Rubrik
Berita Utama
Finansial
International
Metropolitan
Naper
Nusantara
Bisnis & Investasi
Opini
Olahraga
Pemilihan Umum 2004
Politik & Hukum
Humaniora
Jawa Barat
Berita Yang lalu
Pustakaloka
Otonomi
Audio Visual
Rumah
Teknologi Informasi
Fokus
Jendela
Otomotif
Furnitur
Agroindustri
Musik
Muda
Dana Kemanusiaan
Esai Foto
Swara
Sorotan
Pergelaran
Ekonomi Internasional
Wisata
Properti
Telekomunikasi
Teropong
Interior
Perbankan
Pengiriman & Transportasi
Investasi & Perbankan
Pendidikan Dalam Negeri
Pendidikan Luar Negeri
Ekonomi Rakyat
Pendidikan
Didaktika
Ilmu Pengetahuan
Pixel
Bingkai
Bentara
Kesehatan
Makanan dan Minuman
Bahari
Info Otonomi
Tentang Kompas
Kontak Redaksi

 

 

Otonomi
Rabu, 31 Maret 2004

Kabupaten Aceh Jaya

SEBAGAI daerah yang menjadi otonom pada tahun 2002, Kabupaten Aceh Jaya ibarat batu permata yang menunggu diasah. Betapa tidak, anugerah alam yang indah dan kandungan perut buminya masih belum mendapat perhatian investor. Kegiatan ekonomi daerah sangat kental diwarnai oleh ekonomi pertanian yang masih tradisional.

MENGUNDANG investor untuk menggeliatkan perekonomian di daerah ini bukan hal mudah. Status darurat militer yang melekat pada Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) secara umum memunculkan citra tidak aman dari perang anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan TNI. Jangankan investor asing, investor domestik saja enggan datang. Begitu juga wisatawan domestik dan asing. Padahal, salah satu modal daerah berupa keindahan pantai dan laut menyuguhkan wisata bahari yang memikat.

Di awal era 1990-an wisatawan asing banyak berdatangan ke Aceh Jaya yang saat itu tergabung dalam Kabupaten Aceh Barat. Mereka berselancar, menyelam, dan menikmati keindahan laut di pantai yang berbatasan dengan Samudra Hindia. Garis pantai di Kabupaten Aceh Jaya sepanjang 135 kilometer. Animo turis asing kala itu sangat tinggi terhadap keindahan laut daerah ini.

Tempat peristirahatan pun dibangun melengkapi kebutuhan wisatawan. Di Kuala Dou, Kecamatan Setia Bakti, seorang arsitektur asing membangun pondok-pondok wisata khusus untuk wisatawan asing. Uniknya, pondok-pondok itu dibangun tidak saja di atas fondasi tanah, tetapi juga di atas pohon. Namun, kondisi keamanan yang kian mengkhawatirkan dengan meningkatnya aksi senjata antara GAM dan TNI membuat pariwisata di daerah ini mati suri. Turis enggan datang dan tempat peristirahatan itu pun menjadi sepi dan terbengkalai.

Selain potensi wisata bahari, berbatasan dengan Samudra Hindia tentu saja memberi keuntungan lain bagi daerah ini, yaitu terbukanya lapangan usaha penangkapan ikan. Produksi perikanan laut rata-rata 12.000 ton per tahun yang diusahakan oleh sekitar 10.560 nelayan. Hasil ini sebagian besar dikonsumsi penduduk lokal. Hanya sekitar sepertiga yang diserap konsumen lain setelah dikirim ke Medan.

Kemampuan menangkap ikan nelayan Aceh Jaya belum optimal. Perahu yang sederhana membuat kemampuan melaut paling jauh sekitar 10 mil laut. Alat tangkap ikan pun masih sederhana, hanya mampu menangkap ikan ukuran kecil seperti ikan kembung, kakap, atau tongkol. Perairan tempat menjaring ikan pun terkadang dikuasai oleh nelayan asing dari Thailand yang dianggap memiliki peralatan lebih modern.

Keterbatasan lain dalam memanfaatkan sektor perikanan laut masih harus dihadapi oleh para nelayan. Keterbatasan itu antara lain ketiadaan tempat pelelangan ikan (TPI) yang lengkap dengan fasilitasnya, ketiadaan tempat pendingin (cold storage), dan pelabuhan samudra atau pelabuhan ekspor untuk memasarkan langsung hasil-hasil laut. Selama ini pemasaran ikan beku, juga hasil bumi lainnya, dilakukan dengan mengirim ke Medan.

Mata pencarian penduduk Aceh Jaya tidak hanya bergantung pada laut. Hasil tangkapan dari laut diakui belum bisa menambah pendapatan keluarga, hanya membantu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Sebagian besar perekonomian daerah bertumpu pada pertanian, terutama menyediakan kebutuhan pangan penduduk lokal.

Lahan pertanian di sini banyak ditanami padi. Luasnya 18.293 hektar dan menghasilkan tak kurang 65.000 ton padi (2003). Areal lainnya sekitar 1.426 hektar ditanami kacang-kacangan, jagung, ketela, sayur, dan hortikultura lainnya.

Secara umum, kegiatan pertanian menguasai 71,4 persen total perekonomian daerah Rp 302,2 miliar. Di antaranya 28 persen bersumber dari tanaman pangan, sedangkan perikanan baru berperan lima persen.

Selain ladang dan persawahan, lahan perkebunan banyak dijumpai di daerah ini. Tanaman karet, kelapa sawit, kopi, kelapa, dan kakao memenuhi areal tersebut dan menjadi komoditas andalan. Tanaman karet menghampar di lahan 7.717 hektar dan menghasilkan 5.811 ton tahun 2003. Dari segi produksi, komoditas yang banyak menghasilkan adalah kelapa sawit. Penduduk menggarap areal kelapa sawit 4.999 hektar menghasilkan 24.258 ton tandan buah segar (TBS). Sekitar 2.200 rumah tangga memiliki kebun kelapa sawit, masingmasing 2-5 hektar. Selain perkebunan yang diusahakan rakyat, terdapat tiga perusahaan swasta yang mengelola 1.818 hektar kelapa sawit dan menghasilkan 1.100 ton TBS.

Produksi kelapa sawit belum dapat langsung diolah menjadi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Ini disebabkan belum ada pabrik pengolahan CPO. Jadi, kelapa sawit dijual ke penampung yang membawanya ke daerah lain yang memiliki pabrik CPO seperti ke Langsa dan Meulaboh.

Meski belum memiliki pabrik pengolahan CPO, potensi pengembangan tanaman perkebunan, khususnya kelapa sawit, terbuka lebar. Aceh Jaya memiliki potensi lahan perkebunan 49.355 hektar. Dari luas ini 23.827 hektar yang sudah dimanfaatkan. Lahan cadangan perkebunan bisa diperoleh dari hutan, terutama dari pemberdayaan lahan kritis.

Potensi kehutanan kabupaten ini 341.353 hektar. Luas lahan kritis 58.635 hektar, sedangkan hutan produksi 200.244 hektar. Sayangnya, penebangan kayu oleh tiga perusahaan yang mendapat hak pengusahaan hutan 190.504 hektar tak berjalan karena faktor keamanan. Penebangan untuk mencukupi kebutuhan kayu daerah dilakukan pengusaha yang memiliki izin pemanfaatan kayu di atas areal 1.000 hektar.

Banyak lapangan usaha yang belum tergarap optimal dan perlu perhatian investor. Sektor pertambangan seperti batu bara, semen, bauksit, dan batu granit belum tergarap.

Sektor industri pengolahan menjadi lapangan usaha yang semestinya mulai dikembangkan, melihat produksi sektor perkebunan, kehutanan, dan pertanian umumnya cukup berlimpah dan bisa ditingkatkan. Setidaknya ada kelapa sawit, karet, dan kayu yang bisa diolah. Selama ini industri pengolahan hanya menyumbang sekitar empat persen pada keseluruhan perekonomian daerah dengan nilai berkisar Rp 11 miliar setahun. Yang berkembang pun sebatas industri rumahan yang berbasis tanaman pangan.

Masalah keamanan memang menjadi momok yang menakutkan investor atau pengusaha membuka usaha di sini. Namun, menjelang status darurat militer di NAD dicabut, pemerintah kabupaten bisa berbenah mempersiapkan infrastruktur pendukung yang menyangkut jaringan jalan, listrik, dan komunikasi melalui telepon.

GIANIE Litbang Kompas

Search :
 
 

Berita Lainnya :

·

Kabupaten Aceh Jaya

·

Si Mata Biru di Aceh Jaya



 

 

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS