|
C © updated 22122004 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
►e-ti/indonesiamedia |
|
|
Nama :
Teguh Karya
Nama Asli:
Steve Liem Tjoan Hok
Panggilan Akrab:
Om Steve
Lahir :
Pandeglang, Jawa Barat, 22 September 1937
Meninggal:
Jakarta, 11 Desember 2001
Agama:
Kristen
Keluarga:
Tidak Menikah
Saudara:
Anak pertama dari lima saudara
Pendidikan:
- Akademi Seni Drama & Film Yogyakarta (1954-1957)
- ATNI (1957-1961)
- Art Directing East West Centre Honolulu, Hawaii (1962)
Karir:
- Pemain sandiwara (akhir 1955)
- Praktek di PFN dalam pembuatan fim cerita dan dokumenter skenario (1958)
- Pendiri Badan Pembina Teater Nasional Indonesia (1962)
- Dosen ATNI (1964)
- State Manager Hotel Indonesia (1962-1972)
- Mendirikan Teater Populer (1968)
- Anggota DKJ (1968-1974)
- Pemain dan penata artistik Film Jendral Kancil (1958)
- Sutradara film Wajah Seorang Laki-Laki (1971 - pertama kali jadi
sutradara)
Penghargaan:
- Sutradara terbaik dalam FFI 1971 (Cinta Pertama)
- Sutradara terbaik FFI 1974 (Ranjang Pengantin)
- Sutradara terbaik FFI 1979 (November 1828)
- Sutradara terbaik FFI 1983 (Di Balik Kelambu)
Alamat Rumah:
Kebon Pala I/295, Tanah Abang, Jakarta Pusat
|
|
|
|
|
|
|
Teguh Karya (1937-2001)
Suhu Teater Indonesia
Terlahir dengan nama Liem Tjoan Hok, di Pandeglang, Jawa Barat, 22
September 1937, Teguh Karya yang oleh rekan terdekatnya akrab dipanggil Om
Steve, adalah sutradara film pelanggan piala citra. Dia layak disebut suhu
teater Indonesia yang banyak melahirkan sineas-sineas terkemuka. Bagi para
seniman ia dianggap sebagai bapak, guru, sekaligus teman.
Beberapa aktor-aktris film Indonesia yang layak disebut sebagai bentukan
Teguh, sebab mereka menjadi berjaya dan populer setelah membintangi
film-film Teguh Karya, antara lain Slamet Rahardjo Djarot, Nano Riantiarno,
Christine Hakim, Franky Rorimpandey, Alex Komang, Dewi Yul, Rae Sahetapi,
Rina Hasyim, Tuti Indra Malaon (Alm), George Kamarullah, Henky Solaiman,
Benny Benhardi, Ninik L. Karim, dan Ayu Azhari.
Setali tiga uang, Teguh pun seakan menjadi abadi sebagai sutradara terbaik
spesialis peraih Piala Citra, untuk setiap karya-karya film terbarunya.
Dan bersamaan itu, film yang disutradarainya, sering pula terpilih menjadi
film terbaik yang dianugerahi Piala Citra.
Sejumlah judul film karya Teguh yang berhasil mengangkat nama sutradara
dan pemain bintangnya, diantaranya, Wajah Seorang Laki-Laki (1971), Cinta
Pertama (1973), Ranjang Pengantin (1974), Kawin Lari (1975), Perkawinan
Semusim (1977), Badai Pasti Berlalu (1977), November 1828 (1979), Di Balik
Kelambu (1982), Secangkir Kopi Pahit (1983), Doea Tanda Mata (1984),
Ibunda (1986), dan Pacar Ketinggalan Kereta (1986).
Film pertama karya Teguh di tahun 1968 adalah film untuk anak-anak. Film
serius konsumsi dewasa untuk pertama kali dihasilkannya pada tahun 1971,
dan langsung menyabet beberapa penghargaan untuk kategori akting maupun
penyutradaraan terbaik.
Karir dalam dunia film dirintisnya saat melakukan tugas praktik penulisan
skenario film-film semi dokumenter, pada Perusahaan Film Negara (kini PPFN).
Saat itu, mantan anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) periode 1968-1972
ini antara lain berkesempatan bekerja pada sutradara D. Djajakusuma, Nya
Abbas Acup, Misbach Yusa Biran, Wim Umboh, dan Asrul Sani, baik itu
sebagai penata artistik, pemain, atau asisten sutradara.
Ketika film layar lebar bermedium pita seluloid meredup sementara waktu di
awal tahun 1990-an, untuk digantikan layar kaca yang marak muncul dengan
kehadiran stasiun teve baru, Teguh pun sempat mengubah medium seninya. Ia
berkesempatan menghasilkan karya film sinema elektronik (sinetron) untuk
televisi, seperti Pulang (1987), Arak-Arakan (1992), dan Pakaian dan
Kepalsuan (1994).
Ia pertama-tama melakoni seni sebagai pemain drama, antara tahun 1957
hingga 1961. Teguh, yang waktu itu masih menggunakan nama lahir Steve Liem
Tjoan Hok, sudah sering tampil di panggung dalam pementasan-pementasan
yang diadakan oleh ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia).
Lalu, secara akademis Teguh Karya menyelesaikan pendidikan seni di
berbagai perguruan tinggi. Seperti, di Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi)
Yogyakarta (tahun 1954-1955), Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI,
1957-1961), kemudian ke luar negeri East West Center Honolulu, Hawai
(1962-1963) untuk belajar akting atau art directing. Kemampuan
akademis itu kemudian dipadukan dengan pergaulannya yang intens dengan
beberapa tokoh teater dan sutradara film legendarias, seperti Usmar Ismail,
Asrul Sani, dan D. Djajakusuma yang banyak mempengaruhi proses
berkeseniannya. Teguh turut aktif membidani kelahiran Badan Pembina Teater
Nasional Indonesia, di tahun 1962.
Sejak tahun 1968, ia mendirikan Teater Populer, yang hingga akhir hayat
adalah kebanggaan sekaligus ‘kenderaan’ seni yang tetap difungsikan. Ia
mendirikan sanggar seninya di Jalan Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta
Pusat yang juga rumah kediamannya. Rumah ini disulap menjadi sanggar
kreatif para seniman terkemuka di Tanah Air. Melalui Teater Populer, Teguh
yang masih menggunakan nama Steve Liem, berkesempatan membentuk dan
melahirkan banyak aktor serta aktris kenamaan.
Dari Teater Populer, banyak sineas baru mengikuti jejak Teguh untuk serius
menapaki karir di industri perfilman. Tak heran jika Teguh dijuluki pula
sebagai ‘Suhu Teater Indonesia’. Di antara pementasan Teater Populer yang
mendapat sambutan meriah, adalah Jayaprana, Pernikahan Darah (1971),
Inspektur Jenderal, Kopral Woyzeck (1973), dan Perempuan Pilihan Dewa
(1974). Banyak kritikus seni menilai, beberapa lakon panggung yang
disutradarai Teguh Karya berhasil mencapai puncak eksplorasi.
Walau lahir dengan nama Liem Tjoan Hok, Teguh lebih merasa sebagai orang
Banten. Ia memiliki seorang nenek kelahiran Bekasi, namanya Saodah, serta
seorang sahabat Mang Dulapa, sais delman yang rutin membawa Teguh pulang
pergi ketika masih duduk di bangku SD Pandeglang.
Memasuki bangku SMP, Teguh pindah ke Jakarta, menumpang di rumah Engku Dek
pamannya. Anak pertama dari lima bersaudara pedagang kelontong ini
kemudian mewarisi kegemaran membaca dari sang paman. Teguh boleh mendapat
nilai jelek untuk aljabar dan ilmu ukur, namun untuk pelajaran sejarah,
menggambar, dan bahasa ia selalu unggul.
Sepulang dari studi art directing di Hawai, Teguh bekerja sebagai
manajer panggung di Hotel Indonesia. Karena itu, Teater Populer yang Teguh
lahirkan tahun 1968 dimaksudkan pula untuk mengisi acara-acara di Hotel
Indonesia. Jadilah teater pengusung aliran realisme ini, awalnya lebih
dikenal sebagai Teater Populer Hotel Indonesia. Pemain pendukungnya
sebagian besar adalah mahasiswa ATNI serta para penggiat teater independen.
Identitas kelahiran Teater Popuper, salah satunya, bersemangat menggali
sisi keaktoran (kesenimanan) seseorang, untuk kemudian diekspresikan
sebagai medium perwujudan sebuah pencapaian artistik tertentu. Teater
Populer terlihat sangat ‘akademis’ mengungkapkan gagasan-gagasan teatrikal
di atas panggung. Suguhan yang formal-akademis itu untuk mengejawantahkan
teori-teori realisme, yang pembawaannya dimulai oleh Usmar Ismail, Asrul
Sani, dan D. Djajakusuma saat mendirikan ATNI pada tahun 1950-an. Realisme
itulah yang berhasil diserap Teguh saat kuliah di ATNI tahun 1957-1961.
Tentang pilihan hidupnya untuk tak menikah, Anggota Dewan Film Nasional (DFN)
penerima Anugerah Seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1969),
ini menyebutkan, karena di dalam dirinya ada ‘kamar-kamar’ untuk
kreativitas, sahabat, negeri, dan kamar untuk lain-lain. Bicara soal
perkawinan, kata Teguh, urutan kamarnya belum tentu sama untuk setiap
orang. Ia mengaku sewaktu di SMA pernah beberapa kali pacaran, tetapi sang
pacar selalu saja tidak tahan karena acapkali ditinggal menghadiri ceramah
dan berbagai kegiatan kesenian lainnya.
Teguh Karya, yang sepanjang hayat memilih hidup melajang, menghembuskan
nafas terakhir kali di RSAL Mintohardjo, Jakarta Pusat, pada 11 Desember
2001 di usia 64 tahun, setelah terserang stroke menyerang otak bagian
memori sejak tahun 1998. Walau hari-hari akhir dihabiskan di atas kursi
roda, sesungguhnya stroke tak membuat badannya lumpuh total melainkan otak
bagian memorilah yang tak lagi mampu bekerja maksimal, seperti merespon
pembicaraan.
Teguh adalah pria yang selalu berpenampilan sederhana, sangat dicintai dan
disayangi oleh teman-teman seprofesi, maupun para seniman lain. Bagi para
seniman ia dianggap sebagai bapak, guru, sekaligus teman.
Sebelum meninggal dunia, Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, beserta
istri Ny. Sinta Nuriyah, berkesempatan mengunjungi Teguh Karya, di rumah
kediamannya, Kebon Kacang, Tanah Abang. Gus Dur yang pernah menjabat Ketua
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), sesuai janji datang mengunjungi sohib yang
sudah lama direncanakan itu. Keduanya berbincang-bincang selama satu jam,
bernostalgia.
►e-ti/ht
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia) |
|