A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z
:: Beranda :: Berita :: Profesi :: Politisi :: Pejabat :: Pengusaha :: Pemuka :: Selebriti :: Aneka ::
  H O M E
 ► Home
 ► Biografi
 ► Versi Majalah
 ► Berita
 ► Perspektif
 ► Perusahaan
 ► Buku-Artikel
 ► Kegiatan Lain
 ► Galeri
 ► Link
 ► Profesi
 ► Konsultan
 ► Search
 ► Poling Tokoh
 ► Selamat HUT
 ► Pernikahan
 ► In Memoriam
 ► Majalah
 ► Redaksi
 ► Buku Tamu
 

 
  C © updated 23122004  
   
  ► e-ti/ms  
  Nama:
Wimar Witoelar
Nama Lengkap:
Wimar Jartika Witoelar
Lahir:
Padalarang, Jawa Barat, 14 Juli 1945
Agama:
Islam
Menikah:
KBRI Bangkok, 27 Februari 1971
Istri:
Suvatchara Witoelar Leeaphon (dokter syaraf, meninggal tahun 2003)
Anak:
1. Satya Tulaka (lahir 1975)
2. Aree Widya (1978)
Orangtua:
-Ayah Raden Achmad Witoelar Kaartaadipoetra (1910-1987)
-Ibu Nyi Raden Toti Soeiamah (1914-1977)
Saudara Kandung:
1. Luki Djanatun Muhammad Hamim (Lahir 1932)
2. Kiki Waskita (Lahir 1935)
3. Toerki Joenoes Moehammad Saleh (Lahir 1938)
4. Rachmat Nadi Witoelar (Lahir 1941)
5. Wimar Jartika Witoelar

Pendidikan:
-Pendidikan Dasar di sejumlah negara Eropa, SR di Yayasan Pendidikan Budi Mulia, Bogor, lulus dari SR di Jalan Cilacap, Jakarta
-SMP Katolik Van Lith, Jalan Gunung Sahari, Senen, Jakarta Pusat, tamat tahun
-SMA Kolese Kanisius, Jakarta
-Teknik Elektro ITB Bandung
-George Washington University, Washington DC,

Pengalaman Kerja:
-Dosen Pasca Sarjana, Program Transportasi ITB Bandung (1975-1982)
-Dosen Tamu Institut Manajemen Prasetya Mulya (1982-1993
-Direktur Eksekutif Summa Excelence Institute (1990-1991)
-Dosen Magister Manajemen dan Bisnis Administrasi Teknologi ITB
-Pimpinan PT InterMatrix Bina Indonesia (Konsultan Manajemen)
-Pimpinan PT InterMatrix Communication (Konsultan Komunikasi)
-Pimpinan PT Inter Properti (Pembangunana Perumahan)
-Pimpinan PT Caksugara Nusantara Media (Television & Audiovisual Production)
-Pimpinan PT Inter Sinclair Knight (Konsultan Engineering)
-Pimpinan PT Nusantara International Development Corporation
- Pendiri dan Pimpinan Yayasan Perspektif Baru

Karya Tulis Buku:
-No Regrets, tahun 2000, sebuah kenangan sehari-hari bersama Gus Dur, diterbitkan Equinox Publishing Singapura, dapat ditemui di amazon.com, diluncurkan di Jakarta, Singapura, Melbourne, Sydney, New York dan Washington DC.
-Menuju Partai Rakyat Biasa
-Mencuri Peluang di Tengah Kebingungan
-Perspektif

Pengalaman Lain:
-Ketua Dewan Mahasiswa ITB Bandung, 1969
Kegiatan Lain:
-Pembicara dan Pemandu acara talkshow, diskusi, seminar
-Kolumnis dan Pewawancara di media cetak dan televisi inernaisonal (ABC, SBS, Nine Netwok, BBC, CNN, CNBC, NBC, European Channels)
-Komentator politik dan penulis kolom di Newsweek, International Herald Tribune, The Washington Post, serta media cetak nasional

Penghargaan:
Adjunt Professor in Journaism and Public Relation, Deakin University, Australia

Alamat Rumah:
Jalan Madrasah, Cilandak, Jakarta Selatan

Alamat Kantor:
PT InterMatrix Communication, Kompleks Duta Mas Fatmawati C2-19, Jalan Raya RS Fatmawati, Jakarta Selatan 12150, Indonesia
Telp. +6221 7279.0028, Faks. +6221 722.9994, SMS +62811811291

Email: wimar@intermatrix.co.id  wimar@witoelar.com


 
 
  BIOGRAFI

 

= Kepala Juru Bicara Demokrasi

 

= Calon Presiden 1978

 

= Pemandu Talkshow Perspektif

 

 
 
BIOGRAFI

 

Wimar Witoelar

Kepala Juru Bicara Demokrasi


Joke-joke politik pemandu Talkshow Prespektif dan mantan Kepala Juru Bicara Kepresidenan era Gus Dur, ini mampu mencelikkan mata hati demokrasi setiap orang. Pakar dan pelaku profesional komunikasi yang pendiri InterMatrix Communications, ini seorang juru bicara demokrasi paling piawai yang secara santun tapi humoris dan tajam mampu mencerahkan alam pikir demokratis pendengarnya.

Dia sang kepala juru bicara demokrasi segala zaman, semenjak kanak-kanak hingga tua dan dalam rezim berbeda. Pada saat anak-anak (mulai usia 12 tahun) sudah senang bicara politik sama seperti anak muda usia 24 tahun. Sebaliknya, saat usianya hampir memasuki kepala enam, dia akrab dalam komunitas Friendster, yang umumnya adalah anak muda.

Bayangkan, saat anak seusianya senang baca Si Kucung, Wimar sudah senang baca Time dan Newsweek. Pada saat mahasiswa, dia aktivis yang bersuara politik nyaring tak ubahnya seorang politisi dan pejuang demokrasi sungguhan. Pada tahun 1978, bahkan memproklamirkan diri sebagai calon presiden alternatif sebagai reaksi nyata penolakan calon tunggal presiden. (Baca: Calon Presiden 1978).

Kemudian, kiprah Wimar begitu saja muncul sekoyong-koyong pada tahun 1994 di sebuah stasiun televisi swasta sebagai pemandu acara talkshow Perspektif. Disebut sekonyong-konyong, sebab ketika itu semua hal nyaris gelap dan tak jelas, tertutup oleh otoritarianisme rejim yang sedang berkuasa. Wimar tiba-tiba hadir dalam Perspektif mencerahkan setiap pemirsa. Ketika itu, ia adalah oase yang memberi kesegaran di padang gurun ketidakbebasan berpolitik secara demokratis.

Lewat setiap bintang tamu Perspektif, mulai dari seorang anak kecil yang sehari-hari bekerja sebagai joki three in one di kawasan pembatasan penumpang lalu lintas Jalan Sudirman-Thamrin Jakarta, hingga seorang guru besar seni rupa ITB Bandung Prof Sujoko, Wimar Witoelar secara santun tapi humoris dan tajam mampu mencelikkan mata hati demokrasi setiap orang bahwa bangsanya sesungguhnya tidaklah demokratis. Baik itu di bidang politik, ekonomi, hukum, social dan budaya. Termasuk tak demokratis di bidang bahasa yang larut dicemari jargon dan slogan tak bermutu.

Wimar lewat Perspektif menjadi simbol perlawanan politik dari seorang penganut paham citizen politician. Wimar yang gemar nonton sepakbola, itu ibarat seorang diri di lapangan kosong menjadi penyerang tengah yang hendak membobol gawang keterkungkungan demokrasi atas nama politik ekonomi pembangunan.

Wimar secara satire hadir membuka buruk rupa rejim Orde Baru lewat dialog-dialog hangat Perspektif. Tak banyak yang tahu bahwa Wimar sedang mengkritisi rejim yang sesungguhnya dahulu ikut didirikannya.

Wimar awalnya bangga dan berharap Soeharto mampu menyelesaikan keterpurukan bangsa pasca era Bung Karno. Wimar lalu terlibat aktif mendirikan Golongan Karya di Bandung dengan cara memobilisasi mahasiswa. Wimar menyebutkan merasa perlu mendukung pemerintahan Orde Baru di awal-awal kebangkitannya, karena Soeharto dilihatnya masih lurus dan mau mendengarkan pendapat orang banyak.

Pria bernama lengkap Wimar Jartika Witoelar, ini selalu tampak nyentrik, jenaka dan cerdas. Tampilan fisik tubuh tambunnya yang dibalut dengan rambut keriting yang totally kribo, makin lebih memberi kesan berbeda dan menarik perhatian.

Tampilan dan setiap kata-katanya sungguh atraktif memunculkan isi hati dan pikiran cerdasnya. Bahasa humor yang menyegarkan selalu tercuat dari suara baritonnya. Humor serius Wimar bisa membuat setiap kawan bicaranya tertawa terpingkal-pingkal. Dia sungguh piawai melontarkan joke-joke politik.

Joke-joke politiknya mengundang tawa tapi bermakna tajam mencerahkan alam pikiran demokratis pendengarnya. Kelucuannya malah seringkali melebihi tampilan seorang pelawak atau badut benaran.

Padahal Wimar bukan pelawak apalagi badut. Kendati politisi Islam sekelas AM Fatwa, menanggapi keputusan Presiden Abdurrahman Wahid yang tiba-tiba menunjuk Wimar Witoelar sebagai Kepala Juru Bicara Kepresidenan di tahun 2000, pernah bilang, “Wah, ini gimana. Presiden badut mengambil Juru Bicara yang badut juga.” Wimar, menanggapi balik komentar Fatwa: “Cocok penilaian dia.”

Atau ingin tahu komentar Jenderal Polisi Bimantoro tentang Wimar. Bimantoro, yang saat itu menjabat Kapolri dan pernah menolak dipecat oleh Gus Dur menjelang kejatuhan, itu juga bilang, “Wah, senang sekali Anda ada di sini. Anda kan orangnya lucu sekali.” Wimar, yang memang sudah sangat populer sebagai pemandu acara talkshow televisi Perspektif, itu kontan membalas ucapan Bimantoro, “Saya nggak tahu Kapolri nonton acara saya.”

Tak Pernah Berpolitik
Sedikit hal tersebut hanyalah pintu kecil pengenalan akan perjalanan hidup seorang warga negara biasa pria Sunda kelahiran Padalarang, Bandung, 14 Juli 1945. Ia hidup bersahaja. Ia mempunyai prinsip hidup yang didasarkan atas perjalanan dan pengalaman hidupnya yang panjang, yakni terpanggil menyederhanakan segala kerumitan supaya menjadi jelas.

Menyederhanakan kerumitan dianggapnya sebagai tugas politik pokoknya sebagai seorang pelaku dan penganut paham citizen politician, atau politisi warga negara biasa.
Wimar yang memiliki visi politik yang tak muluk-muluk yakni berkutat seklitar demokrasi, pluralisme dan hak asasi manusia, itu mengaku tak pernah berpolitik praktis.

Alasannya simpel. Ia tak pernah sekalipun menjadi anggota partai politik, apalagi menjadi anggota parlemen. Demikian pula menjadi pejabat pemerintah. Juru Bicara Kepresidenan Abdurrahman Wahid yang disandang Wimar antara tahun 2000-2001, itu dianggapnya sebagai kehormatan dan panggilan tugas saja dari seorang profesional di bidang komunikasi.
Wimar pun tak mau mendefinisikan segala langkah dan kiprah politiknya, sebagai gerakan politik untuk memperjuangkan rakyat, apalagi memperjuangkan kemajuan bangsa. Sebab Wimar merasa hanya berjuang untuk diri sendiri. Semangatnya akan semakin tinggi berjuang manakala harus mempertahankan suara hati nuraninya yang berbicara mengenai kebenaran, kendati ia sedang tampil memandu acara talkshow televisi yang disiarkan langsung.

Tahun 1999, ia pernah dikritik mempunyai kelemahan tak mampu bersikap netral. Wimar yang independen, itu bukannya tak mampu bersikap netral. Melainkan dialah yang memang tak bisa menetralkan kebenaran sesuai hati nurani. Hati nurani tak mengizinkan Wimar berkompromi.

Rachmat Witoelar Menteri Negara Lingkungan Hidup, yang kakak-karib Wimar, menilai karakter dan gaya bicara sang adik dari dulu memang begitu. Selalu bebas, spontan, lugas, agak agresif, cerdas dan berani. Termasuk berani bilang tidak sementara semua orang bilang ya sepanjang itu merupakan keyakinan Wimar.

Berada di Masyarakat
Banyak orang bertanya-tanya ke mana saja Wimar Witoelar tahun-tahun belakangan ini sepeninggal istri tercinta, Suvatchara yang meninggal dunia tahun 2003 akibat serangan kanker. Wimar ternyata tetaplah Wimar seperti yang dulu. Tidak ada yang berubah padanya.

Wimar menyebutkan masyarakatlah yang berubah sehingga ia menjadi hadir di segmen masyasrakat yang sepertinya berbeda. Malah Wimar merasakan saat sekarang sangat berada dalam masyarakat. Suatu ketika, ia pergi ke Malang, misalnya. Di sana ia sangat ditunggu-tunggu oleh lima orang mahasiswi tingkat tiga Fakultas Sastra Universitas Brawijaya, Malang, sahabatnya sesama anggota Friendster.

Friendster adalah suatu jaringan di komputer yang dalam waktu dekat diperkirakan akan menjadi salah satu perangkat internet yang akan mengubah komunikasi. Di kalangan masyarakat Friendster, Wimar sangat bermasyarakat. Nah, ketika jalan-jalan di mall di Malang, demikian pula di Surabaya dan mana-mana mall, itu semua orang nyalamin Wimar. Wimar yang anggota friendster, menjalankan aktivitas global cukup di depan komputer ber-internet ria.

“Tanpa televisi pun saya mempunyai jaringan,” kata Wimar bangga. Wimar dikenal sanggup bercerita berjam-jam tentang semua kisah perjalanan hidupnya. Karena ia sangat sadar akan hidupnya itu. Semua perjalanan hidupnya dapat dilihatnya dengan jelas. Seperti di mana dia memulai dan di mana berada. Dia tipe orang yang senang banyak tahu, senang komunikasi, senang ngomong, juga senang mendengar. Wimar yang tahu diri itu juga termasuk tipe orang yang senang melihat tempat-tempat baru.

Sebagai misal, karena si anak bungsu sedang studi S-2 Teknik Fisika, di Groningan, Belanda, tahun 2004 saja Wimar merasa perlu empat kali bolak-balik Jakarta Belanda untuk bertemu anaknya. Ia juga merasa beruntung senang nonton tenis. Karena itu empat turnamen tennis tahunan Grand Slam yang digelar di sana-sini rajin ia saksikan langsung. Wimar hidupnya seperti orang kaya saja. Padahal ia tidak merasan orang kaya. Tapi ya memang tidak miskin.

Wimar bisa pergi pelesiran ke sana-sini karena memang uangnya tidak dipakai untuk yang lain-lain. Kemewahan jauh darinya. Wimar tidak pakai jam Rolex, tidak pakai cincin mahal, tidak pakai baju bermerek. Kehidupan ‘Duda Keren’ ini pokoknya ya enaklah. Kendati selama hidup, pria tambun ini hanya bisa menjahitkan pakaian di sebuah konter langganannya di Blok M Plaza, Jakarta Selatan. Itu sebabnya ia tetap memelihara kerinduannya untuk suatu saat bisa membeli baju di took, yang sampai saat ini belum kunjung terwujud.

Anak Diplomat Demokrat
Mempunyai nama lengkap Wimar Jartika Witoelar, Wimar adalah bungsu dari lima bersaudara anak pasangan Raden Achmad Witoelar Kartaadipoetra (1910-1987) dan Nyi Raden Toti Soetiamah Tanoekoesoemah (1914-1977).

Keempat kakak kandung Wimar adalah Luki Djanatun Muhammad Hamim (lahir tahun 1932), Kiki Waskita (lahir 1935, satu-satunya perempuan), Toerki Joenoes Moehammad Saleh (lahir 1938), dan Rachmat Nadi Witoelar (lahir 1941, mantan Sekjen DPP Golkar era kepemimpinan Wahono 1988-199), Dubes RI di Rusia dan Mongolia 1993-199), yang kini dipercaya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjabat Menteri Negara Lingkungan Hidup 2004-2009).

Wimar merasa beruntung hidup di sebuah keluarga yang dibangun kokoh penuh kehangatan dan harmoni. Keluarga Wimar sebuah keluarga menengah, tidak miskin tetapi juga tidak kaya. Kebersamaan dan hidup demokratis sangat ditanamkan. Makan pagi dan makan malam tiap hari di rumah tak ubahnya seperti seminar. Ramai berbicara dan saling mendebat satu sama lain. Terlebih ketika situasi politik memanas di sekitar tahun 1965-an, intensitas ‘seminar’ di rumah semakin tinggi.

Ayah Wimar di jaman penjajahan Belanda adalah pamongpraja, polisi dan wedana. Saban hari kerjanya berdiplomasi dengan rakyat. Sang Ayah pernah bertugas di sejumlah wilayah di Jawa Barat. Karena itu keluarga Witoelar berkali-kali pindah domisili. Begitu kemerdekaan tiba sang ayah tampil menjadi diplomat benaran. Achmad Witoelar bekerja di Departemen Luar Negeri, sebuah departemen yang kelahirannya turut dibidani. Sedangkan Sang Ibu Nyi Raden Toti Soetiamah Tanoekoesoemah adalah aktivis di sejumlah kegiatan sosial, antara lain Womens Club International.

Sebagai diplomat untuk pertamakali tahun 1950, Raden Achmad Witoelar ditempatkan di Belanda, menyusul kemudian ke Swedia. Tahun 1955 ditugaskan lagi ke Denmark. Keluarga Witoelar di Eropa pun masih saja sering berpindah tempat tinggal.
Akan halnya Wimar bersama Rachmat keduanya selalu ikut menyertai kepindahan orangtua, termasuk ke Denmark. Kakak-adik itu abadi rukun selalu, tak pernah bertengkar, hidup serumah, sekamar dan semobil. Berbeda dengan tiga kakak lainnya lebih memilih bermukim dan sekolah di Belanda. Seperti Luki memilih sekolah di Delft, Kiki di Leiden, dan Toerki di Amsterdam.

Setiap akhir pekan atau liburan sekolah keluarga Witoelar rajin bertamasya keliling Eropa. Mereka biasa keluar kota mengendarai mobil lalu mendirikan kemah tenda di mana-mana tempat yang memungkinkan. Wimar kecil peminat ilmu humaniora yang gemar membuka peta, atlas dan globe, itu bertugas memandu perjalanan dengan menunjukkan orientasi arah perjalanan kepada sang ayah, Raden Witoelar yang memegang kemudi. Wimar merasakan mudah mengingat jalan-jalan baik itu yang sudah pernah dijelajahi maupun yang hanya sempat dibaca di peta.

Kembali ke Indonesia
Wimar menghabiskan masa kanak-kanaknya di Eropa. Kesempatan itu membuka mata hatinya untuk melihat Indonesia dari perspektif luar. Wimar muda adalah manusia global. Sebab ia merasa sebagai warga dunia sekaligus warga Indonesia.

Di Eropa, bahasa dan perspektif sebagai manusia global sangat ditanamkan. Karena itu pada diri Wimar ada semacam kesadaran politik baru yang lebih luas, dibanding orang Indonesa rata-rata. Orangtua Wimar tidak kaya-kaya karena uang habis ‘diinvestasikan’ mendidik anak-anak menjadi manusia global.

Keluarga Witoelar kembali ke Indonesia tahun 1957. Karena Wimar diajarkan bahasa maka otomatis ia mempunyai akses luas terhadap informasi. Ia rajin membaca bahan bacaan berbahasa Inggris, Belanda, Jerman, Denmark dan sebagainya walau semua harus disimpan dulu untuk konsumsi sendiri. Sebab di Indonesia tak ada teman lain untuk diajak mengobrolkan tema-tema bacaan dimaksud.

Di Indonesia, Wimar menjalankan kehidupan yang biasa. Ia sempat dua bulan sekolah di kelas 6 SR Yayasan Pendidikan Budi Mulia, Bogor, lalu dilanjutkan dan lulus di sebuah SR di Jalan Cilacap, Jakarta. Wimar memasuki sekolah SMP Katolik Van Lith yang muridnya semua terdiri laki-laki, terletak di Jalan Gunung Sahari, Senen, Jakarta Pusat.

Wimar melanjutkan pendidikan SMA ke perguruan yang juga semua muridnya laki-laki, SMA Kolese Kanisius, Jakarta. Tubuh Wimar yang semenjak kecil doyan makan dan tak pernah merasa kenyang, itu semakin tumbuh subur saja nan tambun. Dan memasuki usia 16, rambut ikalnya pun mulai menampakkan rupa keriting habis alias kribo.

Wimar mengalami sejumlah culture shock terutama pada dua bulan pertamanya sekolah di kelas 6 SR Yayasan Pendidikan Budi Mulia, Bogor. Ini adalah masa-masa tersulit. Sang Ibu tetap saja memperlakukan Wimar sebagai anak sekolah di Eropa. Wimar dikenakan jas hujan, dan sepatu bot, untuk menghindari hujan di kota yang dijuluki Kota Hujan sebab sepanjang hari pasti hujan turun.

Tentu saja Wimar ditertawakan teman-teman sebab dianggap aneh. Wimar lalu mencoba mengatasi permasalahannya dengan cara yang tampaknya jenaka padahal sesungguhnya serius ia lakukan. Sepulang sekolah Wimar, yang hampir setiap hari pasti pulang dengan menangis, itu sering menutup mata. Ia berharap ketika membuka kelopak mata sudah berada lagi di Kopenhagen, Denmark.

Culture shock lain, jika di Eropa terbiasa mendalami ilmu humaniora, di Jakarta Wimar diperhadapkan kurikulum yang lebih menekankan ilmu pasti alam. Padahal bahasa Indonesia pun Wimar belum fasih betul. Ia sering bingung dengan berbagai macam pepatah, kata majemuk, uangkapan dan sebagainya. Sang Ibu sampai-sampai harus menyempatkan diri berkeliling kios-kios buku bekas di kawasan Kwitang, Senen, mencari kamus berisi kata majemuk dan pepatah buat si anak bungsu. Wimar awal-awalnya keteteran dalam belajar.

Pemukul Bel Sekolah
Pada akhirnya sesuai dengan kecerdasan yang dimiliki, Wimar mampu meningkatkan prestasi belajar. Ia berkali-kali tampil sebagai juara kelas. Tampaknya, Wimar itu terlahir sebagai manusia cerdas. Di usia tiga tahun ia sudah bisa membaca. Pada usia empat tahun saat masuk sekolah Taman Kanak-Kanak (TK), ia sudah menulis. Karena Wimar gemar membaca buku pada usia delapan tahun, ia sudah menggunakan alat bantu kacamata.

Wimar, karena pandai, dipercaya memegang jabatan prestisius di sekolah SMP Van Lith menjadi pemukul bel masuk dan pulang sekolah, atau bel pertanda ganti mata pelajaran. Ia bangga betul dengan jabatan pemukul bel itu. Wimar bisa memerintahkan murid-murid lain, bahkan guru-guru untuk memulai atau menghentikan pelajaran.

Di balik kecerdasannya, Wimar sudah punya banyak minat lain di luar sekolah. Pada waktu duduk di bangku SMP, ia sudah terbiasa membaca media massa asing seperti majalah Newsweek dan Time. Padahal teman-teman, baru membaca majalah Si Kuncung. Perbedaan minat dengan teman sekolah membuat Wimar kesepian. Sebab pengetahuan cerdasnya tak sedikitpun bisa diobrolkan dengan kawan-kawan. “Nanti dikira sok jago, lagi,” kata Wimar. “Orang baca Si Kucung saya baca Newsweek,” ucap Wimar, yang pernah pula dipercaya Ketua Redaksi majalah sekolah “Suara SMP Van Lith”.

Selain membaca Time dan Newsweek, Wimar rajin mendengar berita radio BBC London atau radio Hilversum dari Belanda. Ia gemar membaca buku bacaan politik yang serius, terutama tentang biografi para tokoh terkemuka dunia. Seperti tokoh Winston Churcill, John F. Kennedy, Jenderal MacArthur, dan sebagainya. Wimar hafal betul kapan Kennedy diangkat menjadi Presiden AS, dan apa saja isi pidato pengukuhan Presiden yang meninggal ditembak di Dallas, di tengah masa kepresidenannya itu.

Kebiasaan masa belia itu ketika dewasa termanifestasi menjadi keahlian menulis dan berbicara di media massa cetak, televisi dan radio. Nama Wimar menjadi sangat dikenal di dunia internasional.

Wimar adalah panelis tetap acara mingguan The Editors pada ABC-TV Asia-Pacific yang disiarkan dari Singapura. Artikel dan komentar Wimar sering muncul di majalah Time, Newsweek, the International Herald Tribune, The New York Times, Wall Street Journal, International Herald Tribune, The Washington Post, The Straits Times, the Sydney Morning Herald dan di the Australian Financial Review.

Wimar adalah kolumnis tetap pada sejumlah media. Seperti suratkabar Singapura Today, suratkabar Asustralia dan Inggris The Guardian. Di dalam negeri Wimar penulis tetap di harian Jakarta Post, harian Kompas, majalah Business Week Indonesia dan koran Djakarta.

Pisah dengan Kang Rachmat
Dari bangku SMA tak cukup banyak cerita yang bisa dituturkan Wimar. Sebab ia semakin tenggelam saja sebagai kutu buku. Ia ‘sibuk’ menebalkan kacamata minusnya.
Buku menjadi sahabat Wimar satu-satunya setelah Kang Rachmat kuliah di Jurusan Arsitektur ITB Bandung. Tiga kakak lain tak satu tersisa di rumah. Ada yang menikah ada yang bekerja di luar kota.

Tamat SMA Kanisius tahun 1963, Wimar melanjut ke ITB Bandung Jurusan Teknik Elektro. Ia bersatu kembali dengan Kang Rachmat di rumah milik keluarga, di Jalan Ciaeumbeuleut, Bandung.

Wimar baru berpisah fisik secara permanen dengan Rachmat setelah sang kakak menikah dengan Erna Anastasia. Namun perpisahan permanen lain yang lebih penting adalah perbedaan visi dan garis perjuangan politik antara Wimar dengan Rachmat, yang terjadi tahun 1971. Rachmat aktivis Golongan Karya sedangkan Wimar kuliah ke George Washington University, AS.

Wimar memilih menyelesaikan studi dan berangkat ke AS bersamaan dengan kesenangannya yang sedang jatuh cinta. Padahal secara politis, Wimar adalah salah seorang konseptor dan pendiri Golongan Karya di Bandung. Ia mempunyai posisi tawar yang tinggi. Menjelang Pemilu 1971 saja, misalnya, adalah Wimar yang menyusun daftar calon legislatif Golkar Jawa Barat. Ia bebas memasukkan kawan-kawan seperti Sarwono Kusumaatmaja, Rachman Tolleng, Marzuki Darusman, termasuk Rachmat dan dirinya sendiri.

Namun, pada akhirnya Wimar meninggalkan kesempatan itu untuk berbulan madu dengan Suvatchara, gadis Thailand yang dinikahinya di KBRI Bangkok pada 27 Februari 1971.

Kepergian Wimar ke AS menjadi pertanda perpisahan visi dan perjuangan politiknya secara permanen dengan Rachmat. Rachmat berada dalam sistem Wimar di luar sistem. Rachmat adalah rejim Soeharto, Wimar adalah anti rejim Soeharto.

Ibarat dalam sepakbola, Wimar merasa lebih baik menjadi ‘gelandang bebas’ daripada ‘penyerang tengah.’ Lebih baik menjadi pengamat dari luar, yang bisa tetap netral dan bebas mengkritik, daripada harus memuluskan langkah seorang calon presiden tunggal untuk kembali memerintah.

Karena sikap politiknya Wimar pernah ditahan dalam penjara selama enam minggu, di tahun 1978. Ia menggelar demonstrasi di Kampus Ganesha ITB Bandung menolak calon tunggal presiden dan mencalonkan diri sebagai calon presiden alternatif.  ►e-ti/ht-ms


*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)