Rubrik
Berita Utama
International
Metropolitan
Naper
Nusantara
Bisnis & Investasi
Finansial
Opini
Olahraga
Jawa Tengah
Politik & Hukum
Humaniora
Pemilihan Umum 2004
Berita Yang lalu
Jendela
Otonomi
Audio Visual
Rumah
Teknologi Informasi
Dana Kemanusiaan
Properti
Pustakaloka
Otomotif
Furnitur
Agroindustri
Musik
Muda
Fokus
Makanan dan Minuman
Didaktika
Ekonomi Rakyat
Swara
Kesehatan
Sorotan
Ekonomi Internasional
Teropong
Esai Foto
Perbankan
Pengiriman & Transportasi
Investasi & Perbankan
Pendidikan Dalam Negeri
Pendidikan Luar Negeri
Pendidikan
Pergelaran
Ilmu Pengetahuan
Pixel
Bingkai
Bentara
Telekomunikasi
Wisata
Bahari
Info Otonomi
Tentang Kompas
Kontak Redaksi

 

 

Nusantara
Rabu, 25 Februari 2004

Kabupaten Halmahera Selatan

AWALNYA adalah bagian dari Kabupaten Maluku Utara. Terhitung sejak 25 Februari 2003, wilayah di selatan Pulau Halmahera ini menjadi kabupaten otonom. Bersama dua saudaranya, yaitu Kabupaten Halmahera Utara dan Kepulauan Sula, Halmahera Selatan menyiapkan diri sebagai daerah mandiri.

BERALASKAN pegunungan yang tersusun atas batuan beku basa dan batuan metamorfik yang kurang subur, tak menjadikan Halmahera Selatan (Halsel) kekurangan "gizi". Luas perairan 31.484 kilometer persegi atau empat kali luas daratan merupakan aset yang tidak sedikit.

Bagi Halsel, laut beserta isinya merupakan harta karun yang belum tergarap. Aneka ikan pelagis atau ikan permukaan berbagai ukuran seperti tuna, cakalang, tongkol, cucut, tenggiri, teri, kembung, layang, dan selar berdiam di dalamnya. Berbagai ikan demersal seperti kakap merah, lencam, ekor kuning, gulama, gerot-gerot, kerapu serta jenis non-ikan turut menghuni perairannya. Komoditas seperti cumi, teripang, lobster, kepiting, rumput laut, ubur-ubur, dan mutiara memiliki nilai jual yang cukup tinggi.

Sayangnya kemampuan memanfaatkan kekayaan laut masih tergolong minim. Dalam kurun waktu 1998-2002 di wilayah yang didominasi suku Makian, Buton, dan Galela ini, tak terlihat peningkatan produksi perikanan yang cukup berarti. Malahan terus merosot hingga tahun 2003. Puncak hasil tangkapan terjadi tahun 1999, yaitu 39.000 ton. Angka itu terus berkurang hingga tinggal 31.000 ton empat tahun kemudian.

Selain dipengaruhi konflik antar-agama tahun 1999-2000, Halsel memang belum pintar menggarap aset. Dari 119.483 pencari nafkah di wilayah ini hanya 3,3 persen yang menjadi nelayan. Modalnya pun tergolong kecil. Sebanyak 65 persen dari seluruh kapal nelayan masih tanpa motor. Hanya 10 persen dari 2.256 unit kapal yang dilengkapi motor. Tentu saja keterbatasan ini menghalangi nelayan menjangkau ikan-ikan "mahal" yang terdapat agak ke tengah laut. Dari jumlah tersebut diperkirakan maksimum 21 persen yang dimanfaatkan.

Tiga kecamatan di Pulau Bacan, yaitu Bacan, Bacan Barat, dan Bacan Timur adalah sentra perikanan Halsel. Kontribusinya meliputi 70 persen hasil tangkapan keseluruhan. Pusat pendaratan ikan pun dibangun di sini dan merupakan salah satu dari dua pendaratan ikan di Provinsi Maluku Utara.

PT Usaha Mina, satu di antara empat BUMN yang bergerak di bidang perikanan, menampung hasil panen nelayan. Melalui perusahaan ini berbagai bentuk olahan berupa sashimi, tataki, fillet atau ikan tanpa tulang, dan ikan segar dikapalkan ke Singapura, Hongkong, dan Jepang. Cakalang dan tuna paling banyak diproduksi.

Dari segi fisik, Halsel identik dengan kota nelayan, karena 92 persen merupakan desa pantai. Meski kehidupan pantai dan laut menjadi keseharian masyarakat, kegiatan ekonomi tidak didominasi hasil perikanan.

Sama halnya dengan induknya, Maluku Utara, yang berganti nama menjadi Halmahera Barat, daerah ini masih mengutamakan hasil perkebunan seperti kelapa, kacao, cengkeh, dan pala. Pada umumnya masyarakat di setiap kecamatan memanfaatkan lahan untuk usaha perkebunan. Di antara komoditas yang diunggulkan, areal kelapa terluas yaitu 28.600 hektar. Produksinya 44.400 ton dalam bentuk kopra. Jumlah itu dimiliki 25.200 petani, dengan Bitung dan Surabaya sebagai tujuan utama pemasaran.

Kakao menempati urutan kedua. Produktivitasnya rata-rata tak sampai satu ton per hektar dengan total produksi 2.793 ton di atas lahan 3.871 hektar. Melalui Ternate hasil panen ini dipasarkan ke Pulau Jawa.

Oleh penduduk setempat cengkeh dan pala hingga kini masih dilestarikan. Meski hasilnya tak menggembirakan, tanaman ini tetap diminati sekitar 3.000 petani. Tahun 2002 produksinya masing-masing 434 ton dan 766 ton.

Walaupun hasil perkebunan mendominasi kegiatan ekonomi, tenaga kerja terbanyak terserap di bidang tanaman pangan 20 persen. Pemenuhan makanan pokok kemungkinan besar menjadi alasannya. Tahun 2002 hasil panen ubi kayu 19.000 ton, salah satu makanan pokok masyarakat di samping sagu dan beras.

Padi kurang memuaskan hasilnya. Minimnya air serta tanah yang berbukit-bukit tak memungkinkan budi daya tanaman ini secara maksimal. Kecamatan Gane Timur satu-satunya daerah yang tanahnya cocok untuk persawahan. Oleh transmigran asal Pulau Jawa, lahan diolah hingga menghasilkan 781 ton padi dari luas panen 193 hektar. Total produksi padi Halsel 874 ton tahun 2002. Jumlah tersebut hanya memenuhi 10 persen kebutuhan setempat. Sisanya didatangkan dari Makassar dan Pare-Pare.

Kabupaten Halsel terpetakan dalam sembilan kecamatan dengan Labuha di Pulau Bacan sebagai pusat. Dari tempat ini segala urusan pemerintahan dikendalikan. Beruntung masyarakat yang tinggal di ibu kota kabupaten dan sekitarnya, karena baru mereka yang menikmati listrik sepanjang hari. Sebaliknya, Kecamatan Bacan Barat dan Obi Selatan sama sekali belum terjamah penerangan. Kalaupun ada penerangan, itu merupakan hasil swadaya masyarakat yang menggunakan genset pribadi. Sementara itu kecamatan lain penerangannya terbatas dari pukul 18.00 hingga pukul 06.00.

Jalan raya yang terbatas memaksa penduduk menggunakan jalur laut untuk mendukung mobilitas mereka. Kecamatan Gane Timur adalah yang paling terisolasi. Tak ada jalan darat terdekat dari dan menuju ibu kota kabupaten. Jalan memutar lewat laut merupakan cara satu-satunya mencapai Labuha.

Terhadap kabupaten tetangganya, Halsel cukup mudah dijangkau. Selain ada pelabuhan Babang yang punya jadwal kapal 2-3 kali sehari ke Kota Ternate, ada pula sarana lewat udara. Bandara Oesman Sadik didarati pesawat jenis CASA berpenumpang 24 orang, dua kali seminggu.

Ditilik dari usianya yang baru belajar merangkak, Halsel harus bersabar, tak perlu buru-buru berdiri. Berbagai potensi yang dimiliki sangat memungkinkan menutup berbagai kekurangan. Apalagi jika melihat alam yang masih asri dengan obyek wisata pasir putih dan taman laut yang terpendam di dasar perairannya.

Nila Kirana/Litbang Kompas

Search :
 
 

Berita Lainnya :

·

Makassar Harus Menjadi Ruang Keluarga Indonesia Timur

·

Ribuan Warga Pedalaman Tak Terdaftar Pemilu

·

Rompi Parpol Tukang Ojek Marak di Prabumulih

·

DAU Diskriminatif, Kabupaten Pemekaran Sulit Berkembang

·

Meninggal, Korban Gempa di Sumbar

·

Gubernur Bali: Parpol Harus Berkampanye secara Santun

·

Panwas NTT Temukan 116 Pelanggaran

·

Cianjur Masuki Panen Raya, Harga Gabah Merosot

·

Caleg PKB Diancam Hukuman 15 Hari

·

10 Perusahaan Asing Batal Investasi di Batam

·

PNS Kampar Gelar Unjuk Rasa Jilid II

·

Proses Belajar Mengajar di Nabire Dimulai Kembali

·

Bentrok Fisik Warnai Aksi Karyawan PT DI

·

Ribuan Petani Demo Tuntut Reformasi Agraria

·

Ekonomi Perbatasan Kalbar Dikuasai Malaysia

·

Empat Tewas Seusai Konser Sheila On 7

·

Kabupaten Halmahera Selatan

·

Hati Nurani di Maloku Kie Raha

·

Persoalan Lama Menanti Kebijakan Pemimpin Baru Kota Makassar

·

Wisata Ziarah, Potensi yang Terkubur

·

Tak Kenal, Maka Tak Cinta

·

DAERAH SEKILAS



 

 

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS