Rubrik
Berita Utama
Bisnis & Keuangan
Humaniora
International
Metropolitan
Nusantara
Olahraga
Opini
Politik & Hukum
Sosok
Sumatera Bagian Selatan
Sumatera Bagian Utara
Berita Yang lalu
Anak
Audio Visual
Bahari
Bentara
Bingkai
Dana Kemanusiaan
Didaktika
Ekonomi Internasional
Ekonomi Rakyat
Fokus
Furnitur
Ilmu Pengetahuan
Interior
Jendela
Kesehatan
Lingkungan
Lintas Timur Barat
Makanan dan Minuman
Muda
Musik
Otomotif
Otonomi
Pendidikan
Pendidikan Dalam Negeri
Pendidikan Informal
Pendidikan Luar Negeri
Perbankan
Pergelaran
Perhubungan
Pixel
Properti
Pustakaloka
Rumah
Sorotan
Swara
Tanah Air
Teknologi Informasi
Telekomunikasi
Teropong
Wisata
Info Otonomi
Tentang Kompas
Kontak Redaksi
Fokus
Sabtu, 01 April 2006

PERDA
Bikin Perda, tapi Enggak Mengerti Aturannya…

Oleh Khairina

Rabu, 11 Agustus 2004, Kabupaten Wonosobo, kota kecil di kaki Gunung Sindoro, Jawa Tengah, yang biasanya tenang itu tiba-tiba heboh. Ratusan petani tembakau di kaki Gunung Sindoro, Kabupaten Wonosobo, mendatangi Kantor DPRD Wonosobo. Sebagian dari mereka berunjuk rasa di ruas jalan Temanggung-Wonosobo dan membakar ban bekas sehingga memacetkan jalan raya.

Protes para petani kecil itu bahkan berlanjut kepada ancaman akan membumihanguskan tanaman tembakau di Temanggung dan Wonosobo jika retribusi kendaraan pengangkut komoditas tembakau tidak segera dihentikan. Para petani keberatan akan retribusi itu karena dianggap tidak manusiawi dan membuat petani tembakau makin terpuruk.

Dalam Surat Keputusan (SK) DPRD Temanggung Nomor 67/Pimp/VII/2004 tanggal 3 Agustus 2004 dan Keputusan Bupati No 525.2/213 Tahun 2004 tentang Sumbangan Masyarakat Pertembakauan disebutkan, setiap orang atau badan yang mengangkut daun tembakau dengan kendaraan bak terbuka bertonase sampai satu ton dan masuk ke wilayah Temanggung dikenai retribusi sebesar Rp 750.000. Adapun kendaraan bertonase dua ton dikenai Rp 800.000, truk bertonase tiga ton dikutip Rp 1 juta, dan yang bertonase 6 ton dikutip Rp 1,5 juta.

SK itu sendiri akhirnya dicabut setelah berlaku sekitar seminggu. Dasar pembatalan SK retribusi itu adalah demi mengedepankan kepentingan yang lebih luas serta demi keseimbangan semua pihak, khususnya petani tembakau di kawasan lereng Sindoro-Sumbing (Kompas, 13 Agustus 2004).

Keputusan atau peraturan daerah (perda) yang "bermasalah" dan merugikan pelaku usaha atau masyarakat bukan hanya terjadi di Temanggung. Pengusaha Anton Supit mengaku mendapat banyak keluhan dari para pengusaha yang terkena getah perda yang tidak ramah investasi itu. Dia antara lain mencontohkan Perda Kabupaten Serang, Banten, Nomor 13 Tahun 2003 mengenai Ketentuan Penyelenggaraan Fasilitas Kesejahteraan Pekerja/Buruh Perusahaan Swasta.

Dalam perda itu disebutkan, fasilitas/kesejahteraan buruh yang wajib diselenggarakan perusahaan meliputi penyelenggaraan dan penyediaan sarana dan fasilitas kesehatan, peribadatan, olahraga, transportasi, tempat makan, seragam kerja, rekreasi koperasi, dan jaminan kecelakaan di luar jam kerja.

Poin terakhir, mengenai jaminan kecelakaan di luar jam kerja, dinilai pengusaha memberatkan dan tidak sesuai dengan undang-undang asuransi dan undang-undang jaminan sosial tenaga kerja. "Berbicara filosofi, bukannya saya menentang perda. Tetapi, jangan sampai perda itu bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi," kata Anton.

Menurut Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri Progo Nurdjaman, dari 5.054 perda soal pajak dan retribusi yang diterima oleh Depdagri sejak tahun 2000, di antaranya sebanyak 930 perda layak dibatalkan dan 3.966 lainnya layak dilaksanakan.

Dari seluruh perda yang layak untuk dibatalkan, 537 sudah dibatalkan, dengan rincian 506 perda dibatalkan oleh Mendagri, 24 perda dibatalkan daerah bersangkutan, dan tujuh perda belum mendapat respons dari pemerintah daerah.

Menurut catatan Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan, dan Kerja Sama Internasional (Bapekki) Departemen Keuangan, perda pajak dan retribusi yang diterbitkan 30 pemerintah provinsi dan 370 pemerintah kabupaten/kota sebanyak 13.520. Perhitungan itu berdasarkan asumsi setiap provinsi menerbitkan 14 perda tentang perpajakan dan 15 perda tentang retribusi. Kabupaten dan kota menerbitkan tujuh perda perpajakan dan 28 perda retribusi.

Perda pajak dan retribusi, selain diawasi oleh Depdagri, juga diawasi oleh Departemen Keuangan (Depkeu). Selain itu, perda mengenai pajak dan retribusi juga dipantau oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Adapun mengenai perda bermasalah di luar perda pajak dan retribusi, Depdagri belum memiliki data terbaru.

"Tetapi, kami bekerja sama dengan kementerian terkait, misalnya perda mengenai lingkungan bekerja sama dengan KLH (Kementerian Negara Lingkungan Hidup)," kata Progo.

Pengawasan terhadap perda-perda yang diterapkan di daerah memang belum maksimal. Selama ini, perda yang dikaji dan lalu dibatalkan adalah perda yang dilaporkan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau masyarakat. Tanpa ada keberatan dari masyarakat, Depdagri kesulitan untuk mengecek apakah substansi perda itu bertentangan dengan aturan atau tidak.

Selain itu, perda yang sudah dibatalkan pun tidak seluruhnya ditindaklanjuti oleh daerah yang bersangkutan. "Kalau berdasarkan pengaduan pengusaha atau LSM mungkin cepat (ditindaklanjuti), tapi kalau temporer saja agak lambat," ujar Kepala Biro Hukum Depdagri Perwira.

Proses penyusunan perda sebenarnya melibatkan semua unsur muspida, termasuk anggota DPRD. Setelah disahkan dalam rapat paripurna DPRD, rancangan perda tersebut lalu diundangkan dalam lembar daerah.

Setelah itu, provinsi mengkaji substansi perda tersebut. Gubernur lalu menyetujui dan menandatangani perda itu. Tembusannya dikirimkan ke Depdagri. Akan tetapi, dengan puluhan ribu perda yang dibuat, Depdagri memfokuskan pengkajian kepada perda-perda yang menonjol di masyarakat.

Bertentangan

Penyusunan perda sebenarnya harus memenuhi tiga aspek, yakni yuridis, filosofis, dan sosiologis. Sering kali penyusun perda mengabaikan aspek sosiologis, yakni hukum yang berlaku di masyarakat. Karena tidak melihat potensi dan karakteristik masyarakat, implementasi perda banyak terganggu.

Sebagian besar perda yang bermasalah umumnya bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Selain itu juga terjadi tumpang tindih antara kebijakan pusat dan daerah serta tumpang tindih antara pajak dan retribusi.

Kendati telah berhasil menyusun dan menerapkan suatu perda di daerahnya, ternyata masih banyak pejabat di kabupaten/kota atau provinsi yang belum memahami soal-soal sepele, seperti apa perbedaan antara pajak dan retribusi serta tidak menguasai undang-undang perpajakan dan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

"Masalahnya pada kemampuan daerah untuk bisa mengelaborasi tentang pengertian pajak dan retribusi. Selain itu, daerah juga belum menghayati filosofi mengenai sumber penerimaan daerah. Dalam sistem perimbangan keuangan pusat dan daerah, itu sebenarnya sudah diatur," ujar Progo.

Sebagian besar pejabat di daerah yang tidak memahami undang-undang memaksakan perda yang berorientasi kepada keuntungan jangka pendek tanpa memikirkan akibat jangka panjangnya. Sering terjadi ekonomi biaya tinggi di daerah, yang menghambat iklim investasi dan akibatnya berpengaruh kepada kemakmuran daerah itu.

Progo mengaku, bertahun-tahun yang lalu, Depdagri sempat melakukan pembinaan kepada pejabat di daerah. Akan tetapi, para pejabat yang telah dididik itu sebagian besar telah pensiun atau pindah tugas ke bagian lain.

"Ke depan, saya akan minta Dirjen Bina Administrasi Keuangan Daerah untuk melakukan pembinaan terhadap pejabat di daerah, terutama terhadap dispenda dan kabag hukum," ujar Progo.

Perwira menambahkan, pembinaan secara komprehensif terhadap pejabat daerah memang belum dilakukan, namun pembinaan secara parsial dilakukan secara rutin. Setiap tahun, Depdagri melakukan pembinaan teknis kepada para pejabat teknis, setingkat kepala bagian. Akan tetapi, para pejabat teknis ini tidak memiliki kekuasaan yang cukup untuk mengubah kebijakan kepala daerah.

Search :
 
 

Berita Lainnya :

·

Ketika Semangat Desentralisasi Tidak Kompak

·

Perda Kos di Yogyakarta Jalan Terus

·

Perda Versus Paket Kebijakan Investasi

·

Perda dan Ekonomi Biaya Tinggi di Daerah

·

"Pajak Godek" untuk Kesejahteraan Siapa

·

Bikin Perda, tapi Enggak Mengerti Aturannya…

·

Menciptakan Perekonomian Daerah yang Kompetitif

·

KPPOD, Tiga Perda Sehari



Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS