|
C © updated 13012007 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
► e-ti/ |
|
|
Nama:
Sarwo Edhie Wibowo
Lahir:
Purworejo, Jawa Tengah, 25 Juli 1925
Meninggal:
Jakarta, 9 November 1989
Agama:
Islam
Isteri:
Sunarti Sri Hadiyah
Anak:
Tujuh orang
Pendidikan:
- MULO
- SMA
- Pendidikan Militer calon bintara Peta, Magelang
- Infantry Officer Advanced Course di Fort Benning, AS
- General Staff College, Australia
Karir:
- Komandan pasukan BKR (1945)
- Komandan Kompi Batalyon V Brigade IX, Divisi Diponegoro (1945-1951)
- Komandan Kompi Bantuan, Resimen 13 Teritorium Diponegoro (1952-1953)
- Wakil Komandan Resimen Taruna Akademi Militer Nasional (1959- 1961)
- Kepala Staf RPKAD (1962-1964)
- Komandan RPKAD (1965-1967)
- Panglima Kodam II Bukit Barisan (1967-1968)
- Panglima Kodam XVII Cenderawasih (1968-1970)
- Gubernur Akabri (1970-1973)
- Dubes RI di Kor-Sel
- Irjen Deplu (1978-1983)
- Kepala BP7 (1984 1990)
- Ketua Umum Perkumpulan Taekwondo Indonesia (1984 1999)
Alamat Rumah Keluarga:
Jalan Flamboyan F/59, Cijantung II (Kompleks Kopassus), Jakarta
Timur
|
|
|
|
|
|
|
SARWO EDHIE HOME |
|
|
Sarwo Edhie Wibowo (1925-1989)
Jenderal Brilian dan Jujur
Dia mempunyai peran yang paling gemilang dalam mengatasi peristiwa G-30-S/PKI.
Kala itu, sebagai Komandan RPKAD -- kini Kopasus -- Sarwo Edhie Wibowo
langsung turun ke lapangan menaklukkan pemberontak dan menenangkan massa.
Setelah itu berbagai jabatan militer dan sipil ia jalani, namun tidak
sampai menjabat menteri. Jenderal yang brilyan dan jujur ini terakhir
berpangkat Letnan Jenderal dan hanya menjabat Kepala BP7 (1984 1990).
Sebelumnya ia menjabat Irjen Deplu (1978-1983) dan Dubes RI di Korea
Selatan. Jabatan militer tertinggi dipegangnya adalah Gubernur Akabri
(1970-1973), setelah sebelumnya menjabat Panglima Kodam XVII
Cenderawasih (1968-1970) dan Panglima Kodam II Bukit Barisan
(1967-1968).
Ketika menjabat Pangdam XVII/Cenderawasih sejak tanggal 25 Juni 1968
sampai 1970, dengan pangkat Brigjen, Sarwo Edhi Wibowo mengubah
kebijakan operasi tempur menjadi pendekatan persuasive di Irian Jaya.
Kala itu, berbagai laporan menyebutkan, antara tahun 1964-1968 puluhan
ribu penduduk tersungkur dihantam timah panas di daerah itu akibat
sejumlah penduduk setempat menuntut kemerdekaan.
Keadaan memilukan itu tampaknya menjadi perhatian serius Brigjen Sarwo
Edhi Wibowo. Ia segera mengambil langkah tegas untuk memulihkan nama dan
wibawa TNI yang sudah tercoreng di mata penduduk Irian Jaya. Di bawah
nama sandi Operasi Wibawa, ia menindak tegas aparat yang sewenang-wenang
terhadap rakyat, serta di lain pihak mengimbau pemberontak keluar dari
hutan dan kembali ke desa. Ia menjamin mereka yang kembali tidak akan
diproses secara hukum.
Namun, seperti saat bertugas sebagai Pangdam II/Bukit Barisan di Medan,
belum dua tahun bertugas sebagai Pangdam Cenderawasih, Sarwo Edhi
digantikan Kolonel Acub Zainal pada 26 Januari 1970. Sejak itu pula
operasi tempur dan intelijen dijadikan lagi sebagai ujung tombak. Ribuan
personel pasukan didatangkan dari Jawa untuk memadamkan apa yang disebut
aktivis Organisasi Papua Merdeka (OPM). Mereka yang diketahui ada
indikasi OPM digiring ke kamp-kamp tahanan. Sebagian dari mereka tidak
pernah kembali lagi.
Tampaknya Presiden Soeharto cukup memperhitungkan potensi citra,
kredibilitas dan kepemimpinan Sarwo Edhie bisa menjadi presiden.
Sehingga jabatannya dibatasi. Namun Sarwo Edhie tak pernah memberontak.
Ia mempertahankan kejujuran dan nilai-nilai kejuangan dan pengabdiannya
kepada nusa dan bangsanya.
Sejak kecil, bapak mertua Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono
yang menikahi putrinya
Hj Ani Kristiani Herawati, ini sudah
bercita-cita berpenghasilan tetap dan mengabdi pada negara. Ayahnya,
kepala rumah gadai di zaman Belanda adalah gambaran ideal baginya, model
seorang sebagai pegawai negeri. Ternyata, Sarwo lebih berbakat sebagai
komandan, daripada pegawai.
Sebagaimana ditulis dalam Pusat Data dan Analis Tempo, Sarwo adalah
gambaran seorang prajurit ideal. Masa kecilnya diwarnai dengan kenakalan
anak-anak: berkelahi dan adu berani di arus deras sungai. Tetapi setelah
belajar silat, ia malah tidak pernah berkelahi. ''Baru saya membuka
jurus saja, lawan sudah kabur,'' ucapnya, tertawa.
Dari membaca koran-koran bekas, Sarwo mengagumi Jepang dengan kemenangan
demi kemenangannya menghadapi sekutu. Maka, ketika Jepang mengumumkan
hendak mencari heiho, pembantu tentara, ia mendaftarkan diri di
Surabaya. Namun, kemudian ia kecewa, dan berniat melarikan diri. Di
asrama, kerjanya hanya memotong rumput, membersihkan WC, dan mengatur
tempat tidur tentara Jepang. ''Kalaupun diajar perang, hanya memakai
senjata kayu,'' katanya.
Keinginannya menjadi prajurit tersalur setelah ia dan seorang
kawannya ikut bergabung dengan Peta. Ia lalu membentuk batalyon, tetapi
kemudian bubar. Kemudian menghadapi masa tidak menentu. Baru setelah
Achmad Yani mengajaknya kembali membentuk batalyon di Magelang, ia
kembali sebagai prajurit.
Sarwo juga senang bela diri, ia adalah Ketua Taekwondo Indonesia. Letnan
jenderal purnawirawan ini juga menyukai film sejarah dan kolosal,
seperti halnya Benhur, dan memilih Jenderal Mc. Arthur serta Jenderal
Rommel sebagai tokoh yang dikaguminya.
Namun ia tetap suka wayang dan keris. Ia pun mewariskan tujuh keris
kepada ketujuh putra-putrinya, buah pernikahannya dengan Sunarti Sri
Hadiyah. Anaknya yang tertua, mengikuti jejaknya, sebagai militer. Dua
menantunya juga jenderal, salah satunya Jenderal Susilo Bambang
Yudhoyono yang tepilih menjadi Presiden periode 2004-2009, yang oleh
redaksi Tokoh Indonesia diamati sebagai awal dinasti Sarwo Edhie dalam
puncak kepemimpinan Indonesia.
Sarwo Edhie meninggal di Jakarta 9 November 1989 dan dimakamkan di
daerah kelahirannya Ngupasan, Pangenjurutengah, Purworejo, Jawa Tengah ►ti/tsl
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
|
|