|
C © updated 08102005 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
► e-ti/kps |
|
|
Nama:
Friedrich Silaban
Lahir:
Bonandolok-Sumatera Utara, 16 Desember 1912
Wafat:
Jakarta, 14 Mei 1984
Agama:
Kristen Protestan
Istri:
Letty Kievits
Anak:
10 orang
Ayah:
Jonas Silaban.
Ibu:
Noria boru Simamora
Profesi:
Arsitek
Julukan:
"By the grace of God "
Pendidikan:
= H.I.S. di Narumonda Tapanuli, tamat tahun 1927,
= K.W.S. (Koningen Wilhelmina School) di Jakarta, tamat 1931
= Academic van Bouwkunst Amsterdam, Belanda (1950)
Pengalaman Pekerjaan:
= Pegawai Kotapraja Batavia
= Opster Zeni AD Belanda
= Kepala Zenie di Pontianak Kalimantan Barat (1937)
= Kepala DPU Kotapraja Bogor hingga 1965.
= Wakil Kepala Proyek Pembangunan Mesjid Istiqlal Jakarta sampai akhir
hayatnya
Tanda Kehormatan:
= Satya Lencana Pembangunan yang disematkan oleh Presiden Sukarno
(1962)
= Honorary Citizen (warga negara kehormatan) dari New Orleans, Amerika
Serikat.
= Qubah Mesjid Istiqlal telah diakui Universitas Darmstadt, Jerman Barat
sebagai hak
cipta Silaban, sehingga disebut sebagai "Silaban Dom", atau qubah
Silaban
Karya-karya:
= Mesjid Agung Istiqlal
= Monumen Nasional
= Gelora Senayan
= Rumah Walikota Bogor (1935)
= Hotel-hotel
= Monumen mengenang orang-orang Belanda yang gugur melawan Nazi Jerman
|
|
|
|
|
|
|
FRIEDRICH SILABAN |
|
|
Friedrich Silaban (1912-1984)
Arsitek Pengukir Sejarah Toleransi
Dia arsitek pengukir sejarah toleransi beragama di negeri ini. Bung
Karno menjulukinya sebagai "by the grace of God" karena kemenangannya
mengikuti sayembara desain Mesjid Istiqlal. Friedrich Silaban, seorang
penganut Kristen Protestan yang taat kelahiran Bonandolok, Sumatera
Utara, 16 Desember 1912, wafat dalam usia 72 tahun pada hari Senin, 14
Mei 1984 RSPAD Gatot Subroto Jakarta, karena komplikasi beberapa
penyakit yang dideritanya.
Friedrich Silaban, Arsitek Mesjid Istiqlal
Toleransi beragama yang tinggi sedari dulu telah ditunjukkan oleh umat
beragama di Indonesia, baik yang Muslim, Nasrani maupun yang lainnya.
Apabila satu pemeluk agama tertentu suatu ketika membangun tempat
ibadah, tidak jarang kemudian dibantu oleh umat agama lain. Demikian
halnya dalam pembangunan Mesjid Agung Istiqlal. Mesjid yang di awal abad
21 merupakan mesjid terbesar di Asia Tenggara itu, dalam proses
pembangunannya telah menyimpan satu sejarah toleransi beragama yang
sangat tinggi.
Disebutkan demikian, karena sang arsitek dari mesjid tersebut adalah
seorang penganut Kristen Protestan yang taat. Tidak ada yang dibuat-buat
sehingga menjadi demikian, namun begitulah memang gambaran toleransi
beragama antara umat di negeri ini sejak dulu. Kebesaran jiwa dari umat
Islam sangat jelas terlihat disini. Mereka mau menerima pemikiran atau
desain tempat ibadah mereka dari seorang yang non muslim. Demikian juga
dengan Friedrich Silaban, sang arsitek, telah menunjukkan kebesaran
jiwanya dengan terbukanya hati dan pikirannya untuk mengerjakan mesjid
yang sangat monumental tersebut.
Pekerjaan karya besar demikian, memang hanya mungkin dilakukan Silaban
dengan jiwa besarnya tadi. Sebab dengan perbedaan latar belakang
kepercayaan tersebut, maka ia harus terlebih dahulu mampu menjawab
pertanyaan yang timbul dalam hati nuraninya sendiri. Pertanyaan dimaksud
adalah pantaskah ia sebagai seorang pemeluk Agama Kristen Protestan
membuat desain sebuah mesjid?
Sedangkan mesjid dalam hal ini bukanlah sekedar bangunan yang terdiri
dari atap genting, dengan dinding batu bata semata. Melainkan merupakan
bangunan yang disucikan sebagai tempat umat Islam beribadah dan
melakukan kegiatan religius dan sosial lainnya. Apalagi mesjid disini
adalah Mesjid Agung Istiqlal (Istiqlal artinya merdeka).
Mesjid yang diniatkan untuk melambangkan kejayaan dan kemerdekaan bangsa
Indonesia. Mesjid yang merupakan suatu bangunan monumental kebanggaan
seluruh umat Islam di Indonesia, dan akan tercatat sebagai mesjid
terbesar di Asia Tenggara dijamannya. Karenanya, bangunan ini akan
‘berbicara’ tidak hanya puluhan tahun tapi sampai ratusan tahun kelak.
Pencetus ide pembangunan mesjid ini sendiri adalah KH Wahid Hasyim yang
kala itu menjabat sebagai Menteri Agama RI pertama. Selanjutnya, pada
1950 ayah KH Abdurrahman Wahid (Presiden RI keempat) ini bersama-sama
dengan H Agus Salim, Anwar Tjokroaminoto, Ir Sofwan dan sekitar 200-an
orang tokoh Islam pimpinan KH Taufiqorrahman melembagakannya dengan
membentuk Yayasan Mesjid Istiqlal.
Lembaga ini kemudian dikukuhkan di hadapan notaris Elisa Pondang pada
tanggal 7 Desember 1954. Yayasan Mesjid Istiqlal mengharapkan adanya
mesjid yang kelak dapat menjadi identitas bagi mayoritas umat Islam di
Indonesia. Gagasan dimaksud, juga mendapat dukungan dari Ir. Soekarno,
Presiden RI ketika itu. Bahkan, presiden bersedia membantu pembangunan
mesjid.
Demi mendapatkan hasil terbaik, desain mesjid sengaja diperlombakan.
Untuk itu dibentuklah tim juri yang beranggotakan Prof. Ir. Rooseno, Ir.
H Djuanda, Prof. Ir. Suwardi. Hamka, H. AbubakarAceh dan Oemar Husein
Amin yang diketuai langsung oleh Ir. Soekarno.
Setelah melalui beberapa kali pertemuan di Istana Negara dan Istana
Bogor, maka pada 5 Juli 1955 tim juri memutuskan desain kreasi Silaban
yang berjudul ‘Ketuhanan’ jadi pemenangnya. Dia menciptakan karya besar
untuk saudaranya sebangsa yang beragama Islam, tanpa mengorbankan
keyakinannya pada agama yang dianutnya.
Sedangkan lokasinya diputuskan di Wilhelmina Park, bekas benteng
kolonial Belanda. Karena lokasi yang terletak di depan Lapangan Banteng,
Jakarta Pusat itu tergolong sepi, gelap, dan tembok-tembok bekas
bangunan benteng telah ditumbuhi lumut dan ilalang menyemak di
mana-mana, maka masyarakat, alim ulama sampai ABRI turun bahu-membahu
bekerja bakti membersihkan lokasi tersebut pada tahun 1960. Dan setahun
kemudian, tepatnya pada tanggal 24 Agustus 1961, pemancangan batu
pertamapun dilaksanakan oleh Ir. Soekarno.
Pembangunan mesjid ini memakan waktu kurang lebih sepuluh tahun.
Panjangnya waktu ini karena pembangunannya memang sempat tersendat oleh
krisis ekonomi dan iklim politik yang memanas. Disamping itu, kebetulan
pula pembangunan mesjid ini berbarengan dengan pembangunan monumen
lainnya, seperti Gelora Senayan (sekarang Gelora Bung Karno) dan Monas.
Bahkan meletusnya peristiwa pemberontakan G 30 S PKI pada 1965,
mengakibatkan pembangunannya sempat berhenti total. Dan baru dimulai
kembali setelah Menteri Agama KH. M. Dahlan mengupayakan penggalangan
dana. Kepengurusanpun diganti dan ditangani langsung oleh KH. Idham
Chalid yang bertindak sebagai koordinator.
Mesjid dengan arsitektur bergaya modern yang memiliki luas bangunan
sekitar empat hektar dengan luas tanah mencapai sembilan setengah hektar
dan terbagi atas beberapa bagian, yakni gedung induk dan qubah, gedung
pendahuluan dan emper penghubung, teras raksasa dan emper keliling,
menara, halaman, taman, air mancur, serta ruang wudhu itu akhirnya
terselesaikan juga. Penggunaannya kemudian diresmikan oleh Presiden
Soeharto pada 22 Februari 1978.
Di Mesjid ini, beragam kegiatan diselenggarakan, diantaranya kuliah
zuhur, taklim magrib, pengajian kaum ibu, pengajian bulanan, bimbingan
qiro atul Qur’an, pengajian tinggi Istiqlal, pusat perpustakaan Islam
Indonesia, TK Islam, dan lain-lain.
Pergulatan Hati Silaban.
Menjawab pertanyaan hati nuraninya mengenai pantas tidaknya dirinya
membangun sebuah mesjid, maka sebelum Silaban mengikuti sayembara desain
Mesjid Istiqlal tersebut, ia minta nasehat dari Monsigneur Geisse,
seorang uskup dari Bogor. Dan terutama memohon petunjuk dari Tuhan
Allahnya sendiri.
"Oh, Tuhan! Kalau di MataMu itu benar, saya sebagai pengikut Yesus turut
dalam sayembara pembuatan Mesjid Besar buat Indonesia di Jakarta.
Tolonglah saya! Tunjukkan semua jalan-jalannya dan ide-idenya, supaya
saya sukses. Akan tetapi Tuhan! kalau di MataMu itu tidak benar, tidak
suka Tuhan saya turut maka gagalkanlah semua usaha saya. Bikin saya
sakit atau macam-macam hingga saya tak dapat turut dalam sayembara",
begitu doa Silaban minta petunjuk Tuhan.
Ternyata Arsitek kelahiran Bonandolok (sebelah barat Danau Toba),
Sumatera Utara, 16 Desember 1912 ini tidak mengalami hambatan apa-apa
ketika hendak mengikuti sayembara. Dengan demikian ia berkesimpulan
bahwa Tuhan mengijinkannya, maka iapun mengikuti. Begitulah akhirnya
hingga ia dipilih sebagai pemenang pertama.
Desainnya yang menerapkan prinsip minimalis pada Mesjid Istiqlal
tersebut serta penataan ruangan-ruangannya yang terbuka di kiri-kanan
bangunan utama dengan tiang-tiang lebar diantaranya sehingga memudahkan
sirkulasi udara dan penerangan yang alami kedalamnya, membuat desain
Silaban ini sangat cocok untuk mesjid yang berdaya tampung 100.000-an
tersebut.
Kisah dengan Bung Karno.
Arsitektur yang satu ini memang seorang yang selalu kuat mempertahankan
apa yang sudah diyakininya benar. Sifatnya yang demikian, telah juga
menggoreskan kenangan manis dalam perjalanan hidupnya. Sifat pendirian
yang konsisten itu telah membuat hubungannya dengan Bung Karno, Presiden
Republik Indonesia pertama, menjadi agak menarik dan unik. Cerita
dimaksud diungkapkannya pada Solichin Salam dalam satu wawancara pada
bulan Pebruari 1978.
Secara jujur dikatakannya, bahwa arsitekturlah yang membuat hubungannya
dengan Bung Karno menjadi unik. Menurutnya, selama 24 tahun dia sering
berselisih pendapat dengan Bung Karno. Namun dalam perselisihan pendapat
itu, katanya, tidak jarang Bung Karno mengakui terus terang bahwa beliau
yang salah dan Silabanlah yang benar.
Bagi Anak kelima dari Jonas Silaban (ayah) dan Noria boru Simamora
(ibu), ini pengalaman-pengalaman dengan Presiden Soekarno itu menjadi
kenangannya sampai mati. “Saya sudah bekerja 47 tahun terus menerus
sampai sekarang, tetapi belum pernah ada pemimpin yang mengaku salah
pendapat terhadap saya, selain dari Bung Karno. Contoh untuk ini saya
sebutkan antara lain masalah kompleks Bangunan Olah Raga (sebelumnya
Asian Games-red) Senayan", kata Silaban saat itu.
"Karena adalah suatu kekeliruan untuk membuat suatu ‘sport complex’ yang
berkaliber internasional atau dua bidang tanah yang terpisah oleh sebuah
jalan raya yang nanti akan menjadi jalan raya yang tersibuk di Asia
Tenggara. Ditilik dari sudut manajemen dan organisasi, ini akan
menyulitkan secara terus menerus dan berganda. Betul saya lihat di sini
(gambar) direncanakan sebuah tunnel raksasa, di bawah jalan Jenderal
Sudirman, tetapi itu terlalu ‘onna tuurijk’.
Di samping itu ‘tunnel’ demikian akan terus kebanjiran, sehingga
membutuhkan pompa raksasa untuk menjamin kekeringannya. Tenaga listrik
untuk itu dan untuk penerangan ‘tunnel’ demikian besarnya, sehingga
cukup untuk sebuah kota menengah. Tetapi bukan itu saja keberatan saya.
Keberatan terbesar adalah masalah lalu-1intas. Duku Atas terlalu dekat
kepada bundaran Jalan Thamrin seperti tadi saya telah katakan, maka
jalan Sudirman akan menjadi jalan raya tersibuk di seluruh Asia
Tenggara. Sukar dapat dibayangkan, betapa macetnya lalu lintas apabila
ada ‘sport festival’di ‘Asian Games Complex’ itu” katanya.
Suami dari Letty Kievits, ini lebih lanjut mengatakan, untuk menonton
pertandingan pada pukul 17.00 (sore), rakyat sudah harus berkumpul di
Stadion sejak pukul 13.00 (siang) kalau tidak, mereka tidak akan
kebagian tempat. Sementara kalau presiden mau jalan, selalu didahului
‘voorrijders’ dengan sirenenya, sehingga tidak pernah mengalami apa yang
harus dihadapi oleh rakyat.
“Jadi kalau tokh Pemerintah mempertahankan Duku Atas sebagai tempat
untuk Asian Games itu, maka sudah dapat diramalkan bahwa lalu lintas
pada hari-hari ada acara sport di Asian Games Complex, di jalan itu akan
macet total. Kalau Presiden tokh mempertahankan tanah Duku Atas itu
dengan rencana Rusia yang pada hari ini saya lihat, maka saya khawatir,
bahwa kelak anak-anak Guntur akan nyeletuk: Kok kakek kami bodoh amat
membuat kompleks stadion begitu”, begitu kritik Silaban dengan jujur
kepada Bung Karno ketika itu.
Menurutnya, ketika itu Bung Karno berkomentar, "Ya, Presiden Soekarno
yang salah dan Silaban yang benar". Itulah kenangan yang tak pernah
dilupakannya sampai akhir hidupnya.
Setelah menyelesaikan pendidikan formal di H.I.S. Narumonda, Tapanuli
tahun 1927, Koningen Wilhelmina School (K.W.S.) di Jakarta pada tahun
1931, dan Academic van Bouwkunst Amsterdam, Belanda pada tahun 1950, Ia
kemudian bekerja menjadi pegawai Kotapraja Batavia, Opster Zeni AD
Belanda, Kepala Zenie di Pontianak Kalimantan Barat (1937) dan sebagai
Kepala DPU Kotapraja Bogor hingga 1965.
Di zaman kolonial, ayah dari 10 orang anak dan kakek 5 orang cucu, ini
sudah menunjukkan prestasi-prestasi yang gemi1ang, seperti misalnya ia
berhasil memenangkan sayembara perencanaan rumah Walikota Bogor (1935)
dan beberapa hotel. Dalam sayembara-sayembara tersebut, hanya dialah
satu-satunya arsitek pribumi. Karyanya dalam membuat monumen mengenang
orang-orang Belanda yang gugur melawan Nazi Jerman di masa Perang Dunia
II, membuatnya mendapat pujian dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda
saat itu. Telah banyak karyanya yang sungguh mengagumkan, diantaranya
adalah Mesjid Istqlal, Monumen Nasional, Gelora Senayan dan lain-lain.
Karya-karyanya itu jualah yang menobatkannya menjadi orang yang dianggap
pantas mendapat penghargaan-penghargaan, baik dari bangsanya sendiri
maupun dari luar bangsanya. Penghargaan dimaksud antara lain berupa
tanda kehormatan Satya Lencana Pembangunan yang disematkan oleh Presiden
Sukarno pada tahun1962. Penghargaan Honorary Citizen (warga negara
kehormatan) dari New Orleans, Amerika Serikat. Di samping itu Qubah
Mesjid Istiqlal telah diakui Universitas Darmstadt, Jerman Barat sebagai
hak ciptanya, sehingga disebut sebagai "Si1aban Dom", atau qubah
Si1aban.
Tokoh yang dijuluki Bung Karno sebagai "by the grace of God" karena
kemenangannya mengikuti sayembara desain Mesjid Istiqlal, ini akhirnya
tutup usia di RSP AD Gatot Subroto Jakarta, pada hari Senin, 14 Mei
1984, karena komplikasi beberapa penyakit yang dideritanya.
Ia pergi dengan hati bangga, karena hasil karya besarnya telah menjadi
kenyataan. Silaban yang sampai akhir hayatnya masih tetap menjabat
sebagai Wakil Kepala Proyek Pembangunan Mesjid Istiqlal Jakarta itu akan
tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai arsitek dari Mesjid Istiqlal.
Sebuah mesjid yang termegah di Asia Tenggara pada jamannya.
Dia pergi setelah mengukir sejarah, suatu sejarah yang lebih tinggi dari
karya sebuah hasil seni atau teknologi. Tapi adalah sejarah kemanusiaan,
kebersamaan, toleransi. Namanya akan dikenang sepanjang zaman. ►e-ti/marjuka,
Sumber: Wajah-wajah Nasional oleh: Solichin Salam dan
berbagai sumber lain.
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
|
|