|
C © updated 31102007 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
► e-ti/kompas |
|
|
Nama:
Ichwan Azhari
Lahir:
Medan, 16 November 1961
Agama:
Islam
Pendidikan:
- S-1 Jurusan Antropologi IKIP Medan, 1984
- S-2 Jurusan Sosiologi Pedesaan IPB Bogor, 1991
- S-3 Sejarah Budaya, Universitas Hamburg, Jerman, 2001(Disertasi
diterbitkan dalam bahasa Jerman berjudul "Die Politischen Beziehungen
zum Javanischen Majapahit in Klassichen Malaischen Texten" = Perlawanan
Wacana: Hubungan Politik dengan Majapahit dan Naskah-naskah Melayu
Klasik
Karir:
- Dosen Jurusan Sejarah Universitas Negeri Medan (Unimed),
2001-sekarang
- Dosen Program Studi Antropologi Sosial, Pascasarjana Unimed,
2001-sekarang
- Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial (Pussis) Unimed,
2007-sekarang
Karya:
Pendiri dan Pengelola Pustaka Humaniora, 2007
Organisasi:
- Ketua Ikatan Ahl dan Sarjana Indonesia (IASI) di Jerman,
1999-2001
- Ketua Forum Masyarakat Indonesia di Hamburg, 1998-2001
- Wakil Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Sumatera Utara
|
|
|
|
|
|
|
ICHWAN AZHARI HOME |
|
|
Ichwan Azhari
Pemburu Arsip Sejarah
Selama tujuh tahun di Eropa, Ichwan Azhari memburu
arsip sejarah Nusantara di berbagai perpustakaan dan kampus,
terutama di Jerman dan Belanda.
Pendiri Pustaka Humaniora (Pusra) kelahiran Medan 16 November 1961, itu juga menemui para misionaris yang pernah bertugas di Indonesia.
Pengembaraannya tak sia-sia, mengingat arsip lama sejarah Nusantara
relatif tersimpan rapi di Eropa. Banyak dari arsip itu masih utuh,
sesuai aslinya. Sebagian hanya tinggal satu sehingga dia tak bisa
mendapatkan aslinya.
Padahal, arsip-arsip langka itu sangat berharga bagi sejarah Indonesia.
Beberapa arsip yang ditemukan Ichwan adalah surat kabar terbitan
Indonesia (sebagian besar dari Sumatera Utara), peta lama, mata uang
logam dan kertas, foto-foto, majalah, buletin, kartu pos, serta sejumlah
piringan hitam.
Semua dokumen itu dia gandakan dan sebagian dia beli aslinya. Saat
pulang ke Tanah Air tahun 2001, arsip yang didapatkan dari Eropa ikut
serta. Sebagian orang sempat mencibirnya sebagai konyol lantaran
jauh-jauh dari Eropa hanya membawa "barang rongsokan".
Kini, kumpulan arsip itu menjadi koleksi utama Pustaka Humaniora (Pusra)
yang didirikannya pada April 2006. Baginya, pengumpulan dokumen itu
penting untuk menyibak sejarah Nusantara akhir abad ke-19 dan awal abad
ke-20, terutama tentang Sumatera.
"Dari sini kita bisa tahu, ternyata pergerakan sejarah sebelum
kemerdekaan tak hanya di Jawa, melainkan di berbagai penjuru Tanah Air,
termasuk Sumatera," kata suami dari Netty Herawati ini.
Koleksi Pusra yang didirikannya bertambah lengkap lantaran sumbangan
kolega dan berbagai instansi pemerintah. Seluruh koleksi Pusra
dikelompokkan menjadi tujuh golongan yang terdiri dari 3.399 jenis.
Untuk arsip koran-koran lama, jumlah yang berhasil dia kumpulkan
sebanyak 10.000 lembar.
Beberapa koleksi yang membanggakannya adalah koran- koran akhir pada
abad-19 yang terbit di Sumatera Utara, prangko zaman revolusi, uang
zaman revolusi, dan uang kebon. "Semua ini hanya berlaku di Sumut. Saya
sudah cek beberapa museum tidak ada yang mengoleksi, terutama uang kebon
dan koran lama," katanya.
Ia mempunyai sekitar 1.800 lembar koleksi prangko dari zaman Belanda,
Jepang, dan awal revolusi serta 1.500 lembar uang lama dan uang kebon.
"Awal November ini 6.500 koleksi buku, majalah, dan koran lama kami
dipinjamkan untuk perpustakaan Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial
Unimed (Universitas Negeri Medan)," ujarnya.
Menggabungkan
Ichwan memperoleh sebagian besar arsip sejarah dari Jerman dan Belanda.
Penggabungan seluruh arsip dari kedua negara itu menjadi kesatuan data
sejarah yang saling melengkapi.
Setelah mempelajari sebagian besar arsip yang didapatkan, kata dia,
perusahaan swasta Eropa di Sumatera Utara itu lebih dulu masuk daripada
Pemerintah Belanda. Perkembangan ini sangat memengaruhi migrasi penduduk,
konflik, kekejaman sistem kapitalisme, intelektualitas, serta dinamika
sosial dan budaya masyarakat Sumut, khususnya Medan dan sekitarnya.
"Saya ingin membangun data selengkapnya tentang Sumut pada masa itu,"
ucapnya. Untuk mewujudkan keinginan itulah, kesempatan mengajar dan
belajar di Jerman 1995-2001 dimanfaatkannya guna mencari arsip-arsip
pendukung.
Ichwan bercerita, suatu hari, pada masa studi doktoralnya di Jerman, ia
mendapat tugas dari sang profesor menemui seorang pendeta yang pernah
bertugas di Tapanuli Utara bernama Kawinsky. Melalui pendeta itu, dia
tahu bahwa banyak misionaris Jerman yang menyimpan foto, dan tulisan
berharga pada akhir abad-19 sampai awal abad-20 tentang Sumut.
Di Jerman terdapat lembaga misionaris terkenal di Wuppertal yang
menyimpan Arsip Nommensen dan surat-surat Si Singamangaraja XII. Arsip
ini, kata dia, belum dibaca dan diteliti dengan kritis. Sementara di
Belanda, Ichwan banyak mendapatkan arsip koran, foto, dan peta lama
Sumut.
Berbekal arsip-arsip berharga itu, keinginan Ichwan membangun
perpustakaan sendiri semakin kuat. Dalam benaknya, perpustakaan swasta
seperti yang tumbuh subur di Jerman dan Belanda mestinya bisa berdiri di
Medan.
"Sejarah kita mestinya kita juga yang memiliki dan merawatnya. Tetapi
selama ini, justru orang lain yang jauh di sana, yang merawat dan
memeliharanya sampai sekarang," ujarnya.
Pendirian Pusra tak lepas dari aktivitasnya sebagai pengajar tamu di
Jurusan Indonesia, Fakultas Orientalis, Universitas Hamburg, Jerman,
tempat dia juga menyelesaikan studi S-3 tentang sejarah pada 1995-2001.
Dari kegiatan itulah, dia bisa menyisihkan sebagian penghasilan untuk
mengumpulkan arsip-arsip sejarah.
Mengontrak
Sekembali dari Jerman, Ichwan tinggal di rumah kontrakan di Medan. Uang
yang dia peroleh selama mengajar dan mendapat beasiswa di Jerman nyaris
habis untuk membeli berkas- berkas lama tentang Sumatera. "Itulah harta
yang saya bawa dari Jerman."
Belum sempat membuat perpustakaan, ia menyicil dengan menyusun dan
mengelompokkan arsip-arsip tua tersebut. Pada tahap ini pula ia mendapat
banyak masukan dan tambahan koleksi dari teman-teman di Medan.
Baru pada April 2006 perpustakaan Pusra berdiri dengan lima orang
pengelola. Pusra menempati rumah sewaan di Jalan Tuasan 69 Medan,
sekitar satu kilometer dari Kampus Universitas Negeri Medan (Unimed).
Pada tahun pertama beroperasi, tamu bisa menikmati perpustakaan secara
gratis. Semua pengunjung boleh membaca, tapi tak bisa membawa pulang
buku. Pusra menyediakan foto kopi bagi mereka yang ingin menggandakan
koleksi penting.
Memasuki tahun kedua, April 2007, pengelolaan perpustakaan diperbaiki
sebab ia kesulitan mencari biaya operasional. Selama itu biaya
operasional perpustakaan ditutup dari koceknya. Maka, diberlakukanlah
sistem keanggotaan. Mereka yang menjadi anggota Pusra dipungut iuran Rp
20.000 per enam bulan. Dana itu untuk perawatan koleksi perpustakaan dan
honor lima karyawan.
Selama sekitar 12 tahun, sejak 1995, dana yang dikeluarkan Ichwan untuk
Pusra tak kurang dari Rp 500 juta. "Itu hasil menyisihkan penghasilan
selama bertahun-tahun juga ha-ha-ha."
Pada perjalanannya, Pusra tak hanya menawarkan koleksinya untuk dibaca
dan dipakai sebagai bahan penelitian, tetapi juga melayani penjualan
buku "langka" atau buku yang jarang ditemukan di toko buku. Pusra pun
berkembang menjadi komunitas, beberapa buku langka, seperti Tan Malaka
di Medan, dicetak ulang. Pusra juga menjadi tempat diskusi para
mahasiswa.
Pengunjung Pusra semakin ramai, jumlah anggota aktif 169 orang. Setiap
hari tak kurang dari 30 pengunjung dari berbagai kalangan, mulai murid
sekolah dasar sampai dosen, memenuhi rumah sewaan bertipe 70 itu. (ANDY
RIZA HIDAYAT, Kompas 31/10/2007).
►ti
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
|
|