|
C © updated 18042005 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
► e-ti/rp |
|
|
Nama :
Nusjirwan Tirtaamidjaja (Iwan Tirta)
Lahir :
Blora, Jawa Tengah, 18 April 1935
Pendidikan :
- School of Oriental and African Studies, London University
- Master of laws, Yale University
- Fellowship dari Yayasan Adlai Stevenson di Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Penghargaan:
-
Anugerah Karya Cipta Putera Bangsa Bank Bumiputera, Oktober 2001
Profesi:
Desainer
Galeri:
Menteng, Jakarta Pusat
Sumber:
Berbagai sumber, antara lain Kompas 18 April 2005 |
|
|
|
|
|
|
IWAN TIRTA HOME |
|
|
BIOGRAFI
Iwan Tirta
Desainer Pecinta Batik
Dalam hal pelestarian budaya tradisional Indonesia, namanya tidak
diragukan lagi. Ia berhasil ‘menjual’ batik khas Indonesia hingga ke
mancanegara. Meskipun pendidikan formalnya adalah School of Oriental and
African Studies di London University dan master of laws dari Yale
University, Amerika Serikat, ia justru menemukan dunianya sebagai
desainer yang cinta batik.
Sumbangan pria kelhariran Blora, Jawa Tengah, 18 April 1935 ini yang
paling nyata adalah ketika dia berhasil mentransformasi batik dari
selembar kain batik yang secara tradisional digunakan dengan dililitkan
di tubuh menjadi gaun indah yang tidak kalah dengan gemerlap dari Barat.
Kepraktisan berbusana cara Barat perlahan tetapi pasti memang telah
menggerus cara berbusana tradisional perempuan Jawa, dan Iwan berhasil
memadukan keindahan batik dengan kepraktisan pakaian ala Barat.
Nusjirwan Tirtaamidjaja yang dikenal dengan nama Iwan Tirta mulai
bersentuhan dengan batik pada tahun 1960-an. Saat itu ia sedang
bersekolah di Amerika Serikat. Selama di sana, ia sering mendapat
pertanyaan tentang budaya Indonesia yang kemudian membuatnya ingin
mengenal lebih jauh budaya negerinya sendiri.
Sebenarnya, Iwan Tirta sudah bersentuhan dengan budaya khususnya budaya
Jawa sedari kecil. Iwan berdarah campuran Purwakarta, Jawa Barat, dari
ayahnya Mr Moh Husein Tirtaamidjaja, anggota Mahkamah Agung RI
(1950-1958), dan Sumatera Barat dari ibunya yang berasal dari Lintau.
Iwan yang lahir di Blora, Jawa Tengah, belajar mengenai budaya Jawa
ketika orangtuanya menjelma menjadi priayi Jawa saat ditugaskan di Jawa
Tengah.
Ketertarikan secara khusus kepada batik lahir ketika atas dana hibah
dari Dana John D Rockefeller III Iwan mendapat kesempatan mempelajari
tarian keraton Kesunanan Surakarta. Di sanalah Iwan memutuskan mendalami
batik dan bertekad mendokumentasi serta melestarikan batik. Hasil
penelitiannya ia simpulkan dalam bukunya yang pertama, Batik, Patterns
and Motifs pada tahun 1966.
Kepekaan seni dan pergaulannya yang luas dengan berbagai kalangan dari
Timur dan Barat membuatnya mampu membawa batik menjadi busana yang
diterima bukan hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Tiga
puluh tahun kemudian, pemahaman dan pengalamannya tentang batik yang
semakin matang ia tuangkan dalam bukunya Batik, A Play of Light and
Shades (1996).
Selain merancang busana, Iwan juga sampai kepada seni kriya lain. Berkat
kedekatannya dengan kalangan keraton Jawa, Iwan mulai ‘bermain-main’
menumpahkan jiwa seninya ke atas perak. Motif modang, misalnya,
dijadikan ragam hias pada tutup tempat perhiasan, sementara seperangkat
tempat sirih peraknya menghiasi lobi Hotel Dharmawangsa di Kebayoran
Baru, Jakarta Selatan. Ia juga mendesain perangkat makan porselen dengan
menggunakan motif batik. Energi kreatifnya juga tersalur dengan
merancang perhiasan yang inspirasinya dari perhiasan keraton.
Setelah puluhan berkarya, Iwan membagikan sedikit kunci keberhasilannya.
"Kuncinya adalah pendidikan dan riset. Kita sangat kurang dalam dua hal
itu," kata Iwan yang selalu berkemeja batik dalam setiap acara, tetapi
siap pula mengenakan celana pendek denim dengan kaus ketat ketika di
rumah dan siap membatik.
Iwan terus mendokumentasikan motif batik tua, termasuk milik Puri
Mangkunegaran, Solo, ke dalam data digital dan ke atas kertas dengan
bantuan pengusaha Rachmat Gobel. Data tersebut menjadi pegangannya dalam
mengembangkan motif baru yang terus dia kembangkan sesuai selera zaman
dengan tetap mempertahankan ciri khasnya, yaitu antara lain warna yang
cerah dan motif berukuran besar.
Saat Ibu Negara Ny Ani Yudhoyono memintanya untuk ikut menyumbangkan
pemikiran dalam pengembangan batik sebagai ikon nasional, Iwan
mengutarakan keprihatinannya pada kondisi pendidikan, riset, dan
kemampuan promosi Indonesia sebagai negeri batik. "Sekarang Malaysia ke
mana-mana mengaku batik sebagai milik mereka. Itu karena kita tidak
punya kemampuan public relations," kata penerima Anugerah Kebudayaan
2004 kategori individu peduli tradisi ini.
Dengan fasih Iwan menjelaskan di mana kekuatan batik Jawa yang menjadi
dasar batik nasional yang tidak bakal bisa ditiru negara lain. Pertama
adalah adanya teknik yang pasti, yaitu penggunaan malam dan canting;
kedua, adanya pakem berupa ragam hias dengan dasar geometris
nongeometris; ketiga, jalinan erat dengan budaya lain; dan
ketidakterikatan dengan satu agama tertentu.
"Itu semua kekuatan batik Indonesia yang tidak dipunyai bangsa lain,
tetapi untuk mengeluarkan potensi ini perlu pendidikan dan riset," kata
Iwan kukuh.
Keyakinan itu dan tugas baru yang disandangnya membuat Iwan bertekad
akan mengabdikan hidupnya sebagai emban seni kriya Indonesia. "Tugas
emban itu ya mengasuh, mendampingi, untuk semua, tidak hanya batik Iwan
Tirta," tuturnya.
Dalam usianya yang semakin senja, Iwan malah merasa masih banyak
pekerjaan yang harus diselesaikannya. "Banyak hal yang harus dilakukan
kalau ingin bertahan dan bahkan berkembang. Saya masih punya banyak ide
untuk mengembangkan batik, perak, porselen, dan perhiasan, tetapi waktu
kok rasanya singkat sekali," kata Iwan di rumahnya yang kental dengan
suasana Indonesia. Dalam batinnya masih lekat keyakinan bahwa batik
adalah hidupnya. "Saya tidak melahirkan batik, tetapi saya akan terus
mengasuh dan memelihara yang ada. Seperti tugas emban."
Di teras samping rumahnya terpampang dua galaran yang padanya tersampir
dua kain batik yang masih dalam proses pembuatan motif dengan
menggunakan malam. "Saya masih terus membatik, tetapi malam hari. Lebih
enak karena sepi. Saya akan terus membatik sampai tanganku buyutan,"
kata Iwan diiringi tawanya yang khas. Buyutan adalah istilah umum untuk
tangan yang bergetar karena usia lanjut. ►ti/atur
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
|
|