Rubrik
Berita Utama
International
Metropolitan
Naper
Nusantara
Bisnis & Investasi
Finansial
Opini
Olahraga
Jawa Barat
Pemilihan Presiden 2004
Politik & Hukum
Humaniora
Berita Yang lalu
Jendela
Otonomi
Audio Visual
Rumah
Teknologi Informasi
Dana Kemanusiaan
Pustakaloka
Otomotif
Furnitur
Agroindustri
Musik
Muda
Swara
Fokus
Perbankan
Interior
Makanan dan Minuman
Ekonomi Internasional
Properti
Sorotan
Kesehatan
Ekonomi Rakyat
Bentara
Telekomunikasi
Wisata
Teropong
Pengiriman & Transportasi
Investasi & Perbankan
Pendidikan Dalam Negeri
Pendidikan Luar Negeri
Bahari
Esai Foto
Ilmu Pengetahuan
Pixel
Bingkai
Pergelaran
Didaktika
Pendidikan
Info Otonomi
Tentang Kompas
Kontak Redaksi

 

 

Otonomi
Kamis, 27 Mei 2004

Kabupaten Pegunungan Bintang

JANGAN heran kalau melihat bintang putih di atas Puncak Mandala. Bukan bintang jatuh, bukan pula benda langit lain yang jatuh. Benda yang menyerupai bintang itu adalah salju. Salju abadi menyelimuti gunung tertinggi di Kabupaten Pegunungan Bintang. Salju berbentuk bintang itulah yang menjadi asal mula nama kabupaten pecahan Kabupaten Jayawijaya ini.

SATU-satunya kabupaten di Pegunungan Jayawijaya yang berbatasan dengan negara Papua Niugini ini 90 persen wilayahnya terletak di dataran dengan ketinggian 400-4.000 meter di atas permukaan laut (dpl). Wilayah bertopografi bukit dan pegunungan ini ada di barat dan tengah dengan puncak tertinggi Puncak Mandala (4.700 meter). Sementara sisanya di utara dan selatan merupakan dataran rendah.

Hampir 40 tahun bergabung dengan kabupaten induk, Pegunungan Bintang tercatat sebagai kawasan tertinggal. Dari 128.209 jiwa penduduk (2003), 85 persen tergolong miskin. Dari segi pendidikan, penduduk yang buta aksara sekitar 47 persen. Bahkan, penduduk yang terkonsentrasi di lereng-lereng gunung dan lembah kurang mendapat sentuhan pelayanan dan pembinaan dari pusat pemerintahan kabupaten induk, Wamena. Wajar saja karena untuk menjangkau wilayah-wilayah di Pegunungan Bintang harus menempuh perjalanan sekitar 250-300 kilometer.

Jarak ratusan kilometer tersebut bisa saja dijangkau jika ada kemudahan sarana-prasarana transportasi dan telekomunikasi. Sayang, transportasi darat sama sekali tak menjangkau wilayah tersebut karena terhambat oleh faktor topografi pegunungan. Prasarana jalan hanya menghubungkan akses antarkampung di dalam distrik berupa jalan tanah. Bahkan, sebagian rusak, tertutup semak belukar. Satu-satunya yang bisa menyentuh adalah transportasi udara. Itu pun biayanya relatif mahal dan terbatas.

Begitu juga dengan telekomunikasi. Selama ini masih menggunakan single side band (SSB) milik beberapa instansi pemerintah dan misionaris. Penggunaan telepon seluler pun terbatas pada beberapa pejabat daerah. Namun, semua keterbatasan telekomunikasi mulai diatasi dengan kehadiran telepon pasang telepon sendiri (Pasti). Sedikit banyak jaringan telepon satelit ini mengatasi kesulitan berkomunikasi di Pegunungan Bintang meski penggunaannya terbatas pada beberapa rumah.

Hampir di setiap distrik terdapat lapangan terbang. Akan tetapi, hanya lapangan terbang di Oksibil dan Batom yang bisa didarati pesawat twin otter. Hubungan antardistrik dan wilayah luar kabupaten dilayani oleh pesawat twin otter dan Cessna milik Mission Aviation Fellowship (MAF) dan Aviation Mission Association (AMA). Biayanya relatif mahal, Rp 1,2 juta per orang. Selain itu, tidak ada jadwal yang pasti.

Sejak tahun 1980-an, Merpati Nusantara juga melayani transportasi di Pegunungan Bintang meski hanya melayani rute Jayapura-Oksibil dan Jayapura- Batom, setiap hari Sabtu dan Minggu. Biayanya relatif murah, sekitar Rp 135.000 dan Rp 150.000 per orang.

Memisahkan diri dari Jayawijaya sebenarnya merupakan peluang emas untuk membangun kabupaten di ujung timur Pegunungan Jayawijaya ini. Pertanian masih menjadi urat nadi kegiatan ekonomi. Tahun 2002 sektor tersebut memberikan kontribusi Rp 109 miliar, hampir 80 persen dari total kegiatan ekonomi. Sektor sekunder dan tersier belum menunjukkan prestasi.

Bahkan, pada produk domestik regional bruto (PDRB), angka sektor industri pengolahan serta listrik dan air minum masih nol. Kegiatan industri di Pegunungan Bintang masih belum ada. Ini berkaitan dengan kebiasaan masyarakat yang masih memanfaatkan sumber daya alam setempat. Lebih menyedihkan lagi jaringan listrik dan air bersih belum menjangkau kabupaten ini. Sumber listrik adalah disel, solar sel, dan aki yang kapasitas dan penggunaannya terbatas. Begitu juga air bersih yang masih menggunakan air hujan, sumur air dangkal, dan air sungai.

Pertanian tanaman pangan menjadi kegiatan utama penduduk kabupaten yang dihuni oleh suku Ngalum ini. Tahun 2002 sektor ini ikut menyumbang kegiatan ekonomi Rp 103 miliar dan mendominasi kegiatan pertanian. Hampir 100 persen penduduk bekerja di sektor ini. Sama dengan suku-suku lain di Papua. Suku Ngalum yang sebagian besar hidup di dataran tinggi mengonsumsi ubi-ubian sebagai makanan pokok. Biasanya ubi kayu, ubi jalar, dan keladi dibakar dan direbus. Kemudian daunnya direbus sebagai pelengkap makanan. Belum ada usaha mengolah hasil ubiubian menjadi komoditas perdagangan. Ke depan, dinas pertanian mengupayakan ubi jalar menjadi tepung ubi jalar dan oralit (bahan pengganti cairan saat mencret) .

Tanaman ubi-ubian ini bisa dijadikan unggulan pertanian tanaman pangan mengingat produksi tanaman ini cukup banyak dan bisa digunakan oleh semua masyarakat. Pada tahun 2002, produksi ubi jalar, ubi kayu, dan keladi 103.858 ton. Ubi- ubian yang cukup dikenal adalah ubi jenis victory. Rasanya manis, kulit dalam dan luar cukup menarik dengan warna oranye, merah muda, dan ungu.

Meski belum ada tanaman pertanian yang diunggulkan, dinas pertanian sedang meneliti jenis-jenis tanaman yang cocok dan tepat ditanam di Pegunungan Bintang. Sebenarnya bukan ubi-ubian saja yang hidup di wilayah ini, tetapi juga kentang, kedelai, kacang-kacangan, kubis, wortel, sawi, bawang daun, sayur-sayuran, dan buah seperti jeruk, nanas, pisang, jambu biji, avokad, dan pepaya. Sayang, semua tanaman tersebut produksinya masih sangat terbatas dan hanya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari penduduk setempat.

Tanaman perkebunan yang bisa dikembangkan adalah kopi yang dikembangkan pada lahan 429 hektar di semua distrik. Tahun 2002, produksinya 18,8 ton. Kopi yang dikembangkan adalah jenis kopi bio. Kopi yang bebas bahan kimia ini aromanya lebih tajam daripada kopi arabica dan rasanya lebih enak. Di beberapa negara Eropa, permintaan kopi bio cukup tinggi. Ini bisa dijadikan peluang untuk mengembangkan perkebunan kopi bio.

Potensi pertanian tersebut tidak akan berhasil dikembangkan jika masalah keterisolasian daerah tak segera dipecahkan. Memang, satu-satunya akses menuju distrik-distrik di Pegunungan Bintang hanya transportasi udara. Transportasi darat yang hanya bisa dikembangkan di utara dan selatan harus segera terwujud, seperti pembangunan jalan penghubung Oksibil-Iwur-Mindiptana-Waropko di Kabupaten Merauke.

Tahun anggaran 2004, agaknya prioritas pembangunan infrastruktur masyarakat belum sepenuhnya terlaksana. Bantuan dana dari Provinsi Papua berupa dana otonomi khusus Rp 13 miliar seluruhnya digunakan untuk membangun kantor bupati dan DPRD. Sementara dana alokasi khusus nonreboisasi dari pemerintah pusat digunakan untuk penyediaan sarana pemerintahan. Begitu juga dana alokasi umum yang dialokasikan untuk belanja rutin.

M Puteri Rosalina/Litbang Kompas

Search :
 
 

Berita Lainnya :

·

Kabupaten Pegunungan Bintang

·

Bermimpi Membangun di Atas Potensi Gunung Emas



 

 

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS