Hati Nurani di Maloku Kie Raha
KABUPATEN Halmahera Selatan dengan ujung tombak Pulau Bacan yang menjadi pusat pemerintahan kabupaten, secara keseluruhan memiliki arti strategis bagi Provinsi Maluku Utara (Malut). Selain karena di kabupaten baru ini berkedudukan satu dari empat kesultanan yang membentuk sebuah kebudayaan yang dikenal dengan nama Maloku Kie Raha, juga karena daerah ini menyimpan beragam kekayaan sumber daya alam.
Keempat kesultanan dimaksud adalah Kesultanan Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan. Keempat kesultanan atau kerajaan tersebut menurut hikayat bersaudara kandung. Bahkan lebih dari itu, empat bersaudara dengan basis lokasi terpisah satu dengan lainnya, namun dilaporkan menyatu dalam sebuah Kebudayaan Maloku Kie Raha (kebudayaan empat sultan atau juga disebut empat gunung).
Disebut empat gunung karena masing-masing Sultan menetap di pulau gunung, pulau berbentuk gunung, yaitu Gunung Gamalama (Ternate), Gunung (Pulau) Jailolo, Gunung Tidore, dan Gunung Bacan. Hubungan keempat bersaudara (kakak beradik) itu seperti ditulis dalam sejarah wilayah itu, juga berlangsung serasi meskipun di antara mereka terjadi persaingan dalam upaya menanam pengaruhnya ke dalam dan keluar wilayah.
Keempat sultan itu lahir dari pasangan suami istri Sultan Djafar Sadik dan Boki Nursaefah. Di dalam menjalankan pemerintahan, masing-masing sultan dibantu beberapa tokoh pemerintahan yang diberi nama Bobato, yakni Bobato dunia dan Bobato akhirat. Pada Desember 1511, Portugis dipimpin M de Alburqueque yang bermarkas di Malaka mengirim ekspedisi tiga kapal pimpinan Antonio Abreu dan Fransesco Serrao menuju Maluku tiba di Ternate pada tahun 1512.
Sejak itu pula, Maloku Kie Raha memasuki babak baru, babak globalisasi, karena sejak itu kemudian silih berganti memasuki wilayah itu, Spanyol dan Belanda, juga Inggris selain Portugis, termasuk bangsa Cina. Bangsa-bangsa Eropa itu berebutan membangun pengaruh di sana, terutama karena kuatnya daya tarik atas komoditas cengkeh dan pala.
Laporan sejarah juga menyebutkan, pada tahun 1521 Bangsa Spanyol dengan kapal Victoria dan Trinidad tiba di sana, namun hanya setahun bertahan karena dipukul mundur oleh Portugis pimpinan Antonio de Brito yang kemudian menjadi gubernur pertama Maluku.
Di wilayah Maloku Kie Raha, De Brito disambut oleh permaisuri Nyai Cili Boki, Raja dan Pangeran Tarruwese. Dalam pertemuan dan perundingan dengan De Brito, pihak Maloku Kie Raha menekankan pentingnya dilakukan perjanjian bersama. Akhirnya dirumuskan perjanjian Maloku Kie Raha dengan Portugis yang berisi tiga kesepakatan. Pertama, Portugis dibolehkan mendirikan benteng di Pantai Gamlango wilayah Maloku Kie Raha. Kedua, Portugis diizinkan berdagang dan mendirikan gudang penyimpanan barang di wilayah Maloku Kie Raha, dan ketiga, semua rempah-rempah hanya boleh dijual kepada Portugis dan tiap-tiap bahar cengkeh (sekitar 600 pon) dibayar 32 ringgit 48 stuiver.
Memang seluruh kegiatan perdagangan dan pemerintahan ketika itu terpusat di Ternate, tetapi kontribusi signifikan juga dilakukan tiga kesultanan lainnya, Bacan, Jailolo, dan Tidore. Khususnya Kesultanan Bacan yang belakangan ini tampil menjadi wilayah otonomi kabupaten sendiri, yakni Kabupaten Halmahera Selatan, perannya sangat besar terutama karena menyimpan potensi besar di bidang pertanian, perikanan, dan pertambangan.
Ketika itu, Kesultanan Bacan belum begitu dikenal akibat kuatnya pengaruh Kesultanan Ternate. Namun, belakangan ini peran Bacan semakin kuat, apalagi wilayah ini memiliki deposit mineral emas, sumber hasil hutan yang potensial serta perikanan. Selain itu, daerah ini juga memiliki kekayaan kayu gaharu yang berbau harum, budi daya mutiara yang sudah mendunia serta pabrik tepung ikan yang memiliki kapasitas terbesar di di dunia.
KECEMERLANGAN Bacan dan juga hampir seluruh wilayah Maluku Utara termasuk seluruh Pulau Halmahera sempat memudar akibat kerusuhan horizontal yang melanda daerah itu di akhir 1999. Segala sesuatu yang dibangun di masa sebelumnya menjadi porak- poranda dan tidak lagi berarti sama sekali.
Bahkan lebih dari itu, korban manusia pun ikut berjatuhan diikuti dengan luka amat dalam yang menyakitkan. Nilai-nilai manusia dan kemanusiaan yang menjadi pegangan dan pedoman selama ini menjadi tidak berarti akibat berkecamuknya perang saudara, dendam, serta kebencian.
Untung saja sebelum segala-galanya punah total, muncul kembali kesadaran nurani manusia betapa penting persahabatan dan nilai-nilai persaudaraan antarmanusia. Warga di sana kembali disadarkan bahwa mereka terlalu jauh hanyut pada arus kebencian. Mereka sekaligus sadar bahwa saling memaafkan dan saling mengampuni adalah jalan terbaik yang paling ampuh menyudahi seluruh persoalan.
Mantan Pejabat Gubernur Maluku Utara Sinyo Harry Sarundajang mengatakan, selama sembilan bulan memimpin daerah itu berupaya membangun kembali kearifan lokal lewat sentuhan nurani kemanusiaan.
"Modal saya ketika itu seperti pesan Presiden Megawati Soekarno Putri, bahwa manusia dicipatakan berbeda-beda, warna kulit, adat kebiasaan, rambut, bahasa berbeda-beda dan lahir di tempat yang juga berbeda, tetapi Presiden Megawati mengatakan, ada satu yang sama di tengah kepelbagaian ciptaan Tuhan, yaitu hati nurani manusia," ujar Sarundajang.
"Nurani inilah yang saya dekati seperti dipesankan Ibu Mega hanya beberapa saat setelah menerima Keppres pengangkatan Pejabat Gubernur Malut. Dan ternyata lewat sentuhan nurani kemanusiaan, damai dan kasih sayang itu kembali bersemi dan belakangan ini tumbuh subur di Malut, termasuk di Bacan," kata Sarundajang sambil menambahkan, "Syukur, sebab dalam penyelesaian konflik Maluku tak ada tindak kekerasan." (Freddy Roeroe)