|
C © updated 09052005 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
► e-ti/tempo |
|
|
Nama:
Prof.Dr. Sumitro Djojohadikusumo
Lahir:
Kebumen/Jawa Tengah, 29 Mei 1917
Meninggal:
Jakarta, 9 Maret 2001
Menikah:
7 Januari 1947
Istri:
Dora Sigar (asal Langowan/Minahasa)
Anak:
Biantiningsih Djiwandono (istri bekas Gubernur BI Sudradjat
Djiwandono), Maryani Le Maistre, Prabowo Subianto, dan Hashim Suyono
Djojohadikusumo
Orangtua:
R.M. Margono Djojohadikusumo/Siti Katoemi Wirodihardjo
Pendidikan:
- HIS (Holland Inlandsche School)
- MULO (Meer Uitgrebreid Lager Onderwijs)
- Universitas Sorbonne di Paris, Perancis (1934-1938)
- Economische Hogeschool di Rotterdam/Belanda (Sarjana 1940, Doktor
1942)
Riwayat Pekerjaan:
- Pembantu Staf Perdana Menteri RI Sutan Syahrir (1946)
- Presiden Direktur Indonesian Banking Corporation (1947)
- Wakil Ketua Perutusan Indonesia pada Dewan Keamanan PBB membantu
L.N.Palar (1948-1949)
- Anggota Delegasi RI di Konperensi Meja Bundar, di Den Haag, Belanda
(1949)
- Kuasa Usaha KBRI di Washington, D.C (1950)
- Menteri Perdagangan & Perindustrian RI di Kabinet Natsir (6/9/1950 -
27/4/1951)
- Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia (1952 - 2000)
- Menteri Keuangan RI di Kabinet Wilopo (3/4/1952 - 30/7/1953)
- Menteri Keuangan RI di Kabinet Burhanuddin Harahap (12/8/1955 -
24/3/1956)
- Bergabung dengan PRRI/Permesta (1958 -1961)
- Di pengasingan, sebagai Konsultan Ekonomi di Malaysia, Hong Kong,
Thailand, Perancis dan Swiss (1958 - 1967)
- Menteri Perdagangan RI di Kabinet Pembangunan I (6/6/1968 - 28/3/1973)
- Menteri Riset di Kabinet Pembangunan II (28/3/1973 - 28/3/1978)
Kegiatan Lain:
- Guru Besar Universitas Indonesia (1951-2001)
- Ketua Umum Induk Koperasi Pegawai Negeri (1982)
- Konsultan Ekonomi pada Indoconsult (1978) dan PT Redecon
- Komisaris Utama PT Bank Pembangunan Asia (1986)
- Aktif di LP3ES
- Ketua Dewan Penyantun Universitas Mertju Buana (1985 - 1990)
Karya:
- Soal Bank di Indonesia, 1946
- Keuangan Negara dan Pembangunan, 1954
- Ekonomi Pembangunan, 1955
- Kebijaksanaan di Bidang Ekonomi Perdagangan, 1972
- Indonesia dalam Perkembangan Dunia Kini dan Masa Datang, 1976
- Trilogi Pembangunan dan Ekonomi Pancasila, 1985
- Perdagangan dan Industri dalam Pembangunan, 1986
Penghargaan:
- Bintang Mahaputra Adipradana II
- Panglima Mangku Negara, Kerajaan Malaysia
- Grand Cross of Most Exalted Order of the White Elephant, First Class
dari Kerajaan Thailand
- Grand Cross of the Crown dari Kerajaan Belgia serta yang lainnya dari
Republik Tunisia dan Perancis
Buku Biografi:
Jejak Perlawanan Begawan Pejuang, terbitan Pustaka Sinar Harapan,
April 2000
Alamat rumah:
Jalan Kertanegara 4, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
Sumber:
Dari berbagai sumber terutama Intisari, Tempo, dan Kompas |
|
|
|
|
|
|
SUMITRO HOME |
|
|
BIOGRAFI Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo
Begawan Ekonomi Indonesia
Ia pernah lima kali menjabat sebagai menteri di masa Orde Lama dan Orde
Baru. Begawan ekonomi yang ikut mendirikan Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, ini juuga diangkat oleh PBB menjadi anggota “lima ahli dunia” (group of
five top experts). Dalam rangkaian perjuangan dan pengabdian kepada bangsa dan
negaranya, ia juga pernah
menjadi ‘penyelundup’ dan sempat bergabung dalam PRRI/Permesta, bahkan menjadi
‘pelarian’ selama sepuluh tahun di luar negeri.
Sumbangan Sumitro Djojohadikusumo ''Bapak Sarjana Ekonomi Indonesia"
terhadap perkembangan ilmu ekonomi yang berorientasi pada kebijaksanaan
pembangunan di Indonesia, tidak diragukan lagi. Ia berhasil mengenyam
pendidikan hingga meraih doktor bidang ekonomi yang menurut ukuran orang
pada zamannya masih sangat sedikit jumlahnya.
Setamat Hogere Burger School (HBS), pria kelahiran Kebumen, Jawa Tengah,
29 Mei 1917, ini berangkat ke Belanda akhir Mei 1935. Sempat dua bulan
"mampir" di Barcelona, Sumitro akhirnya ke Rotterdam untuk belajar.
Dalam tempo dua tahun tiga bulan, gelar Bachelor of Arts (BA) diraihnya.
Ini rekor waktu tercepat di Netherlands School of Economics. Ia lalu
melanjutkan studinya di Universitas Sorbonne, Paris (1937-1938).
Antara 1938-1939 di Prancis, Sumitro bergabung dengan kelompok sosialis
dan berkenalan dengan tokoh dunia seperti Andre Malraux, Jawaharlal
Nehru, Henri Bergson, dan Henri Cartier-Bresson. Dari mereka dia belajar
banyak tentang pengabdian, perlawanan, keadilan sosial, dan
kekonsistenan hidup. Ia kemudian sempat ikut latihan militer di
Catalonia, tapi gagal masuk Brigade Internasional karena umurnya belum
genap 21 tahun.
Dari Paris, Sumitro kembali ke Rotterdam, melanjutkan studi ekonomi. Ia
memasuki periode penulisan disertasi saat Nazi Jerman menyerang Belanda,
5 Mei 1940. Pimpinan Nederlandse Economische Hogeschool menunjuk Prof.
Dr. G.L. Gonggrijp sebagai promotornya.
Disertasinya berjudul Het Volkscredietwezen in de Depressie yang dalam
bahasa Indonesia berarti "Kredit Rakyat (Jawa) di Masa Depresi"
diterbitkan oleh Lembaga Penelitian Ekonomi Nederlands Economische
Hogeschool. Gelar Master of Arts (MA) diraih tahun 1940. Sementara, usianya baru
menjelang 26 tahun saat ia menyandang gelar doktor ilmu ekonomi.
Setelah menggondol gelar doktor, Sumitro ditampung oleh Sjahrir,
dijadikan pembantu staf Perdana Menteri (1946), diterima sebagai anggota
Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang waktu itu dipimpin oleh
Sjahrir-Amir Syarifuddin. Pada masa proklamasi kemerdekaan RI, Sumitro
tergolek sakit di pembaringan hampir setahun lamanya. Ia menjalani
operasi tumor usus besar tanpa antibiotika. Beruntung ia selamat dari
ancaman maut.
Pagi, 18 Agustus 1945, Kota Rotterdam dikejutkan oleh berita Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia, di Radio Hilversum. Berita itu memberikan
kekuatan sugestif bagi kesembuhannya. Saat Dewan Keamanan Perserikatan
Bangsa-Bangsa bersidang di Church House, London, 17 Januari 1946, ia dan
Mr. Zairin Zain ikut hadir. Seusai sidang, Sumitro dan Zairin terbang ke
Jakarta. Tiba di rumah orang tuanya, Sumitro disambut suasana duka: dua
adiknya, Subianto (21) dan Sujono (16) gugur dalam pertempuran melawan
Jepang di Tangerang.
Kenyataan ini memperkuat tekadnya untuk melawan Belanda dalam
mempertahankan proklamasi kemerdekaan RI. Bersama Perdana Menteri Sutan
Sjahrir, Sumitro dan Zairin pada 14 Maret 1946 menyusun argumentasi baru
untuk menghadapi diplomasi Belanda.
Dunia internasional menolak Agresi Militer Belanda, 21 Juli 1947. India
dan Australia, 30 Juli 1947, membawa persoalan Indonesia ke Sidang Dewan
Keamanan di Lake Success, AS. Sutan Sjahrir, H. Agus Salim, Charles
Tambu, Sudjatmoko, dan Sumitro Djojohadikusumo ikut hadir.
Sumitro terpaksa meninggalkan Dora, yang baru enam bulan dinikahinya,
tepatnya 7 Januari 1947. Ia berjumpa pertama dengan Dora Sigar di Rotterdam
tahun 1945. Ketika itu Dora belajar di Ilmu Perawatan Pascabedah di
Utrecht.
Menjadi “Penyelundup”
Tanggal 19 Desember 1948, Belanda melakukan Agresi Militer Kedua. Satu
hari kemudian Sumitro bergegas menemui Robert A. Lovett, pejabat
sementara Menteri Luar Negeri AS di Washington DC sambil membawa
sebuah memorandum. Ketika Sidang Dewan berlangsung, Sumitro meninggalkan
New York untuk menghadiri Konferensi Asia yang membahas masalah
Indonesia di New Delhi, 18 Januari 1949. Ia bergabung dengan delegasi
Indonesia yang dipimpin Mr AA Maramis.
Masa transisi - mulai dari takluknya Jepang, proklamasi kemerdekaan,
hingga usaha-usaha Belanda untuk menjajah kembali - berdampak bagi
perekonomian Indonesia.
Saat itu masih beredar mata uang Jepang, gulden Belanda, dan uang NICA.
Berangsur-angsur dilakukan penggantian dengan Oeang Republik Indonesia
(ORI). Oleh karena kekurangan bahan kimia untuk membuat ORI, Sumitro
mencarinya ke Singapura dan "menyelundupkannya" ke Jawa. Ia belajar jadi
"penyelundup" untuk kepentingan revolusi. Ini tugas dari Sjahrir dan
Bung Hatta.
Pada 12 April 1947, Presiden Soekarno membentuk Panitia Pemikir Siasat
Ekonomi pimpinan Muhammad Hatta. Anggota panitia pemikir berjumlah 98
orang. Sumitro bertugas memikirkan hal-ihwal keuangan dipimpin Mr
Sjafruddin Prawiranegara.
Usianya masih sangat muda (33) ketika Sumitro diangkat jadi Menteri
Perdagangan dan Perindustrian, sekitar Mei 1950. Pada 20 Maret
1951 Kabinet Natsir roboh.
Kemudian,
Ketua Senat FE-UI Suhadi Mangkusuwondo bersama mahasiswa FE-UI meminta
Sumitro menjadi dekan, dimana dia salah seorang pendiri fakultas
tersebut. Waktu itu usianya 34 tahun. Belum lama menjabat
dekan, Dr. Sumitro Djojohadikusumo diangkat menjadi guru besar ilmu
ekonomi di FE-UI. Selama di FE-UI, Sumitro ingin menjadikannya Jakarta
School of Economics yang punya integritas. Dari sana, lahirlah
orang-orang seperti Widjojo Nitisastro, Barli Halim, JB Sumarlin, dan
Ali Wardhana.
Pada 3 April 1952, Sumitro kembali diangkat menjadi Menteri Keuangan
Kabinet Wilopo. Sejak 3 Juli 1953, Kabinet Wilopo demisioner. Tanggal 30
Juli 1953 Sumitro kembali menjadi Dekan FE-UI.
Semenjak menjadi Menteri Keuangan pada Kabinet Wilopo-Prawoto (3 April
1952 - 30 Juli 1953), Sumitro merasakan adanya ketimpangan daerah.
Terjadi pergolakan dalam dirinya sebagai politikus dan akademisi.
Tanggal 30 Juli 1953 - 24 Juli 1955 adalah masa Kabinet Ali
Sastroamidjojo I. Kemudian terbentuk Kabinet Burhanuddin Harahap (12
Agustus 1955 - 24 Maret 1956) dan Sumitro kembali dipercaya sebagai
Menteri Keuangan.
Perjuangkan Otonomi Daerah
Sepanjang tahun 1957, koran komunis dan pers nasional seperti Harian
Rakyat dan Bintang Timur melansir pemberitaan buruk tentang Sumitro. Ia
dituduh melakukan korupsi besar-besaran.
Pada 23 Maret 1957 Sumitro dipanggil Corps Polisi Militer (CPM) Bandung.
Tapi pemeriksa menyatakan, tidak ada alasan untuk menahan Sumitro.
Panggilan kedua oleh CPM terjadi pada tanggal 6 - 7 Mei 1957. Kemudian 8
Mei 1957, ia dipanggil lagi.
Sumitro semakin tertekan oleh serangan koran prokomunis dan merasa
hendak ditangkap. Atas prinsip "pengabdian dan perlawanan" ia memilih
melawan rezim Soekarno yang dianggap terlalu dekat dengan golongan
komunis dan mengabaikan pembangunan daerah.
Pada Mei 1957 ia ke Sumatra, bertemu Letkol Barlian dan Mayor Nawawi di
Palembang. Ia sempat menyamar sebagai Letnan Dua Rasyidin. Pada 13 Mei
1957, ia tiba di Padang, bertemu Panglima Divisi Banteng, Letkol Achmad
Husein. Malamnya Sumitro menuju Pekanbaru, menemui Kapten Yusuf
Baron.
Ultimatum kepada pemerintah pusat akhirnya dikeluarkan pada 10 Februari
1958. Tanggal 15 Februari 1958, Achmad Husein melalui Radio Bukittinggi
mengumumkan proklamasi pemerintahan tandingan, Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI).
Dari Jakarta, Sjahrir menugaskan Djoeir Moehamad dan Djohan Sjahruzah
menghubungi dewan-dewan militer di daerah. Sekaligus menghubungi Sumitro
Djojohadikusumo. Mereka "mengejar" Sumitro hingga ke Padang. Tapi
Sumitro keburu ke Pekanbaru, kemudian ke Bengkalis, sempat menyamar jadi
kelasi kapal menuju Singapura.
"Ia ternyata menempuh jalan sendiri dan diumumkan menjadi salah seorang
menteri PRRI," tulis Djoeir dalam bukunya, Memoar Seorang Sosialis
(1997, hlm 268). Belakangan, setelah Sumitro terlibat dalam PRRI,
Presiden Soekarno mendapat dalih bagus untuk membubarkan PSI dan Masyumi
bulan Agustus 1960.
Sumitro lalu ke Saigon juga dengan menyamar sebagai kelasi kapal sebelum
ke Manila dan melakukan kontak dengan Perjuangan Semesta (Permesta).
Menyamar menjadi cargo supervisor atas nama pemilik kopra, Sumitro masuk
ke Bitung. Ia ke Sumatra menggelar pertemuan dan memperluas hubungan
dengan pemimpin militer di Sumatra, juga Sumual di Sulawesi.
Subadio, utusan Sjahrir, bertemu Sumitro di Singapura. Sumitro berperan
menangani bidang logistik bersama Kolonel Simbolon dan Husein bagi PRRI.
Ia sempat mengecek pengadaan senjata. Sebagian senjata dibeli di Phuket
(Thailand) dan Taiwan. Dua kali ia masuk Taiwan, dan kembali ke Minahasa
dengan pesawat bermuatan amunisi.
Konsep semula, menurut Sumitro, hanya untuk memperbaiki Jakarta. Tidak
ada bayangan membuat suatu pemerintahan tandingan. Tuntutan mereka
hanyalah ingin otonomi dan pengembangan daerah.
Sumitro mempercayai gagasan persatuan Indonesia. Namun, tatkala PRRI
hendak mendirikan Republik Persatuan Indonesia (RPI), dan Pulau Jawa
tidak termasuk di dalamnya, ia menolak tegas, "Kalau demikian, saya
tidak bisa ikut, sebab negara kita satu."
Pelarian ke Luar Negeri
Ketidaksepakatan ini mendorong
Sumitro mengungsi ke luar negeri, lantaran belum memungkinkan pulang ke
Jakarta. Pemerintahan Soekarno masih menganggapnya pemberontak yang
harus disingkirkan.
Selama 10 tahun di pelarian, Sumitro menggunakan banyak nama samaran.
Para mahasiswa di Jepang mengenalnya sebagai Sungkono. Di Jerman
dipanggil Sunarto. Di luar Frankfurt pakai nama Abdul Karim. Di Hongkong
orang mengenalnya Sou Ming Tau (bahasa Kanton) dan Soo Ming Doo (bahasa
Mandarin). Warga Malaysia mengenalnya Abu Bakar. Ia dipanggil Henry
Kusumo atau Henry Tau di Bangkok.
Demi keamanan, Sumitro bersama keluarganya tak mau tinggal di suatu
negara lebih dari dua tahun. Mulai dari Singapura, Hongkong, Kuala
Lumpur, Zurich-Swiss, London, kemudian pindah ke Bangkok.
Untuk menghidupi keluarganya di pelarian, ia menjadi saudagar
mebel dan real estate di Malaysia. Juga mendirikan Economic Consultans
for Asia and the Far East (Ecosafe) di Hongkong, dan cabangnya di Kuala
Lumpur. Ia memakai nama Kusumo.
Sebagai orang tua, ia dikenal keras dan disiplin dalam mendidik keempat
anaknya. Buktinya, putri tertua, Ny. Biantiningsih yang istri mantan
Gubernur BI J Soedrajat Djiwandono, sampai memiliki dua gelar
kesarjanaan. Begitu juga Ny Marjani Ekowati, putri kedua yang menikah
dengan orang Prancis. Letjen Prabowo Subianto berhasil meniti karier
sebagai Danjen Kopassus dan Pangkostrad. Lalu si bungsu Hashim
Sujono menjadi pengusaha sukses.
Kembali ke Tanah Air
Pada Maret 1967, Soeharto menjabat presiden RI. Suatu kali Ali Moertopo
menemui Sumitro di Bangkok, dan bertanya, "Apakah Pak Mitro bersedia
kembali?" Sumitro bilang, "You just remain yourself, and I just remain
myself." Kemudian, Menlu Adam Malik, yang berkunjung ke Bangkok, mempertebal
keyakinan Sumitro untuk pulang ke Tanah Air.
Sesudah resmi menjadi presiden, Soeharto menerima Sumitro di Cendana, 29
Mei 1968. Ia meminta kesediaan Sumitro membenahi ekonomi yang ambruk.
Inflasi 600% lebih, kala itu.
Sumitro akhirnya dilantik sebagai Menteri Perdagangan pada 27 Maret
1968. Tanggal 6 Juni 1968 susunan menteri Kabinet Pembangunan I
diumumkan. Selanjutnya ia diangkat menjadi Menteri Negara Riset Nasional
(Menristek) pada Kabinet Pembangunan II.
Menjadi Konsultan
Sekeluar dari kabinet tahun 1978, Penggemar kopi dan perokok berat ini
menjadi konsultan. Juga menulis buku. Dalam kurun waktu 1942-1994,
ekonom yang fasih berbahasa asing antara lain bahasa Belanda, bahasa
Inggris, dan bahasa Spanyol ini telah menulis 130 buku dan makalah dalam
bahasa Inggris.
Sejak 1982 ia mengurusi Induk Koperasi Pegawai Negeri (IKPN). Ia sempat
menjadi komisaris Bank Niaga, Bank Universal, dan Bank Kesejahteraan.
Pada 18 September 1992 - Desember 1992 Sumitro ditunjuk sebagai preskom
Astra.
Buku terakhir yang ditulisnya adalah Jejak Perlawanan Begawan Pejuang
yang diterbitkan Pustaka Sinar Harapan, April 2000. Berbagai tanda
penghargaan yang diperolehnya baik dari dalam negeri maupun luar negeri
antara lain Bintang Mahaputra Adipradana (II), Panglima Mangku Negara,
Kerajaan Malaysia, Grand Cross of Most Exalted Order of the White
Elephant, First Class dari Kerajaan Thailand, Grand Cross of the Crown
dari Kerajaan Belgia serta yang lainnya dari Republik Tunisia dan
Perancis.
Tantangan
Di usia senjanya, cobaan bagai badai datang bagi keluarga Sumitro.
Karier putra ketiganya, Prabowo Subianto, di bidang militer, tamat.
Menantunya, Sudradjat Djiwandono, suami Biantiningsih, putri sulung,
dicopot dari jabatan sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI) hanya 10 hari
menjelang masa jabatannya habis. Putra bungsunya, Hashim, diterpa banyak
kesulitan dalam usaha.
Meski demikian, Sumitro yang sudah mengecap asam garam kehidupan tetap
memegang pedoman hidupnya, “Smiling in the face of adversity/Contemptous
of danger/Undaunted in defeat/ Magnanimous in victory (Tersenyum
menghadapi kemalangan/ Berani menantang bahaya/Tegar dalam
kekalahan/Rendah hati akan kemenangan). Pedoman dalam bentuk sajak
itulah yang ditanamkannya pada putra-putrinya untuk tetap bertahan dalam
menghadapi segala kesulitan.
"I've been through worst. Ini bukan yang pertama kali!" katanya lantang.
"Ujian buat saya dalam kehidupan jauh lebih dari itu, habis dari menteri
lalu tiba-tiba jatuh jadi buronan, ha-ha-ha!" tutur pria yang suka
bicara ceplas-ceplos ini.
Kisah ‘Suka Ceplas Ceplos’
Gayanya yang ceplas-ceplos dan blak-blakan menjadi ciri khas. Sebagai
"begawan" ekonomi, Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo memang selalu
kritis. Setelah menjadi besan Presiden Soeharto pun ia tetap melancarkan
kritik tajam terhadap jalannya roda pembangunan. Baginya, perkawinan
anak laki-lakinya Letjen Prabowo Subianto dengan Siti Hediyati (putri
Soeharto) pada Mei 1983 hanyalah historical accident.
Salah satu kritiknya yang tajam ialah pernyataannya tentang kebocoran
30% dana pembangunan yang dilansir di Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi
Indonesia (ISEI) ke-12 di Surabaya, November 1993. ISEI sendiri
didirikan Sumitro tahun 1955.
Bila Sumitro - yang pada 1985 menjadi anggota seven eminent persons
dengan tugas menyusun rekomendasi kepada GATT (General Agreement on
Tariffs and Trade) - sudah kelewat keras mengkritik, biasanya menantunya
datang kepadanya untuk menyampaikan pesan Presiden Soeharto.
"Ada apa, Tiek? Ada pesan dari Bapak?" sambut Sumitro.
"Ya, Bapak bilang, 'Tiek, mertuamu sudah priyayi sepuh kok masih radikal
saja'!" ujar Siti Hediyati alias Titiek Prabowo.
"Ya, saya memang sudah terlalu tua untuk mengubah diri!" jawab Sumitro
enteng.
Masih soal sinyalemen kebocoran itu, ketika bertemu Sumitro, Soeharto
langsung berkata, "Kok, Pak Mitro suaranya begitu?"
Sumitro menjelaskan, sejak mahasiswa ia biasa bicara apa adanya, melihat
suatu masalah lalu mencari problemnya kemudian mencari pemecahannya.
"Dalam hal ini problemnya apa? Banyak. Pemborosan. Orang bilang ekonomi
biaya tinggi.
Bagaimana ini, lalu saya cari fakta, dan faktanya memang begitu. Kalau
Bapak ingin fakta, tanya pada Biro Pusat Statistik," ucap Sumitro,
penerima Bintang Mahaputra Adipradana II.
Dengan nada agak sinis Sumitro menambahkan, "Saya tidak punya antena ke
angkasa luar, Pak. Ini hitung-hitungan berdasarkan analisis ilmiah."
"Alhasil, ini bukan pat gulipat, angka 30% bukan datang dari langit,
atau dari paranormal Permadi!" tegas Sumitro, yang pada 1953 oleh Sekjen
PBB diangkat sebagai anggota lima ahli dunia (group of five top
experts).
Presiden memahami penjelasan itu namun ia menekankan, "Tapi, mbok ya
jangan disiarkan, Pak Mitro."
Ketika krisis ekonomi semakin memukul Indonesia, akhir 1997, Sumitro
kembali membuat pernyataan tajam. Dalam tubuh ekonomi nasional melekat
berbagai macam penyakit, seperti distorsi dalam bentuk monopoli,
oligopoli, kartel, proteksi yang berlebihan, dan subsidi untuk
barang-barang tertentu.
Sumitro melukiskan, "Kalau kita hanya bicara ekonomi moneter, obatnya
cukup Aspirin. Tapi kalau institutional disease, sudah perlu
antibiotika. Dan saya yakin bisa diatasi dengan antibiotika, tidak perlu
sampai diamputasi, karena masih ada kesempatan untuk segera bertindak.
Namun, paket untuk mengatasi disease itu harus dilakukan tanpa pandang
bulu dan tak boleh ada intervensi." (Kompas, 11/1/1998).
Dicuekin Bu Tien
Menanggapi soal adanya kolusi antara oknum pejabat dengan oknum
konglomerat, Sumitro menegaskan, "Saya tidak setuju ada kolusi dengan
alasan apa pun. Hal itu harus diberantas!"
Dalam hal ini ia punya pengalaman menarik. Ada pengusaha yang berusaha
"menyogok" dengan mengirim bunga kepada istrinya. Di balik bunga itu
terselip perhiasan emas dan berlian! Sumitro memanggil sekretarisnya,
Babes Sumampouw, "Babes, apa-apaan ini. Kirim kembali, pulangkan!"
Pengusaha itu datang mengeluh, "Pak Mitro, mengapa begitu?" Sumitro pun
menjawab, "Hati-hati kamu, ya, lain kali. Kamu masih untung saya
menteri. Sembrono kamu, kasih perhiasan kepada istri saya. Enggak ada
orang lain yang berhak memberi perhiasan kepada istri saya. Itu 'kan
menghina seorang suami."
Pengalaman lain, usai menyelesaikan tender impor cengkeh, Sumitro
dikejutkan oleh laporan Ali Moertopo bahwa Ibu Tien Soeharto marah-marah
kepadanya. Ibu Tien berharap Sukamdani yang mendapat tender, tapi
kenyataannya yang menang Probosutedjo dan Liem Sioe Liong.
Sejak peristiwa itu, lebih dari setahun, Ibu Tien tak mau menegur
Sumitro. Kalau mereka berjumpa, Ibu Negara itu melengos, membuang muka.
Biarpun begitu, terhadap Dora Sigar, istri Sumitro, sikap Ibu Tien tetap
baik dan mau mengajak bicara.
Rendah Hati
Meski lima kali menjabat menteri di masa Orde Lama dan Orde Baru, toh ia
tetap rendah hati. Seperti yang terjadi ketika ia menghadiri suatu
resepsi pernikahan.
"Monggo ... monggo, Pak, terus lajeng kemawon (Silakan, Pak, terus saja
ke depan)," pinta anggota panitia, mempersilakan Prof. Dr. Sumitro
Djojohadikusumo yang berada dalam antrean para tamu untuk menyalami
mempelai.
"Sampun ... matur nuwun (terima kasih)," tolak Pak Cum, panggilan
akrabnya. Sementara itu para tetamu VIP dan mereka yang merasa VIP,
saling menyalip maju dan sibuk berfoto ria bersama pengantin.
***
Pada usia menjelang 84 tahun, Sumitro meninggal dunia Jumat (9/3/2001)
pukul 00.00 di Rumah Sakit Dharma Nugraha, Rawamangun, Jakarta Timur,
setelah beberapa lama dirawat karena sakit jantung. Di bawah iringan
gerimis dan tahlil masyarakat, jenazahnya dikebumikan di Pemakaman Umum
Karet Bivak, Jakarta Pusat, Jumat (9/3/2001) siang sekitar pukul 14.35.
Sedikitnya 1.000 warga sekitar mengikuti prosesi pemakaman.
Tampak hadir melayat antara lain Gus Dur (presiden saat itu), Ketua MPR
Amien Rais, KSAD Jenderal TNI Endriartono Sutarto, Ketua DPR Akbar
Tandjung, pengusaha Ciputra, bekas Mentrans AM Hendropriyono,
Pangkostrad Letjen TNI Ryamizard Ryacudu, Soeripto, Letjen (Purn)
Sayidiman, bekas Pangkostrad Jenderal (Purn) Kemal Idris, Wakasad Letjen
Kiki Syahnakri, bekas Menkeu Radius Prawiro, Menkimpraswil Erna
Witoelar, Menko Perekonomian Rizal Ramli, dan Gubernur BI Syahril
Sabirin. ►atur
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
|
|