|
C © updated 03062008 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
► e-ti/atur |
|
|
Biodata
Nama:
Muhadjir Darwin
Lahir:
Karir:
Guru Besar Fisipol UGM, Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan
UGM
|
|
|
|
|
|
|
MUHADJIR DARWIN HOME |
|
|
Muhadjir Darwin
Agama yang Tidak Menghakimi
Ibu Pertiwi menangis karena kebhinnekaan dicederai di negeri yang
sebelumnya dikenal dunia sebagai model kerukunan hidup beragama, di
negara yang para ulamanya sering berteriak keras, meyakinkan kepada
dunia bahwa Islam adalah agama perdamaian.
Kebhinnekaan tersungkur ketika massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan
Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang sedang menuju silang Tugu Monas,
Jakarta Pusat, hari Minggu (1/6/2008) untuk memperingati hari kelahiran
Pancasila dan menyuarakan kebebasan beragama/berkeyakinan diserbu oleh
massa beratribut Komando Laskar Islam (KLI)/Front Pembela Islam (FPI).
Massa tersebut menyerang dan melakukan penganiayaan serta perusakan
terhadap massa AKKBB. Sebagian korban adalah perempuan dan anak-anak.
Dalam kejadian ini, FPI sekali lagi telah mempertontonkan wajah Islam
yang ”garang”. Sikap polisi patut disayangkan karena tidak mencegah dan
mengatasi aksi kekerasan tersebut, bahkan menyalahkan AKKBB karena tidak
melakukan koordinasi dengan Polri.
Ketua MUI Amidhan seperti ingin bersikap netral dalam peristiwa ini
dengan menyayangkan (bukan memprotes atau mengutuk) aksi KLI/FPI, tetapi
pada sisi lain menyalahkan pihak AKKBB yang dikatakan melakukan
provokasi terhadap KLI/FPI karena di dalam massa tersebut terdapat
pengikut Ahmadiyah yang telah dinyatakan sesat oleh MUI. Pernyataan yang
sepintas netral tersebut, jika dicermati, cenderung lebih membela KLI/FPI.
Dengan tuduhan provokasi, secara implisit Amidhan mau menegaskan bahwa
KLI/FPI adalah institusi suci yang tidak boleh diprovokasi, dan karena
itu kekerasan yang mereka lakukan (meskipun disayangkan) dapat dimaklumi,
lepas dari persoalan apakah klaim provokasi tersebut masuk akal.
Bangsa majemuk
Sesuatu hal yang perlu menjadi keprihatinan kita bersama sebagai sebuah
bangsa majemuk adalah kecenderungan maraknya cara-cara kekerasan atas
nama Islam dalam menyikapi perbedaan. Sebagai seorang Muslim, saya
mencoba bertanya kepada hati nurani saya sendiri, inikah sejatinya
Islam? Jika hati saya membisikkan jawaban ”ya”, saya harus merasa malu
untuk mengatakan bahwa agama saya adalah agama perdamaian dan malu pula
untuk memprotes Amerika dan Israel ketika mereka melakukan teror di
tanah Palestina atau Irak. Jika hati kecil saya menjawab ”bukan”, saya
harus malu terhadap ulah saudara saya seagama dan merasa citra agama
saya tercoreng oleh aksi brutal mereka.
Umat Islam mempunyai kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan.
Tokoh-tokoh Islam pencetus Piagam Jakarta dengan lapang dada mau
menanggalkan 7 kata ”dengan menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” dalam menyusun Pembukaan UUD 1945 dan menerima
Pancasila sebagai dasar negara sebagai bentuk pengakuan mereka terhadap
prinsip-prinsip pluralisme yang terkandung dalam ideologi tersebut. Ini
berarti, umat Islam-lah yang paling berkepentingan terhadap
terpeliharanya negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila.
Umat Islam pula yang seharusnya paling marah ketika KLI/FPI atas nama
Islam memorakporandakan komitmen nasional bangsa Indonesia dengan
anarkisme yang mereka pertontonkan kepada publik pada hari sakralnya
bangsa dan negara ini. Keberadaan FPI tidak mengharumkan, tetapi justru
merusak citra Islam.
Ketika AS dan Israel melakukan teror di kawasan Timur Tengah, umat Islam
dunia menghujat kedua negara tersebut dengan menggunakan dalil
kemerdekaan, kebebasan, kemanusiaan, dan persamaan hak. Ketika Osama bin
Laden menjawab hegemoni Amerika dengan menghancurkan menara WTC di New
York, tokoh-tokoh Islam moderat sibuk meyakinkan dunia bahwa aksi Osama
tidak mencerminkan Islam karena Islam tidak mengajarkan kekerasan. Islam
adalah agama perdamaian. Hal yang sama juga dilakukan ketika kelompok
Azahari melakukan teror di beberapa kota di Indonesia.
Lalu, bagaimana saat ini umat Islam Indonesia dapat meyakinkan dunia
ketika KLI/FPI yang atas nama Islam melakukan perusakan dan penganiayaan
terhadap massa AKKBB yang tengah melakukan aksi damai tersebut? Jika pun
mereka tidak setuju, apakah mereka punya otoritas untuk mewakili Tuhan
atau negara menghakimi sesama warga negara? Apakah dengan peristiwa
seperti ini kita masih punya alasan untuk meyakinkan dunia bahwa Islam
adalah agama perdamaian?
Agama egaliter
Saya jadi ingat ketika tokoh feminis Muslim Kanada, Irsyad Manji,
ceramah dalam satu seminar di Kampus UGM. Manji menegaskan pentingnya
kemerdekaan berijtihad untuk memajukan Islam. Terhadap pernyataan
tersebut, seorang ibu yang mengaku anggota Hizbut Tahrir merespons
dengan mengatakan bahwa Irsyad Manji tidak punya otoritas untuk
berijtihad karena dia bukan ulama. Hanya ulama yang benar-benar
menguasai ilmu agama yang mempunyai otoritas tersebut. Ia lalu membuat
analogi dokter gigi. Orang sakit gigi hanya akan mendapatkan pertolongan
yang benar jika datang ke dokter gigi. Orang awam tidak bisa mencabut
gigi yang sakit karena akibatnya bisa fatal.
Terhadap perumpamaan tersebut, saya yang ketika itu menjadi pembahas
presentasi Manji menjawab. Analogi tersebut secara implisit mengatakan
bahwa Islam adalah agama yang elitis, di mana fatwa ulama harus diikuti
secara taqlid (patuh) oleh pengikutnya, padahal Islam adalah agama yang
egaliter. Kedua, dokter belum tentu membuat diagnosis yang tepat atau
penanganan medis yang benar.
Nah, ulama dapat juga membuat fatwa keliru dengan menyesatkan aliran
tertentu yang berbeda dengan keyakinannya atau memerintahkan umatnya
melakukan perusakan, penganiayaan, atau pembunuhan terhadap orang atau
kelompok lain yang mempunyai keyakinan yang berbeda. (Kompas, Selasa, 3
Juni 2008) ►ti
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
|
|