Rubrik
Berita Utama
International
Metropolitan
Naper
Nusantara
Bisnis & Investasi
Finansial
Opini
Olahraga
Pemilihan Presiden 2004
Jawa Barat
Euro 2004
Politik & Hukum
Humaniora
Berita Yang lalu
Otomotif
Otonomi
Audio Visual
Rumah
Teknologi Informasi
Dana Kemanusiaan
Pustakaloka
Furnitur
Agroindustri
Musik
Muda
Swara
Makanan dan Minuman
Fokus
Pengiriman & Transportasi
Esai Foto
Ekonomi Internasional
Wisata
Properti
Interior
Kesehatan
Ekonomi Rakyat
Bentara
Telekomunikasi
Teropong
Jendela
Sorotan
Ilmu Pengetahuan
Didaktika
Investasi & Perbankan
Pendidikan Dalam Negeri
Pendidikan Luar Negeri
Bahari
Pendidikan
Perbankan
Pixel
Bingkai
Pergelaran
Info Otonomi
Tentang Kompas
Kontak Redaksi

 

 

Otonomi
Kamis, 17 Juni 2004

Kabupaten Seram Bagian Barat

DAHULU Hatusua sering disebut sebagai kleine staat van Ambon karena memang ramai pada zaman kolonial Belanda. Suatu ketika terjadi bencana air laut yang mendadak naik dan meluluhlantakkan seluruh isi desa. Masyarakat pun menata kembali kehidupan di sana dengan membangun rumah-rumah di atas fondasi batu. Lokasinya bergeser dari tempat semula. Itu sebabnya desa itu dinamai hatu (batu) dan sua (soa, rumah yang dibangun oleh soa atau kelompok-kelompok kekerabatan).

KINI Hatusua merupakan salah satu desa di Kecamatan Kairatu yang bernaung di bawah hasil pemekaran Kabupaten Maluku Tengah, Seram Bagian Barat (SBB). Bersama tetangganya, Seram Bagian Timur (SBT), kabupaten ini diresmikan melalui Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2003. Pusat kegiatan, termasuk pemerintahan sementara, sebagian besar berlangsung di Piru (ibu kota Kecamatan Seram Barat), bukan di Dataran Hunipopu-ibu kota versi UU Nomor 40 itu. Karena fasilitas umum lebih lengkap, pada awalnya Kairatu yang diusulkan sebagai ibu kota sementara, tetapi kemudian muncul perdebatan hingga akhirnya Piru. Sementara Hunipopu masih berupa wilayah kosong.

Sebagai daerah baru, sarana perhubungan di kabupaten ini boleh dibilang cukup baik. Sebagian besar jalan sudah beraspal sehingga semua kecamatan bisa dilalui mobil. Berjarak sekitar 15 kilometer dari Piru, Kairatu terbilang lebih ramai karena letaknya lebih strategis. Selain tersedia sarana pasar, terdapat juga Pelabuhan Waipirit yang melayani angkutan laut feri, speed boat, dan kapal motor rute Ambon-Kairatu.

Dengan feri, lama perjalanan 1-1,5 jam. Dari Kairatu tersedia angkutan mobil ke Masohi (ibu kota Kabupaten Maluku Tengah) dengan lama perjalanan sekitar dua jam. Di samping Waipirit, terdapat juga dermaga di Waisarisa untuk angkutan plywood dari PT Djayanti Group. Perusahaan ini beroperasi di Seram Barat sejak tahun 1983.

Kairatu sejak lama terkenal sebagai daerah transmigrasi, antara lain di Desa Waimital, Waihatu, dan Waipirit. Permukiman transmigrasi Waimital dibuka tahun 1950-an, sedangkan dua berikutnya mulai tahun 1960-an. Melalui program transmigrasi pula kecamatan ini menonjol sebagai penghasil padi untuk Kabupaten Maluku Tengah maupun provinsi. Tidak jarang daerah ini kerap disebut lumbung padi di Maluku.

Secara keseluruhan, daerah utama penghasil padi di Maluku adalah Kecamatan Seram Utara (Maluku Tengah), Kecamatan Waeapo (Pulau Buru), dan Kairatu. Warga transmigran-yang sebagian besar berasal dari Jawa-di Kairatu sejak tahun 1971 sudah diberitakan menghasilkan 350 ton padi. Tiga tahun terakhir ini, dengan rata-rata produktivitas 30 kuintal per hektar, produksi padi 7.626 ton (2001), 3.201 ton (2002), dan 2.679 ton per hektar (2003). Di tahun 1999 bahkan sempat menjulang hingga 10.503 ton per hektar. Sentra produksi hanya di Waimital dan Waihatu. Di tingkat provinsi, Kairatu memberikan kontribusi tertinggi bagi Maluku Tengah, antara lain, 6.423 ton (2000) dan 6.006 ton (2002).

Komoditas palawija yang juga cukup penting adalah jagung dan kacang kedelai. Produksi jagung yang banyak dihasilkan di Desa Rumakay (Kecamatan Kairatu) mencapai 113 ton (2001) dan 154 ton (2002) dari luas panen sekitar 50 hektar. Di kecamatan yang sama, sentra kedelai berada di Desa Wailoy. Umbi-umbian, terbanyak ubi kayu, ada di Desa Kairatu.

Kebun-kebun di daerah ini juga cukup subur untuk kakao, kopi, pala, cengkeh, kelapa, jambu mete, dan vanili. Dengan rata-rata produksi 700 ton per hektar, kakao banyak tumbuh di Kairatu, Seram Barat, dan Taniwel. Dua tahun terakhir produksi cokelat 811 ton (2002) dan 824 ton (2003). Harganya cukup tinggi, sekitar Rp 15.000- Rp 16.000 per kilogram. Hanya saja ada faktor yang bisa menurunkan kualitas buah, yaitu hama yang sering menyerang daging buah tersebut.

Cengkeh boleh dibilang dihasilkan merata di semua kecamatan walaupun yang tertinggi di Kairatu. Dua tahun terakhir, total produksi bahan bumbu dapur ini 1.249 ton (2002) dan 2.186 ton (2003) dari luas tanaman menghasilkan 3.500 dan 3.800 hektar. Sedangkan sentra kelapa di Huamual Belakang dan Taniwel.

Biarpun tidak banyak, vanili terdapat di Seram Barat dan Taniwel. Sampai tahun lalu produksinya 32 kilogram per hektar, masih kalah jauh dibandingkan Kecamatan Amahai (900 kilogram) dan Saparua (125 kilogram). Jika melihat harganya, kondisi basah Rp 160.000 dan kering Rp 1,5 juta per kilogram, jelas amat menggiurkan petani. Bukan tidak mungkin mereka lebih membela vanili dibandingkan tanaman lain. Pasar komoditas ini adalah Manado dan Bali.

Dengan luas daerah 20 persen dari kabupaten induk, ekonomi SBB cenderung berkiblat pada pertanian tanaman pangan. Dalam Population and Environment Issues in Maluku, The Case of Western and Northern Seram (Denny Hidayat et.al, 1999), potensi kabupaten ini sebagai penghasil padi sangat didukung program transmigrasi. Sejak tahun 1994, di Pulau Seram sekitar 1.150 hektar sawah dicetak, dan kebanyakan terpusat di lokasi transmigrasi Kairatu serta Seram Utara.

Menurut Dinas Pertanian Maluku Tengah, peran pendatang (transmigran)-yang lebih berpengalaman mengolah sawah-membuat persawahan lebih berkembang. Sedangkan masyarakat setempat lebih banyak mengupayakan lahan-lahan kering dengan jenis-jenis tanaman berumur panjang. Bukan berarti penduduk asli tak mampu bersawah. Di dusun Waitoso, Piru, misalnya, yang bukan daerah transmigrasi, mereka bercocok tanam padi ladang seluas 5 hektar. Walaupun bersifat uji coba dan dilakukan secara swadaya, daerah ini berpotensi 30-50 hektar. Pada tahun 2001-2002, diperoleh panen rata-rata 2 ton per hektar.

Yang jelas, bukan hal yang mudah mengubah perilaku masyarakat agar lebih intensif mengolah sawah. Contoh sederhana, masih banyak yang tidak tahan berlama-lama di tanah berlumpur. Masalahnya, pola pertanian yang biasa dilakukan amat bervariasi. Misalnya, setelah menanam cengkeh "pindah" ke laut menjadi nelayan, dan berlanjut dengan tanaman kacang-kacangan. Kalaupun menanam padi, bisa jadi hanya dilakukan satu musim.

Krishna P Panolih/Litbang Kompas

Search :
 
 

Berita Lainnya :

·

Kabupaten Seram Bagian Barat

·

Seram yang Tidak Menyeramkan …



 

 

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS