|
C © updated 16012005 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
► e-ti/rpr |
|
|
Nama:
Mar’ie Muhammad
Lahir:
J
Agama:
Islam
Pendidikan :
= S1 Fakultas Ekonomi
Karier:
= Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) periode 1999-2004 dan
2004-2009
= Ketua Masyarakat Transparansi Indonesia
= Menteri Keuangan RI Kabinet
Pembangunan VI
|
|
|
|
|
|
|
== 1
2 3 4 ==
Mar’ie Muhammad (1)
Mr Clean di Tengah Maraknya Korupsi
Mantan Menteri Keuangan pada era Orde Baru ini digelari Mr Clean. Pendiri
dan Ketua Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) ini terbebas dari
korupsi kendati ia bagian inti kekuasaan (keuangan) pada era Orde Baru
yang terkenal amat korup itu. Dalam Musyawarah Nasional Palang Merah
Indonesia (PMI) ke XVIII di Jakarta, 6-9 Desember 2004 dia terpilih
kembali menjadi ketua umum PMI periode 2004-2009.
Selain aktif dalam bidang kemanusiaan, ia pun sangat memprihatinkan
masih maraknya korupsi pada era reformasi ini. Menurutnya, corrupt itu
selalu abuse of power. Semakin tinggi kualitas dari good governance,
semakin rendah korupsi. Sebaliknya semakin rendah kualitas good
governance, korupsinya semakin tinggi.
Perihal latarbelakang mengapa perlu membangun masyarakat transparansi, ia
melihatnya dalam kaitannya dengan tigal hal fundamental dalam etika
kekuasaan, public ethic. Pertama, bagaimana seseorang atau sekelompok
orang itu mencapai kekuasaan tertentu. Cara bagaimana dia mencapai
kekuasaan itu, pakai cara demokratis, legitimate, dan manusiawi atau tidak.
Kedua, kalau dia sudah mencapai kekuasan, meskipun dia mencapai kekuasaan
itu dengan cara-cara yang sesuai dengan hukum, sesuai dengan konsensus
yang berlaku dalam masyarakat, kemudian juga sah secara demokratis, masih
timbul pertanyaan: bagaimana kekuasaan itu digunakan. Apakah telah
digunakan betul-betul untuk kepentingan publik atau masyarakat yang
diwakili. Apakah kekuasaan itu telah digunakan sesuai dengan konsensus
semula, atau apa tidak ada penyalahgunaan dari konsensus semula.
Apakah kekuasaan tidak digunakan berlebih-lebihan, excessive use of power,
sehingga semua ditekan ke bawah. Yang terakhir ini biasa disebut soft
authoritarian. Seperti negara-negara di Asia Tenggara itu legitimate, sah
kekuasaannya, pemilihannya demokratis, tapi kekuasaan digunakan
berlebih-lebihan. Kalau tidak abuse, penyalahgunaan biasanya yang terjadi
penggunaan kekuasaan berlebih-lebihan, excessive.
Kemudian apakah dia telah menempuh cara-cara yang tidak wajar untuk
melanggengkan kekuasaannya. Misalnya, tindakan apapun akan dia lakukan
supaya dia itu in power. Apakah tidak ada upaya-upaya dengan cara apapun
hendak melanggengkan kekuasaan, as soon as possible. Di Indonesia itu
berlaku abuse of power; kedua, excessive use of power, ketiga
melanggengkan kekuasaan. Tiga-tiganya berjalan di Indonesia ini.
Ketiga, tentang pertanggungjawaban kekuasaan, public accountability.
Apakah kekuasaan itu dipertanggungjawabkan secara transparan?
Setelah reformasi, katanya, kita ingin membuka lembaran sejarah baru.
Karena itu kita dirikan masyarakat transparansi. Supaya orang tahu
pertanggungjawaban itu maka harus transparan; yang maksudnya supaya
masyarakat itu mengetahui bahwa kekuasaan itu, meskipun susah, telah
dipertanggungjawabkan secara transparan. Jadi orang tahu kalau nanti
masyarakat itu dilibatkan secara luas dengan cara yang transparan melalui
media massa dan lain-lain. Wewenang publik itu telah dipertanggungjawabkan
sebagaimana mestinya dan telah digunakan sebetul-betulnya untuk
kepentingan publik, bukan untuk kepentingan pribadi, kelompok. Betul-betul
untuk kepentingan umum. Menurutnya, public accountability and transparancy
itu tidak bisa dipisahkan. Ini satu.
Kemudian, kedua, transparansi itu penting dalam rangka good governance.
Good governance itu adalah cara-cara menggunakan kekuasaan dan kewenangan
sedemikian rupa sehingga kewenangan itu digunakan betul-betul untuk
kepentingan umum dengan cara yang transparan.
Good governance itu ada jika ada pembagian kekuasaan. Jadi ada disperse of
power, bukan concentrate of power. Good governance sama dengan disperse of
power, pembagian kekuasaan plus public accountability plus transparancy.
Good governance perlu untuk menekan penyalahgunaan kekuasaan atau
kewenangan yang biasanya itu menimbulkan korupsi. Dan corrupt itu selalu
abuse of power. Semakin tinggi kualitas dari good governance, semakin
rendah korupsi. Sebaliknya semakin rendah kualitas good governance,
korupsinya semakin tinggi. Di sini muncul lagi unsur transparansi.
Dahulu orang bicara good governance itu hanya untuk wilayah publik.
Sekarang ndak karena dibicarakan lebih luas lagi pada
perusahaan-perusahaan. Kenapa? Perusahaan-perusahaan itu juga menyandang
atau mempunyai kekuasaan dari masyarakat. Mereka menyandang amanat
masyarakat. Misalnya, kita taruh uang di Bank. Kalau terjadi apa-apa di
bank-nya? Sementara manajemennya nggak betul? Uang kita hilang. Ini
berkaitan dengan konsep stake holder. Jadi stake holder-nya tidak hanya
share holder. Semuanya berkepentingan.
Kalau perusahaan besar manajemennya nggak betul, dampaknya juga pada
masyarakat. Jadi sekarang ini yang menyandang public accountability itu
tidak hanya kekuasaan-kekuasaan publik tetapi juga meluas pada
perusahaan-perusahaan. Karena itu governance di sini pada public sector
maka biasanya kita juga ngomong as well as in the corporate sector.
Kemudian, good governance equal to disperse of power atau pembagian
kekuasaan, plus public accountability, plus transparancy. Nah pengertian
transparansi jauh lebih luas dari hanya sekedar keterbukaan. Sekarang
disperse of power itu bentuknya apa? Harus ada suatu lembaga-lembaga di
luar eksekutif, yaitu: legislatif, yudikatif dan eksaminatif. Jadi orang
sekarang tidak bicara trias politika lagi. Nggak, sudah empat: eksekutif,
yudikatif, legislatif dan eksaminatif. Ini menjadi empat pilar. Yang tiga
terakhir itu harus independen terhadap eksekutif.
Independen itu apa? Dia menyangkut fungsinya dan tingkah lakunya. Dia
tidak boleh secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh
eksekutif dalam pengambilan keputusan. Begitu dia dipengaruhi, dia tidak
independen lagi. Karena memang tugas yang tiga itu mengawasi yang satu,
eksekutif itu.
Lalu, yang namanya pemisahan kekuasaan itu adalah dilembagakannya yang
namanya oposisi. Pelembagaan dari partai oposisi; partai oposisi selalu
menjadi bayangan, bahkan dia punya kabinet. Kalau ini (pemerintahan) tidak
berkuasa lagi, maka oposisi akan naik. Masalahnya mengapa orang itu
menggunakan partai oposisi? Berfikir demokratis itu adalah berfikir dalam
kerangka alternatif; sedangkan otoriter itu tidak pernah berfikir dalam
kerangka alternatif, karena cuma satu.
Mengapa demikian? Supaya masyarakat itu jangan dihadapkan pada suatu
keadaan yang vakum. Kalau yang satu gagal, ada yang muncul segera;
sehingga sistem itu tidak vakum. Seperti sekarang kita ambruk sistemnya
karena selama ini orang yang menjadi sistem. Begitu orangnya turun, habis
sistemnya.
Selain itu, harus ada keseimbangan dan kesetaraan antara pemerintah yang
memerintah dan dengan yang diperintah. Yang memerintah itu bukan hanya
eksekutif. Jangan salah. Eksekutif plus legislatif, plus yudikatif, plus
eksaminatif, itu semua memerintah. Mereka mempunyai kekuasaan formal. Yang
memerintah adalah orang-orang atau badan-badan yang mempunyai kewenangan
publik, dan itu terdiri dari empat itu.
Lalu apa kewenangan publik itu? Suatu kewenangan yang diperoleh dari
masyarakat melalui suatu ketentuan tertentu, undang-undang atau dasar
apapun juga, yang keputusan-keputusannya akan menyangkut kepentingan umum.
Nah itu harus ada kesetaraan antara kekuasaan formal dengan yang diluar;
antara yang memerintah dengan masyarakat umum, yang diperintah.
Masyarakat umum sendiri mempunyai lembaga-lembaga, seperti partai politik,
lembaga sosial, Pers, Universitas, dan lain-lain. Ini yang organized
society. Di luar itu ada yang unorganized. Jadi memang sekarang ini kita
baru dalam tahap conditioning; menciptakan lingkungan yang kondusif bagi
masyarakat yang transparan.
Kita menyadari bahwa masyarakat di Eropa - transparansi mulainya di Eropa
dulu bukan di Amerika - dan di Amerika, itu memakan waktu lama, ratusan
tahun untuk menjadi masyarakat transparan. Tapi kita tidak perlu seperti
itu, karena dunia ini 'kan sudah global, sehingga tidak usah menunggu
waktu yang sama lamanya. Sebab waktu masyarakat Eropa, Amerika dan Jepang
meniti ke masyarakat yang transparan, dunia ini belum seperti sekarang.
Sekarang ini dunia ini sudah menjadi masyarakat informasi sehingga kita
tidak perlu waktu yang begitu lama untuk menuju masyarakat yang transparan.
Tetapi memang yang kita kerjakan sekarang ini adalah membangun suatu
lingkungan masyarakat ke arah terwujudnya suatu masyarakat yang transparan.
Nah waktunya sampai kapan, itu merupakan suatu proses. Dan perkembangan
masyarakat itu 'kan suatu proses.
di tengah berbagai upaya pemulihan ekonomi nasional yang belum sepenuhnya
rampung, berbagai kasus pembobolan bank mencuat di atas permukaan bagaikan
petir di tengah terik matahari. Sudah banyak pernyataan dari pihak yang
berwenang mengenai kasus ini tetapi langkah-langkah konkret untuk
pencegahan belum diungkapkan kepada masyarakat.
Menghadapi kasus pembobolan BRI dengan modus operandi yang tidak berbeda
dengan BNI seharusnya pihak Kejaksaan Agung melakukan pemeriksaan khusus
oleh auditor yang independen. Menkeu juga sudah mulai buka suara untuk
melakukan pembersihan bank karena pembobolan bank ini akan merusak
kepercayaan masyarakat domestik dan internasional terhadap industri
perbankan kita.
Akibatnya sungguh fatal bagi pemulihan ekonomi karena tidak ada transaksi
ekonomi dan bisnis yang tidak melibatkan perbankan. Soalnya sekarang bukan
apa masalahnya, tetapi langkah-langkah apa yang perlu diambil dan
bagaimana tindakan-tindakan itu dilaksanakan secara konsisten.
Yang menarik dalam kasus-kasus ini, justru pembobolan dalam skala-skala
besar terjadi dalam bank pemerintah meski tindak kriminalitas semacam ini
juga terjadi pada bank-bank swasta, ukurannya lebih kecil. Mengapa pada
bank pemerintah yang secara teoritis pengawasannya lebih ketat dan
berlapis-lapis pembobolan jauh lebih merajalela dari bank swasta?
Masalah inti yang perlu segera dibenahi terletak pada beberapa segi yang
mendasar. Masalah penegakan good governance secara struktural memang ada
pada bank-bank pemerintah yang meliputi pengawasan oleh dewan komisaris,
ada komisaris independen, ada pula audit internal, ada direktur yang
mengurusi kepatuhan, ada juga komite audit dan manajemen risiko.
Jadi, secara kasat mata, struktur governance ini tidak banyak berbeda
dengan apa yang dipraktikkan pada bank-bank swasta. Yang lebih penting,
apakah badan-badan untuk menegakkan good corporate governance ini bekerja
secara efektif.
Dewan komisaris bank-bank pemerintah yang sarat dengan pejabat pemerintah,
apakah benar-benar mengerti urusan pengawasan perbankan secara teknis.
Komisaris independen pada bank pemerintah banyak diduduki oleh orang-orang
dari perguruan tinggi yang belum mengerti seluk-beluk praktik perbankan.
Seharusnya komisaris bank pemerintah dan komisaris independen diisi oleh
tenaga-tenaga profesional supaya kita tidak mengulangi kesalahan masa lalu.
Lalu, ada segi lain lagi yang patut mendapat sorotan tentang bank-bank
pemerintah. Selama ini kita hanya terfokus pada direksi kantor pusat dan
hampir mengabaikan pentingnya pimpinan cabang. Cabang-cabang justru
memiliki kedudukan yang strategis karena di situlah terjadi transaksi.
Lihatlah apa yang terjadi pada pembobolan di BNI, BRI dan bukan tidak
mungkin terjadi juga pada bank pemerintah yang lain. Pimpinan dan staf
cabang bank-bank Pemerintah harus terdiri dari tenaga-tenaga yang
profesional dan integritasnya dapat diandalkan. Pengangkatan pimpinan
cabang bank-bank Pemerintah jangan sekedar urut kacang atau arisan, tetapi
harus betul-betul didasarkan pada kinerja dan track record mereka.
Yang juga menarik dalam kasus ini, aktor intelektual di balik pembobolan
itu sebagian terdiri dari wajah-wajah lama yang sudah pernah terlibat
dalam pembobolan bank. Tetapi tragisnya, para penjahat di negeri ini bebas
lalu lalang karena mereka hanya sebentar saja diberitakan di koran-koran,
lalu kemudian menjadi tuan-tuan terhormat dan berbisnis seperti biasa.
Jadi, kaidah reward and penalty tidak berjalan alias orang jahat orang
baik sami mawon. Akibatnya orang-orang baik dapat tertarik menjadi orang
jahat karena dengan mudah dan cepat dapat menimbun harta karun
berlimpah-limpah, lalu hasil jarahan ini dijadikan modal berbisnis.
Bank Mandiri
Ada pepatah bahasa Inggris yang mengatakan "bad money will drive good
money" dan drama seperti ini berlangsung setiap hari di negeri ini.
Ada berita lain yang mencuat di berbagai mass media belakangan ini yaitu
mengenai Bank Mandiri, yang menurut pemberitaan itu cadangan untuk kredit
macetnya atau NPL harus ditingkatkan.
Menghadapi fakta-fakta yang ironis seperti ini, Bank Indonesia sebagai
lembaga yang sehari-hari mengawasi perbankan harus lebih proaktif. BI
perlu secepatnya melakukan audit investigasi terhadap perbankan khususnya
yang besar-besar dan dimulai dari bank pemerintah untuk meyakinkah apakah
keadaan perbankan benar-benar sehat sebagaimana yang dipublikasikan di
koran-koran.
Melalui audit investigasi dapat diketahui apakah kualitas aktiva produktif
keadaannya benar seperti yang dilaporkan dan apakah cadangan kredit
macetnya tidak terlalu rendah. Alhasil prinsip super konservatif pada
perbankan perlu ditegakkan, bagaikan kata pepatah "sedia payung sebelum
hujan", apalagi hujannya sekarang sudah turun.
Ada aspek lain yang perlu disoroti mengenai bank-bank pemerintah yaitu
kultur atau tingkah laku para pimpinan dan stafnya yang ternyata belum
menghayati prinsip profesionalisme.
Ada juga yang sudah profesional tetapi profesionalismenya justru
disalahgunakan untuk ikut bermain. Para pejabat perbankan ini bukan tidak
tahu tentang customer-nya tetapi justru 'terlalu tahu' atau dengan kata
lain telah terjadi kolusi.
Membangun kultur bisnis yang baru bukan hal yang mudah dan itu harus
diberi contoh dari atas. Jangan berharap kultur yang profesional dan
bersih akan tumbuh begitu saja dari bawah.
Supaya mereka benar-benar profesional dan tidak macam-macam, kalau
dianggap gajinya kurang supaya dinaikkan. Kultur bisnis yang sehat sungguh
sangat penting, apalagi untuk para pengelola lembaga yang menggenggam
kepercayaan masyarakat.
Bayangkan, apa akibatnya jika masyarakat beramai-ramai menarik deposito
dan tabungannya dari bank pemerintah karena hilangnya kepercayaan dan para
deposan itu menganggap uang mereka telah dicuri.
Terlepas dari kontrovesi suka atau tidak suka tentang masuknya manajemen
asing, secara jujur harus diakui masuknya tenaga-tenaga dari luar membawa
dampak yang positif dalam merubah kultur.
Sebagai contoh, meski Bank Danamon belum lama didivestasi yang disertai
dengan masuknya tenaga-tenaga dari luar, telah menunjukkan dampak yang
positif dilihat dari aspek pengelolaan bank yang profesional dan prudent.
Sekarang masyarakat menunggu dengan harap-harap cemas, langkah-langkah
konkret dari Bank Indonesia supaya pernyataan yang dikeluarkan tidak
dianggap sekadar retorika dan penyejuk suasana. ►e-ti, Bisnis
Indonesia, 8 Desember 2003, http://www.ppatk.go.id/content.php?s_sid=137
== 1
2 3 4 ==
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
|
|