|
C © updated 22102008-10092005 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
► e-ti/drm |
|
|
Nama:
Ismail Saleh
Lahir:
Pati, Jawa Tengah, 7 September 1926
Meninggal:
Jakarta, 21 Oktober 2008
Agama:
Islam
Isteri:
Elly Djoharia
Anak:
- Ekanti Sulistiowati
- Dwirina Astuti Setianingsih
- Tria Sasangka Putra
Cucu:
Tujuh orang
Pendidikan:
- HIS (1941)
- Sekolah Pertanian Menengah (1945)
- SMA (1950)
- Akademi Hukum Militer (1950)
- Perguruan Tinggi Hukum Militer (PTHM, 1963)
- Kursus Administrasi Umum AD (1963)
- Seskoad, Bandung (1964-1965)
Karir:
- Anggota Intel Tentara Divisi III, Yogyakarta
- Anggota Pasukan Ronggolawe Divisi V di Pati dan Wonosobo (1948-1949)
- Bekerja di Direktorat Kehakiman AD (1952)
- Perwira Penasihat Hukum Resimen 16, Kediri (1957-1958)
- Jaksa Tentara di Surabaya (1959-1960)
- Jaksa Tentara Pengadilan Tentara Daerah Pertempuran Indonesia Timur,
Manado (1960-1962)
- Oditur Direktorat Kehakiman AD (1962)
- Perwira Menengah Inspektorat Kehakiman AD (1964-1965)
- Sekretariat Presidium Kabinet (1967-1968)
- Wakil Sekretaris Kabinet/Asisten Sekneg Urusan Administrasi
Pemerintahan (1972)
- Sekretaris Kabinet (1978)
- Direktur LKBN Antara (1976-1979)
- Pj. Ketua BKPM, Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (1979-1981)
- Jaksa Agung (1981-1984)
- Menteri Kehakiman (1984-1993)
Penghargaan:
- Bintang Gerilya
- Bintang Mahaputra Adi Pradana
- Bintang Kartika Eka Paksi
- Bintang Jasa Pratama
- Bintang Commandeur in de Kroon Orde dari Belgia
- Bintang The Grand Cordon of The Order of The Sacred Treasure dari
Kekaisaran Jepang
- Bintang Raja Abdul Aziz tingkat III dari Arab Saudi
Alamat Rumah Kel:
- Jalan Brawijaya IV No. 70 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Telp:
731643, 710868
- Jalan Musholla 1, Kemang Selatan, Jakarta
|
|
|
|
|
|
|
ISMAIL SALEH HOME |
|
|
Ismail Saleh (1926-2008)
Sang ‘Pendekar Hukum’
Mantan Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung, Ismail Saleh, meninggal dunia pada usia 82
tahun Selasa 21 Oktober 2008 pukul 22.30,
di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Tokoh yang akrab
dipanggil Mas Is, kelahiran Pati, Jawa Tengah, 7 September 1926, itu dirawat di rumah sakit itu sejak Juni 2008 karena
menderita tumor otak.
Tria Sasangka Putra (Dudit), putera kandungnya mengatakan, penyakit tumor otak yang diderita
Ismail Saleh sebenarnya sudah dinyatakan sembuh oleh dokter pada tahun
2004. Namun, penyakit itu kembali kambuh pada Juni 2008.
Ismail Saleh meninggalkan istri,
Elly Djoharia, dan tiga anak, yaitu Ekanti Sulistiowati, Dwirina Astuti
Setianingsih, dan Tria Sasangka Putra. Ia meninggalkan tujuh cucu.
Jenazah disemayamkan di rumah duka di Jalan Musholla 1, Kemang
Selatan, Jakarta.
Ismail Saleh dimakamkan di pemakaman keluarga di Kompleks Astana
Girijati, Gunung Jati, Cirebon,
dengan upacara kemiliteran.
Inspektur upacara pemakaman adalah Wakil Jaksa Agung Muchtar Arifin dan
komandan upacara Mayor (Inf) Dudung Sukaetji.
Pernah menjabat Wakil Sekretaris Kabinet,
Pemimpin Lembaga Kantor Berita Nasional Antara merangkap sebagai Wakil
Sekretaris Kabinet dan juga Presiden Organisasi Kantor Berita Asia,
Sekretaris Kabinet, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal merangkap
Sekretaris Kabinet, Jaksa Agung, anggota MPR, Menteri Kehakiman, dan
anggota Tim Presiden tentang Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (Tim P7).
Atas berbagai pengabdiannya,
Ismail Saleh menerima tanda jasa, antara lain Bintang Gerilya,
Bintang Mahaputra Adi Pradana, Bintang Kartika Eka Paksi, Bintang Jasa
Pratama, Bintang Commandeur in de Kroon Orde dari Belgia, Bintang The
Grand Cordon of The Order of The Sacred Treasure dari Kekaisaran Jepang,
dan Bintang Raja Abdul Aziz tingkat III dari Arab Saudi.
Sang ‘Pendekar Hukum’
Semasa menjabat Jaksa Agung (1981-1984), Ismail Saleh, yang akrab
dipanggil Mas Is, pernah dijuluki ''Trio Punakawan/Pendekar Hukum''
bersama Ketua MA Mudjono, SH dan Menteri Kehakiman Ali Said, SH. Mantan
Menteri Kehakiman (1984-1993), ini tergolong akrab dengan wartawan.
Maklum, sebelumnya dia memang menjabat Direktur LKBN Antara (1976-1979),
maka dia sangat paham bahwa dunia ini sepi tanpa wartawan (pers).
Setelah Pak Harto lengser, pria kelahiran Pati, Jawa Tengah, 7 September 1926,
ini tetap menunjukkan diri sebagai seorang
mantan menteri pada masa pemerintahan Orde Baru. Dia tidak bersembunyi
atau malah ikut-ikutan menghujat mantan penguasa Orde baru itu, seperti
dilakoni beberapa pejabat Orde Baru lainnya.
Bahkan Islamil Saleh tampil reaktif pada setiap pernyataan yang
menghujat Pak Harto, dengan cara menulis di beberapa koran dan majalah.
Salah satu tulisannya di Harian Kompas 14/6/2003, bertajuk: Penegakan
Hukum atau Komoditas Politik?
Dalam artikel itu, Ismail Saleh mengutarakan dalam perkara HM Soeharto,
Presiden kedua Republik Indonesia yang sudah berjalan lima tahun
lamanya, ternyata bukan kebenaran obyektif yang ditegakkan, melainkan
berubah menjadi pembenaran subyektif untuk membenarkan tindakan hukum
yang diambil. Tindakan hukum yang mestinya ditopang dengan pertimbangan
yang masuk akal terkesan menjadi tindakan yang akal-akalan saja. Kalau
akal sudah mulai ditinggalkan, apalagi nuraninya.
Perkara HM Soeharto sempat dihentikan penyidikannya berdasarkan Surat
Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Nomor Prin 081/JA/10/1999 tanggal
11 Oktober 1999. Alasan penghentian penyidikan adalah karena unsur
"melawan hukum, merugikan keuangan negara dan perekonomian negara dan
menyalahgunakan wewenang, kesempatan dan sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan", memang tidak terdapat cukup bukti dan tidak
dapat dibuktikan. Penyidikan terhadap HM Soeharto adalah dalam
kedudukannya sebagai ketua yayasan.
Namun, dua bulan kemudian, yakni pada tanggal 6 Desember 1999, Jaksa
Agung mengeluarkan pernyataan dan Surat Perintah Penyidikan lagi yang
isinya antara lain sebagai berikut: "SP3 11 Oktober 1999 adalah
semata-mata hanya penyidikan terhadap Yayasan (Dharmais, Supersemar, dan
Dakab).
Ditemukan hal-hal baru untuk membuka kembali penyidikan karena HM
Soeharto selaku Presiden yang mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan
peraturan berupa PP dan Keppres, diduga telah menyalahgunakan kewenangan
dan kekuasaan tersebut sebagai sarana untuk menghimpun dana bagi
yayasan-yayasan yang diketuainya dan atau untuk kepentingan/keuntungan
keluarga dan kroni-kroninya yang secara langsung atau tidak langsung
dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara".
Jadi, di sini sudah berubah posisi hukum HM Soeharto, yaitu tidak lagi
sebagai ketua yayasan, tetapi berganti selaku Presiden. Kalau sebagai
ketua yayasan tidak terdapat cukup bukti, ya... dicari saja kesalahannya
selaku Presiden. Ini akal- akalan. KITA ikuti saja mengenai posisi hukum
HM Soeharto dalam kasus tersebut, apakah masuk akal atau tidak.
Bertambah kusut atau tidak.
Ternyata rumusan hukumnya macam-macam, yaitu "selama menjabat Presiden"
(Surat Perintah Penyidikan tanggal 28/3/2000, 5/5/2000, 23/5/2000, dan
6/6/2000), "sewaktu menjabat Presiden" (Surat Perintah Penahanan Kota
13/4/2000), tetapi dalam Surat Perintah Pengalihan Penahanan Kota
menjadi Penahanan Rumah 29 Mei 2000 adalah "baik selaku Presiden maupun
selaku Ketua Yayasan". Kok, bisa begitu?
Rumusan itu lebih tidak masuk akal lagi dalam Surat Perintah Penahanan
di tingkat Penuntutan tanggal 3 Agustus 2000 yang dikeluarkan Kejaksaan
Tinggi DKI Jakarta, yaitu "selaku Ketua Yayasan diduga telah melakukan
tindak pidana korupsi/menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan antara
lain mengeluarkan peraturan berupa Peraturan Pemerintah dan Keputusan
Presiden." Konstruksi hukum macam apa yang mau dipakai penuntut umum
untuk menduga ketua yayasan, HM Soeharto, kok dikatakan telah
menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan dengan mengeluarkan PP dan
keppres? Mana ada seorang ketua yayasan mempunyai kekuasaan mengeluarkan
PP dan keppres?
Ini sudah kalut cara berpikirnya, tidak bisa membedakan antara HM
Soeharto sebagai presiden dan ketua yayasan, apalagi main serampangan
saja memosisikan HM Soeharto dengan rumusan "baik selaku Presiden maupun
selaku ketua yayasan." Kalau sudah demikian keadaannya, itu bukan murni
penegakan hukum lagi, tetapi sudah ada tendensi ke arah "politisasi
hukum." Paradigmanya berubah dari paradigma hukum ke paradigma politik.
Dimensi politiknya lebih kental ketimbang dimensi hukumnya. Mengapa
demikian?
Dari awal saja sudah tampak warna politiknya dengan adanya TAP MPR No
XI/MPR/1998 tentang pemberantasan KKN terhadap siapa pun juga, termasuk
mantan HM Soeharto. Bergulirlah tema KKN yang dipakai sebagai political
issue untuk menghabisi Soeharto yang dianggap sebagai representasi Orde
Baru.
Siapa Ismail Saleh
Dia yang mengaku secara pribadi tidak dekat dengan Pak Harto, itu mulai
bertugas di Sekretariat Negara sebagai Sekretariat Presidium Kabinet
(1967-1968). Kemudian menjabat Wakil Sekretaris Kabinet/Asisten Sekneg
Urusan Administrasi Pemerintahan (1972) dan Sekretaris Kabinet (1978).
Kemudian, dia dipercaya menjabat Direktur LKBN Antara (1976-1979).
Setelah itu, sempat ditugaskan sebagai Pj. Ketua Badan Koordinasi
Penanaman Modal (1979-1981), sebelum diangkat menjadi Jaksa Agung
(1981-1984) dan Menteri Kehakiman (1984-1988).
Sebelumnya, dia mengawali karir sebagai anggota Intel Tentara Divisi
III, Yogyakarta. Kemudian bertugas sebagai anggota Pasukan Ronggolawe
Divisi V di Pati dan Wonosobo (1948-1949) sebelum bekerja di Direktorat
Kehakiman AD (1952). Setelah itu dia bertugas sebagai Perwira Penasihat
Hukum Resimen 16, Kediri (1957-1958) dan Jaksa Tentara di Surabaya
(1959-1960). Kemudian menjabat Jaksa Tentara Pengadilan Tentara Daerah
Pertempuran Indonesia Timur, Manado (1960-1962) dan Oditur Direktorat
Kehakiman AD (1962). Sebelum bertugas di Setneg, dia menjabat Perwira
Menengah Inspektorat Kehakiman AD (1964-1965).
Namanya semakin populer saat menjabat Jaksa Agung. Pasalnya, dia sering
mengadakan kunjungan mendadak ke kantor-kantor kejaksaan. Dia
berprinsip, bila mengharapkan ketertiban masyarakat, maka instansi
penegak hukum harus tertib lebih dulu. Kebiasaan sidak itu,
dilanjutkannya saat menjabat Menteri Kehakiman.
Berbagai penyimpangan pernah dibongkarnya. Seperti, kasus manipulasi
pajak oleh sejumlah perusahaan asing, kasus Tampomas, dan penggelapan
uang reboasasi di Sulawesi Tengah.
Dia seorang pejabat yang sejak kecil sudah sangat mencintai alam dan
hutan. Maklum, ayahnya, seorang kepala kehutanan di daerah Jawa Tengah,
sering mengajaknya berkeliling melihat-lihat tanaman di hutan.
Selain itu, setelah lulus HIS, 1941, Ismail masuk ke Sekolah Menengah
Pertanian. Dia sekelas dengan Kapolri Anton Soedjarwo. Walaupun kemudian
dia melanjut ke SMA, tamat 1950. Setelah itu melanjut ke Akademi Hukum
Militer, dan Perguruan Tinggi Hukum Militer. ►e-ti/crs,
dari berbagai sumber, di antaranya pdat
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
|
|