Rubrik
Dikbud
Finansial
Jawa Tengah
Berita Utama
Olahraga
Opini
International
Nasional
Iptek
Bisnis & Investasi
Nusantara
Naper
Metropolitan
Berita Yang lalu
Kesehatan
Audio Visual
Pergelaran
Otonomi
Dana Kemanusiaan
Investasi & Perbankan
Teropong
Esai Foto
Makanan dan Minuman
Ekonomi Internasional
Sorotan
Properti
Swara
Telekomunikasi
Bentara
Muda
Rumah
Pendidikan Dalam Negeri
Teknologi Informasi
Agroindustri
Furnitur
Otomotif
Pendidikan Luar Negeri
Bahari
Jendela
Pustakaloka
Ekonomi Rakyat
Fokus
Wisata
Ilmu Pengetahuan
Musik
Info Otonomi
Tentang Kompas
Kontak Redaksi

 

 

Otonomi
Selasa, 15 Juli 2003

Kabupaten Paniai

SEKITAR akhir tahun 30-an Belanda mencapai Kabupaten Paniai. Ini menjadi babak baru, pertemuan antara masyarakat asli-Suku Mee di bagian barat dan Suku Moni di bagian timur-dengan orang luar. Melalui ekspedisi di bawah Pastor H. Tillemans Pemerintah Belanda mendirikan pos misi atau disebut juga pos pemerintahan. Tepatnya di Enarotali.

ENAROTALI atau biasa disebut Enaro di Kecamatan Paniai Timur hingga kini masih menjadi pusat pemerintahan meski mengalami perbedaan luas dan status wilayah. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 1996 Kabupaten Paniai dimekarkan menjadi Kabupaten Administratif Paniai dan Puncak Jaya. Sementara itu, Kabupaten Paniai lama berganti nama menjadi Nabire. Tiga tahun kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 status Paniai ditingkatkan dari kabupaten administratif menjadi kabupaten otonom.

Sudah tujuh tahun pemekaran terjadi, namun tujuan memperpendek rentang pemerintahan dan mempercepat pembangunan masih terkendala pada letak geografis. Berada di ketinggian hingga 2.000 meter dengan topografi bergunung dan berlembah menjadikan Paniai terisolasi. Sudah begitu, jembatan di kilometer 100 satu-satunya jalur darat yang menghubungkan Nabire dan Paniai terputus. Tak pelak, angkutan udara menjadi andalan.

Kecamatan Sugapa, Homeyo, Agisiga, dan Biandoga tidak dapat dijangkau melalui darat. Satu-satunya transportasi lewat pesawat terbang, jika tidak ingin berjalan kaki seharian. Paniai memiliki 15 lapangan terbang, 11 di antaranya milik swasta dengan bandar udara utama di Enaro. Trigana, Merpati, AMA, dan MAF adalah maskapai penerbangan yang beroperasi di wilayah ini.

Biaya naik pesawat dari Nabire menuju Paniai Rp 250.000, tidak murah bagi penduduk yang perekonomian utamanya bertumpu pada tanaman pangan. Tercatat 73 persen lebih sumbangan tanaman pangan bagi roda perekonomian tahun 2001. Ubi jalar atau disebut nota yang menjadi makanan utama penduduk di perkampungan merupakan produksi tanaman pangan terbesar.

Tahun 2002 adalah puncak produksi tertinggi dibanding dua tahun sebelumnya. Dihasilkan 31.194 ton nota yang berarti meningkat 240 persen lebih dari produksi tahun sebelumnya sejalan bertambahnya luas panen dari 4.271 hektar tahun 2001 menjadi 6.597 hektar.

Nota lazimnya dimasak dengan cara yang sangat khas, yaitu dengan bakar batu atau dikenal dengan istilah bara pen. Batu yang membara sehabis dibakar digunakan mematangkan nota yang ditutup daun. Hingga kini belum ada industri kecil atau industri rumah tangga yang mengolah nota menjadi kripik, dodol tepung, atau dikemas dalam bentuk lain yang tahan lama.

Dalam kondisi normal kebutuhan nota dipenuhi dari hasil panen lokal. Lain lagi jika terjadi banjir atau kekeringan. Pada saat banjir, pohon-pohon tergenang air dan akhirnya membusuk. Sebaliknya, di kala kering pohon-pohon mati kekurangan air. Yang terjadi kemudian adalah kekurangan pangan. Berbeda ceritanya jika sudah ada sentuhan tangan terampil yang menjadikan nota makanan yang dapat disimpan.

Untuk daerah bersuhu rendah dan berkelembaban tinggi, seperti Paniai, tak banyak tanaman pangan yang bisa tumbuh. Padi dan kelapa tidak ditemukan. Adalah kebutuhan orang-orang kulit putih yang datang ke daerah ini yang memulai ditanamnya sayuran, seperti sawi, labu siam, terung, bayam, dan tomat. Jenis tanaman ini antara lain terdapat di Kecamatan Tigi, Tigi Timur, dan Paniai Barat. Sekitar 398,4 ton sayuran dihasilkan tahun 2000. Sementara itu, pisang, pepaya, dan nanas adalah jenis buah yang tumbuh di sana.

Pertanian masih dilakukan dengan pola tanam yang sangat sederhana, meski lahan pertanian sudah menetap. Bukan cangkul apalagi traktor yang digunakan, melainkan kayu yang menjadi andalan pengolahan lahan pertanian. Kayu dianggap lebih cepat menghancurkan tanah. Di sini peran wanita petani sangat besar karena setelah petani pria membuka lahan, urusan bercocok tanam selanjutnya sepenuhnya tanggung jawab petani wanita.

Hasil pertanian dibawa dengan noken, tas kantong yang juga sering digunakan menggendong anak. Tercatat 50 industri yang digeluti 50 tenaga kerja. Menyusul penggergajian kayu dan ukir-ukiran, masingmasing 6 industri dan 20 industri yang sama-sama menyerap 20 tenaga kerja. Industri kecil merupakan industri rumah tangga.

Belum terlihat industri yang berbahan baku tanaman pangan. Produksi tanaman pangan sejauh ini diperdagangkan di pasar tradisional di hampir tiap kecamatan dalam bentuk segar. Itu pun masih belum mencukupi kebutuhan. Ikan asin, minyak goreng, gula pasir, garam, dan beras, misalnya, seluruhnya dipasok dari daerah lain. Bahkan tercatat dari 970.757 ton barang bongkar muat di Bandar Udara Paniai, 98 persen merupakan barang yang dibongkar.

Pengangkutan barang dan komunikasi dari dan ke Paniai selama ini melalui Kabupaten Nabire. Mahalnya biaya angkutan mengakibatkan harga kebutuhan pokok meroket. Harga beras Rp 8.000 per liter, minyak tanah Rp 12.000 tiap liter, dan bensin tujuh kali lipat dari harga normal atau sekitar Rp 13.000. Harga-harga berfluktuasi tergantung pasokan.

Mahalnya harga bahan bakar membawa konsekuensi tingginya biaya operasional. Contohnya penerangan. Operasional listrik yang dibangkitkan dengan tenaga diesel terpaksa diberi kuota. Pagi hari listrik menyala dari jam 8 hingga 12 siang. Dihidupkan kembali menjelang pukul 6 sore hingga 12 malam. Adapun untuk telepon, kebanyakan telepon satelit yang pelanggannya wartel dan pemerintah. Jaringan PT Telkom masih terbatas.

Sulitnya sarana perhubungan menjadi penghambat kegiatan ekonomi. Karenanya memperbaiki infrastruktur merupakan cara membuka keterisolasian wilayah yang kemudian menjadi akses tumbuhnya perekonomian. Membutuhkan kerja keras dan yang pasti bukan hal mudah. Namun, moto Paniai "aweta ko enaa agapida me", artinya hari esok lebih baik dari hari ini, setidaknya menunjukkan semangat untuk mencapai kemakmuran dan kemajuan di masa mendatang.

SISILIA SRISUWASTUTI/Litbang Kompas

Search :
 
 

Berita Lainnya :

·

Kabupaten Paniai

·

Menunggu Realisasi Pembangunan Jalan



 

 

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS