|
C © updated
13092003 - 14102004 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
►e-ti/yus |
|
|
Nama:
DR. H.M. HIDAYAT NUR WAHID, M.A
Lahir:
Klaten, 8 April 1960
Agama:
Islam
Jabatan:
= Ketua MPR 2004-2009
= Ketua Umum Partai Keadilan Sejahtera
Isteri:
Hj. Kastrian Indriawati
Anak:
1. Inayatu Dzil Izzati
2. Ruzaina
3. Alla Khairi
4. Hubaib Shidiqi
Pendidikan:
- SDN Kebondalem Kidul I, Prambanan Klaten, 1972
- Pondok Pesantren Walisongo, Ngabar Ponorogo, 1973
- Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, 1978
- IAIN Sunan Kalijogo, Yogyakarta ( Fakultas Syari’ah), 1979
- Fakultas Dakwah & Ushuluddin Universitas Islam Madinah Arab Saudi, 1983
Judul Skripsi “ Mauqif Al-Yahud Min Islam Al Anshar”
- Program Pasca Sarjana Universitas Islam Madinah Arab Saudi, jurusan
Aqidah, 1987
Judul Skripsi “ Al Bathiniyyaun Fi Indonesia,”Ardh wa Dirosah”
- Program Doktor Pasca Sarjana Universitas Islam Medina, Arab Saudi,
Fakultas Dakwah & Ushuludiin, Jurusan Aqidah, 1992
Judul Diskripsi “Nawayidh lir Rawafidh Lil Barzanji, Tahqiq wa Dirosah”
Pekerjaan:
1. Dosen Pasca Sarjana Magister Studi Islam, UMJ
2. Dosen Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum, UMJ
3. Dosen Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Dosen Fakultas Ushuluddin (Program Khusus) IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
5. Dosen Pasca Sarjana Universitas Asy-Syafi’iyah, Jakarta
6. Ketua LP2SI (Lembaga Pelayanan Pesantren dan Studi Islam) Yayasan Al-Haramain,
Jakarta
7. Dewan Redaksi Jurnal “Ma’rifah”
8. Ketua Forum Dakwah Indonesia
Organisasi:
- Anggota PII, 1973
- Andalan Koordinator Pramuka Gontor bidang kesekretariatan, 1977 – 1978
- Training HMI IAIN Yogyakarta, 1979
- Sekretaris MIP PPI Madinah, Arab Saudi, 1981 – 1983
- Ketua PPI Arab Saudi, 1983 – 1985
- Peneliti LKFKH (Lembaga Kajian Fiqh dan Hukum) Al Khairot
- Anggota Pengurus badan Wakaf Pondok Modern Gontor, 1999
Seminar dan Karya Ilmiah:
1. Menghadiri undangan MASG di IIlinois, AS, 1994 (Menyampaikan prasaran)
2. Menghadiri undangan International Islamic Student Organisation di
Istambul, Turki, 1996
3. Seminar Internasional madrasah wak Tanjung Al-Islamiyyah, Singapore,
1998 (Menyampaikan makalah).
4. Menghadiri undangan Seminar International dari Moslem Association of
Britain di Manchester dan London.
5. Seminar mahasiswa Indonesia di Malaysia, 1999 (Menyampaikan makalah).
6. Seminar Internasional dari LIPIA dari Universitas Imam Muhammad bin
Saud Riyadh, di Jakarta (Menyampaikan makalah), 1999 bersama KH. Irfan
Zidny, MA, Prof.Ismail Sunni dan KH. Abdullah Syukri Zarkasi, MA.
7. Menghadiri seminar Internasional di Universitas Ibnu Khaldun, Bogor,
bekerjasama dengan Universitas Imam Muhammad Saud, Jakarta 1999.
8. Menghadiri undangan festival nasional dan seminar internasional
Janadriyah, Riyad, Arab Saudi (tahun 2000) bersama Prof. Dr. Nurcholis
Madjid dan Prof. Dr. Amien Rais.
9. Menghadiri undangan seminar Perkembangan Islam di Eropa dari Islamiska
Forbundet I Sverige, Stockholm, Swedia.
10. Berbagai seminar di dalam negeri
11. Membimbing dan menguji tesis master mahasiswa pasca sarjana
Universitas Muhammadiyah dan IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Kata Pengantar buku-buku terjemahan:
• Prinsip-prinsip Islam untuk kehidupan oleh Prof. Sholeh Shawi
• Ensiklopedi Figh wanita oleh Prof. Abdul Karim Zaid (cetakan Rabbani
Pres)
• Pengantar studi Islam oleh Ust. Prof. Yusuf Al Qordhowi (cetakan Al-Kautsar)
• As-Sunnah sebagai sumber ilmu dan kebudayaan oleh Ust. Prof. Yusuf Al
Qordhowi (cetakan Al-Kautsar)
• Fitnah Kubro, klarifikasi sikap para sahabat oleh Prof. Amhazun (cetakan
Al-Haramain)
• Kajian atas kajian Hadits Misogini (dalam buku Feminisme)
• Tadabbur Surah Al Kahfi (dalam bulletin Tafakkur)
• Tadabbur Surah Yasin (dalam bulletin Tafakur)
• Editor terjemah tafsir Ibnu Katsir
• Menulis rubrik HIKMAH di harian REPUBLIKA
• Beberapa makalah diseminar-seminar
• Tajdid sebagai sebuah harakah (jurnal Ma’rifah)
• Revivalisme Islam dan Fundamentalisme sekuler dalam sorotan sejarah (dalam
buku menggugat gerakan pembaharuan Islam)
• Inklusivisme Islam dalam literatur klasik (dalam jurnal Profetika)
Alamat :
Jl. H. Rijin No. 196, Jati Makmur, Pondok Gede, Bekasi
Kantor Pusat PKS
Gedung Dakwah Keadilan
Jl. Mampang Prapatan Raya No 98 D-E-F
Jakarta - Indonesia
Telp +62-21-7995425
Fax +62-21-7995433
|
|
|
|
|
|
|
Berita Utama MTI 39 (06)
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menargetkan perolehan suara Pemilu
legislatif 2009 sebesar 20 persen. Jika target itu terpenuhi, PKS akan
mengajukan Calon Presiden (Capres) sendiri. Dua kader PKS paling
berpeluang jadi Capres atau Cawapres (Calon Wakil Presiden) adalah
Hidayat Nurwahid atau
Tifatul Sembiring.
=
1
2
3 4
5
6 =
Dr HM Hidayat Nur Wahid, MA (1)
Kedepankan Moral dan Dakwah
Ia politisi, uztad dan cendekiawan yang bergaya lembut serta
mengedepankan moral dan dakwah. Sosoknya semakin dikenal masyarakat luas
setelah ia menjabat Presiden Partai Keadilan (PK), kemudian menjadi Ketua Umum
Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai ini memperoleh suara signifikan
dalam Pemilu 2004 yang mengantarkannya menjadi Ketua MPR 2004-2009. Kepemimpinnya memberi warna tersendiri dalam peta perpolitikan
nasional.
Setelah terpilih menjadi Ketua MPR, dia pun mengundurkan diri dari jabatan
Ketua Umum DPP PKS, 11 Oktober 2004. Majelis Surya DPP PKS memilih Tifatul
Sembiring menggantikannya sampai akhir periode (2001-2005).
Sudah menjadi komitmen partainya, setiap kader tidak pantas merangkap
jabatan di partai manakala dipercaya menjabat di lembaga kenegaraan dan
pemerintahan (publik). Hal ini untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan
jabatan. Sekaligus untuk dapat memusatkan diri pada jabatan di lembaga
kenegaraan tersebut.
Dosen Pasca Sarjana UAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta ini tidak pernah bercita-cita jadi politisi.
Namun setelah memasuki kegiatan politik praktis namanya melejit, bahkan
dalam berbagai poling sebelum Pemilu 2004 namanya berada di peringkat atas sebagai salah seorang calon Presiden
atau Wakil Presiden. Namun dia mampu menahan diri, tidak bersedia
dicalonkan dalam perebutan kursi presiden kendati PKS dengan perolehan
suara 7 persen lebih dalam Pemilu Legislatif berhak mengajukan calon
presiden dan calon wakil presiden. Dia menyatakan akan bersedia dicalonkan
jika PKS memperoleh 20 persen suara Pemilu Legislatif.
Pada Pemilu Presiden putaran pertama PKS mendukung Capres-Cawapres Amien
Rais-Siswono. Lalu karena Amien-Siswono tidak lolos ke putaran kedua, PKS
mendukung Capres-Cawapres Susilo BY dan Jusuf Kalla dalam Pilpres putaran
kedua. Dukungan PKS ini sangat signifikan menentukan kemenangan pasangan
ini.
Kemudian partai-partai pendukung SBY-Kalla plus PPP (keluar dari Koalisi
Kebangsaan) yang bergabung di legislatif dengan sebutan populer Koalisi
Kerakyatan mencalonkannya menjadi Ketua MPR. Hidayat Nur Wahid
sebagai Calon Paket B (Koalisi Kerakyatan) ini terpilih menjadi Ketua MPR RI
2004-2009 dengan meraih 326 suara, unggul dua suara dari
Sucipto Calon Paket A (Koalisi Kebangsaan) yang meraih 324 suara, dan 3
suara abstain serta 10 suara tidak sah. Pemilihan berlangsung demokratis dalam Sidang
Paripurna V MPR di Gedung MPR,
Senayan, Jakarta 6 Oktober 2004.
Koalisi Kerakyatan mencalonkan Paket B yakni Hidayat Nur Wahid dari F-PKS
sebagai calon ketua dan AM Fatwa dari Fraksi Partai Amanat Nasional
(F-PAN), serta dua dari unsur Dewan Perwakilan Daerah (DPD) BRAy Mooryati
Sudibyo dari DKI Jakarta dan Aksa Mahmud dari Sulawesi Selatan
masing-masing sebagai calon wakil ketua. Sedangkan Koalisi Kebangsaan
mencalonkan Paket A yakni Sucipto dari Fraksi PDI Perjuangan sebagai
calon ketua, kemudian Theo L. Sambuaga dari Fraksi Partai Golkar dan dua
unsur DPD Sarwono Kusumaatmaja dari DKI Jakarta dan Aida Ismet Nasution
dari Kepulauan Riau, masing-masing sebagai calon wakil ketua.
Kepemimpinan di PKS
Dalam memimpin PKS, ia bertekad menjadikan partai ini merupakan solusi
bagi permasa-lahan bangsa. Dalam wawancara dengan Wartawan TokohIndonesia
DotCom, ia mengatakan, partainya tidak semata-mata ingin ikut dan
memenangkan Pemilu, melainkan kehadiran PKS harus merupakan solusi bagi
permasalahan bangsa. (Baca Wawancara)
PKS datang sebagai bagian dari solusi. Caranya adalah dengan tidak
menjalankan politik kotor, menghalalkan segala cara, politik yang
menolerir korupsi. Maka, kalau ada tokoh yang mempunyai massa besar tapi
moralitas Islamnya bermasalah, tidak mempunyai tempat di PK (PKS). Partai
ini lebih memilih menjadi partai yang kecil tapi signifikan ketimbang
harus merusak citra Islam hanya dengan dalih vote getter.
Begitu pula dalam memilih koalisi. PKS membuka diri untuk bekerja sama
dengan beragam partai yang tetap berkomitmen dengan politik yang bersih,
peduli, bermoral dan berpegang pada cita-cita reformasi.
Bagi PKS, dalam berpolitik keberkahan adalah hal yang utama. Kemenangan
bukan tujuan PKS. ”Itulah sebabnya kalau bukan lantaran pertolongan Allah
swt mustahil PK (PKS) bisa melangkah seperti sekarang. Ini semua bagian
dari tadbir rabbani (pengaturan Allah),” kata pria kelahiran Klaten 8
April 1960, yang juga aktif dalam gerakan menolak perang dan rencana
serangan militer Amerika Serikat ke Irak dan tindakan tidak
berperikemanusiaan Israel kepada Palestina.
Ia dalam memimpin PK sangat selektif dalam soal kepemimpinan dan
kepengurusan. Namun bukan berarti partai ini eksklusif. Karena menurutnya,
soal eksklusif atau tidak itu soal persepsi. Sebab, pada tingkat
konstituen, PKS terbuka terhadap siapa pun, termasuk kalangan nonmuslim.
Ia mengakui, dengan menyatakan diri sebagai partai Islam, PK (PKS) pernah
dianggap eksklusif, bahkan sempat dicap fundamentalis. ”Ya, itu bisa
eksklusif jika Islam dipahami sebagai sesuatu yang sangat terbatas dan
sangat angker. Tapi itu bisa inklusif jika Islam dipahami sebagai sebuah
paradigma,” katanya.
Sebagai sebuah paradigma, jelasnya, Islam sedikitnya meliputi empat hal.
Pertama, al-islam itu sendiri, yakni penyerahan diri kepada Allah Sang
Pencipta. Kedua, al-silm, yang berarti kedamaian. Ketiga, al-salam,
artinya kesejahteraan. Keempat, al-salamah, yang artinya keamanan atau
keselamatan.
Itulah nilai-nilai Islam yang berlaku universal. Tapi, menurut-nya, yang
terpenting memang perilaku kader PK itu sendiri. Apakah mereka bisa
bekerjasama secara konstruktif dengan pihak-pihak lain atau tidak. ”Sejauh
yang kami lihat, kawan-kawan PK, termasuk yang ada di lembaga perwakilan,
umumnya bisa bekerja-sama dengan pihak lain dalam membela kebenaran,” kata
alumnus Universitas Islam Madinah ini.
Dalam rangka memperluas dukungan, pihaknya tidak begitu saja mau menerima
orang. Menurutnya, kalau ada organisasi yang begitu saja mudah menerima
orang-orang yang biasa disebut ‘kutu loncat’ itu lantaran ia punya massa
atau sumber daya dana yang besar, maka itu menunjukkan bahwa organisasi
itu gagal dalam kaderisasi dan soliditasnya, apalagi untuk tingkat elit.
Dan pada gilirannya organisasi itu akan menjadi mandul.
Dalam sebuah partai, menurut-nya, ada dua hal yakni massa dan pemimpin.
Sama halnya dengan dakwah, kalau partai ini dipimpin oleh orang yang punya
massa banyak tapi secara moral bermasa-lah, misalnya berperilaku maling,
maka kita bukan lagi sedang men-jalankan Islam tapi malah menipu
masyarakat dan perpolitikan kita.
Ia menegaskan bahwa partainya tidak mau seperti itu. Karena pada
hakekatnya politik PKS adalah politik Islam yang asasnya Islam dan visinya
dakwah dan pelayanan.
Karena itu, PKS tidak perlu memasukkan hal-hal yang syubhat, apalagi yang
haram, walaupun hal itu bisa mendatangkan kepuasan. Sebab, menurutnya,
kalau itu dilakukan juga, maka yakinlah bahwa umur dakwah ini akan sangat
pendek. Sebentar saja akan muncul berbagai konflik yang luar biasa, fitnah
yang tidak karuan yang pada akhirnya akan mematikan dakwah.
Dalam bekerjasama dengan pihak lain, prinsipnya, PKS tidak pernah
memetakan pihak lain dalam posisi yang selalu benar atau selalu salah.
Meski demikian PKS selalu melihatnya secara kritis. Karena itu, katanya,
PKS tidak pernah pilih-pilih untuk bekerja sama, selama itu menyangkut
kemaslahatan dan membela kebenaran. Sebaliknya, PKS akan selalu tegas
menolak, jika itu menyangkut kemudaratan atau upaya mengaburkan kebenaran.
Selama kepemimpinannya, PKS selalu tampil simpatik dalam menyikapi
berbagai masalah dalam negeri maupun dunia. Termasuk dalam menyikapi
konflik antara orang Islam dan non Islam seperti di Maluku, PKS tidak
bersikap reaktif seperti Laskar Jihad. Juga dalam menyikapi ancaman perang
yang dilancarkan AS ke Irak. PKS melakukan demo besar-besaran, tetapi
sangat tertib dan simpatik. Hal ini didasari pemahaman kader partai ini
tentang Islam.
“Pemahaman ini menjadi landasan etis bagi kami dalam menyikapi suatu
peristiwa dan melakukan dakwah. Di satu sisi, kami memang mencoba memahami
bahwa gerakan-gerakan seperti itu merupakan akibat dari akumulasi
kekecewaan terhadap kelambanan pemerintah menangani berbagai kasus. Tapi
kami lebih memilih gerakan simpatik. Kami mencoba memberikan kontribusi
riil, seperti bantuan kemanusiaan bagi para pengungsi,” katanya.
Partai ini juga tidak ikut latah membentuk atau menggerakkan pasukan
ataupun satgas seperti dilakukan organisasi dan partai lain. Karena,
menurutnya, itu urusan negara, jangan memberi peluang masayarakat sipil
untuk berperang. Sebab, akibatnya akan lebih kacau. Islam sendiri
jelas-jelas melarang segala bentuk pengrusakan. Jangankan pembinasaan
terhadap sesama manusia, pengrusakan tempat ibadah agama lain pun tidak
diperbolehkan. Kecuali jika tempat tersebut telah beralih fungsi menjadi
tempat makar atau tempat maksiat. Itu pun yang melakukannya tetap harus
negara, bukan rakyat sipil.
Partai ini lebih memilih mempunyai kepanduan daripada laskar atau satgas.
Pandu ini berpakaian biasa, sikapnya pun ramah-tamah. Sebab, ia juga
berpandangan bahwa soal keamanan dan ketertiban adalah tugas aparat negara,
yakni tentara dan polisi. Maka yang perlu didorong adalah agar tentara dan
polisi harus profesional. Tidak perlu ikut merambah ke bidang-bidang lain,
misalnya lewat dwifungsi.
Penuh Tawakal
Ia tak pernah menargetkan atau memprogramkan mau jadi apapun, termasuk
menjadi ketua partai. Ia mengaku menjalani hidup mengalir begitu saja
dengan penuh tawakal. ”Dan Alhamdulillah, hidup saya berjalan dengan
lancar,” katanya. Sepanjang pengalaman pribadinya, ia merasa Allah
membimbing dan memberikan yang terbaik buatnya. Ini yang membuatnya
semakin yakin bahwa Allah itu Mahabijak, Mahakuasa dan takdir itu memang
ada.
Termasuk memilih sekolah setelah lulus SD. Ia sendiri tidak pernah
berpikir, berangan-angan untuk masuk ke Pondok Pesantren Darussalam Gontor.
Ia dimasukkan ayahnya ke Gontor karena banyak saudaranya yang sekolah di
sana. Dan, Alhamdulillah, selama mengenyam pendidikan di Gontor, ia selalu
ranking pertama atau kedua.
Kemudian ia melanjutkan studi ke Madinah. Sama seperti masuknya ke Gontor,
ia pun tidak pernah berpikir untuk kuliah di luar negeri, Timur Tengah
atau Madinah. Ia justru berkeinginan masuk ke Fakultas Kedokteran UGM yang
memang menjadi favorit bagi anak-anak seusianya di SMA.
Tapi sewaktu ia lulus, ia dipanggil kyai dan diberi ijazah, ada seorang
kawan yang bilang bahwa mubadzir kalau ijazah dari Gontor hanya untuk
meneruskan studi di dalam negeri. Lalu si kawan itu mengusahakan agar ia
sekolah ke luar negeri. Akhirnya ia kuliah di Universitas Islam Madinah.
Padahal sampai saat itu ia belum punya keinginan untuk ke luar negeri.
Tidak tanggung-tanggung, selama 13 tahun, suami Hj Kastrian Indriawati
yang telah dikaruniai dua orang putri dan empat orang putra itu menimba
ilmu keislaman di bumi tempat Rasullulah SAW dimakamkan.
Setelah selesai S-1, ia pun tidak terpikir untuk melanjutkan ke S-2. Tapi
tiba-tiba namanya masuk nominasi untuk ikut ujian S-2. Hari itu ia dapat
informasi dari orang lain dan hari itu juga ia harus menempuh ujiannya.
Dan tenyata alhamdulillah lulus.
Ketika masuk S-3 pun ia tidak punya niat sama sekali. Dosen pembimbingnya
yang agak memaksa supaya ia mengambil peluang S-3 yang diberikannya.
Padahal waktu itu, ia sudah ngotot untuk pulang ke Indonesia untuk
berdakwah. Sepulang dari tanah suci, ia aktif dalam berbagai kegiatan
dakwah sebelum terjun di dunia politik tahun 1999.
”Begitulah hidup saya bergulir tanpa terencana sampai akhirnya hampir tiga
belas tahun saya tinggal di Madinah. Ketika bikin partai pun saya tidak
pernah terpikir sama sekali sebelumnya. Pokoknya mengalir begitu
saja,”kata politisi yang bercita-cita jadi penulis itu.
Kesibukannya di partai tentu menyita waktu yang biasanya ia gunakan untuk
keluarga. Tapi ia merasa diuntungkan oleh keluarganya. ”Istri saya adalah
tamatan Mu’allimat Yogya yang mantan aktivis organisasi Ikatan Pelajar
Muhammadiyah di tingkat nasional. Sehingga sedikit banyak manajemen
keluarga kami bisa lebih teratur,” kata pria yang sebelumnya tidak pernah
bercita-cita menjadi politisi ini.
Tapi meski begitu, ia berusaha berlaku adil karena bagaimana pun segala
sesuatu punya hak, apalagi keluarga. ”Dan insya Allah saya akan tetap
berkomitmen untuk membina keluarga serta di sisi lain mengurus dakwah di
partai, karena keduanya merupakan hal yang saling melengkapi bukan saling
menafikan,” katanya, lalu menjelaskan mengapa ia memilih tinggal dekat
dengan Islamic Centre Iqro. Tak lain adalah agar kontrol terhadap
anak-anak juga berlangsung lebih baik karena lingkungan itu memang sudah
cukup terkondisikan dengan baik.
Pemuka Agama
Latarbelakang kehidupan keluarganya juga sangat mempengaruhi perjalanan
hidupnya. Di kampung kelahirannya, keluarganya memang termasuk keluarga
pemuka agama. Kakeknya bahkan merupakan tokoh Muhammadiyah di Prambanan.
Ayahnya, sekalipun berlatar NU, juga pengurus Muhammadiyah, dan ibunya
aktivis Aisyiah.
Namun, ayah dan ibunya tidak pernah secara khusus memaksakan-nya untuk
masuk Muhammadiyah. Malah ia aktif di Yayasan Alumni Timur Tengah yang
banyak orang NU-nya. Jadi kini ia Muhammadiyah juga NU.
Ia memang tumbuh dalam keluarga yang aktif berorganisasi. Mungkin karena
itu, di Pesantren Modern Gontor, di samping menjadi pengurus OSIS, Hidayat
pun anggota PII (Pelajar Islam Indonesia). Ketika melanjutkan sekolah di
Universitas Islam Madinah, Arab Saudi, ia pun sempat menjadi ketua
perhimpunan mahasiswa asal Indonesia. Dan ia terpaksa berurusan dengan
KBRI setempat, karena ia mempersoalkan “Asas Tunggal” dan Penataran P-4.
Selain itu, latar belakang keluarga besarnya juga kebanyakan guru.
Karenanya sejak kecil, ia sudah terbiasa dengan lingkungan buku. Sejak
kecil ia sudah terbiasa mengkhatamkan novel silat Ko Ping Ho dan
komik-komik Jawa. Hikmahnya, ia jadi punya hobi membaca.
Hingga sekarang, ia tetap membiasakan diri membaca. ”Untuk sekarang karena
terlalu sibuk tidak penting berapa banyak yang saya baca dalam sehari,
yang jelas setiap hari harus ada buku yang saya baca,” katanya.
Ia sering menerima tamu di perpustakaan pribadinya yang berada di lantai
dua rumahnya. Dosen Pasca Sarjana di Universitas Muhammadiyah Jakarta dan
IAIN Syarif Hidayatullah ini memang tergolong kutu buku. Ada sekitar lima
lemari besar penuh buku di ruang perpustakaannya, baik yang berbahasa Arab
maupun berbahasa Indonesia. Sebagian besar merupakan ‘oleh-oleh’ dari
studinya di Universitas Islam Madinah, Saudi Arabia, yang ia tempuh dari
jenjang sarjana (S-1) hingga doktor (S-3).
Pimpin Partai
Ia terpilih jadi Presiden Partai Keadilan (PK) dalam Munas I menggantikan
Dr.Ir. H. Nur Mahmudi Ismail, MSc yang memilih mundur untuk tetap sebagai
PNS. Pemilihan itu berlangsung lancar dan dalam suasana yang sejuk. Tidak
seperti pemilihan ketua beberapa partai yang berlangsung panas dan penuh
intrik.
Sejak awal Munas nama Hidayat memang sudah masuk dalam daftar nominasi.
Maka tidak mengherankan bila dalam sidang Majelis Syuro PK ia terpilih
dengan mengantongi suara lebih dari 50% pemilih. Meski demikian, tak
nampak eskpresi kemenangan yang terpancar di wajahnya begitu ia dinyatakan
sebagai Presiden PK terpilih ketika itu.
Di kalangan PK sendiri, ia disegani. Ia, dalam “embrio” PK, adalah Ketua
Dewan Pendiri. Waktu partai itu akan dideklarasikan, ia sebenarnya nyaris
didaulat untuk menduduki kursi presiden partai. Namun, ia menolak. Karena
dia merasa belum saatnya menduduki posisi itu. Namun, dalam kepengurusan
Dewan Pimpinan Pusat PK sebelumnya, ustad ini tak dapat menolak permintaan
untuk menjadi Ketua Majelis Pertimbangan Partai (MPP) sekaligus Ketua
Dewan Syura – jabatan yang berada di atas jabatan presiden.
Ia mengaku tidak pernah bermimpi akan dipilih oleh rekan-rekan untuk
menjadi Presiden PK. Karena itu, ia tidak mempunyai perasaan gembira (berlebihan)
atas terpilihnya menjadi Presiden PK. Baginya, ini adalah amanat yang
sangat berat. Dan amanat ini bukan hanya harus ia pertanggungjawabkan pada
Munas PK (PKS), tetapi juga kepada masyarakat Indonesia serta di hadapan
Allah swt.
Karena itu, kepada para aktivis dan simpatisan PK saat itu, ia berharap
agar dibantu dan didoakan untuk dapat menjalankan amanat itu dengan baik,
yang segera diaminkan para peserta Munas. Pada keesokan harinya, usai
shalat shubuh di Masjid Al Qalam Kompleks Islamic Center “Iqro” Pondok
Gede, seorang ustadz memimpin doa bersama agar Allah memberikan bimbingan
dan pertolongan kepadanya untuk memimpin PK.
Suasananya ketika itu begitu haru. Sehingga matanya tampak berkaca-kaca,
lalu terdengar isak tangisnya mengiringi lantunan doa yang mengalir khusyu’
itu. Usai berdoa seluruh jamaah merangkulnya bergantian, sebagai pertanda
dukungan kepadanya. Kali ini suasana sudah berganti dengan kehangatan dan
keakraban.
Tantangan Berat
Dalam sambutan saat jumpa pers setelah terpilih menjadi Presiden PK, ia
pun kembali mengatakan bahwa jabatan itu merupakan amanah yang tidak
ringan. Kalau boleh dikatakan, tantangan yang terberat. Ia merinci
tantangan dimaksud.
Pertama, masalah pencitraan. Ini suatu hal yang sangat penting. Sebab
kadang-kadang orang hanya dari citra saja sudah mengambil sikap. PK
misalnya dicitrakan sebagai partainya anak muda, partainya orang-orang
yang tidak merokok atau juga partainya orang yang berjilbab.
Pencitraan ini di satu sisi positif yakni segmentasi di dalam PK menjadi
jelas. Tapi kemudian dalam konteks dakwah ini menjadi tidak tepat, sebab
dasar dakwah ialah Yaa ayyuhannaas, berlaku kepada seluruh segmen
masyarakat, apapun kondisi mereka. Tapi pencitraan tadi akhirnya
menghambat pelebaran dakwah, sebab nilai-nilai dakwah PK seolah-olah
terkungkung hanya pada segmen yang terbatas. ”Ini harus kita atasi,”
tegasnya.
Kedua, seperti tergambar dari pandangan DPW-DPW dan utusan luar negeri,
yakni faktor konsolidasi internal. Memang banyak pihak yang menilai sangat
positif. Misalnya ketika saya ke Riyadh bersama Profesor Nurcholish Madjid,
dia ditanya tentang PK. Kemudian beliau menjawab dengan mengambil pendapat
dari pandangan Prof. Miriam Budiardjo bahwa PK itu partai orang-orang
terpelajar. Tapi sesungguhnya kami sendiri melihat bahwa masih banyak
celah yang harus kami konsolidasikan lagi.
Ketiga adalah faktor sosialisasi dan komunikasi massa. Banyak orang yang
menilai bahwa setelah Pak Nur jadi menteri seolah-olah PK tiarap. Padahal
tidak begitu. Karenanya kami harus menjalin lagi komunikasi yang lebih
baik dengan kawan-kawan pers dan siapapun yang punya akses massa.
Keempat, bagaimanapun juga karena kami sudah terjun dalam kancah partai
politik, orang tidak lagi memaklumi hal-hal yang riil. Mereka menuntut
bahwa partai ini harus besar. Padahal PK ini baru sama sekali. Tentu saja
ini merupakan satu masalah sehingga ke depan kami harus melakukan
pengkaderan yang masif dan terus-menerus. Targetnya sampai nilai-nilai
dakwah menjadi dominan di masyarakat.
Seperti yang sering ia katakan, “Bahkan seandainya Anda tidak masuk ke PK
(PKS) sekalipun, tapi Anda mendukung, menegakkan dan melaksanakan keadilan,
yang itu berarti Anda mengamalkan Islam, maka Anda sesungguhnya sudah
menjadi bagian dari kami.”
Tapi tentu saja agar nilai-nilai itu bisa semakin luas, maka mau tidak mau
yang memperjuangkannya harus semakin banyak. Komitmen ini sudah dimulai.
Begitu Munas selesai bagian kaderisasi langsung berkumpul dengan seluruh
jajarannya untuk melakukan kegiatan pengkaderan. Sehingga ada ungkapan,
“Munas selesai, kegiatan kaderisasi jalan terus.”
Kelima, adalah masalah finansial. Bagaimanapun kegiatan partai adalah
massal dan harus terprogram secara profesional. Untuk itu kami harus
memikirkan bagaimana agar bisa memiliki sumber finansial yang mandiri.
Meski begitu sejak awal kami punya keyakinan bahwa aktivitas ini juga
adalah aktivitas dakwah yang kewajibannya bersifat individual, sehingga
para individu itu juga berkewajiban membiayai dakwah ini.
Semangat Dakwah
Perihal latarbelakang atau tradisi politik yang dijalankan PK, menurutnya,
pada tingkat tertentu Cak Nur benar ketika menilai PK dalam buku ‘Tujuh
Mesin Pendulang Suara’. ”Tradisi yang kami jalani itu sangat terkait
dengan latar belakang kami yang relatif seragam secara pemikiran yakni
pemikiran yang mengacu kepada semangat dakwah meskipun dari segi
pendidikan kami sangat beragam sekali, ada yang dari Barat, Timur Tengah
dan lain-lain.”
Partai ini diuntungkan oleh keadaan beberapa anggota yang kebanyakan
adalah orang yang memiliki kafaah, kompetensi syariah yang memadai. Banyak
dari mereka yang tamat S3 dari Mesir, Saudi, Pakistan, Malaysia, Eropa,
Amerika dan Jepang, sehingga mereka memiliki kemampuan untuk merujuk
secara mendalam kepada literatur-literatur klasik pemikiran Islam,
termasuk pemikiran politik.
Mereka juga banyak menyerap berbagai pemikiran politik dari berbagai
gerakan Islam kontemporer seperti Ikhwanul Muslimun, Salafiyyah, Refah,
Jama’at Islami, PAS, Masyumi dan lain-lain. “Selama ini ummat Islam
seolah-olah hanya memiliki rujukan politik kontemporer dari Barat saja
yang diakui sudah banyak gagal dan tercemar. Padahal kalau kita merujuk
kepada Qur’an dan Sirah Rasulullah secara luas dan mendalam, kita memiliki
rujukan yang komprehensif,” katanya.
Maka ia sangat optimis, PK yang kini berganti nama menjadi Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) akan memperoleh kenaikan suara yang signifikan pada Pemilu
2004, yakni 10%. Partai yang sempat diisukan akan bergabung dengan Partai
Amanat Nasional (PAN) ini menampakkan sosok yang berbeda dengan beberapa
organisasi dalam mengonsolidasi diri. Hal ini, antara lain, terlihat dari
beberapa kali aktivitasnya dalam demonstrasi yang selalu berlangsung damai
dan tertib kendati dihadiri ratusan ribu orang.
Perihal kemungkinan kerjasama dengan partai lain, ia mengatakan seperti
tergambar dalam gagasan keadilan yang disebutkan Qur’an surat al-Maidah
ayat 8, semangat pembelaan kebenaran harus diberlakukan dengan non Islam
sekalipun. Maka, katanya, dalam konteks hubungan kami dengan di luar PKS,
selama mereka bisa sesuai dengan visi PKS maka tidak masalah kita
bekerjasama.
Begitu pula tentang kemungkinan bergabung dengan sesama partai Islam, ia
berpegang pada komitmen bahwa PKS adalah partai yang berusaha mengutamakan
wihdatul ummah (persatuan ummat). ”Makanya kami setuju dengan ide satu
partai saja untuk ummat Islam. Tapi pada saat yang sama kita juga harus
realistis dalam memandang Islam itu sendiri sebab Islam itu tidaklah
menafikan kelompok yang banyak,” ujarnya.
Innaa Kholaqnaakum min dzakarin wa untsaa waja’alnaakum syu’uuban wa
qobaailan lita’aarafuu. Biarkanlah kemajemukan itu tetap ada, tapi itu
semua tidak didikotomikan melainkan disinergikan untuk mencapai ketakwaan.
Innaa akramakum ‘indallaahi atqokum.
Dalam hal ini, bersatunya ummat Islam dalam satu partai tidak menjamin
kemenangannya. Lihat saja pada masa Orde Baru PPP selalu kalah. Jadi,
katanya, logika bersatu adalah menang untuk konteks partai politik tidak
selalu benar.
Namun, menurutnya, jangan menganalogikan banyaknya partai Islam itu
seperti sekoci-sekoci kecil yang tidak bisa saling bersinergi. Melainkan,
ia menganalogikannya sebagai semut-semut kecil yang bisa bekerja sama
membangun sinergi. Dengan begitu, katanya, PKS justru tetap menjadikan
persatuan ummat sebagai muatan ideologinya.
Perihal pertimbangan yang paling signifikan bergabungnya PK dengan PAN
dalam Fraksi Reformasi, karena pada saat itu dalam upaya menegakkan visi
reformasi dan demokrasi dengan meminimalisasikan peran militer di DPR.
“Kita kan tahu pimpinan DPR diberikan kepada lima fraksi terbesar.
Sementara saat itu urutan kelima adalah Fraksi TNI/Polri dengan 38 kursi,
di atas PAN yang cuma 34 kursi dan menempati urutan keenam. Maka kalau
kami yang memiliki 7 kursi bergabung dengan PAN berarti suaranya bisa
mencapai 41. Ini sudah cukup untuk menggeser posisi TNI/Polri sehingga
peran mereka pun semakin kecil, yakni dengan tidak menjadi pimpinan DPR.
Akhirnya yang jadi wakil ketua DPR kan Pak AM Fatwa,” jelasnya.
Sementara, mengenai adanya tadzkirah (peringatan) pada saat Munas bagi
para kader PK supaya tidak larut ketika berinteraksi dengan masyarakat, ia
menjelaskan bahwa tadzkirah itu bermanfaat untuk orang mu’min. Fainnadz
dzikra tanfa’ul mu’minin.
Meski begitu, bukan berarti tadzkirah itu terkait dengan keadaan, tapi
bisa merupakan tindakan preventif. ”Kami sadar PK adalah kumpulan manusia
yang tidak selalu benar. Sehingga taushiyyah semacam itu tetap kami
perlukan. Jangan dikira pendukung PK itu sama semua tingkat keimanannya,”
katanya.
”Dalam hal ini ada kaidah yang disampaikan Sayid Qutub bahwa generasi
Qur’an salah satu cirinya adalah yakhtalituun walakin yatamaayazzuun,
mereka berinteraksi dengan masyarakat tapi mereka tidak larut dengan
berbagai kebiasaan buruk masyarakat. Bahkan mereka muncul cemerlang dan
berbeda di tengah masyarakat dalam hal sikap dan penampilannya yakni
selalu berpegang dan memperjuangkan nilai-nilai kebenaran,” jelas pengajar
dan pengurus Yayasan Lembaga Pelayanan Pesantren dan Studi Islam Al
Haramain ini.
Aktivitasnya di yayasan tersebut tidak ditinggalkan kendati ia sudah
sangat sibuk di partai. ”Karena Al Haramain sudah menjadi bagian dari jati
diri saya, yakni yang terkait dengan studi Islam dan pelayanan terhadap
pesantren,” katanya. Bahkan mungkin pola Al Haramain itulah yang menjadi
pola kepemimpinannya sebagai Presiden PK dan Ketua Umum PKS. Artinya
kepeduliannya terhadap studi Islam, pendidikan dan pesantren diharapkan
menjadi bagian dari aktivitas politiknya. “Karena toh tidak ada bedanya,
ini kan sama-sama dakwah juga,” ujarnya.
Bidan PK
Memang banyak orang yang menganggap bahwa lahirnya PK itu dibidani oleh
Yayasan Al Haramain dan Sidik (Studi dan Informasi untuk Dunia Islam
Kontemporer). Menurutnya, hal itu memang tidak bisa dibantah sekalipun
tidak mutlak begitu.
Namun, sebetulnya PK bukan didirikan oleh lembaga-lembaga itu tapi oleh
orang-orang yang berkiprah di dalamnya. Bahkan bukan hanya oleh
orang-orang dari dua organisasi itu tapi oleh beberapa organisasi lainnya
lagi yakni ISTEC.
Kalau boleh diformulasikan yang dari Al Haramain adalah para alumni Timur
Tengah, yang dari ISTEC adalah para alumni dari Barat dan yang dari Sidik
adalah para aktivis dakwah dari Indonesia. Ada juga dari lembaga
pendidikan Nurul Fikri dan Yayasan Ibu Harapan pimpinan Ibu Yoyoh Yusroh.
Perpaduan ini terlihat sangat manis dan sinergis, meskipun lembaga-lembaga
itu tidak menjadi underbouw PK. Mereka tetap independen.
Al Haramain sebagai cikal bakal PK pernah menerbitkan jurnal Ma’rifah
sebagai counter terhadap pemikiran pembaharuan Nurcholish Madjid (Cak Nur)
dengan jurnal Ulumul Quran-nya. Namun saat ini antara aktivis PK dan Cak
Nur kelihatan sudah berbaik-baikan, terlihat dari dukungan Cak Nur
terhadap PK (PKS).
Menurutnya, memang dulu terjadi polemik yang tajam mengenai pemikiran
Islam antara kedua jurnal yang sekarang sudah sama-sama almarhum itu. Tapi
apa yang berlaku pada mereka hingga saat ini pun tidak berubah seperti
yang menjadi sikap mereka dalam jurnal Ma’rifah itu. Apalagi, katanya,
sekarang ini tidak ada lagi wacana yang meng-angkat ide-ide kontroversial
dari kalangan pembaharuan pemikiran Islam, khususnya Cak Nur.
Ramah dan Sederhana
Lelaki 40 tahunan ini tak ber-ubah dari watak aslinya meski ber-ada di
pucuk pimpinan partai. Pria yang dikenal berpenampilan sederha-na dan
ramah, ini masih saja ikut bermain sepak bola bersama masya-rakat di
sekitar tempat tinggalnya. Tidak satu atau dua kali saja tetapi menjadi
kegiatan rutin. Ia kelihatan sangat menikmati sepak bola itu. Sehingga
setiap hari Ahad pagi, bila berada di rumah, nyaris tidak pernah
dilewatkan untuk bermain bola dengan anak-anak muda di kawasan tempat
tinggalnya, Komplek Iqro’, Jatimakmur Pondok Gede. Usia yang terpaut
puluhan dengan pemain lainnya tidak menyebabkannya canggung.
“Ini murni olahraga, tidak ada kaitannya dengan usaha merekrut orang
menjadi anggota PKS. Namun kalau mereka akhirnya tertarik ya syukur, ha..
ha.. ha..,” guraunya ketika diolok bakal mempolitisasi olahraga. Baginya,
olahraga tidak sekedar kegiatan fisik belaka. “Tapi bagian dari sunnah,
yakni menjaga kesehatan fisik. Nabi saja tangguh dalam berkuda, memanah
dan gulat,” katanya.
Motivasi itulah yang menyebab-kannya tidak pernah lepas dari olaharaga.
Karenanya ia menganjur-kan setiap muslim membiasakan diri rutin
berolahraga, apapun bentuk-nya. “Kebetulan hobi saya sepak-bola, jadi
olahraganya main sepak bola,” katanya. Saat kuliah di Madi-nah pun ia
tetap main sepak bola.
Selain sepak bola ia juga rutin bermain bulutangkis. Setiap Selasa pagi
nyaris tidak pernah dilewat-kan untuk bermain bulutangkis bersama jamaah
masjid Al Qalam Pondok Gede. Mereka menyewa gedung serba guna secara
patungan. Ia masih kuat main selama lima set non stop.
Menurutnya, dengan rutin berolahraga stamina kerja seseorang menjadi
meningkat. “Sebab aliran darah ke seluruh tubuh menjadi lancar.” Ia
merasakan olahraga semakin penting ketika terjun mengurus partai politik.
Karena politik juga memerlukan stamina fisik yang prima.
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
|
|