|
C © updated 05082005 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
► e-ti |
|
|
Nama:
Samsudin Berlian
Lahir,
-
|
|
|
Welcome
This
site is currently under construction. Please check back at a later time. |
|
|
|
SAMSUDIN HOME |
|
|
Samsudin Berlian
Tenggang Versus Toleransi
Aduh seram! Katanya ada aliran agama di Indonesia yang kerjanya tak lain
menyuruh orang ambil jalan sesat keliru menuntun orang ke neraka jahanam.
Ah lega! Katanya ada pengawal agama yang tegas tuntas menjaga orang dari
kesesatan, kekeliruan, kesalahjalanan. Maka diobrak-abriklah si sesat
itu, rumahnya, pengikutnya, ajarannya, dan haknya untuk berada. Yang
murtad harus musnah. Yang salah jalan harus dipaksa—kalau perlu dengan
ancaman penjara, bogem mentah, dan batu terbang—kembali ke jalan benar
menuju surga nan mulia, demi kebaikan mereka sendiri, tentu saja.
Alamak! Kok amburadul? Katanya ini negeri bhinneka tunggal ika. Ada
70.000 pulau, tetapi satu nusa. Ada 300 suku, tetapi satu bangsa. Ada
700 bahasa dan dialek, tetapi satu bahasa nasional. Katanya negeri ini
ada saling tenggang harga-menghargai baku terima, sama seperti di negeri
seberang ada toleransi yang bikin hidup nyaman asri?
Nah, justru di situ letak persoalannya. Di dalam kamus, toleransi memang
disamakan dengan tenggang (hati atau rasa), tetapi tenggang tidak
disamakan dengan toleransi. Toleran, kata Kamus Besar Bahasa Indonesia
dan Kamus Umum Bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta, berarti ”bersifat
atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian
(pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dsb) yang
berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri”. Jadi kalau bertemu
dengan orang yang punya keyakinan bertentangan dengan saya, saya biarkan
saja dia. Tak saya usik, utak-atik, atau gelitik. Yang mengemuka adalah
kebebasan berbeda, tak peduli apa kata dan rasa orang.
Tenggang (baca: ténggang) seolah-olah punya makna yang sama, tetapi
justru membangkitkan sikap sebaliknya pada orang yang mempraktikkannya.
Menenggang, kata kamus yang sama, berarti ”mengindahkan kepentingan
orang lain atau menimbang perasaan orang lain”. Jadi alih-alih
membiarkan atau tidak memedulikan perbedaan dan orang yang berbeda,
orang malah disuruh wajib menenggang orang lain. Jadi kalau saya bertemu
dengan orang yang punya keyakinan bertentangan dengan saya, saya paksa
dia menenggang perasaan saya. Yang mengutama adalah kewajiban tak
menyinggung. Kata dan rasa orang menjadi patokan.
Ini bukan pola pemakaian bahasa dan pemahaman makna kata yang berdiri
sendiri, tetapi merupakan bagian dari falsafah yang lebih mendasar
mengenai kehidupan publik. UUD 1945 Pasal 29 menyatakan ”Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Selintas pasal ini mencerminkan prinsip kebebasan beragama. Namun, kata
kuncinya bukanlah kemerdekaan, melainkan menjamin. Berdasarkan pasal ini,
pemerintah kita telah membuat berbagai aturan yang ujung- ujungnya
membatasi ruang gerak orang dan lembaga agama. Kebebasan beragama
menjadi kebebasan beragama yang diatur undang-undang. Negara bukan hanya
pelindung, tetapi terutama pengatur dan wasit.
Bandingkanlah misalnya dengan Amandemen Pertama Konstitusi Amerika
Serikat yang dengan tegas menyatakan bahwa ”Congress shall make no law
respecting an establishment of religion…” Dengan rumusan ini, pembatasan
diletakkan di pundak lembaga negara untuk menahan diri dari usaha
mengatur orang beragama dan lembaga agama, apalagi isi ajaran agama.
Kebebasan beragama di situ adalah kebebasan beragama yang tidak boleh
diatur UU atau siapa pun.
Persis sama adalah nasib kebebasan berbicara dan kebebasan mengemukakan
pendapat. Nun jauh di sana yang hanya kenal kata toleransi, kebebasan
itu tidak boleh dilarang UU. Di negeri ini yang mengenal kata tenggang (rasa),
kebebasan itu harus diatur UU. Jadi siapa saja boleh bebas bicara dan
mengemukakan pendapat di negeri ini asal sudah lulus sensor si pembuat
aturan.
Déjà vu! Jangan-jangan kita di Indonesia masih hidup di zaman demokrasi
terpimpin, kebebasan terpimpin? ”Rakyat bebas selama saya yang mimpin,”
kata penguasa yang sangat bertenggang rasa. ”Kalian boleh beda, selama
kami tidak tersinggung,” kata kelompok massa yang cinta kebebasan yang
diatur rapi bak barisan padi.
Amit-amit! Jangan-jangan kita akan lebih mundur lagi ke zaman ”Merdeka
atau mati!” Mestinya kan di zaman serba maju dan kreatif ini ada pilihan
yang lebih luwes dan aman: ”Merdeka toleransi atau merdeka tenggang”.
Kupanjatkan doa tulus pencinta damai yang penuh toleransi dan tenggang
rasa berpancasila: bisa bebas merdeka syukur, merdeka diatur juga
alhamdulillah. Namun, mbok ya jangan disuruh pilih mati, apalagi mati
diatur! (Kompas, 5 Juli 2005)
Penulis adalah Peminat Bahasa, Tinggal di Tangerang
|
|