|
C © updated
30112005 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
► e-ti/atur |
|
|
Nama:
Mayjen TNI (Purn) Drs. H Sulaiman. AB, SH, Msc
Lahir:
Kuala Simpang, Tamiang, 5 Agustus 1949
Agama:
Islam
Ayah:
H. Ahmad Basyir
Ibu:
Hj. Asmah Boru Lubis
Istri:
Hj. Dra. Iman Handayananingrum
Anak:
- Kartika Chandra Arini
- Khairul Basyar
Pendidikan:
- SD, SMP, SMA di Aceh.
- AKABRI, 1974
- Sussarcab POM, 1975
- Suslapa POM (1984)
- Seskoad (1993)
- Sussospol ABRI (1994)
- Sussar Para (1998)
- KRA XXXII Lemhannas pada 1999/2000
Karier:
- Perwira Pertama Polisi Militer Daerah Militer VII Diponegoro, 1975
- Komandan Detasemen Polisi Militer V Brawijaya
- Danpomdam VI Tanjung Pura di Balikpapan
- Sekretaris POM (1998)
- Perwira Ahli KSAD Bidang Hukum
- Komandan Polisi Militer (Danpuspom), 2002-2004
Alamat Rumah:
|
|
|
|
|
|
|
BIOGRAFI |
|
|
BIOGRAFI:
01
02
03 04 ==
Sulaiman AB (01)
Jenderal Penegak Hukum
Saat menjabat Komandan Pusat Polisi Militer (2002-2004),
Mayjen TNI (Purn) Drs. H Sulaiman. AB, SH, Msc dianggap sukses mengangkat citra
Polisi Militer (POM).
Dia tidak saja berhasil menuntaskan sejumlah kasus yang menjadi
sorotan masyarakat dalam negeri dan dunia internasional, tapi lebih dari itu,
POM juga berhasil membuktikan ketidakberpihakan (keadilan) kepada siapa pun,
termasuk prajurit TNI.
Dia berhasil melebur citra buruk keberpihakan Puspom kepada TNI, yang selama ini
sedikit banyak melekat di benak masyarakat dan sangat merugikan
institusi TNI. Dalam kepemimpinan Sulaiman AB, dugaan keberpihakan itu
dihilangkan dengan tindakan hukum yang adil.
Begitu dilantik sebagai Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom), 14
Maret 2002 Sulaiman langsung mendapat dua tugas berat yang keduanya
diduga melibatkan aparat TNI. Yaitu, mengusut tabir pembunuhan Theys
Hiyo Eleuay, Ketua Presidium Dewan Papua dan kasus penembakan dua warga
AS di Timika.
Sebagai Danpuspom, Sulaiman memang tak sekedar menyelidiki dan menyidik
aparat TNI yang terlibat kasus pelanggaran hukum. Tapi, ia juga berusaha
mengantisipasi jangan sampai terjadi pelanggaran hukum di kalangan
anggota TNI. Sehingga di akhir masa tugasnya sebagai Danpuspom, ia
dinilai berhasil membawa visi dan misi polisi militer sebagai penegak
hukum.
Sebagai Danpuspom, tugas dan tanggungjawab Sulaiman kala itu sangat
berat. Apalagi saat dilantik, iklim politik dan keamanan belum stabil.
Di pusat pemerintahan sedang terjadi masa transisi dari pemerintahan
Presiden Abdurrahman Wahid ke Megawati Soekarnoputri. Peralihan
kekuasaan ini tentu saja sangat memengaruhi stabilitas lapisan di
bawahnya.
Sementara itu, tuntutan masyarakat agar pemerintah segera melakukan
pengusutan sejumlah kasus pelanggaran HAM terus terjadi. Tuntutan
masyarakat itu terutama berkaitan dengan dugaan keterlibatan aparat
militer yang dianggap belum tersentuh hukum. Seperti pengusutan kasus
Trisakti, kasus Semanggi, dan peristiwa penyerangan kantor PDI pada 27
Juli 1996.
Tuntutan terhadap pengusutan kasus-kasus yang melibatkan aparat TNI ini
pada akhirnya mengarah pada kinerja institusi TNI. Sehingga panglima TNI
Laksamana Widodo AS waktu itu, kemudian melakukan pembenahan di dalam
lingkungan TNI. Sejumlah 118 perwira menengah dan perwira tinggi
dimutasi. Dari Mabes TNI 40 orang, TNI AD 37 orang, TNI AU 21 orang dan
TNI AL 20 orang.
Laksamana Widodo AS kala itu menegaskan, bahwa pembenahan di lingkungan
TNI ini tidak mempunyai tujuan apa pun selain untuk meningkatkan kinerja
TNI dan menempatkan orang-orang profesional pada bidangnya.
Seperti yang ditulis dalam buku Biografi Mayjen TNI (Purn) Sulaiman, AB
sebagai Danpuspom baru, Sulaiman langsung melaksanakan amanat KASAD. Ia
ingin anak buahnya bersikap dan memiliki ‘standard nilai’ kedisiplinan
seorang polisi yang tinggi.
Sulaiman memang yakin, hanya disiplinlah yang bisa mengantar seseorang
sukses dalam mengerjakan semua tugas dan tanggungjawabnya. Sebab seorang
prajurit yang tidak disiplin bukan saja merugikan dirinya, tapi – dalam
militer -- bisa juga mencelakakan nyawa teman-teman atau atasannya.
Dengan disiplin tinggi dan pengetahuan luas, maka peran Pusat Polisi
Militer akan optimal.
Maka, langkah awal yang dilakukannya agar pelaksanaan fungsi POM
berjalan dengan baik adalah menegakkan disiplin di lingkungan
institusinya. Menurut Sulaiman, seorang komandan adalah cermin dari
institusi. “Jika komandannya tidak disiplin, tidak mempunyai program
kerja yang jelas, maka masyarakat akan menilai institusi itu memang tak
bisa diandalkan,” katanya pada Tim penulis buku biografi tersebut. Tugas
POM adalah menegakkan hukum dan disiplin di lingkungan TNI. Maka,
sebagai komandan, ia lalu menarik garis tegas. Jajarannya harus memiliki
kedisiplinan dan kepatuhan hukum terlebih dahulu.
Untuk itu, ia tak hanya mengadakan pertemuan dengan perwira dan
jajarannya di lingkungan Markas POM, tapi juga mengunjungi
prajurit-prajurit POM di seluruh tanah air. Pada setiap pertemuan dengan
prajuritnya, perwira yang memulai kariernya di POM sejak tahun 1975 ini
selalu menekankan visi dan misi polisi militer. Menurutnya, visi polisi
militer adalah seorang polisi militer yang disiplin, solid,
profesionalisme, tangguh, berwawasan kebangsaan dan dicintai rakyat,
mampu mewujudkan TNI AD yang disiplin, taat dan menjujung tinggi hukum
serta hak asasi manusia.
Dua Tugas Berat
Di awal masa kepemimpinannya sebagai Danpuspom, Sulaiman langsung
mendapat dua tugas ‘berat’. Pertama, POM dilibatkan dalam Komisi
Penyelidikan Nasional (KPN) untuk mengungkap tabir pembunuhan Theys Hiyo
Eleuay, Ketua Presidium Dewan Papua. Kedua, kasus penembakan dua warga
Amerika Serikat di Timika. Kedua kasus ini dianggapnya sebagai tugas
yang tidak ringan, sebab selain diduga melibatkan aparat TNI, juga
mengandung nilai politis.
Menurutnya, jika proses penegakan hukum dicampuri dengan kepentingan
politik maka akan lebih sulit. “Sebab ada perbedaan tujuan. Penegakan
hukum bertujuan menegakkan keadilan dan kebenaran, sedangkan tujuan
politik untuk mencapai kepentingan suatu kelompok,” tuturnya. Itulah
yang mengakibatkan kedua kasus ini harus benar-benar teliti dalam
penyelidikannya.
Theys, tokoh Papua yang dikenal mempunyai hubungan luas dengan sejumlah
tokoh nasional, ditemukan tewas di kawasan Koya Tengah, Kecamatan Muara
Tami, sekitar 35 kilometer dari kota Jayapura, pada 11 November 2001.
Ketika itu ia baru pulang dari mengikuti perayaan hari pahlawan di
Markas Satgas (Satuan Tugas) Tribuana X Kopassus (Komando Pasukan
Khusus) di Hamadi, Jayapura. Saat ditemukan, ia telah tewas dan tubuhnya
penuh luka. Sopirnya, Aristoteles hingga kini tak pernah ditemukan.
Pembunuhan tokoh pejuang rakyat Papua ini tidak hanya menyulut emosi
pendukungnya, tapi juga dunia internasional. Posisi pemerintah khususnya
dalam pelanggaran HAM semakin mendapat sorotan tajam. Sehingga semua
pihak mendesak untuk mengusut tuntas pembunuhan itu. Apalagi, isu-isu
keterlibatan aparat TNI semakin kuat dan tersebar di mana-mana. Sehingga
presiden Megawati Soekarnoputri kala itu merasa perlu mengeluarkan
Keppres No. 10 tahun 2002 tentang Komisi Penyelidikan Nasional yang
dipimpin oleh Inspektur Jendral Polisi (Purn) Koesparmono Irsan dari
Komnas HAM.
Untuk mengungkap kasus ini, Komisi Nasional mendapat bantuan dari Pusat
Polisi Militer, untuk memeriksa anggotanya, karena dalam penyelidikannya
Komisi Nasional menemukan bukti-bukti keterlibatan aparat TNI.
Kendati menganggap kasus berat karena nuansa politisnya amat kental,
sebagai Danpuspom, Sulaiman bertekad mengungkap kasus ini secara tuntas.
Ia terus berusaha meyakinkan dan membujuk saksi-saksi kunci, bahwa
mereka akan mendapat perlindungan secara maksimal. Selain itu, ia juga
ke Jayapura untuk melihat lokasi dan menemui orang-orang yang dinilai
berperan.
Tidak sampai dua bulan setelah dilantik menjadi Danpuspom, tabir
pembunuhan Theys itu terungkap. Setelah memeriksa sekitar 109 saksi,
akhirnya ditetapkan 9 tersangka. Tiga tersangka di antaranya adalah
perwira menengah, empat bintara dan dua orang tamtama. Semua tersangka
adalah anggota Satgas Tribuana Kopassus yang berada di bawah kendali
operasi (BKO) Kodam Trikora. Akhirnya berkas perkara kasus pembunuhan
Theys itu diserahkan ke Oditur Militer (Otmil) pada 8 November 2002.
Dari sembilan yang ditetapkan sebagai tersangka, akhirnya hanya 7 yang
dinyatakan bersalah berdasarkan bukti-bukti dan saksi. Terungkapnya
kasus Theys dan divonisnya pelaku pembunuhan itu tentu saja melegakan
Sulaiman. Setidaknya masyarakat akan mengerti, bahwa TNI tak pernah
menolerir anggotanya, siapa pun dan apa pun pangkatnya, jika yang
bersangkutan melanggar hukum, tetap akan dihukum.
Penembakan Dua Warga AS
Kasus kedua yang menjadi PR (Pekerjaan Rumah) bagi Sulaiman adalah kasus
penembakan warga AS di Timika. Peristiwa penembakan bis rombongan
karyawan PT. Freeport Indonesia di Timika yang terjadi pada 31 Agustus
2002 ini juga diduga melibatkan aparat TNI. Akibat peristiwa tersebut
dua warga Amerika Serikat dan seorang warna Indonesia tewas dan sekitar
12 orang lainnya luka-luka.
Kasus ini sempat menjadi sorotan dunia Internasional. Bahkan akibat
insiden itu, Konggres AS memutuskan untuk menunda dana bantuan
pendidikan dan pelatihan militer (IMET – International Military
Education dan Training) untuk Indonesia.
Untuk mengusut peristiwa ini, Panglima TNI Jendral Endriarto Sutarto
kembali memberikan tugas kepada Mayjen Sulaiman, sebagai Komandan Pusat
Polisi Militer. Kemudian bersama Polri membantuk tim terpadu guna
penyelidikan kasus tersebut. Selama berbulan-bulan tim ini bekerja,
mengumpulkan bukti-bukti dan memeriksa sejumlah saksi. Namun, hasil yang
didapat tidak membuktikan adanya keterlibatan TNI dalam kasus tersebut.
Hasil penyelidikan tim Sulaiman rupanya tidak memuaskan pemerintah AS.
Kemudian pemerintah AS mengirim FBI untuk penyelidikan ulang, yang
disetujui oleh Panglima TNI Jendral Endriartono Sutarto. Namun, sekitar
delapan bulan FBI menyelidiki dan mengurai dengan seksama kasus ini,
akhirnya pada Desember 2003 FBI mengeluarkan pernyataan bahwa TNI tidak
terlibat dalam kasus ini.
Tentu saja, sebagai Danpuspom Sulaiman merasa lega, sebab sejak awal
penyelidikan timnya sudah berkeyakinan bahwa tidak ada keterlibatan
aparat TNI dalam peristiwa tersebut. Namun, demi penegakan hukum,
Sulaiman merasa harus melakukan tugasnya dengan seteliti dan sebaik
mungkin. Menurut Sulaiman, pelaku penembakan diduga kuat adalah anggota
organisasi Papua Merdeka, yang memang kerap melakukan
pencegatan-pencegatan di daerah itu.
Cegah Pelanggaran HAM di Aceh
Aceh memang tanah tumpah darah Sulaiman. Sehingga ia sangat mencintai
tanah kelahirannya itu. Sebagai seorang TNI tentu saja, ia tak ingin
korpsnya tidak disenangi oleh rakyat, apalagi dimusuhi. Maka untuk
mengatasi hal itu, saat menjadi Danpuspom, ia memprakarsai pengiriman
satuan tugas (Satgas) POM ke Aceh.
Salah satu tujuan pengiriman Satgas ini adalah untuk mengantisipasi
terjadinya pelanggaran HAM oleh prajurit TNI di sana. Sebab Sulaiman
sadar, jika sekali saja pelanggaran HAM ini terjadi, citra TNI akan
tercoreng dan perdamaian di Aceh bisa semakin sulit karena peristiwa ini
bisa digunakan oleh banyak pihak untuk memperkeruh situasi untuk meneguk
keuntungan suatu kelompok.
Sulaiman sangat memerhatikan keberadaan pasukan TNI di daerah konflik,
salah satunya adalah Aceh. Sudah lama Aceh bergejolak. Bahkan sejak 1989
hingga 1998 Presiden Soeharto menetapkan Aceh sebagai Daerah Operasi
Militer (DOM). Tentu saja kurun waktu 10 tahun itu menjadi lembaran
paling hitam bagi rakyat Aceh
Sebagai putra Aceh, Sulaiman tahu betul permasalahannya. Hasil tambang,
hutan dan kekayaan bumi Aceh sebagian besar diambil oleh pemerintah
pusat. Aceh sebagai pemilik kekayaan tidak mendapatkan pembagian
sepadan. Akibatnya, pembangunan di Aceh tertinggal. Warga Aceh tidak
menikmati kekayaan buminya dengan semestinya.
Pembagian hasil pembangunan yang tidak sampai kepada rakyat ini
dijadikan alasan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk melakukan
pemberontakan. Dengan berbagai macam cara GAM melakukan aksi-aksi yang
meresahkan. Maka untuk meredam aksi-aksi yang dilakukan GAM, pemerintah
tetap mengambil kebijakan mengirimkan pasukan TNI dan Polri ke wilayah
serambi Mekah itu.
Sebagai prajurit TNI, sekaligus Danpuspom, Sulaiman sadar, di daerah
konflik banyak hal tak diinginkan yang bisa dilakukan aparat TNI. Baik
disengaja maupun tidak. Ia tidak ingin pelanggaran HAM terjadi di daerah
kelahirannya itu. Sebab ini sangat berbahaya. Sebab bagi putra Tamiang
ini, yang lebih penting dilakukan pemerintah dan TNI serta Polri adalah
merebut kepercayaan dan simpatik warga Aceh termasuk mereka yang
tergabung di dalam GAM.
Untuk itu, Sulaiman kemudian mengusulkan kepada Panglima TNI, membuat
program pengiriman satuan tugas (Satgas) POM ke daerah konflik,
khususnya Aceh. “Ini diperlukan agar tidak terjadi pelanggaran HAM lagi
seperti di Timor-Timur,” katanya. Usul itu pun disetujui oleh Panglima
TNI. Maka dengan didukung Keputusan Presiden, Nomor 28 tahun 2003,
Puspom kemudian mengirim satuan tugas POM ke Aceh.
Mereka bertugas untuk memelihara tingkat disiplin dan penegakan hukum
bagi prajurit TNI yang bertugas di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan
juga mengurus dan membina para GAM yang telah menyerah. Selain melakukan
penyuluhan hukum, satgas POM di Aceh juga melakukan penindakan langsung
terhadap prajurit TNI yang melakukan pelanggaran hukum.
Kepada prajurit TNI yang bertugas di Aceh, aparat POM selalu menekankan
agar prajurit TNI dalam melaksanakan tugasnya tidak melakukan
pelanggaran hukum dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Penekanan
akan kesadaran ini menurut Sulaiman sangat penting. Karena kesalahan
sekecil apa pun yang dilakukan prajurit TNI akan dijadikan pihak lawan
untuk menyudutkan TNI atau pemerintah Indonesia. Untuk itu, Sulaiman
berkali-kali turun ke lapangan untuk memberikan penerangan ini.
Berbagai kalangan mengakui, kehadiran pasukan POM di Aceh terbukti
membawa hasil positif. Sejak pengiriman POM ke Aceh, angka pelanggaran
yang dilakukan pasukan TNI menurun drastis. Di mata Sulaiman, konflik
Aceh memang tidak bisa diselesaikan dengan kekerasan. Tapi, juga harus
dilakukan pendekatan secara damai. Maka, dengan bukti itu banyak
kalangan memuji langkah Sulaiman. Bahkan pengiriman satgas POM ke Aceh
itu dianggap sebagai ide dan prestasi gemilang Sulaiman memimpin
kesatuannya. Ia dinilai sebagai Danpuspom yang berhasil membawa visi dan
misi polisi militer sebagai penegak hukum.
Tugas yang diembannya menjadi Danpuspom hanya bermasa dua tahun. Namun,
selama memimpin Puspom, ia telah banyak mewarnai institusi ini. Putra
Aceh ini mengaku telah merasa puas memberikan sumbangsihnya pada negara.
Karena itu, setelah berhenti sebagai Danpuspom pada 5 Agustus 2004, ia
merasa tak ada beban apa pun. Ia merasa telah menjalankan tugasnya
semaksimal mungkin. Satu-satunya obsesi yang terus ingin ia wujudkan
adalah membangun tanah kelahirannya, Bumi Aceh. ►e-ti/anna
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
|
|