|
C © updated 30102004 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
►e-ti/kompas |
|
|
Nama:
Binny Buchori
Lahir:
1
Pendidikan:
- S1 Sastra Inggeris Universitas Gajah Mada
Pengalaman:
- Direktur Eksekutif - International NGO Forum on Indonesia Development (INFID)
- Bidang perpustakaan dan kajian informasi di University College of Wales,
Aberystswyth, Inggris
Kontak Person:
Ms. Binny Buchori; Phone: 62-21-7919-6721 & 62-21-791-96772; Fax:
62-21-794-1577. Email: infid@nusa.or.id ; Homepage: http://www.infid.or.id
E-mail: binny@infid.org
Secretariat:
Jl.Mampang Prapatan XI No.23 Jakarta Selatan 12790 Indonesia
Phone: (62-21) 79196721, 79196722
Fax: (62-21) 7941577
Sumber:
Dari berbahai sumber, di antaranya Nur Budi H, Indo Pos, Minggu, 10 Okt 2004 |
|
|
|
|
|
|
Binny Buchori
Aktivis Penikmat Sastra
Kegemaran Binny Buchari melahap karya sastra merupakan bagian dari
upayanya untuk menjaga keseimbangan antara kerja otak dan nurani. Binny
sampai tiga kali membaca ulang novel Hotel Du Lac karya Anita Brookner.
Novel ini meraih Booker Prize tahun 1984. Dia memang penikmat sastra, bukan karena kebetulan S1-nya
Jurusan Sastra Inggeris Universitas Gajah Mada.
Binny baru saja selesai menerjemahkan novel Brookner yang lain, Brief
Lives, A World of Strangers-nya Nadine Gordimer dan An Equal Music-nya
Vikram Seth. Kecintaan Binny (45) pada sastra memang ada dasarnya. Ia
sarjana sastra Inggris UGM, Yogyakarta.
Direktur Eksekutif INFID ini menganggap membaca sastra mengasah kepekaan
pikiran dan hati. Karena itu, di kala senggang ia selalu berusaha membaca
novel-novel sastra. Ia merasakan kebiasaan itu sebagai kebutuhan untuk
membuat jarak dengan kerja-kerja kampanye, advokasi dan lobi yang sangat
melelahkan.
INFID banyak berurusan dengan masalah pembangunan dan utang-utang
pemerintah. Menurut Binny, Indonesia masuk ke dalam jebakan utang. Artinya
mencari utang baru untuk menutup utang lama. Kalau disebut dalam angka,
utang dalam dan luar negeri Indonesia sudah menyentuh 150 miliar dollar
AS, dengan rincian 80 miliar utang dalam negeri dan 70 miliar dollar utang
luar negeri.
Akibatnya, anggaran negara sebagian besar tersedot oleh pengembalian utang
dan bunganya, sedangkan anggaran pembangunan, khususnya pendidikan dan
kesehatan, sangat terbatas. Pemerintah mestinya tidak begitu saja percaya
pada penilaian lembaga keuangan internasional bahwa jumlah utang Indonesia
masih terkelola. Artinya, meski utang besar, pendapatan negara masih cukup
untuk membayar dan tak akan berdampak negatif pada kemiskinan.
“Kalau dilihat dari segi produk domestik bruto (GDP) memang masih
terkelola. Tetapi dari dampaknya terhadap pembangunan, itu sebuah tragedi,”
kata Binny.
Konkritnya, dalam APBN 2005, alokasi anggaran untuk cicilan utang dan
bunganya Rp 143,60 triliun dari total anggaran Rp 377,89 triliun.
Sedangkan anggaran pembangunan hanya Rp 70,87 triliun dari seluruh
pengeluaran Rp 471,03 triliun. Untuk menutup defisit sekitar Rp 93,14
triliun, pemerintah harus menguras tabungannya, menjual aset BPPN dan
mencari utang baru. Belum lagi utang dalam negeri yang luar biasa besarnya,
80 miliar dolar, akibat ditutupnya 16 bank. Lalu ada BLBI yang harus
ditalangi pemerintah.
Kata Binny, yang patut dicemaskan, capital flight (pelarian modal) terus
terjadi, sementara investasi baru tidak masuk. Tetapi yang paling penting,
pemerintah baru melaksanakan mandat dari rakyat,
mewujudkan kesejahteraan. Salah satu caranya, menyelesaikan utang secara
komprehensif. Jika masuk ke Paris Club harus diupayakan skema baru,
mencakup pemotongan utang, bukan memindahkan beban kepada generasi
berikutnya lewat penangguhan pembayaran utang.
Menurut Binny, negosiasi utang bukan soal negosiasi ekonomi, itu negosiasi
politik, dan terkait dengan hubungan internasional. Kreditor Indonesia
tidak terdesak secara politis untuk memberi pemotongan utang, tidak
seperti pada Pakistan.
Begitu ada peristiwa 11 September, Pakistan langsung bilang mau memerangi
Al-Qaeda. Pemerintah Pakistan mendapat skema Islamabad dengan potongan
utang sampai 60 persen. Jepang yang dalam tradisinya tak pernah
menghapuskan utang, memberikannya pada Irak. Dulu ada konteks Perang
Dingin yang memungkinkan suatu negara mendapat pemotongan utang. Indonesia
mestinya mencari arena yang bisa dimasuki, misalnya dengan menjual
geopolitik, menjaga keamanan di Asia Tenggara.
”Negosiasi yang dilakukan Indonesia kurang kencang. Jika kita bilang tak
mau bayar utang, mereka pasti datang ke kita,” kata Binny.
Dengan program IMF yang mengacu pada Washington Consensus, terjadi
liberalisasi struktur ekonomi besar-besaran. Pasar Indonesia dibuka
sebebas mungkin sehingga menjadi seperti tong sampah segala macam barang
konsumsi. Di lain pihak, subsidi pertanian, kesejahteraan rakyat, dihapus.
Akibatnya, harga (tarif) naik terus, dan kehidupan rakyat kecil makin
sulit. Sementara dari sisi produksi dalam negeri, industri melemah
sehingga tidak bisa bersaing dengan barang impor.
Karena itu, salah satu tugas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mencabut
Inpres Nomor 5/2003. White Paper itu menyangkut program ekonomi Indonesia
pasca-IMF, tetapi isinya persis program IMF, walaupun yang membikin
pemerintah Indonesia.
Binny mengimpikan Indonesia yang lebih baik melalui jalan yang ia pilih.
Dengan sadar, ia masuk ke dalam arus, yang mungkin kecil pada saat ini,
tetapi suatu saat mampu mendobrak dan mendorong terjadinya perubahan.
Anak kedua dari lima bersaudara pasangan Dr Mochtar Buchori dan Soemanah
ini, memulai karirnya sebagai jurnalis di harian
The Jakarta Post tahun 1983-1986. Ia meninggalkan dunianya yang mapan,
karena kekritisannya tak banyak mendapat tempat. Dunia aktivis
menantangnya ikut dalam gerakan yang memperjuangkan keadilan, penghormatan
terhadap hak asasi manusia dalam arti luas, dan kesetaraan.
Inspirasi untuk bergabung dengan gelombang perjuangan datang dari
teman-temannya yang mendirikan Kalyanamitra. Ia juga mulai berhubungan
secara intens dengan LP3ES, menjumpai sekelompok intelektual yang
memengaruhi pandangannya, seperti Almarhum Aswab Mahasin, Ignas Kleden dan
Manuel Kasiepo.
Proses pencerahan berlanjut ketika ia, tahun 1986, melanjutkan studi di
bidang perpustakaan dan kajian informasi di University College of Wales,
Aberystswyth, Inggris. Di sana ia melihat partisipasi publik dalam
keputusan politik, mulai dari boikot produk Afrika Selatan sampai Free
Mandela Movement. Semangat itu ia bawa pulang, mengukuhkan keinginannya
bergabung dengan mereka yang berani tidak bekerja di jalur utama dan
percaya pada apa yang dikerjakan.
Namun, ia harus membayar beasiswa dari Universitas Indonesia ketika
belajar ke Inggris dengan mengajar selama lima tahun di situ. Sambil
mengajar ia bekerja di Prisma, majalah yang dikelola LP3ES, memimpin
Ashoka, lembaga nirlaba yang memberi hibah kepada individu yang dinilai
memiliki pikiran inovatif di sektor publik.
Karena kantor Ashoka "mondok" di kantor Walhi, ia pun berkenalan dengan
jaringan kerja organisasi nonpemerintah (ornop) di Indonesia bagian timur.
Selama empat tahun (1994-1998) ia tinggal di Papua, ikut membangun
jaringan informasi ornop di sana.
Binny kembali ke Jakarta pada tahun 1998 dan bergabung dengan INFID, suatu
ornop yang secara khusus melihat dampak pembangunan dari kebijakan
lembaga-lembaga keuangan internasional dan negara-negara donor, khususnya,
memonitor Consultative Group on Indonesia (CGI).
Binny juga melihat rendahnya minat investasi asing di Indonesia dari sisi
lain, bukan sekedar menyangkut soal liberalisasi. Di negeri ini masih
menonjol masalah korupsi, kolusi, pungutan liar dan penegakan hukum, yang
bisa mengganggu kenyamanan berinvestasi. Kalau semua ini bisa dibereskan,
kepercayaan pasar akan bersemi kembali. ►tsl-sh
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia) |
|