Rubrik
Berita Utama
International
Metropolitan
Naper
Nusantara
Bisnis & Investasi
Finansial
Opini
Olahraga
Jawa Tengah
Politik & Hukum
Humaniora
Pemilihan Umum 2004
Berita Yang lalu
Jendela
Otonomi
Audio Visual
Rumah
Teknologi Informasi
Dana Kemanusiaan
Properti
Pustakaloka
Otomotif
Furnitur
Agroindustri
Musik
Muda
Fokus
Makanan dan Minuman
Didaktika
Ekonomi Rakyat
Swara
Kesehatan
Sorotan
Ekonomi Internasional
Teropong
Esai Foto
Perbankan
Pengiriman & Transportasi
Investasi & Perbankan
Pendidikan Dalam Negeri
Pendidikan Luar Negeri
Pendidikan
Pergelaran
Ilmu Pengetahuan
Pixel
Bingkai
Bentara
Telekomunikasi
Wisata
Bahari
Info Otonomi
Tentang Kompas
Kontak Redaksi

 

 

Nusantara
Rabu, 25 Februari 2004

Hati Nurani di Maloku Kie Raha

KABUPATEN Halmahera Selatan dengan ujung tombak Pulau Bacan yang menjadi pusat pemerintahan kabupaten, secara keseluruhan memiliki arti strategis bagi Provinsi Maluku Utara (Malut). Selain karena di kabupaten baru ini berkedudukan satu dari empat kesultanan yang membentuk sebuah kebudayaan yang dikenal dengan nama Maloku Kie Raha, juga karena daerah ini menyimpan beragam kekayaan sumber daya alam.

Keempat kesultanan dimaksud adalah Kesultanan Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan. Keempat kesultanan atau kerajaan tersebut menurut hikayat bersaudara kandung. Bahkan lebih dari itu, empat bersaudara dengan basis lokasi terpisah satu dengan lainnya, namun dilaporkan menyatu dalam sebuah Kebudayaan Maloku Kie Raha (kebudayaan empat sultan atau juga disebut empat gunung).

Disebut empat gunung karena masing-masing Sultan menetap di pulau gunung, pulau berbentuk gunung, yaitu Gunung Gamalama (Ternate), Gunung (Pulau) Jailolo, Gunung Tidore, dan Gunung Bacan. Hubungan keempat bersaudara (kakak beradik) itu seperti ditulis dalam sejarah wilayah itu, juga berlangsung serasi meskipun di antara mereka terjadi persaingan dalam upaya menanam pengaruhnya ke dalam dan keluar wilayah.

Keempat sultan itu lahir dari pasangan suami istri Sultan Djafar Sadik dan Boki Nursaefah. Di dalam menjalankan pemerintahan, masing-masing sultan dibantu beberapa tokoh pemerintahan yang diberi nama Bobato, yakni Bobato dunia dan Bobato akhirat. Pada Desember 1511, Portugis dipimpin M de Alburqueque yang bermarkas di Malaka mengirim ekspedisi tiga kapal pimpinan Antonio Abreu dan Fransesco Serrao menuju Maluku tiba di Ternate pada tahun 1512.

Sejak itu pula, Maloku Kie Raha memasuki babak baru, babak globalisasi, karena sejak itu kemudian silih berganti memasuki wilayah itu, Spanyol dan Belanda, juga Inggris selain Portugis, termasuk bangsa Cina. Bangsa-bangsa Eropa itu berebutan membangun pengaruh di sana, terutama karena kuatnya daya tarik atas komoditas cengkeh dan pala.

Laporan sejarah juga menyebutkan, pada tahun 1521 Bangsa Spanyol dengan kapal Victoria dan Trinidad tiba di sana, namun hanya setahun bertahan karena dipukul mundur oleh Portugis pimpinan Antonio de Brito yang kemudian menjadi gubernur pertama Maluku.

Di wilayah Maloku Kie Raha, De Brito disambut oleh permaisuri Nyai Cili Boki, Raja dan Pangeran Tarruwese. Dalam pertemuan dan perundingan dengan De Brito, pihak Maloku Kie Raha menekankan pentingnya dilakukan perjanjian bersama. Akhirnya dirumuskan perjanjian Maloku Kie Raha dengan Portugis yang berisi tiga kesepakatan. Pertama, Portugis dibolehkan mendirikan benteng di Pantai Gamlango wilayah Maloku Kie Raha. Kedua, Portugis diizinkan berdagang dan mendirikan gudang penyimpanan barang di wilayah Maloku Kie Raha, dan ketiga, semua rempah-rempah hanya boleh dijual kepada Portugis dan tiap-tiap bahar cengkeh (sekitar 600 pon) dibayar 32 ringgit 48 stuiver.

Memang seluruh kegiatan perdagangan dan pemerintahan ketika itu terpusat di Ternate, tetapi kontribusi signifikan juga dilakukan tiga kesultanan lainnya, Bacan, Jailolo, dan Tidore. Khususnya Kesultanan Bacan yang belakangan ini tampil menjadi wilayah otonomi kabupaten sendiri, yakni Kabupaten Halmahera Selatan, perannya sangat besar terutama karena menyimpan potensi besar di bidang pertanian, perikanan, dan pertambangan.

Ketika itu, Kesultanan Bacan belum begitu dikenal akibat kuatnya pengaruh Kesultanan Ternate. Namun, belakangan ini peran Bacan semakin kuat, apalagi wilayah ini memiliki deposit mineral emas, sumber hasil hutan yang potensial serta perikanan. Selain itu, daerah ini juga memiliki kekayaan kayu gaharu yang berbau harum, budi daya mutiara yang sudah mendunia serta pabrik tepung ikan yang memiliki kapasitas terbesar di di dunia.

KECEMERLANGAN Bacan dan juga hampir seluruh wilayah Maluku Utara termasuk seluruh Pulau Halmahera sempat memudar akibat kerusuhan horizontal yang melanda daerah itu di akhir 1999. Segala sesuatu yang dibangun di masa sebelumnya menjadi porak- poranda dan tidak lagi berarti sama sekali.

Bahkan lebih dari itu, korban manusia pun ikut berjatuhan diikuti dengan luka amat dalam yang menyakitkan. Nilai-nilai manusia dan kemanusiaan yang menjadi pegangan dan pedoman selama ini menjadi tidak berarti akibat berkecamuknya perang saudara, dendam, serta kebencian.

Untung saja sebelum segala-galanya punah total, muncul kembali kesadaran nurani manusia betapa penting persahabatan dan nilai-nilai persaudaraan antarmanusia. Warga di sana kembali disadarkan bahwa mereka terlalu jauh hanyut pada arus kebencian. Mereka sekaligus sadar bahwa saling memaafkan dan saling mengampuni adalah jalan terbaik yang paling ampuh menyudahi seluruh persoalan.

Mantan Pejabat Gubernur Maluku Utara Sinyo Harry Sarundajang mengatakan, selama sembilan bulan memimpin daerah itu berupaya membangun kembali kearifan lokal lewat sentuhan nurani kemanusiaan.

"Modal saya ketika itu seperti pesan Presiden Megawati Soekarno Putri, bahwa manusia dicipatakan berbeda-beda, warna kulit, adat kebiasaan, rambut, bahasa berbeda-beda dan lahir di tempat yang juga berbeda, tetapi Presiden Megawati mengatakan, ada satu yang sama di tengah kepelbagaian ciptaan Tuhan, yaitu hati nurani manusia," ujar Sarundajang.

"Nurani inilah yang saya dekati seperti dipesankan Ibu Mega hanya beberapa saat setelah menerima Keppres pengangkatan Pejabat Gubernur Malut. Dan ternyata lewat sentuhan nurani kemanusiaan, damai dan kasih sayang itu kembali bersemi dan belakangan ini tumbuh subur di Malut, termasuk di Bacan," kata Sarundajang sambil menambahkan, "Syukur, sebab dalam penyelesaian konflik Maluku tak ada tindak kekerasan." (Freddy Roeroe)

Search :
 
 

Berita Lainnya :

·

Makassar Harus Menjadi Ruang Keluarga Indonesia Timur

·

Ribuan Warga Pedalaman Tak Terdaftar Pemilu

·

Rompi Parpol Tukang Ojek Marak di Prabumulih

·

DAU Diskriminatif, Kabupaten Pemekaran Sulit Berkembang

·

Meninggal, Korban Gempa di Sumbar

·

Gubernur Bali: Parpol Harus Berkampanye secara Santun

·

Panwas NTT Temukan 116 Pelanggaran

·

Cianjur Masuki Panen Raya, Harga Gabah Merosot

·

Caleg PKB Diancam Hukuman 15 Hari

·

10 Perusahaan Asing Batal Investasi di Batam

·

PNS Kampar Gelar Unjuk Rasa Jilid II

·

Proses Belajar Mengajar di Nabire Dimulai Kembali

·

Bentrok Fisik Warnai Aksi Karyawan PT DI

·

Ribuan Petani Demo Tuntut Reformasi Agraria

·

Ekonomi Perbatasan Kalbar Dikuasai Malaysia

·

Empat Tewas Seusai Konser Sheila On 7

·

Kabupaten Halmahera Selatan

·

Hati Nurani di Maloku Kie Raha

·

Persoalan Lama Menanti Kebijakan Pemimpin Baru Kota Makassar

·

Wisata Ziarah, Potensi yang Terkubur

·

Tak Kenal, Maka Tak Cinta

·

DAERAH SEKILAS



 

 

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS