A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z
:: Beranda :: Berita :: Profesi :: Politisi :: Pejabat :: Pengusaha :: Pemuka :: Selebriti :: Aneka ::
  H O M E
 ► Home
 ► Biografi
 ► Versi Majalah
 ► Berita
 ► Galeri
  P R O F E S I
 ► Dokter
 ► Guru-Dosen
 ► Peneliti-Ilmuwan
  B E R A N D A
 ► Search
 ► Poling Tokoh
 ► Selamat HUT
 ► Pernikahan
 ► In Memoriam
 ► Majalah TI
 ► Redaksi
 ► Buku Tamu
 

 
  C © updated 26062006  
   
  ► e-ti/ht  
  Nama:
Utomo Dananjaya
Lahir:
Kuningan, Jawa Barat, 6 Februari 1936
Istri:
Mien Muthmainnah Sudibya

Anak/Menantu:
1. Tatat Rahmita UtamiEman Sulaiman Mukhtar
2. Lulu Lutfiasari/Indra Darma Lubis
3. Yanyan Ridayani (Alm)
4. Rini Fajarini Dewi/Agus Setiawan
5. Agus Mukhlis Barlian/Hani Ariati Sudarwati
6. Poppy Ismalina/Johanes Nicolaas Warouw

Cucu:
1. Haikal Akbar
2. Fianda Fatasani Lubis
3. Haqi Hanif Barlian
4. Zeidra Birru Barlian
5. Rifqi Mukti Wicaksana Lubis
6. Anastasia Astrid Putri Pratama Warouw
7. Amartya Amelia Warouw
8. Aescylus Afghan Afdhalur Rahman
9. Sayyidah Syarifatullah’la

Pendidikan:
-Sekolah Rakyat, Mandirancan, 1951
-Sekolah Menengah Pertama, Kuningan, 1953
-Sekolah Guru A, Bandung, 1957
-Pendidikan Guru SLP, Bandung, 1961
-IKIP Bandung, 1965

Pekerjaan dan Organisasi:
-Ketua Perhimpunan LP3ES, 2005-Sekarang
-Ketua Yayasan Pekerti, 1997
-Sekarang Ketua Pengawas P3M, 1998-Sekarang
-Direktur Institute for Education Reform Universitas Paramadia, 2003-Sekarang
-Wakil Rektor Universitas Paramadina Mulya, 1998-2002
-Ketua Tim Pendiri Universitas Paramadina Mulya, 1995-1998
-Direktur Pelaksana Yayasan Paramadina Mulya, 1995-1998
-Konsultan Senior PT Pan Asia research and Communication, 1983-2003
-Pembantu Rektor I Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA), 1987-1993
-Pembantu Rektor II Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA), 1983-1987
-Direktur Sekolah Tinggi Wiraswasta (STW), 1980-1993
-Direktur Pembinaan Pekerti, 1980-1982
-Koordinator Program Industri Kecil LP3ES, 1974-1980
-Koordinator Trainee Program LP3ES, 1974-1976
-Manajer Publikasi Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, 1971-1974
-Staf Direksi PT Samudra Jaya, 1979-1981
-Pj. Ketua Umum PB Pelajar Islam Indonesia (PII), 1967-1969
-Guru SMP Negeri Bandung, 1964-1966
-Guru SMP Negeri Garut, 1957-1964

Keahlian Khusus:
1. Pemandu Pelatihan AMT
2. Pemandu Pelatuhan ZOPP
3. Pemandu Pelatihan ICA
4. Pemandu Pelatihan GRI

Alamat Kantor:
Wisma Kodel Lt. 11
Jalan HR Rasuna Said Kav. B-4, Kuningan
Jakarta Selatan

Alamat Rumah:
Jalan Cipinang Jaya II E/20
Jakarta 13410

 

 
     
 
UTOMO HOME

 

Utomo Dananjaya

Menjembatani Pembaruan


Mas Tom “The Living Bridge” adalah judul buku biografi menandai genap 70 tahun usia tokoh pembaharu pemikiran Islam Indonesia, Utomo Dananjaya. Direktur Intitute for Education Reform Universitas Paramadina, ini mempunyai peran strategis di antara berbagai ekstrimitas pemikiran yang saling berbeda.

Utomo pada periode tahun 1967-1969 menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Pelajar Islam Indonesia (PII), memulai kedekatan hubungan pribadi dan pemikiran, tentang gerakan keislaman yang mantap dengan Cak Nur sejak awal tahun 1970-an.

Saat itu Utomo, Humas dan Manajer Publisiti TIM, mengusulkan nama Nurcholish kepada Komisi Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), yang sedang dipimpin oleh budayawan Umar Kayam (Alm), untuk berbicara di forum TIM, dan disetujui pula.
Nurcholish Madjid, tokoh pluralis yang dikenal memiliki pemikiran keagamaan yang progresif, saat itu tampil menghentak publik dalam sebuah orasi tentang Pembaruan Pemikiran Islam.

Pidato itu sontak menyulut polemik keras, dan dicatat sebagai pidato yang paling bersejarah dalam dinamika perkembangan Islam di tanah air. Bahkan Prof. William Liddle, seorang Indonesianis dari The Ohio State University, AS, turut menilai pidato itu sebagai revolusi yang telah mengubah dunia kaum Muslim Indonesia. (Majalah Tempo, 11 September 2005).

Usai pidato itu, Utomo serta-merta menjadi turut sebagai bagian dari suatu pergerakan yang dikenal sebagai pembaruan pemikiran Islam. Momentum inilah yang telah menyeret aktivis yang, ketika masih muda sangat begitu militan dan berobsesi sekali untuk ingin mendirikan Negara Islam, terjun ke kancah pergulatan dakwah Islam yang tidak biasa.

Memiliki nama yang tak kalah populer dengan sahabat karibnya, Nurcholish Madjid (Almarhum), atau Cak Nur, sosok Utomo Dananjaya memang sangat lekat dengan cendekiawan muslim yang meninggal dunia karena sakit lever, pada 29 Agustus 2005, di RS Pondok Indah itu. Sampai-sampai situs TokohIndonesia.Com harus mendokumentasikan, bahwa Cak Nur, setelah melafalkan nama Allah lalu menghembuskan nafas terakhir persis di sisi istri, anak, menantu, dan Utomo sebagai satu-satunya ‘orang lain’ di luar anggota keluarga.

Utomo mulai mewartakan hal-hal yang melawan pandangan umum, menggugat interpretasi monolitik atas Islam, dan karena itu oleh banyak orang pikiran dan gagasannya dinilai sebagai “kesesatan”.
Utomo secara elok mengambil peran mengawal gagasan pembaruan pemikiran Islam yang ditabuh oleh Nurcholish. Bukan hanya mengawal, menjadikannya pula sebagai suatu gerakan yang terencana, sistematis, dan dilembagakan. Kelak, persahabatan keduanya tersaksikan emosional sekaligus intelektual yang sangat produktif.

Dari persahabatan keduanya ini pulalah lahir Paramadina, sebuah lembaga pencerahan yang mempromosikan ide-ide kebebasan berpikir, keterbukaan, toleransi beragama, dan tesis-tesis tentang bagaimana membangun peradaban Islam yang inklusif.

Paramadina adalah eksperimentasi Utomo atas gagasan pembaruan pemikiran Islam, yang sudah dilontarkan Nurcholish sejak awal 1970-an. Karena itu, bagi banyak orang Paramadina adalah Nurcholish dan Utomo.

Dari Majelis Reboan
Syahdan, sebuah kelompok pengajian bernama Majelis Reboan terbentuklah pada tahun 1983, sebagai sebuah dunia yang lain lagi bagi Utomo. Sejak pembentukannya Utomo terlihat sudah terlibat aktif, di Majelis yang sesungguhnya tak lebih sebagai tempat kumpul-kumpul sejumlah kalangan intelektual, aktivis, praktisi politik, hingga kelompok profesional dan bisnis.

“Di sini prinsipnya kita hanya mengaji saja, tapi bukan baca Yasin atau ceramah melainkan diskusi dengan niat lillahi ta’ala,” kata Utomo, sebagaimana tertuang dalam buku “Mas Tom The Living Bridge”, karya seorang penulis sekaligus intelektual muda Ahmad Gaus AF.

Pada mulanya Majelis Reboan didirikan dengan semangat untuk memperlebar ruang kebebasan publik, termasuk kebebasan berbicara yang pada masa itu (dekade 1980-an) sulit ditemukan. Wilayah civil society nyaris habis, dan sebagian besar kekuatan masyarakat terkooptasi oleh rezim. Elemen-elemen kekuatan Islam merunduk di bawah tanah, lantaran rezim memperlihatkan kecenderungan anti-Islam.

Meskipun bukan organisasi besar, kegiatan Majelis Reboan cukup banyak menyedot perhatian publik. Lebih-lebih ketika Cak Nur (Nurcholish Madjid) dan Gus Dur (KH Abdurrahan Wahid) mulai sering dilibatkan. Kenang Utomo, Cak Nur dan Gus Dur dua tokoh yang menjadi bahan bakar Majelis. Gus Dur berbicara politik praktis, Cak Nur membahas isu-isu keislaman. Sosok keduanya penting sebagai pemantik publikasi.

Tampilnya Gus Dur sebagai Ketua Umum PB NU, dalam Muktamar NU di Situbondo tahun 1984 membawa angir segar dalam diskursus keislaman di tanah air. Pada saat itu NU juga mengumumkan deklarasi untuk kembali ke “Khitah 26”. Maksudnya, mundur dari percaturan politik praktis.

Majelis Reboan tidak melewatkan momentum tersebut. Kemenangan Gus Dur dirayakan dengan syukuran dan makan malam di gedung YTKI (Yayasan Tenaga Kerja Indonesia), Jakarta. Utomo mengundang sejumlah tokoh, terutama dari kalangan muda, untuk ikut berkumpul dan bersuka cita.

Keesokannya tajuk rencana harian Kompas mengapresiasi acara itu sebagai pertemuan kalangan intelektual muda yang masih bersih, sederhana, jujur dan rendah hati, belum tercemar Orde Baru.

Dalam perjalanan waktu kemudian sejumlah aktivis Majelis Reboan hijrah ke Paramadina. Utomo ingat betul kisah kronologinya. Ketika Cak Nur selesai belajar di Amerika, dan pulang ke tanah air pada 1984 dengan menggondol gelar dktor, sebagian anggota Majelis Reboan meminta Nurcholish untuk mendirikan lagi sebuah forum, yang lalu kelak diberi nama Paramadina. Dalam rapat kedua pembetukan barulah Cak Nur diundang.

“Saya mau tapi harus ada Utomo,” kata Cak Nur, ketika itu. Jadilah Utomo ikut pula aktif dalam pendirian Paramadina.

Adalah Cak Nur dan Utomo yang mengusulkan nama Paramadina bagi lembaga baru yang hendak didirikan. Parama, yang artinya utama atau prima, itu usulan dari Cak Nur dan Dina, yang artinya agama, usulan dari Utomo.

Jadilah nama Paramadina diterima antusias oleh para pendiri. Dalam rapat-rapat pendirian Utomo mengusulkan agar disusun Manifesto Pendirian. Usul ini disambut oleh Cak Nur, dengan menyusun Wawasan Dasar Yayasan Wakaf Paramadina.

Di mata Utomo, antara Majelis Reboan dan Paramadina memiliki kesamaan. Yaitu sama-sama memperjuangkan kebebasan, pluralisme, dan toleransi agama. Paramadina mengembangkan doktrin, Majelis Reboan mempraktekkan peradaban. Untuk kerja-kerja kemanusiaan semacam itulah, hampir seluruh hidup Utomo dicurahkan di mana saja, tidak hanya di Paramadina dan Majelis Reboan.

Menjembatani Perbedaan
Utomo adalah kritikus yang jenaka. Endang Basri Ananda, seorang mubaligh kenamaan pernah merasakan kritik jenaka ini. Dalam sebuah ceramah, Endang Basri Ananda berbicara panjang lebar tentang berbagai bencana yang menimpa negeri mulai angin topan, banjir, tanah longsor, gempa bumi. Kata Endang, Tuhan murka karena manusia sudah ingkar dan menjauhi-Nya. “Wah, Tuhan ente kok kejam banget di mana-mana menebar bencana dan cobaan,” sindir Utomo.

Sindiran juga Utomo sampaikan kepada Salamullah, sebuah kelompok pengajian pimpinan Lia Aminuddin, yang gencar mengumumkan akan ada berbagai bencana di muka bumi sebagai kutukan Tuhan. Kepada Abdur Rahman, yang disebut-sebut sebagai Imam Besar Jamaah Salamullah, Utomo berpesan, “Tolong bilang pada Jibril, sekali-kali kasih berita gembira dong, jangan berita buruk terus. Supaya kita semua punya harapan hidup.”

Pada kesempatan lain Utomo pernah mendengarkan khutbah Jumat seorang kenalan bernama Drs Abujamin Roham. Roham menguraikan kelebihan al-Quran dibanding kitab-kitab suci lain seperti Injil. Al-Quran disebutnya sebagai kitab suci paling sempurna, dan paling lengkap, sedangkan Injil tidak.

Oleh sebab itu seharusnya umat manusia hanya berpegang pada kitab suci yang sempurna, yakni Al-Quran. Usai shalat Jumat Utomo menghampiri sang khatib, sambil menyampaikan pertanyaan retoris, “Tuhan ente masih bodoh, ya, waktu membuat Injil?”

Utomo merupakan kritikus jenaka yang mampu berdiri di semua kelompok. Tak jarang ia menjembatani berbagai perbedaan di antara kelompok-kelompok yang berbeda, dengan tetap memiliki warna dan sikap yang jelas. Itu sebab, orang banyak menyebut Utomo sebagai the living bridge atau “jembatan hidup”.

Ungkapan “temannya musuh adalah musuh”, itu tidak berlaku buat Utomo. Dua orang atau dua pihak yang sedang bermusuhan, tetap bisa sama-sama menganggap Utomo sebagai teman pada saat yang sama.

Ketika Gus Dur bertikai dengan orang-orang ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia), Utomo tetap berkawan baik dengan Gus Dur sekaligus dengan orang-orang ICMI. Utomo tidak ikut mengeritik ICMI sebagaimana Gus Dur. Tetapi juga tidak masuk ICMI, seperti banyak temannya yang lain.

Sebagai “jembatan hidup” Utomo berdiri di antara kelompok yang liberal dan yang konservatif. Ia tetap konsisten dengan mandat pembaruan. Baginya, pembaruan adalah kebutuhan semua orang.

Ketika tahun 1970-an bersama Nurcholish Madjid dan kawan-kawan menggulirkan gagasan pembaruan, Utomo tetap tidak membuat jarak dengan para aktivis Islam yang berbeda pandangan. Ia mengunjungi teman-teman militan yang dipenjara rezim Suharto, sambil tetap menyatakan tidak setuju dengan cara-cara yang mereka tempuh.

Utomo Dananjaya selama lebih dari 20 tahun terakhir mengembangkan ide-ide besar tentang pluralisme, inklusivisme, dan toleransi agama. ►e-ti/ht


*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)