Manajemen Bencana
Bantuan "Community to Community" Perlu Dibina
Yogyakarta, Kompas - Bantuan kemanusiaan bagi korban gempa bumi di DI Yogyakarta dan Jawa Tengah sangat didukung oleh gerakan solidaritas antarkomunitas. Gerakan community to community ini harus segera dibina oleh pemerintah sebagai bagian dari manajemen bencana berbasis komunitas.
"Gerakan antarkomunitas ini memang sangat dahsyat. Komunitas masyarakat mampu bergerak sangat cepat untuk membantu korban gempa," kata M Baiquni, aktivis Leadership for Environmental and Development (LEAD) Fellow, Senin (29/5).
Baiquni menilai, komunitas dari luar Bantul datang untuk melihat daerah yang akan dibantu pada hari pertama gempa. Pada hari kedua mereka sudah mengirimkan makanan siap santap ke lokasi itu. Dilihat dari sisi psikologis, solidaritas dari komunitas ini mengondisikan korban bahwa dirinya masih memiliki teman dan keluarga.
Bantuan antarkomunitas terbukti paling cepat masuk sebelum bantuan lain datang. Fenomena ini bisa diidentifikasi dari padatnya transportasi masuk dan ke luar Bantul selama tiga hari ini. Hubungan antarkomunitas terjalin karena kedekatan emosional dari sebagian anggota komunitas. Selain itu, solidaritas masyarakat sangat tinggi untuk membantu sesama yang sedang dilanda bencana.
Namun, lanjut Baiquni, kemampuan pendanaan komunitas sangat terbatas. Jika pemerintah tidak merespons fenomena ini, dipastikan akan ada kekosongan bantuan saat komunitas kehabisan dana. Untuk menghindari ini, pemerintah harus segera membina komunitas-komunitas yang memberi bantuan. Konsep yang dibangun adalah sistem kampung, sebuah kampung fokus membantu kampung tertentu.
Kekuatan komunitas ini seharusnya dibina sebagai bagian dari manajemen bencana. Keterlibatan masyarakat dalam berbagai komunitas inilah yang membantu pemerintah memperingan permasalahan. "Kita bisa melihat gejala ini muncul di sejumlah daerah yang tidak terkena bencana. Beberapa dapur umum dibangun untuk memasak makanan bagi korban gempa," ujar Baiquni.
Pakar Kebencanaan dari Universitas Gadjah Mada, Dr Sudibyakto, mengatakan, manajemen bencana di daerah bencana memang belum siap. Dalam kasus gempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah, pelaku manajemen bencana juga menjadi korban. Karena itu, manajemen bencana menjadi lumpuh.
"Dalam kondisi seperti ini dibutuhkan sistem yang menghubungkan antara satuan pelaksana di kabupaten dan provinsi. Jika kabupaten lumpuh, provinsi langsung menanganinya. Saya rasa sistem ini sudah ada tetapi belum bisa dilaksanakan dengan baik," katanya.
Manajemen bencana juga harus didukung oleh peran perguruan tinggi maupun relawan untuk melakukan rapid assessment dan need assessment. Dalam kasus gempa bumi, identifikasi secara cepat mengenai jumlah korban dan daerah paling parah kerusakannya bisa dilakukan melalui citra satelit skala besar. Identifikasi ini untuk mempermudah penyaluran bantuan ke lokasi yang tepat.
"Bantuan yang dibutuhkan bisa diketahui melalui need assessment sehingga korban menerima bantuan yang benar-benar dibutuhkan," kata Sudibyakto. (ANG)