|
C © updated 11042005 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
► e-ti/rp |
|
|
Nama:
I Gusti Ngurah Putu Wijaya
Lahir:
Puri Anom, Tabanan, Bali, 11 April 1944
Istri:
Dewi Pramunawati
Anak:
I Gusti Ngurah Taksu Wijaya
Ayah/Ibu:
Gusti Ngurah Raka/Mekel Erwati
Agama:
Hindu
Pendidikan:
- SR, Tabanan (1956)
- SMP Negeri, Tabanan (1959)
- SMA-A, Singaraja (1962)
- Fakultas Hukum UGM (1969)
- ASRI dan Asdrafi, Yogyakarta
- LPPM, Jakarta (1981)
- International Writing Programme, Iowa, AS (1974)
Karir:
- Pimpinan Teater Mandiri, Jakarta (1971-sekarang)
- Penulis skenario film, antara lain Perawan Desa (memperoleh Piala
Citra FFI 1980), Kembang Kertas (memperoleh Piala Citra FFI 1985),
Ramadhan dan Ramona, Dokter Karmila, Bayang-Bayang Kelabu, Anak-Anak
Bangsa, Wolter Monginsidi, Sepasang Merpati, Telegram
- Penulis skenario sinetron, antara lain Keluarga Rahmat, Pas, None,
Warung Tegal, Dukun Palsu (komedi terbaik pada FSI 1995), Jari-Jari
Cinta, Balada Dangdut, Dendam, Cerpen Metropolitan, Plot, Klop,
Melangkah di Atas Awan (penyutradaraan), Nostalgia, Api Cinta Antonio
Blanco, Tiada Kata Berpisah, Intrik, Pantang Menyerah, Sejuta Makna
dalam Kata, Nona-Noni.
Kegiatan Lain:
- Wartawan majalah Ekspres (1969)
- Dosen teater Institut Kesenian Jakarta (1977-1980)
- Wartawan majalah Tempo (1971-1979)
- Redaktur Pelaksana majalah Zaman (1979-1985)
- Dosen tamu teater dan sastra Indonesia modern di Universitas Wisconsin
dan Universitas Illinois, AS (1985-1988)
Karya Drama:
Dalam Cahaya Bulan (1966), Lautan Bernyanyi (1967), Bila Malam
Bertambah Malam (1970), Invalid (1974), Tak Sampai Tiga Bulan (1974),
Anu (1974), Aduh (1975), Dag-Dig-Dug (1976), Gerr (1986), Edan,
Hum-Pim-Pah, Dor, Blong, Ayo, Awas, Los, Aum, Zat, Tai, Front, Aib, Wah,
Hah, Jpret, Aeng, Aut, dan Dar-Dir-Dor
Karya Novel:
Bila Malam Bertambah Malam (1971), Telegram (1972), Stasiun
(1977), Pabrik (1976), Keok (1978), Aduh, Dag-dig-dug, Edan (semuanya
diterbitkan Pustaka Jaya tahun, 1972-1977), Gres, Lho (1982), Nyali
(semuanya diterbitkan Balai Pustaka, 1982-1983), Byar Pet (Pustaka
Firdaus, 1995), Kroco (Pustaka Firdaus, 1995), Dar Der Dor (Grasindo,
1996), Aus (Grasindo, 1996), Sobat (1981), Tiba-Tiba Malam (1977), Pol
(1987), Terror (1991), Merdeka (1994), Perang (1992), Lima (1992), Nol
(1992), Dang Dut (1992), Cas-Cis-Cus (1995)
Karya Cerpen:
Karyanya yang berupa cerpen terkumpul dalam kumpulan cerpen Bom
(1978), Es (1980), Gres (1982), Klop, Bor, Protes (1994), Darah (1995),
Yel (1995), Blok (1994), Zig Zag (1996), dan Tidak (1999)
Karya Novelet:
MS (1977), Tak Cukup Sedih (1977), Ratu (1977), dan Sah (1977)
Karya Esai:
Karya esainya terdapat dalam kumpulan esai Beban, Kentut, Samar,
Pembabatan, Klise, Tradisi Baru, Terror Mental, dan Bertolak dari yang
Ada.
Penghargaan:
- Pemenang penulisan lakon Depsos (Yogya)
- Pemenang penulisan puisi Suluh Indonesia Bali
- Pemenang penulisan novel IKAPI
- Pemenang penulisan drama BPTNI
- Pemenang penulisan drama Safari
- Pemenang penulisan cerita film Deppen (1977)
- Tiga buah Piala Citra untuk penulisan skenario (1980, 1985, 1992)
- Tiga kali pemenang sayembara penulisan novel DKJ
- Empat kali pemenang sayembara penulisan lakon DKJ
- Pemenang penulisan esei DKJ
- Dua kali pemenang penulisan novel Femina
- Dua kali pemenang penulisan cerpen Femina
- Pemenang penulisan cerpen Kartini
- Hadiah buku terbaik Depdikbud (Yel)
- Pemenang sinetron komedi FSI (1995)
- SEA Write Award 1980 di Bangkok
- Pemenang penulisan esei Kompas
- Anugerah Seni dari Menteri P&K, Dr Fuad Hasan (1991)
- Penerima Profesional Fellowship dari The Japan Foundation Kyoto,
Jepang (1991-1992)
- Anugerah Seni dari Gubernur Bali (1993)
Alamat Kantor:
Jalan Mimosa I/1, Sunter Mas, Jakarta 14350
Telepon (021) 6506604 Faksimile (021) 6506828
Alamat Rumah:
Kompleks Astya Puri 2 No. A9, Jalan Kerta Mukti, Cerendeu, Jakarta
Selatan
Telepon/Faksimile (021) 7444678
Email:
wijayaputu@hotmail.com
Sumber:
Dari berbagai sumber
|
|
|
|
|
|
|
PUTU WIJAYA HOME |
|
|
BIOGRAFI
Putu Wijaya
Sastrawan Serba Bisa
Ia sudah menulis kurang lebih 30 novel, 40 naskah drama, sekitar seribu
cerpen, ratusan esei, artikel lepas, dan kritik drama. Ia juga menulis
skenario film dan sinetron. Sebagai dramawan, ia memimpin Teater Mandiri
sejak 1971, dan telah mementaskan puluhan lakon di dalam maupun di luar
negeri. Puluhan penghargaan ia raih atas karya sastra dan skenario
sinetron.
Harian Kompas dan Sinar Harapan kerap memuat cerita pendeknya. Novelnya
sering muncul di majalah Kartini, Femina, dan Horison. Memenangkan lomba
penulisan fiksi baginya sudah biasa. Sebagai penulis skenario, ia dua
kali meraih piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI), untuk Perawan
Desa (1980), dan Kembang Kertas (1985). Sebagai penulis fiksi sudah
banyak buku yang dihasilkannya. Di antaranya, yang banyak
diperbincangkan: Bila Malam Bertambah Malam, Telegram, Pabrik, Keok,
Tiba-Tiba Malam, Sobat, Nyali.
Namanya I Gusti Ngurah Putu Wijaya yang biasa disebut Putu Wijaya. Tidak
sulit untuk mengenalinya karena topi pet putih selalu bertengger di
kepalanya. Kisahnya, pada ngaben ayahnya di Bali, kepalanya digundul.
Kembali ke Jakarta, selang beberapa lama, rambutnya tumbuh tapi tidak
sempurna, malah mendekati botak. Karena itu, ia selalu memakai topi.
"Dengan ini saya terlihat lebih gagah," tutur Putu sambil bercanda.
Putu yang dilahirkan di Puri Anom, Tabanan, Bali pada tanggal 11 April
1944, bukan dari keluarga seniman. Ia bungsu dari lima bersaudara seayah
maupun dari tiga bersaudara seibu. Ia tinggal di kompleks perumahan
besar, yang dihuni sekitar 200 orang, yang semua anggota keluarganya
dekat dan jauh, dan punya kebiasaan membaca. Ayahnya, I Gusti Ngurah
Raka, seorang pensiunan punggawa yang keras dalam mendidik anak. Semula,
ayahnya mengharapkan Putu jadi dokter. Namun, Putu lemah dalam ilmu
pasti. Ia akrab dengan sejarah, bahasa, dan ilmu bumi.
Semasa di SD, ''Saya doyan sekali membaca,'' tuturnya, ''Mulai dari
karangan Karl May, buku sastra Komedi Manusia-nya William Saroyan,
sampai cerita picisan yang merangsang berahi. Sejak kecil, saya juga
senang sekali seni pertunjukan. Mungkin sudah merupakan bakat, senang
pada seni laku," ujarnya mengenang.
Meskipun demikian, ia tak pernah diikutkan main drama semasih
kanak-kanak, juga ketika SMP. Baru setelah menang lomba deklamasi, ia
diikutkan main drama perpisahan SMA, yang diarahkan oleh Kirdjomuljo,
penyair dan sutradara ternama di Yogyakarta. Ia pertama kali berperan
dalam Badak, karya Anton Chekov. "Sejak itu saya senang sekali pada
drama," kenang Putu.
Setelah selesai sekolah menengah atas, ia melanjutkan kuliahnya di
Yogyakarta, kota seni dan budaya. Di Yogyakarta, selain kuliah di
Fakultas Hukum, UGM, ia juga mempelajari seni lukis di Akademi Seni Rupa
Indonesia (ASRI), drama di Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi), dan
meningkatkan kegiatannya bersastra. Dari Fakultas Hukum, UGM, ia meraih
gelar sarjana hukum (1969), dari Asdrafi ia gagal dalam penulisan
skripsi, dan dari kegiatan berkesenian ia mendapatkan identitasnya
sebagai seniman.
Selama bermukim di Yogyakarta, kegiatan sastranya lebih terfokus pada
teater. Ia pernah tampil bersama Bengkel Teater pimpinan W.S. Rendra
dalam beberapa pementasan, antara lain dalam pementasan Bip-Bop (1968)
dan Menunggu Godot (1969). Ia juga pernah tampil bersama kelompok
Sanggar Bambu. Selain itu, ia juga (telah berani) tampil dalam karyanya
sendiri yang berjudul Lautan Bernyanyi (1969). Ia adalah penulis naskah
sekaligus sutradara pementasan itu. Naskah dramanya itu menjadi pemenang
ketiga Sayembara Penulisan Lakon yang diselenggarakan oleh Badan Pembina
Teater Nasional Indonesia.
Setelah kira-kira tujuh tahun tinggal di Yogyakarta, Putu pindah ke
Jakarta. Di Jakarta ia bergabung dengan Teater Kecil asuhan sutradara
ternama Arifin C. Noer dan Teater Populer. Di samping itu, ia juga
bekerja sebagai redaktur majalah Ekspres (1969). Setelah majalah itu
mati, ia menjadi redaktur majalah Tempo (1971-1979). Bersama
rekan-rekannya di majalah Tempo, Putu mendirikan Teater Mandiri (1974).
"Saya perlu bekerja jadi wartawan untuk menghidupi keluarga saya. Juga
karena saya tidak mau kepengarangan saya terganggu oleh kebutuhan
mencari makan," tutur Putu.
Pada saat masih bekerja di majalah Tempo, ia mendapat beasiswa belajar
drama (Kabuki) di Jepang (1973) selama satu tahun. Namun, karena tidak
kerasan dengan lingkungannya, ia belajar hanya sepuluh bulan. Setelah
itu, ia kembali aktif di majalah Tempo. Pada tahun 1974, ia mengikuti
International Writing Program di Iowa, Amerika Serikat. Sebelum pulang
ke Indonesia, mampir di Prancis, ikut main di Festival Nancy.
Putu mengaku belajar banyak dari Tempo dan Goenawan Mohamad. "Yang
melekat di kepala saya adalah bagaimana menulis sesuatu yang sulit
menjadi mudah. Menulis dengan gaya orang bodoh, sehingga yang mengerti
bukan hanya menteri, tapi juga tukang becak. Itulah gaya Tempo," ungkap
Putu. Ia juga membiasakan diri dengan tenggat - suatu siksaan bagi
kebanyakan pengarang. Dari Tempo, Putu pindah ke majalah Zaman
(1979-1985), dan ia tetap produktif menulis cerita pendek, novel, lakon,
dan mementaskannya lewat Teater Mandiri, yang dipimpinnya. Di samping
itu, ia mengajar pula di Akademi Teater, Institut Kesenian Jakarta
(IKJ).
Ia mempunyai pengalaman bermain drama di luar negeri, antara lain dalam
Festival Teater Sedunia di Nancy, Prancis (1974) dan dalam Festival
Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985). Ia juga membawa Teater
Mandiri berkeliling Amerika dalam pementasan drama Yel dan berpentas di
Jepang (2001).
Karena kegiatan sastranya lebih menonjol pada bidang teater, Putu Wijaya
pun lebih dikenal sebagai dramawan. Sebenarnya, selain berteater ia juga
menulis cerpen dan novel dalam jumlah yang cukup banyak, di samping
menulis esai tentang sastra. Sejumlah karyanya, baik drama, cerpen,
maupun novel telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain
bahasa Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, Jepang, Arab, dan Thailand.
Gaya Putu menulis novel tidak berbeda jauh dengan gayanya menulis drama.
Seperti dalam karya dramanya, dalam novelnya pun ia cenderung
mempergunakan gaya objektif dalam pusat pengisahan dan gaya stream of
consciousness dalam pengungkapannya - penuh potongan-potongan kejadian
yang padat, intens dalam pelukisan, ekspresif bahasanya. Ia lebih
mementingkan perenungan ketimbang riwayat.
Adapun konsep teaternya adalah teror mental. Baginya, teror adalah
pembelotan, pengkhianatan, kriminalitas, tindakan subversif terhadap
logika - tapi nyata. Teror tidak harus keras, kuat, dahsyat,
menyeramkan; bahkan bisa berbisik, mungkin juga sama sekali tidak
berwarna.
Ia menegaskan, ''teater bukan sekadar bagian dari kesusastraan,
melainkan suatu tontonan.'' Naskah sandiwaranya tidak dilengkapi
petunjuk bagaimana harus dipentaskan. Agaknya, memberi kebebasan bagi
sutradara lain menafsirkan. Bila menyinggung problem sosial, karyanya
tanpa protes, tidak mengejek, juga tanpa memihak. Tiap adegan berjalan
tangkas, kadang meletup, diseling humor.Mungkin ini cerminan pribadinya.
Individualitasnya kuat, dan berdisiplin tinggi.
Saat ditanya pemikiran pengarang yang sehari bisa mengarang cerita 30
halaman, menulis empat artikel dalam satu hari ini tentang tulis
menulis, Putu menjawab, ''Menulis adalah menggorok leher tanpa
menyakiti,'' katanya, ''bahkan kalau bisa tanpa diketahui.'' Kesenian
diibaratkannya seperti baskom, penampung darah siapa saja atau apa pun
yang digorok: situasi, problematik, lingkungan, misteri, dan berbagai
makna yang berserak. ''Kesenian,'' katanya, ''merupakan salah satu alat
untuk mencurahkan makna, agar bisa ditumpahkan kepada manusia lain
secara tuntas.''
"Saya sangat percaya pada insting," kata Putu tentang caranya menulis.
"Ketika menulis, saya tidak mempunyai bahan apa-apa. Semua datang begitu
saja ketika di depan komputer," katanya lagi. Ia percaya bahwa ada satu
galaksi dalam otak yang tidak kita mengerti cara kerjanya. Tapi, menurut
Putu, itu bukan peristiwa mistik, apalagi tindak kesurupan.
Selain menekuni dunia teater dan menulis, Putu juga menjadi sutradara
film dan sinetron serta menulis skenario sinetron. Film yang
disutradarainya ialah film Cas Cis Cus, Zig Zag, dan Plong. Sinetron
yang disutradarainya ialah Dukun Palsu, PAS, None, Warteg, dan
Jari-Jari. Skenario yang ditulisnya ialah Perawan Desa, Kembang Kertas,
serta Ramadhan dan Ramona. Ketiga skenario itu memenangkan Piala Citra.
Pada 1977, ia menikah dengan Renny Retno Yooscarini alias Renny
Djajusman yang dikaruniai seorang anak, Yuka Mandiri. ''Sebelum menikah
saya menulis Sah, ee, saya mengalami persis seperti yang saya tulis,''
ujarnya. ''Pernikahan saya bubar pada 1984.'' Tetapi ia tidak lama
menduda. Pertengahan 1985, ia menikahi gadis Sunda, Dewi Pramunawati,
karyawati majalah Medika. Bersama Dewi, Putu Wijaya selanjutnya hidup di
Amerika Serikat selama setahun.
Atas undangan Fulbright, 1985-1988, ia menjadi dosen tamu teater dan
sastra Indonesia modern di Universitas Wisconsin dan Universitas
Illinois, AS. Atas undangan Japan Foundation, Putu menulis novel di
Kyoto, Jepang, 1992. Setelah lama berikhtiar - walau dokter di Amerika
mendiagnosis Putu tak bakal punya anak lagi - pada 1996, pasangan ini
dikaruniai seorang anak, Taksu.
Rumah tangga baginya sebuah "perusahaan". Apa pun diputuskan berdasarkan
pertimbangan istri dan anak, termasuk soal pekerjaan. Soal pendidikan
anak, "Saya tidak punya cara," ujar Putu. Anak dianggap sebagai teman,
kadang diajak berunding, kadang dimarahi. Dan, kata Putu, "Saya tidak
mengharapkan ia menjadi apa, saya hanya memberikan kesempatan saja."
Kini, penggemar musik dangdut, rock, klasik karya Bach atau Vivaldi dan
jazz ini total hanya menulis, menyutradarai film dan sinetron, serta
berteater. Dalam bekerja ia selalu diiringi musik. Olahraganya senam
tenaga prana Satria Nusantara. "Sekarang saya sudah sampai pada tahap
bahwa kesenian merupakan upaya dan tempat berekspresi sekaligus
pekerjaan," ujar Putu. ►ti/atur
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
|
|