat membangun kembali semangat kebangsaan.

Ketika krisis identitas bangsa semakin merosot, kegiatan untuk meningkatkan semangat kebangsaan terus dilakukan antara lain lomba kepahlawanan. Namun ketika krisis benar-benar terjadi pada tahun 1997, sudah tidak mungkin ada obat lagi. Tjahjadi pun akhirnya menggabungkan diri dengan gerakan reformasi. Tetapi apa yang dihasilkan gerakan reformasi? Dengan pesimis ia menjawab, “nothing!”

Selain kiprahnya di partai politik dan yayasan sosial, Tjahjadi juga masih memimpin Sinode Jemaat Allah di Semarang, Jawa Tengah. Pihak gereja tampaknya tidak menghalangi kiprah politik Tjahjadi tanpa harus meninggalkan jabatannya di Sinode. Sebagai pendeta, sampai akhirnya menjadi ketua sinode, tugasnya memberi pelayanan. Sinode tidak melarang anggotanya berpolitik dengan catatan tidak meninggalkan nilai moral kristiani, yaitu iman, kasih dan pengaharapan serta kejujuran dan keteladan. “Ini yang barangkali harus saya pertahankan. Saya diijinkan terjun di politik dengan syarat khusus: berpegang padamoral kristiani yaitu iman, kasih dan pengaharapan serta kejujuran dan keteladan.”

Sejak kecil Tjahjadi telah dididik hidup mandiri. Ia adalah anak bungsu dari 4 bersaudara pasangan Wibowo dan Minah. Sejak masih sangat kecil, ayahnya meninggal dalam pertempuran kemerdekaan. Ayahnya termasuk pendiri dan anggota polisi tentara. Meskipun dari kecil tidak menikmati didikan ayahnya, tapi melihat foto-foto perjuangan ayah, dia merasa bangga. Pak Sahri (sahabat ayahnya) sangat berjasa dalam menanamkan rasa cita tanah air dalam benaknya.

Dari kecil ia sudah harus bekerja keras. Sepulang sekolah harus bekerja memotong singkong, kemudian menjemurnya. Lalu bersama saudara-saudaranya, siapa yang pulang belakangan, bertugas menjual singkong yang sudah kering. Sebagai anak yatim ia dan saudaranya harus memenuhi sendiri kebutuhan hidup sehari-hari.

Tjahjadi memiliki 4 anak. Yang pertama menjadi dosen di Universitas Satya Wacana. Yang kedua menjadi dosen di Universitas Gadjah Mada. Yang ketiga baru selesai Kuliah Kerja Nyata. Sedangkan anak keempat disebutnya sebagai anak Tuhan, baru berusia 2 tahun, yang lahir di luar perhitungan mengingat umur pasangan Tjahjadi-Indra sudah relatif tua untuk memiliki anak.

Mengenai pilihan anaknya yang menjadi dosen, ia menilai barangkali anak-anaknya senang hidup sederhana dengan menjadi guru. Sedangkan istrinya berprofesi sebagai bidan. Itu merupakan strategi umah tangga, ibu menjaga anak, sedangkan suami mencari nafkah. Maka, di rumah dibuatlah klinik bersalin.

Aktivitasnya sebagai ketua yayasan, banyak mempelopori diskusi dialog antaragama. Ia juga diperbantukan di Departemen Agama di bidang dialog antaragama.

Menyinggung jauhnya lokasi tempat tinggalnya yang di Semarang dengan aktivitas partai yang terpusat di Jakarta membuatnya harus pulang pergi Jakarta-Semarang. Ia merasa senang dengan kehidupannya sekarang ini dan tidak mengeluh.

Pesannya kepada generasi muda adalah agar mereka jangan mudah diadu domba. Bila itu terjadi, maka Indonesia akan hancur. Gerakan separatis akan mudah muncul, dan yang dirugikan adalah bangsa sendiri. “Jaga persatuan dan keselamatan bangsa kita. Kalau tidak, waduh, bangsa ini bakal penuh dengan konflik,” katanya mengakhiri pembicaraan. *** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia),
 

Copyright © 2002 Ensiklopedi Tokoh Indonesia. All right reserved. Design and Maintenance by Esero