|
C © updated 20082006 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
► e-ti/kps |
|
|
Nama:
Alfred Simanjuntak
Lahir:
Parlombuan, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, 8 September 1920
Agama:
Kristen
Pendidikan:
- Holands Inlandse School, Narumonda, Porsea, Tapanuli Utara,
1928 – 1935
. Holands Inlandse Kweekschool, Surakarta, 1935 – 1941
- Fakultas Sastra UI, MO Bahasa Indonesia, Jakarta, 1950 – 1952
- Rijksuniversiteit Utrecht, Leidse Universiteit, Leiden, Stedelijke,
Amsterdam, Nederland, 1954 – 1956
- Dr HC dari Saint John University 10 Februari 2001
Pengalaman:
- Pencipta lagu (Di antaranya Bangun Pemuda Pemudi, Indonesia
Bersatulah dan Negara Pancasila)
- Guru di BPK PENABUR, TKK Gading Serpong, TKK 4, TKK 10 dan TKK 11
- Wartawan surat kabar “Sumber” di Jakarta, 1946 – 1949
- Pendiri Badan Penerbit Kristen (BPK) Gunung Mulia, Jakarta, 1950 dan
sempat menjadi pimpinannya.
- Tahun 1967 turut mendirikan Yayasan Musik Gereja (Yamuger)
- Tahun 1985 memprakarsai Pesta Paduan Suara Rohani (Pesparani).
|
|
|
|
|
|
|
ALFRED HOME |
|
|
Alfred Simanjuntak
Membangun Manusia Pembangunan
CATATAN REDAKSI: Pada 10 Februari 2001, Alfred Simanjuntak
menerima gelas Doctor HC dari Saint John University, dengan Karya Papar
berjudul MEMBANGUN MANUSIA PEMBANGUN. Berikut ini naskah elngkap karya
papar Alfred Simanjuntak tersebut.
Pendahuluan
Pertama-tama saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Prof. Dr.
H.R.M.G. Oemar Said. LL.M., D.D. sebagai Chairman of the Board of
Trustees Saint John University, demikian pula kepada Bapak Harry Ganda
Asi, Ph.D., Rektor Universitas Kertanegara. Kedua-duanya telah
menyegarkan visi saya untuk menyerukan, baik kepada pemerintah maupun
masyarakat supaya bukan hanya memperhatikan, tetapi bahkan mengutamakan
pendidikan, kalau bangsa Indonesia yang sama-sama kita cintai ini mau
kita angkat menjadi bangsa yang terpandang dan terhormat di antara
jejeran bangsa-bangsa di dunia.
Segala kemajuan apakah itu di bidang ekonomi, industri ataupun budaya
diawali dengan pendidikan dan pengajaran yang bermutu tinggi. Dan segala
kemunduran atau keterbelakangan disebabkan oleh pendidikan yang kurang
diperhatikan atau salah arah. Sebab itu yang kita mau gumuli pada saat
ini adalah Membangun Manusia Pembangun. Kalau manusianya, orangnya
berhasil kita didik, baik secara intelektual, kultural, mental dan
spiritual, kita dapat melepaskan dia ke tengah masyarakat di mana dia
kemudian dapat berkarya di bidang yang sudah dipelajarinya lebih dulu
yang bermutu tinggi.
Membangun Manusia Pembangun
Trilogi buku (seri tiga buku), yang ditulis oleh Alvin Toffler, yaitu
Future Shock (1970), The Third Wave (1980) dan Powershift (1990) cukup
menyentak para pembaca di seluruh dunia dan mengalami terjemahan dalam
berbagai bahasa. Buku Future Shock sudah diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia dengan judul Kejutan Masa Depan.
Amati Akselerasi Kemajuan
Dalam buku Future Shock pengarang Alvin Toffler melukiskan betapa
dahsyatnya lompatan-lompatan kemajuan yang dicapai manusia dari masa ke
masa. Ia mencatat: sejak 10.000 tahun yang lalu manusia mulai tahu
mengolah tanah menjadi lahan pertanian, kemudian 400 tahun yang lalu
baru mahir menguasai ilmu cetak, 250 tahun yang lalu baru mampu mengukur
waktu dengan tepat, 120 tahun yang lalu mengenal listrik, dan
akhir-akhir ini berhasil menguasai tenaga nuklir dan mulai mengarungi
ruang angkasa dengan peralatan yang serba canggih, dapat pula menemukan
DNA (asam inti pembawa sifat), inti dasar dari segala yang hidup di
dunia dan mulai bereksperimen dengan men-cloning domba dan hewan-hewan
lain, meskipun mendapat reaksi dari pihak umat beragama karena dianggap
manusia masuk dalam wilayah Tuhan sebagai Sang Pencipta.
Dengan pembagian waktu itu, Alfin Toffler menggolongkan perkembangan
umat manusia dalam tiga fase: Pertama, masa pertanian, yang dilakukan
manusia sejak 10.000 tahun yang lalu, kedua, masa industrialisasi, sejak
250 tahun yang lalu, dan masa kini, yang disebutnya
super-industrialisme, dan dicoba diuraikannya dalam buku The Third Wave.
Karena ulasannya cukup berani, buku ini dilarang di beberapa negara di
dunia, tetapi justru menjadi bestseller dalam banyak negara, antara lain
di Cina, di mana pada suatu waktu menjadi buku panduan bagi kaum
intelektual yang reformis di negara itu. Di masa jabatannya Perdana
Menteri Zhao Ziyang mengadakan seri konperensi untuk membicarakan buku
itu, dan ia menganjurkan para pejabat dan pemimpin lainnya untuk
mempelajarinya.
Stephen Hawking, ahli fisika yang kini sangat terkenal dan dikagumi oleh
banyak ilmuwan, baru-baru ini dalam suatu pertemuan di Bombay, India,
meramalkan bahwa dalam masa 100 tahun yang akan datang manusia akan
berhasil mengunjungi bahkan menghuni planet-planet lain, dan
meningkatkan fisik manusia dalam milenium kita ini dengan cara
mengutak-atik genetikanya. Bayi-bayi juga akan “ditumbuhkan” di luar
kandungan manusia, meskipun ini akan menimbulkan pendapat kontroversial
di berbagai kalangan.
Sebagaimana kita tahu, sejak umur 21 tahun Stephen Hawking menderita Lou
Gehrig, penyakit syaraf yang disebut amyotrophic lateral sclerosis, yang
menyebabkan paralysis, kelemahan otot dan tidak dapat bicara dengan
baik. Ia dapat bergerak dengan kursi roda dan dengan jentikan jarinya
dapat menyusun kata dan kalimat di layar komputer. Hawking menganjurkan
untuk menahan laju penduduk dunia, yang kini dalam masa 40 tahun menjadi
dua kali lipat. Tanpa tindakan drastis, pada tahun 2600 dunia ini akan
penuh dengan manusia yang dapat berdiri secara “bahu membahu” dalam arti
yang sesungguhnya, demikian Stephen Hawking.
Dua tokoh ini tidaklah sendirian dalam jalur pikiran sebagaimana disebut
di atas, tetapi keduanya sangat jelas dan tegas menghimbau umat manusia
untuk mengamati jalan sejarah di hadapan kita dengan merenungkan apa
yang terjadi di belakang kita yang nyata berakselerasi sangat cepat.
Sebagai salah satu contoh, kita perlu mencermati pertumbuhan
penduduk Indonesia, yang pada tahun 1940 baru berjumlah 50 juta dan
sekarang sudah melampaui 200 juta, empat kali lipat, akselerasi yang
jauh lebih besar daripada yang disebut Stephen Hawking di atas.
“Tetapi,” demikian tulis Ninok Leksono dalam surat kabar Kompas
baru-baru ini, “sementara para ilmuwan dan bangsa-bangsa di dunia telah
terpesona oleh pemikiran Stephen Hawking yang elok nan canggih itu,
bangsa Indonesia masih saja terus berkubang dalam usreg dan
gonjang-ganjing politik yang membuatnya bukan saja going nowhere, tetapi
dengan itu juga tertinggal jauh di belakang dalam semua wacana adi di
lingkungan bangsa-bangsa lain pada tahun, abad dan milenium ini.”
Pengalaman Pribadi
Sebagai salah satu contoh konkrit apa yang dialami seseorang dalam
mengarungi lintas waktu 80 tahun di bumi tercinta Indonesia ini, dan apa
yang didapatnya berkat pendidikan yang diperolehnya mulai dari dusunnya
sampai akhirnya di luar negeri, dan karyanya sebagai ucapan syukur atas
bimbingan Tuhan itu, perkenankanlah saya untuk mencoba menggambarkan
pengalaman saya sendiri dan pergumulan apa yang sempat saya tempuh.
Saya lahir tanggal 8 September 1920, jadi secara gembira sering saya
katakan: “Saya baru 80 tahun.” Saya bahagia dan berterima kasih kepada
Sang Pencipta untuk umur dan kesehatan prima yang dikaruniakan-Nya
kepada saya. Saya lahir di Parlombuan, sebuah desa di Tapanuli, Sumatera
Utara, yang sangat sederhana.
Sampai saya umur lima tahun, keluarga kami tidak mengenal piring,
mangkok atau gelas, sendok dan garpu, meskipun ayah saya guru sekolah
dasar di wilayah itu. Sebagai piring untuk seluruh keluarga dipakai
piring kayu besar dan cukup tebal, yang dapat dikelilingi oleh empat
sampai lima orang. Nasi ditaruh di tengah piring kayu itu, dan
masing-masing mengambil dari bukit nasi itu sesuai dengan panggilan
perutnya. Gelas atau mangkok tidak ada, untuk minum dipakai batok kelapa
yang dibelah dua. Minyak tanah untuk lampu tidak ada, apalagi penerangan
listrik. Sebagai alat penerang dipakai potongan pinus, yang memang dapat
menyala lama sekali. Itu juga yang dipakai sebagai suluh kalau mau
berkunjung dari rumah ke rumah, atau dari kampung ke kampung.
Penduduk waktu itu belum mengenal korek api. Yang dipakai sebagai sumber
api adalah kawul, yang dapat disulut dengan menyentalkan atau
menggosokkan sebatang besi ke batu api sehingga timbul percikan api yang
membakar kawul itu.
Berjalan kaki sejauh 15-20 kilometer atau lebih jauh lagi merupakan
perjalanan biasa, karena penduduk belum mengenal sepeda, apalagi mobil.
Mobil pertama yang saya lihat adalah pada tahun 1926, dan kami anak-anak
kecil begitu takut akan “dilihat” mobil itu, sehingga kami lari tunggang
langgang bersembunyi dalam semak-semak dan baru berani keluar ketika
mobil itu sudah cukup jauh.
Untuk manusia masa kini cerita kehidupan seperti ini dianggap masa
purbakala, jauh di masa lampau dan hanya dapat dibaca dalam buku dan
dilihat dalam film manusia primitif, padahal saya sendiri pernah
mengalaminya sekitar 75 tahun yang lalu. Atau pengalaman yang mirip
masih ada di pedalaman Irian Jaya?
Bayangkan kalau masih ada, sedangkan penduduk kota Jakarta misalnya
sudah malang melintang dalam mobil, terbiasa naik kereta api atau
barangkali kapal terbang, pesawat telepon dan televisi dianggap sebagai
perangkat hidup sehari-hari.
Saya beruntung ketika pada tahun 1935 berangkat ke Solo untuk belajar di
Sekolah Guru Atas, yang pada waktu itu disebut Kweekschool, tamat pada
tahun 1941, kemudian melanjutkan studi di Fakultas Sastra Universitas
Indonesia pada tahun 1950, dan pada tahun 1954 di Stedelijke
Universiteit di Amsterdam, Rijksuniversiteit di Utrecht, dan
Universiteit di Leiden di Nederland. Itulah lintasan studi yang saya
alami.
Pengalaman saya yang sangat berkesan sebagai guru antara lain adalah
ketika di masa pendudukan Jepang mengajar di Semarang. Tamatan sekolah
itu ada yang menjadi Duta Besar, Menteri, Jaksa Agung sampai Wakil
Presiden, pejabat-pejabat tinggi di negara republik ini.
Pengalaman lain yang cukup membahagiakan adalah ketika menjadi dosen di
Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, dan beberapa tamatan dari sana kemudian
menjadi Ketua Sinode Gereja-gereja di Indonesia. Demikian pula ketika
sempat mengajar di Haggai Institute for Leadership Training di
Singapore, di mana peserta-peserta dari berbagai negara, semuanya dari
negara-negara berkembang, yang sudah terbukti menunjukkan keberhasilan
di bidang-bidang tertentu, diajak untuk berbagi pengalaman dan visi.
Surat-surat yang kemudian kami terima dari para peserta menyatakan rasa
syukurnya atas leadership training seperti itu dan tekad mereka untuk
lebih meningkatkan karya baktinya sangat menggembirakan.
Buku: Sahabat Mutlak Untuk Manusia
Berbicara mengenai karir, ada dua bidang yang pernah saya geluti,
dua-duanya merupakan pelayanan, terutama untuk membangun manusia
pembangun. Pada tahun 1950, bersama-sama dengan beberapa pemerhati,
antara lain Dr. J. Verkuyl, kami mendirikan Badan Penerbit Kristen
Gunung Mulia sebagai lembaga kristiani yang ingin ikut mengisi
kemerdekaan yang diproklamirkan oleh bangsa Indonesia pada tahun 1945.
Penerbit ini mencoba ikut berpartisipasi dalam membangun dan melayani
bangsa kita dengan antara lain menerbitkan buku “Pancasila,” buku yang
pertama terbit di Indonesia mengenai Pancasila, yang cukup mendapat
perhatian antara lain dari Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad
Hatta dan para pejabat negara RI yang lain-lain.
Menjelang akhir dasawarsa tahun 1950, BPK Gunung Mulia mengadakan
seminar pemberantasan buta huruf dengan mengundang Dr. Frank Laubach,
seorang ahli dari UNESCO, yang mempunyai pengalaman lama di Filipina.
Kemudian dikirimlah Sdr. G.M.A. Nainggolan ke Wamena, Irian Jaya selama
tiga bulan untuk memelajari gaya hidup dan cara berpikir penduduk di
sana yang masih buta huruf, hidup sederhana dengan sekedar mamakai
koteka dan mencari makan dengan berburu di hutan dan di sungai.
Kemudian BPK Gunung Mulia menerbitkan buku pemberantasan buta huruf,
dengan kata-kata sehari-hari yang sederhana, dilengkapi dengan
gambar-gambar yang menarik.
Ketika Irian Jaya sudah masuk dalam wilayah Republik Indonesia, Ds.
Rumainum sebagai Ketua Sinode Irian Jaya dengan tegas menyatakan
penghargaan atas pelayanan BPK Gunung Mulia, yang selama itu belum
menjadi bagian Republik Indonesia, terus menerus
mengirim buku-buku yang diperlukan di sana, walaupun pengirimannya harus
melalui pihak ketiga, karena hubungan resmi antara Jakarta dengan Irian
belum diizinkan.
Ketika tahun 70-an Theological Education Fund yang berkedudukan di
London menyediakan dana untuk menerbitkan buku-buku panduan untuk
pendidikan teologi, maka di antara semua penerbit Kristen di antara
negara-negara berkembang, Korea Selatan menerbitkan paling banyak judul
dan Indonesia, dalam hal ini BPK Gunung Mulia menempati urutan kedua.
Ketika Pemerintah di tahun 70-an menganjurkan untuk menerbitkan bukubuku
Inpres, yaitu bacaan untuk anak-anak Sekolah Dasar, yang disalurkan
melalui sekolahsekolah, maka di antara semua penerbit yang
berpartisipasi, BPK Gunung Mulia yang menerbitkan paling banyak judul
dan eksemplar.
Ini hanya beberapa contoh, bagaimana BPK Gunung Mulia ingin mempunyai
andil dalam membangun manusia pembangun. Meskipun berpredikat Kristen,
penerbit itu sadar akan tugasnya sebagai lembaga komunikasi manusiawi
dan ingin melayani setiap orang yang mempunyai kasih terhadap sesama
manusia.
Belajar dari Tokoh-Tokoh Pemikir
Selama bekerja di BPK Gunung Mulia, dari tahun 1950 sampai 1985, saya
mendapat kesempatan untuk bertemu atau berkenalan dengan beberapa tokoh
yang saya kagumi sebagai pecinta manusia dan berbuat banyak sebagai
ungkapan keprihatinan atau sumbang baktinya. Pada tahun 1958 saya sempat
berjumpa dengan T. Kagawa pada suatu konferensi di Kobe, Jepang. Ia
membaktikan seluruh hidupnya untuk membantu dan melayani orang-orang
miskin yang banyak menderita, keluarga-keluarga yang berantakan karena
berbagai masalah. Dunia menghormatinya karena pengorbanan yang
diwujudkannya, meskipun kesehatannya sendiri cukup rapuh karena
kelelahan bekerja dan kurang memperhatikan cara hidup yang teratur.
Pada tahun 1971 waktu berkunjung ke Santiago, Chile, Amerika Latin saya
mendapat kesempatan mengikuti seminar, di mana pembicara utamanya adalah
Paulo Freire, tokoh besar dunia, yang memperjuangkan nasib orang-orang
kecil, petani dan buruh dengan ajarannya tentang conscientisasi,
penyadaran hati nurani dan rasa harga diri manusia.
Karena pahamnya dianggap berbahaya, maka pemerintah Brazil, negara
kelahirannya, mengusirnya dengan cara “menyarankannya” meninggalkan
negara itu.
Apa yang diajarkannya terutama kepada kaum buta huruf, para petani dan
buruh kecil? Kata Paulo Freire: tiap orang, tiap manusia, seberapa
sederhanapun tingkat kehidupannya dan dianggap “bodoh” oleh masyarakat
dan digolongkan sebagai anggota “kelompok bisu”, dapat berpikir kritis
kalau diajak bicara dengan gaya setaraf yang oleh Paulo Freire disebut
“dialogis” , dan selangkah demi selangkah sadar akan dirinya, tumbuh
rasa percaya diri dan mempunyai harapan baru.
“Sekarang saya sadar bahwa saya manusia juga, manusia terpelajar“,
“Dulu saya buta, tetapi sekarang saya sudah melek”,
“Saya bekerja, dan sambil bekerja, saya ikut memperbaiki dunia ini”,
demikian ucapan beberapa petani dan buruh.
Paham conscientisasi itulah yang dipakai para petani, buruh dan
“kelompok bisu” untuk menghadapi propaganda dan ajaran kaum komunis,
khususnya di wilayah Amerika Latin. Pikiran dan ajaran Paulo Freire itu
dituangkannya dalam dua bukunya Pedagogy of the Oppressed dan Cultural
Action for Freedom.
Tokoh lain yang pernah saya temui dalam kunjungan ke manca negara, yang
cukup banyak menulis buku adalah Billy Graham, yang dianggap sebagai
salah seorang penginjil utama abad-20. Pada tahun 1974 saya menghadiri
konferensi Penginjilan Internasional di Lausanne, Swiss, dimana Billy
Graham menjadi pembicara utama. Suaranya yang tenang membuka visi
pendengar untuk memandang seluruh dunia ini sebagai ladang pelayanan.
Dalam deretan nama tokoh –tokoh dunia ini tak lupa saya menyebut dengan
hormat nama Dr. J. Verkuyl, sahabat kerja yang ikut mendirikan BPK
Gunung Mulia dan ikut mempelopori Universitas Kristen Indonesia. Verkuyl
menulis tidak kurang dari 45 judul buku dalam bahasa Indonesia, antara
lain: Komunisme, Kapitalisme, dan Injil Kristus. Pada waktu Indonesia
clash dengan Belanda tahun 1974 , Verkuyl dengan berani pergi ke Jawa
Tengah untuk menyatakan dukungannya terhadap perjoangan rakyat
Indonesia. Untuk segala jasanya itu Pemerintah Republik Indonesia
menganugerahkan bintang kehormatan kepada Verkuyl.
Apakah hanya orang asing saja yang saya kagumi dan menjadi sumber
inspirasi dalam hidup saya? Jawab saya tidak. Di antara tokoh Indonesia
yang saya jumpai dalam hidup, terlalu banyak. Di antara sekian banyak
yang ikut menempa diri saya, visi saya, cara berpikir saya,
perkenankanlah saya menyebut dua nama. Yang satu tokoh lektur, yang satu
lagi tokoh pergumulan jiwa rohani.
Tokoh bacaan yang menjadi sahabat saya adalah Pramoedya Ananta Toer,
yang mungkin masih merupakan tokoh kontroversial di kalangan Indonesia
masa kini. Dialah penulis Keluarga Gerilya, Cerita dari Blora, Cerita
dari Jakarta, dan buku-buku yang lain. Buku-bukunya sudah diterjemahkan
dalam berbagai bahasa, antara lain, Bahasa Inggris, Rusia, Jerman,
Jepang, Cina dan Belanda.
Menurut penilaian saya, Pramoedya adalah pejoang orang kecil yang
tertindas, yang menjadi bulan-bulanan orang-orang elit atau yang disebut
sub-class feodal. “Bangkitkan rasa harga diri rakyat ini”, katanya
kepada saya dalam percakapan baru –baru ini. Sejarah akan membuktikan
benar-tidaknya pandangan Pramoedya yang dijalinkannya dalam sekian
banyak buku karangannya.
Tokoh kedua yang takkan saya lupakan adalah paman saya, Peris Pardede,
yang dalam pergumulan hidupnya sempat menjadi anggota CCPKI (Central
–Comite- Partai Komunis
Indonesia), tetapi pada tahun-tahun terakhir dari hidup-nya dalam
penjara di Medan menjadi penginjil, dan cukup banyak tahanan penjara
mengenal Kristus melalui kesaksiannya sampai akhir hayatnya. Pergumulan
rohaninya dituangkannya dalam kesaksian yang diketiknya di penjara itu.
Aneh tapi nyata, bahwa seseorang gembong komunis menjadi hamba Tuhan dan
pewarta kasih Kristus.
Lagu Sebagai Unsur Pembangun
Bidang kedua di mana saya pernah berkecimpung adalah musik, terutama
nyanyian. Tahun-tahun subur dimana saya mengarang cukup banyak lagu yang
non-agama dan lebih bersifat patriotik adalah waktu saya menjadi guru di
Semarang pada tahun-tahun 1943-1945 di masa pendudukan Jepang, antara
lain: Lagu Bangun Pemudi-Pemuda, Indonesia Bersatulah.
Lagu Bangun Pemudi-Pemuda cukup dikenal masyarakat dan merupakan salah
satu lagu wajib nasional. Lagu Indonesia Bersatulah pernah memberi andil
dalam perjalanan negara kita, ketika terjadi pemberontakan PRRI,
PERMESTA, dan RMS (Republik Maluku Selatan) pada tahun 1957-1960). Lagu
ini oleh radio Republik Indonesia disiarkan paling sedikit tiga kali
dalam sehari, pagi, siang, dan sore, kadang-kadang malam, sampai
akhirnya semua pihak yang bertikai meletakkan senjata masing-masing.
Ketika pada tahun 1980 terjadi pembicaraan khusus mengenai dasar negara
Indonesia dan akhirnya oleh Pemerintah ditetapkan bahwa azaz dan dasar
negara ini adalah Pancasila, saya mengarang lagu Negara Pancasila. Di
samping, tiga lagu ini masih banyak lagu-lagu yang saya karang, baik
bersifat umum, maupun rohani.
Ketika pada tahun 1999 pemerintah mengizinkan untuk mendirikan
partai-partai baru, saya diminta untuk mengarang Himne dan Mars untuk
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Untuk itu saya berkunjung ke tempat
kediaman Bapak K.H. Abdurrahman Wahid di Ciganjur dan bercakap-cakap
dengan beliau mengenai kejadian-kejadian di negara dan masyarakat ini
dan apa sumbangan yang dapat diberikan PKB untuk dapat melangkah maju ke
masa depan. PKB terbuka untuk siapa saja yang ingin membangun negara dan
bangsa ini, demikian kata Pak Gus Dur. Saya sangat berterima kasih atas
pertemuan itu dan saya gembira bahwa kemudian Pak Gus Dur terpilih
menjadi Presiden Republik Indonesia.
Dapat saya tegaskan bahwa pembicaraan kami yang saya rasakan sebagai
percakapan antar-manusia kemudian menghasilkan dua lagu, Himne dan Mars.
Dalam beberapa pertemuan antara lain pada peringatan ulang tahun pertama
PKB di Surabaya tahun lalu, Bapak Presiden menjelaskan bahwa himne PKB
dikarang oleh seorang yang beragama Kristen. Itu membuktikan bahwa PKB
terbuka untuk semua pihak, tidak pandang bulu, dari agama atau suku
manapun.
Pada awal tahun 2000 Presiden Abdurrahman Wahid minta perhatian semua
pihak terhadap pengrusakan dan penghancuran terumbu karang, salah satu
kekayaan Indonesia. Kemudian LIPI dan John Hopkins University/Center for
Communication Programs minta saya untuk mengarang lagu Terumbu Karang
berirama dangdut, yang sudah dipopularkan terutama di daerah pantai di
Riau, Sulawesi Selatan, Maluku dan Irian.
Tekanan Kata Dalam Lagu
Dalam kaitan nyanyian dan lagu ini saya mempunyai pertanyaan yang
menurut perasaan saya masih menunggu jawaban yang memuaskan, yaitu: di
mana tekanan kata dalam nyanyian Indonesia?
Kalau kita ucapkan atau bacakan kalimat pertama dari lagu ini: Bengawan
Solo, riwayatmu ini, maka suku-suku kata nga, so, yat, dan i itulah yang
mendapatkan tekanan. Tetapi bila dinyanyikan, maka tekanan kata pindah
ke wan, lo, mu, ni. Ini sesuai dengan metrum, tekanan ritme lagu ini.
Banyak, bahkan sebagian besar lagu-lagu dalam bahasa Indonesia serba
salah tekanan karakatanya, tidak ada aturannya atau dalam sehari-hari
seenaknya saja, yang penting suku katanya sesuai dengan not lagunya.
Tetapi lagu -lagu daerah tetap mempertahankan tekanan kata yang baik,
sesuai dengan bahasa yang dipakai dalam hidup sehari-hari.
Di mana letak kejangggalan ini? Apakah boleh memindahkan tekanan kata
begitu saja dalam nyanyian? Pertanyaan ini masih menunggu jawab yang
lebih ilmiah.
Perlu Nada Dasar yang Sama?
Pertanyaan kedua yang ingin saya lontarkan ke tengah pemusik gamelan dan
gondang Batak adalah : Apakah dirasa perlu, dan kalau jawabnya ya, kapan
akan diberlakukan nada dasar yang diseragamkan dalam perangkat gamelan,
demikian pula dalam gondang Batak?
Nada dasar gamelan tidak sama. Gamelan Yogya lain dari gamelan
Surakarta, lain pula di Madiun dan Semarang, dan tempat-tempat lain.
Demikian penegasan Dr. Sri Hastanto, ahli musik gamelan. Begitu juga
nada dasar gondang Batak. Di Angkola beda dari Samosir, lain pula di
Simalungun atau Tanah Karo. Demikian hasil penelitian yang pernah
dilakukan Dr. Liberty Manik.
Hal seperti itu, yaitu berlainlainan nada dasar pernah juga terjadi di
Eropa, di mana pemusik Rusia lain nada dasarnya dari pemusik Itali atau
Perancis. Tetapi suatu ketika dalam sejarah dan terutama dengan karya
Johans Sebastian Bach yang disebut Well –tempered Clavier atau
Wohl-temperiertes Clavier berdasarkan nada yang sudah ditentukan, yaitu
440 vibrasi per detik untuk nada a, maka ada satu ukuran untuk
menentukan nada-nada dalam musik barat.
Pertanyaan mengenai keseragaman ini terbuka untuk para ahli dan para
pemusik gamelan dan gondang. Mungkin hal seperti itu ada juga di daerah
daerah lain di Indonesia.
Tantangan untuk Indonesia
Tema kita dalam paparan ini adalah: Membangun Manusia Pembangun,
khususnya di dan untuk Indonesia. Tetapi manusia Indonesia pada masa ini
tampaknya serba bingung, bahkan linglung, karena kejadian-kejadian
sekitar dirinya. Kita mau kemana dengan masyarakat dan bangsa kita?
Sumber daya alam yang cukup melimpah ruah dan sumber daya manusia (SDM)
yang dua ratus juta lebih ini, mau dikemanakan?
Kualitas sumber daya masyarakat Indonesia sekarang ini, menurut ukuran
Human Development Index (HDI) yang belum berapa lama berselang
dipublikasikan UNDP amat rendah, yaitu berada di urutan ke-109 dari 173
negara di dunia setingkat lebih rendah dari Vietnam, yang berada di
peringkat ke-108.
Dua negara tetangga kita , yaitu Singapura dan Thailand sedang giatnya
mereformasi pendidikan nasionalnya, meskipun menurut peringkat HDI
negara Thailand berada diperingkat ke 67. Motto yang dipakai Thailand
sekarang adalah: Education for All-All for Education, Unity in Policy
–Diversity in Implementation.
Singapura sendiri, menurut peringkat HDI berada pada urutan ke-22
(bandingkan dengan Indonesia di peringkat ke-109).
Dalam suatu penelitian yang baru-baru ini dilakukan oleh The Third
International Mathematics and Science Study (TIMSS), negara yang paling
maju, paling teratas dalam pendidikan Matematika adalah Singapura,
negara tetangga kita. Indonesia berada di urutan ke 34 dari 38 negara
yang diteliti, nomor 5 dari bawah. Dalam pendidikan Science, negara
paling tinggi peringkatnya adalah Taiwan, Singapore nomor 2, sedangkan
Indonesia berada di urutan ke-32, nomor 7 dari bawah.
Hasil penelitian itu langsung ditanggapi oleh Mochtar Buchori dengan
mengemukakan, bahwa sistem pendidikan Indonesia harus dirombak
habis-habisan. Pendidikan di Indonesia masih penuh verbalisme, alat
mengajar yang paling utama adalah kata-kata, rasa ingin tahu dari
anak-anak dimatikan, murid-murid cukup menghafalkan atau menelan apa
yang dikatakan sang guru, pada hal matematika dan science merupakan
dasar untuk berpikir disiplin dan kritis, tidak ada yang “kira-kira”
dalam matematika dan science.
Peringkat TIMSS itu menujukkan bahwa Indonesia sudah mendekati buta
huruf, kata beliau. Sebab itu, menurut pengamatan kita, untuk secepat
mungkin mengakselerasi kemajuan Indonesia, maka yang paling perlu
dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat adalah: Membangun Masyarakat
Pembangun, dengan memberinya pendidikan.
Penutup
Pemberian Doktor HC ini merupakan suatu kehormatan bagi saya. Sebenarnya
di luar dugaan saya sendiri. Tetapi saya berterima kasih dan terutama
mengucap syukur pada Tuhan, kalau ada yang melihat hidup dan karya bakti
saya sebagai salah satu produk pendidikan.
Sebab saya dapat mengenal dunia semancanegara karena pendidikan. Sudah
enampuluh tahun saya menjadi guru, dan sampai sekarangpun masih
mengajar, di tingkat sekolah dasar di mana saya dulu memulai karir saya.
Melalui papar sambutan ini dan pada kesempatan acara ini ingin saya
anjurkan kepada Pemerintah dan masyarakat untuk mengutamakan pendidikan.
Paling sedikit untuk satu rentang waktu sampai bangsa dan rakyat ini
terangkat dari beradaannya sekarang.
Sekali lagi, terima kasih saya ucapkan atas pemberian gelar Doktor HC
ini dan terima kasih juga kapada para hadirin yang telah dengan sabar
mendengarkan papar sambutan ini.
Akhirulkalam: Terpujilah Nama Tuhan!. ►e-ti
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
|
|