ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA
 
A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z
:: Beranda :: Berita :: Profesi :: Politisi :: Pejabat :: Pengusaha :: Pemuka :: Selebriti :: Aneka ::
 
  P R O F E S I
 ► Advokat
 ► Akuntan
 ► Arsitek
 ► Bankir
 ► CEO-Manajer
 ► Dokter
 ► Guru-Dosen
 ► Konsultan
 ► Kurator
 ► Notaris
 ► Peneliti-Ilmuwan
 ► Pialang
 ► Psikolog
 ► Seniman
 ► Teknolog
 ► Wartawan
 ► Profesi Lainnya
 ► Search
 ► Poling Tokoh
 ► Selamat HUT
 ► Pernikahan
 ► In Memoriam
 ► Majalah
 ► Redaksi
 

 


 
  C © updated 26052004  
     
  ►e-ti/  
  Nama:
Tuti Soenardi
Lahir:
Surabaya, 18 Oktober 1934

Suami:
Laksamana Muda RD Soenardi (Alm)

Pendidikan:
Akademi Gizi di Jakarta 1959
Cordon Bleu di Paris

Pekerjaan:
Dosen tidak tetap di Akademi Gizi Jakarta
Pendiri Yayasan Gizi Kuliner
Pengusaha Jasa Boga

Buku:
Hidangan Indonesia Populer (2004)
Ikan Laut Hidangan Prima Masa Depan



Sumber:
Kompas, 26 Mei 2004
 
 
     
Tuti Soenardi

Ahli Gizi yang Pandai Memasak


Ia seorang ahli gizi yang pandai memasak dan piawai pula menuliskan pengetahuannya itu. Penulis buku Hidangan Indonesia Populer (2004) ini bertekad kuat membuat makanan Nusantara menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Buku yang berisi kumpulan resep masakan dari berbagai daerah di Nusantara itu bisa dianggap sebagai standar makanan nasional.

Buku Hidangan Indonesia Populer ini diluncurkan saat pameran makanan dan tekstil Nusantara yang berlangsung tanggal 23-30 Mei di Jakarta Convention Centre atas prakarsa Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Buku ini diterbitkan Departemen Perindustrian dan Perdagangan dalam dua edisi yakni Edisi Bahasa Indonesia dan Edisi Bahasa Inggris.

 

Edisi bahasa Inggris yang tidak dijual, melainkan untuk diberikan kepada berbagai perwakilan Indonesia di luar negeri supaya makanan Indonesia juga dikenal di luar negeri. Sementara edisi bahasa Indonesia diedarkan di dalam negeri dengan harapan kumpulan resep masakan dari berbagai daerah di Nusantara itu bisa dianggap sebagai standar makanan nasional.

Menurut lulusan Akademi Gizi di Jakarta tahun 1959 ini makanan Indonesia harus menjadi tuan di negerinya sendiri. Untuk itu, Indonesia harus punya standar resep-resep masakan yang rasanya bisa diterima lidah orang berbagai suku bangsa di Indonesia. Setidaknya hal ini sudah menjadi cita-cita baginya.


Sehubungan dengan cita-cita itu, Tuti merasa terpanggil menerima tawaran Departemen Perindustrian dan Perdagangan untuk mengorganisir Festival Makanan Indonesia (FMI) dalam acara Pameran Produk Indonesia (PPI) 2003 lalu. Ketika itu, 19 provinsi mengirimkan makanan unggulan mereka masing-masing.

Dalam FMI itu, diadakan uji rasa dengan mengundang sejumlah ahli kuliner terkemuka. Dari sana, ditemukan sejumlah makanan daerah yang dianggap bisa diperkenalkan kepada masyarakat dari daerah lain. Berbekal resep dari tiap daerah tersebut, Tuti bersama Yayasan Gizi Kuliner -- yayasan yang dia dirikan bersama empat rekannya, di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan -- melakukan uji rasa lagi dengan panel yang beranggotakan berbagai etnis untuk mengetahui penerimaan makanan itu secara luas.

 

Menurut Tuti, FMI adalah cara termudah mengumpulkan resep dari berbagai daerah. Dari situ terkumpul 100 resep makanan berbagai daerah yang dibukukan dengan judul Hidangan Indonesia Populer.

 

Perempuan kelahiran Surabaya, 18 Oktober 1934, ini sangat menyadari tidak mudah memberi pemahaman tentang gizi kepada masyarakat. Setiap kali ada penjelasan mengenai gizi, para ibu rumah tangga sering kali mengeluhkan pusing mendengar penjelasan itu. Akhirnya, timbul ide dalam benak Tuti untuk memberi pemahaman gizi secara langsung melalui makanan. Ia pun memulainya dengan membuat resep makanan bersamaan dengan itu ditanamkan pemahaman tentang gizi.

 

Latar belakang pendidikannya dari Akademi Gizi, tentu sangat mempengaruhinya  menekuni dan mencemplungkan diri dalam urusan gizi dan makanan. Walaupun pada mulanya ia masuk Akademi Gizi karena ia mencari sekolah yang memberi beasiswa, akhirnya ia benar-benar menekuni bidang ini secara komprehensif. Ia tidak hanya ahli di bidang gizi, melainkan juga ahli bidang resep makanan, ahli memasak, sekaligus mahir mengajarkan dan menuliskan bidang yang ditekuninya itu.

 

Ketika suaminya, (almarhum) RD Soenardi, menjadi perwira tinggi di Angkatan Laut dengan pangkat Laksamana Muda, Tuti tetap menekuni bidang ini dan mengajar di almamaternya. Hingga pada usia 70-an, ibu empat anak dan nenek enam cucu, ini masih aktif sebagai dosen tidak tetap di almamaternya itu.

Pertama kali Tuti memasuki profesi jasa boga adalah ketika KSAL Sudomo, atasan suaminya saat itu, memintanya menyediakan makanan bagi tamu-tamu di berbagai acara di kediaman KSAL. Kegiatan tanpa keuntungan finansial itu memberinya pengalaman menyediakan makanan untuk orang banyak.

Keahliannya makin populer ketika pada tahun 1970-an itu juga, Tuti dipercaya menyediakan katering bagi seorang teman suaminya yang menderita sakit lever dan dianjurkan menjalani diet khusus. Ternyata si teman itu sembuh. Lalu sejak itu dia melayani katering untuk orang sakit, termasuk untuk mereka dengan autis.

Ia pun makin tekun memperluas pengetahuan dan wawasannya. Ia belajar masak ke sekolah masak di berbagai tempat, antara lain di Cordon Bleu di Paris, ke Bangkok, Hongkong, dan Tokyo.

 

Dari pengalamannya mencicipi makanan Indonesia di sejumlah restoran Indonesia di luar negeri, Tuti merasa perlu adanya standar makanan Indonesia. Karena ternyata sejumlah restoran Indonesia menyajikan makanan secara suka hati. Sebagai contoh, ia bercerita pengalaman saat makan di restoran Indonesia terkenal di Tokyo. Di situ ada masakan ikan goreng dengan sambal kecap, tetapi disebut sebagai pepes. "Itu kan tidak betul," sergah Tuti, kesal.
 

Penerima penghargaan dari tabloid Nova sebagai perempuan yang membaktikan hidupnya untuk kegiatan yang berguna bagi masyarakat luas, itu pada usianya yang akan memasuki 70 tahun, masih memenuhi undangan dari berbagai daerah. Lalu, atas pengalamannya berkeliling Indonesia, Tuti menemukan banyak sekali makanan daerah yang sebetulnya bisa dipopulerkan. Karena itu, Yayasan Gizi Kuliner bersama Departemen Perindustrian dan Perdagangan ingin meningkatkan perdagangan makanan daerah secara nasional melalui FMI.

 

Tuti yakin makanan Indonesia bisa bertahan meskipun makanan dari negara lain banyak masuk ke sini. Menurutnya, makanan kita lebih sehat karena menggunakan bahan segar dan bumbunya pun punya khasiat kesehatan, dan lemaknya rendah, hanya 20-25 persen. Sementara makanan modern dari Barat sampai 40 persen mengandung lemak terhidrolisa dan zat tambahan makanan.

Agar makanan Indonesia bisa bertahan dan diterima di negeri sendiri, ia bertekad mengabdikan diri membenahi makanan Indonesia dengan membuat standar resep dan mutu, termasuk sanitasi, higiene, rasa, sampai ke penampilan. ►e-ti

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

 
Copyright © 2004 Ensiklopedi Tokoh Indonesia. All right reserved. Design and Maintenance by Esero