BACHTIAR EFFENDI HOME |
|
|
Bachtiar Effendi Mengubah Budaya ‘Penonton’
Putera bangsa kelahiran Long Iram, 10 Nopember 1942, ini kurang lebih 20
tahun mengabdi di perusahaan negara PT Pupuk Kaltim I dengan jabatan
terakhir Staf Direktur Utama PT Pupuk Kaltim (1994-1997). Sembari meniti
karir, anak bungsu dari enam bersaudara, ini bergabung dengan Partai
Golkar Kaltim. Ia memilih Golkar sebagai kendaraan politik karena
melihat program yang diusung Golkar sesuai dengan keinginan dan hati
nuraninya.
Di samping itu, Golkar merupakan organisasi yang sudah tertata dengan
baik. Dalam struktur kepengurusan Golkar, ia menjabat sebagai Wakil
Ketua DPD Partai Golkar Tk.II (1993-1998), Wakil Ketua DPD Partai Golkar
Kaltim (1998-sekarang), dan Korda Partai Golkar Kukar (2003-sekarang).
Setelah Pemilu 1997, Bachtiar dipercaya sebagai Ketua FKP DPRD Kab.
Kutai (1997-1999) sedangkan Syaukani HR menjadi Ketua DPRD. Dua tahun
kemudian, jabatannya meningkat menjadi Ketua DPRD Kabupaten Kutai
sementara Syaukani HR terpilih menjadi Bupati Kutai Kartanegara.
Selama hampir dua periode mengemban tugas sebagai Ketua DPRD Kabupaten
Kukar, Bachtiar makin memahami apa saja kekuatan dan kelemahan
masyarakat Kukar. Kombinasi antara pengalamannya di sebuah perusahaan
negara dan partai politik memberikan nilai tambah tersendiri baginya
dalam memimpin para anggota dewan membangun masyarakat Kukar.
Langkah pertama yang diambil adalah menghidupkan perekonomian rakyat
dan mengembangkan suatu kota yang berorientasi pada pariwisata,
pendidikan dan sebagainya.
Bachtiar Effendi besar di lingkungan petani di sebuah desa pedalaman di
Kecamatan Long Iram. Sembari bersekolah, anak petani ini sudah terbiasa
pulang balik ke sawah ikut membantu orang tuanya. Tamat SD, Bachtiar
meneruskan pendidikan SMP dan SMA-nya di Samarinda. Universitas
Mulawarman, Fakultas Ketatanegaraan dan Ketataniagaan (FKK) menjadi
universitas ‘pertama’ yang ia singgahi.
Tidak lama kemudian ia pindah ke Universitas 17 Agustus (Untag),
Fakultas Hukum, karena pada waktu itu ia sambil bekerja sebagai pegawai
negeri. Saat itu, pegawai negeri tidak boleh mengikuti pendidikan di
pagi hari. Untuk menyiasatinya, ia mencari universitas yang bisa masuk
sore dan universitas yang membuka kelas sore hanya Untag.
Ia memulai karir di Departemen Perindustrian kemudian pindah ke Pupuk
Kaltim. Saat itu, Pupuk Kaltim berada di bawah Departemen Perindustrian.
Kurang lebih 20 tahun ia mengabdi di Pupuk Kaltim hingga pensiun,
kemudian menjadi anggota dewan.
Bachtiar menikah dua kali. Isteri pertamanya, Muliani (meninggal Feb
1992) memberinya lima orang anak. Kelima anaknya ini sudah berkeluarga
dan tinggal berpencar. Anak pertama, Yur Danita, seorang notaris,
tinggal di Jakarta. Anak kedua, Susiana SE., M.Hum, kandidat notariat,
tinggal di Denpasar Bali. Anak ketiga, Aeda Mediana, tinggal di
Tenggarong-Kutai Kartanegara, karena mengikuti suaminya yang menjadi
Kepala Bank Mandiri. Anak keempat, laki-laki bernama Irwan Saputra,
tinggal di Pati, Jawa Tengah, menjadi pengusaha peternakan sapi.
Kemudian anak paling bungsu, Novia Tabahana, sarjana pertanian UGM
kemudian mengambil master di Sidney Australia, sekarang bermukim
Singapura dengan suaminya yang bekerja sebagai Dubes Indonesia untuk
Timor Leste.
Istri keduanya Hj. Erna Fauziah, janda (ditinggal mati suaminya) beranak
lima dinikahinya tahun 1993. Tiga di antara lima anak tersebut berada di
Australia dan sudah berkeluarga. Jadi, di usianya yang lanjut ini,
Bachtiar merasa bersyukur karena sudah tidak ada lagi tanggungan yang
harus dibiayai.
Anggota Dewan Penasehat Kosgoro ini menyadari bahwa usianya yang sudah
lanjut ini membuat kemampuan dan mobilitasnya sudah jauh berkurang. Oleh
karena itu, setelah habis masa jabatan-nya sebagai ketua DPRD Kutai
Kartane-gara, Bachtiar ingin beristirahat dari hingar bingar
kegi-atannya selama ini. Ia ingin mencurah-kan sisa waktunya melakukan
berbagai kegiatan sosial dan agama. Di antaranya dengan memper-siapkan
pembangun-an pesantren di atas lahan seluas 20 Ha di Kecamatan Loa Kulo.
Rencananya, ia akan memberi nama Pesantren Madani.
Gerbang Dayaku
Dalam proses pembangunan Kukar, Bachtiar dan segenap anggota DPRD
bersama-sama bahu-membahu dengan Bupati Syaukani HR dan para pejabat
lainnya mencari pola pembangunan yang terbaik untuk menjadi pedoman
dalam membangun Kutai Kartanegara. Mereka menyamakan visi, misi dan
program yang akan diambil. Setelah melalui proses yang panjang –
seminar, studi banding, dan sebagainya – dipilihlah Gerbang Dayaku
sebagai salah satu pendekatan pembangunan di Kutai Kartanegara, yang
digagas oleh Prof Dr Syaukani HR.
Istilah Gerbang Dayaku sengaja dipilih karena mempunyai makna sebagai
gerbang menuju kemandirian. Menurut Bachtiar, gerbang itu artinya adalah
pintu, dan dayaku itu adalah kemandirian. Jadi sesuai dengan era otonomi
daerah.
Pelaksanaan Gerbang Dayaku melalui beberapa tahap.
Bachtiar mengakui bahwa dalam melaksanakan Gerbang Dayaku tahap
pertama masih banyak dijumpai kekurangan. Namun, hal ini lumrah karena
di mana pun juga, memulai sesuatu yang baru adalah hal yang sulit.
Budaya masyarakat Kukar yang ‘tahunya hanya melaksanakan perintah saja’
sudah mengakar puluhan bahkan ratusan tahun menjadi tembok pembatas yang
merintangi pembangunan Gerbang Dayaku. Masyarakat terbiasa menjadi
penonton, miskin kreativitas dan inisiatif.
Bachtiar mengambil contoh di bidang kehutanan. Masyarakat lokal yang
tinggal di daerah yang kaya dengan kayu malah menjadi penonton. Kalaupun
ada yang bekerja mengolah kayu, hanya sekadar mengupas kulit kayu.
Sedangkan pekerjaan-pekerjaan lain malah ditangani oleh para pendatang.
Semua kayu diangkut keluar oleh para pengusaha kayu yang didukung oleh
TNI, Polri, dan sebagainya. Kenyataan ini membuat masyarakat tidak
berani berbuat sesuatu karena ancamannya cukup berat.
Oleh karena itu, Bachtiar berpendapat merubah pola pikir masyarakat dari
pola pikir yang hanya menerima saja menjadi masyarakat yang berinisiatif
sendiri dan berdaya guna sendiri memerlukan waktu. Itulah kesulitan pada
Gerbang Dayaku tahap I sehingga di sana-sini masih banyak dijumpai
kekurangannya.
Pada Gerbang Dayaku tahap II, Pemkab sudah memperbaiki semuanya itu dan
berjalan lebih sukses. Bagi Bachtiar, Gerbang Dayaku bertujuan
meningkatkan kehidupan masyarakat pedesaan terutama dalam hal
kemandirian. Sebab bagaimanapun, masyarakat itu tidak akan bisa makmur
kalau dia sendiri tidak merubah nasibnya. Dalam agama Islam juga
dikatakan demikian. Ia berharap dengan merubah tingkah laku, sifat, dan
pola hidupnya, masyarakat Kukar bisa mandiri dan maju kehidupannya.
Pengawasan
Demi terwujudnya Gerbang Dayaku tahap II ini, DPRD selain berfungsi
sebagai budgeter, legislator, juga mempunyai peranan penting dalam
mengontrol pelaksanaan Gerbang Dayaku tahap II ini. Salah satu contohnya
dengan melakukan kunjungan komisi ke lapangan. Kunjungan ke
kecamatan-kecamatan itu dilakukan dua kali dalam sebulan. Untuk menambah
pengetahuan, para anggota dewan melakukan studi banding ke luar daerah
untuk diterapkan di Kukar seperti bagaimana mengelola limbah dan
sebagainya.
Fungsi kontrol yang dilakukan oleh DPRD juga bertingkat sesuai tahapan
proses, mulai dari tahap pembahasan anggaran, pelaksanaan pembangunan
hingga pasca pelaksanaan pembangunan. Input dari masyarakat menjadi
salah satu barometer dalam menilai dan mengontrol sejauhmana hasil
pembangunan yang sudah dilaksanakan. Aspirasi masyarakat itu disampaikan
melalui Dewan Perwakilan Desa (DPD) yang ada.
Setiap desa di Kutai Kartanegara mempunyai perwakilan desa, minimal 5
orang setiap desa. Melalui para wakil inilah berbagai laporan diterima.
Bila dinilai perlu, anggota dewan akan turun ke lapangan untuk memeriksa
kebenaran dari informasi-informasi yang masuk. Laporan yang diterima
dari masyarakat cukup beragam, ada yang positif dan ada pula yang
negatif.
Saat ditanya perihal hubungan eksekutif dan legislatif di Kukar saat
ini, Bachtiar menjawab dengan diplomatis. Semua kebijakan harus bermuara
kepada kepentingan orang banyak. Gerbang Dayaku yang menjadi dasar
pegangan eksekutif maupun legislatif menciptakan kerjasama dan hubungan
yang kondusif di antara keduanya. Tidak ada kesulitan dalam hubungan
keduanya selama ini.
“Memang hak kontrol kita di DPRD tetap kita laksanakan sebagaimana
mestinya. Jangan dikira hubungan baik dengan eksekutif itu berarti kita
melepaskan tanggung jawab kita sebagai anggota dewan. Tanggung jawab
kita benar-benar kita laksanakan tapi kita sudah mempunyai suatu batasan
tertentu,” kata Bactiar sambil mengangkat kepalanya menatap ke depan.
Sementara mengenai anggaran pendidikan, sesuai amanat UUD, Pemkab Kutai
Kartanegara dalam anggaran 2006 sudah mencadangkan 20% dari anggaran
untuk sektor pendidikan. Anggaran pendidikan ini sudah termasuk biaya
pembangunan Universitas Kutai Kartanegara (Unikarta), beasiswa, insentif
bagi para guru dan petugas, bantuan sepeda motor untuk guru-guru
sekolah, dan sebagainya. Selain itu, ada pula bantuan dalam program
beasiswa sekolah baik di dalam negeri maupun ke luar negeri.
Keterlambatan Pusat
Satu hal yang perlu mendapat sorotan dalam pelaksanaan Gerbang Dayaku
ini adalah keterlambatan pencairan dana keuangan dari pemerintah pusat
ke daerah. Akibatnya, Pemda terlambat men-drop dana Gerbang Dayaku ke
desa-desa. Dulu dana diturunkan sebesar Rp 3 milyar per desa per tahun
berbentuk program pembangunan terutama di sektor pendidikan, ekonomi
kerakyatan, SDM, kesehatan, dan infrastruktur.
Sejauh ini, pembangunan infrastruktur di desa-desa sudah banyak yang
berhasil. Namun, dalam sektor pendidikan masih banyak pekerjaan yang
harus dilakukan. Salah satu penyebabnya adalah masalah keterlambatan
pencairan dana tersebut. Untuk mengatasi hal ini, sistem untuk program
Gerbang Dayaku pedesaan ini sudah diperbaiki dengan cara mencadangkan
dana khusus.
Bila ada keterlambatan pencairan dana dari pusat, desa masih
mempunyai dana cadangan untuk menanggulangi kebutuhan-kebutuhannya.
Salah satu contoh, jika terjadi keterlambatan honor untuk guru -
pengaruhnya akan besar sekali dimana para guru tersebut mungkin tidak
mengajar – desa mempunyai dana cadangan untuk membayar honor para guru
tersebut.
Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam semangat otonomi
daerah tidak selamanya mulus. Menurut Bachtiar, pelaksanaan otonomi
daerah ini masih banyak yang perlu diperbaiki. Ia menilai, pemerintah
pusat belum ‘rela’ dan belum ‘percaya’ bahwa pemerintah daerah akan
membangun daerahnya dengan sebaik-baiknya.
Bachtiar mengambil salah satu contoh UU No. 22 yang sekarang menjadi UU
No. 32 tentang pertanahan dan sebagainya. Dalam undang-undang tersebut
daerah diberi wewenang untuk mengelola tanah di daerahnya. Namun, di
tengah jalan, masih ada Keputusan Presiden (Kepres) yang menetapkan lain
dari yang ditetapkan oleh UU. Ketidakkonsistenan ini membuat pelaksanaan
otonomi daerah menjadi simpang siur.
Selain itu, Bachtiar menilai bahwa hingga saat ini, daerah masih agak
dikebiri kewenangannya. UU sudah menetapkan untuk memberikan kewenangan
yang cukup luas untuk mengatur daerahnya sendiri namun dalam prakteknya
pusat tidak mau melepas begitu saja.
Semuanya seolah-olah harus diatur oleh pusat. Bachtiar kemudian
mengambil contoh mengenai Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh
Indonesia (Apkasi) yang kemudian dirubah namanya. Hal tersebut mempunyai
alasan, karena bila dalam bentuk assosiasi, ia akan mempunyai landasan
hukum yang kuat jika dia melakukan suatu kegiatan. Asosiasi kemudian
diganti menjadi forum. Forum itu hanya tempat pertemuan saja. Jadi,
Apkasi dirubah menjadi forum komunikasi. Hal ini menurut Bachtiar
merupakan salah satu cara pemerintah pusat untuk mengembalikan
kewenangan mereka.
Masalah lain berkaitan dengan otonomi daerah ini adalah peraturan
pemerintah yang diterbitkan pusat sering silih berganti. “Sedang terbit,
sebentar lagi ada revisi dan sebagainya. Jadi kita di daerah ini dalam
mengikuti itu agak kesulitan. Itulah kondisi yang ada sekarang ini,”
ujar Bachtiar dengan mimik serius.
Penegakan Hukum
Selaku putra bangsa, Bachtiar juga memendam sejumlah kegelisahan dan
harapan di kala melihat potret buram bangsa Indonesia. Ia berharap
penegakan hukum di negara ini perlu mendapat perhatian khusus dan
menjadi prioritas setiap pemimpin bangsa ini. Ia melihat adanya
kenyataan dimana peraturan-peraturan pemeritah satu sama lain bisa
bertolak belakang. Ia mengambil contoh kasus anggota DPRD periode yang
lalu banyak yang dipenjara karena karena melanggar PP 110.
Ia mempertanyakan PP 110 yang bertentangan dengan UU No.23 (atau No.24)
yaitu mengenai Susunan dan Kedudukan DPR. Ia berpendapat bahwa Peraturan
Pemerintah No.110 sebenarnya sudah di-judicial review oleh Sumatera
Barat dan sudah keluar Surat Keputusan Mahkamah Agung yang menyatakan
bahwa PP 110 itu batal demi hukum kalau selama 90 hari tidak dicabut
oleh pemerintah.
Ternyata pemerintah tidak mencabutnya, maka PP 110 itu sudah batal demi
hukum atau batal sejak lahir, dianggap tidak ada. Situasi ini membuat
semua DPR di seluruh Indonesia menjadi tidak punya pegangan, sehingga
kembali ke UU.
Dengan kembali ke UU, dijumpai beberapa plus minus bila disandingkan
dengan PP 110 terutama sekali dari segi penghasilan anggota dewan,
dimana disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing. Sehingga bila
kondisi daerahnya miskin, PAD-nya kecil maka kecil juga penghasilannya.
Tapi kalau APBD-nya besar apalagi PAD-nya besar tentu ia menerima
penghasilan besar juga, karena UU mengatur demikian.
Namun, keadaan menjadi terbalik. Pemerintah mengeluarkan Surat Edaran
Menteri Dalam Negeri (SE Mendagri) yang mengatakan PP 110 itu masih
tetap berlaku. Dengan keluarnya SE Mendagri itu maka timbullah banyak
masalah. Padahal Surat Edaran itu dalam struktur UU dan hukum di
Indonesia tidak termasuk. Jadi tidak ada artinya sebenarnya, tapi itu
malah menjadi pegangan semua pihak atau dijadikan dasar hukum.
Selain masalah penegakan hukum, Bachtiar juga sangat menyayangkan
tentang arah dan tahapan dari pembangunan Indonesia sekarang ini. Ia
menilai pembangunan sekarang ini seakan berujung tidak jelas dan
mengambang. Pada zaman Pak Harto, ada Pelita-Pelita. Pembangunan tahap
I, II, III dan seterusnya.
Sedangkan saat ini, pembangunan berjalan tanpa ada arah yang harus
dituju. Tidak jelasnya arah pembangunan ini, menurut Bachtiar disebabkan
oleh pemerintah sekarang ini sedang sibuk mengatasi kesulitan saja,
kesulitan yang bertubi-tubi. Mulai dari masalah perburuhan, masalah
tenaga kerja, tuntutan para guru, peristiwa di Poso, tsunami, terorisme
dan sebagainya.
Oleh karena itu, Bachtiar Effendi berharap pemerintah membuat
perencanaan, tahapan, dan parameter keberhasilan pembangunan sehingga
ada tolok ukurnya. Sehingga bila pembangunan tidak berhasil bisa
diperbaiki dan yang berhasil diteruskan.
“Saya tidak mengerti dimana letak kelemahannya ini, apakah di Bappenas
ataukah memang ada arahan untuk mengambangkan demikian?” kata Bactiar
kepada Tokoh Indonesia. ►mti/mlp-ms
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
|