|
C © updated 18082008 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
► mti/mlp |
|
|
BIODATA
Nama:
Dr. H. Aulia Sani, SpJP(K), FJCC, FIHA
Lahir:
Bagan Siapi-api, 9 Mei 1945
Keluarga:
- Istri: Ny. Firdanerri A. Sani
- Anak: 2 orang puteri: Annelia Sari Sani, S.Ps. Psikolog Ul dan
Audianne Ferdiani Sani, S.S (Jepang) Ul, Mahasiswa S2 Jurusan Businness
Communication KEIO University Tokyo, Jepang.
Agama:
Islam
Pendidikan:
1. Dokter Umum, Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Padang,
25 Mei 1974.
2. Spesialis Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta, 1985
3. Training on Cardiac Rehabilitation, in Cardiac Rehabilitation
Hoehenried, Jerman, 1987.
4. Japanesse Council for Medical Training Programe Toranomon Hospital,
Tokyo, 1994.
5. Sertifikat Konsultan Dokter Spesialis Penyakit Jantung & Pembuluh
Darah, 1 Oktober 1998.
6. Cardiac Rehabilitation Training in Heart Research Center Melbourne,
Australia, 1998.
7. Study on educational System and Hospital Management, Japanesse
Council for Medical Training, 1997.
8. Pelatihan SPAMA 1997.
9. Pelatihan SPAMEN LAN 1998.
10. Economic and Management of Health Care Executive Development Program
National University of Singapore, 2000.
11. The Bill and Melinda Gates Institut Bloomberg School of Public
Health. The John Hopkins University and Ministry of Health Republic of
Indonesia.
12. Fellow of The Japanese College of Cardiology (FJCC) elected by
Japanese College of Cardiology, September 24, 2001, Hiroshima Jepang.
13. Fellow of Indonesian Heart Association (FIHA) November 16, 2003.
Riwayat Pekerjaan:
1. Direktur Utama Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, 2001 -2005.
2. Direktur RS Jantung Harapan Kita, 1998 -2001.
3. Wakil Direktur Penunjang Medik dan Pendidikan RS Jantung Harapan
Kita, 1987 - 1994.
4. Panitia Lelang dan Pengadaan Barang Rumah Sakit Jantung Harapan Kita,
1987 – 1994.
5. Kepala Seksi Penunjang Medik Direktorat Penunjang Medik dan
Pendidikan Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, 1987 - 1994.
6. Anggota SMF Rehabilitasi Rumah Sakit Jantung Harapan Kita / Staf
Pengajar Bagian Kardiologi FKUI, 1985 s/d sekarang.
7. Peserta Program Study Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Bagian
Kardiologi FKUI/RSCM, 1981--1994.
8. Kepala Puskesmas Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Propinsi Riau.
9. Kepala Puskesmas Kecamatan Kuala Kampar, Kampar Teluk Dalam Propinsi
Riau, 1976--1977.
10. Kepala RSU Pembantu Bangkinang Kabupaten Kampar Bangkinang,
1975-1976.
11. Dokter diperbantukan pada RSU Pekan Baru, Riau, 1974-1975.
Riwayat Organisasi:
1. Ketua Perkumpulan Vaskuler Indonesia (ANVIN) Pusat 2004 s/d sekarang.
2. Anggota Badan Penyantun Yayasan Jantung Indonesia Pusat, 2003 s/d
sekarang.
3. Ketua III Badan Pengurus Pusat Yayasan Jantung Indonesia, 1998-2003.
4. Anggota Bagian Penerangan Yayasan Jantung Indonesia Pusat, 1993-1998.
5. Anggota Badan Pelaksana Klub Jantung Sehat, YJIP, 1983-1988,
1988-1993.
6. Anggota Bagian Medis Klub Jantung Kuningan Yayasan Jantung Indonesia,
1981-1987.
7. Ketua Cabang Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia (PERKI)
JKT, 2000-2002.
8. Wakil Sekretaris Jenderal PERKI Pusat, 1995-1999.
9. Anggota PERKI Jaya, 1981 s/d sekarang.
10. Anggota IDI, 1974 sampai sekarang.
Jabatan dan Kegiatan Lainnya:
1. Editor Majalah Jantung Sartika, 1987-1992.
2. Editor Kesehatan Majalah Popular, 1989-1991.
3. Pengisi kolom Kesehatan pada koran Bisnis Indonesia, 1987-1994.
4. Editor Kehormatan Indonesia Index of Medical Specialisties, 1999 s/d
sekarang.
5. Honorary Editorial Advisory Board - Asia, MIMS (Media Index Medical
Specialisties) of Asia, 1999 s/d sekarang.
6. Editor kehormatan Info Kesehatan MIMS-Asia, 2001 s/d sekarang.
Penghargaan:
1. Dokter teladan Kabupaten Kampar, Dokter Teladan se Propinsi Riau,
1980.
2. Panitia Jambore Nasional II, Klub Jantung Sehat, Bidang Kesehatan, di
bumi Perkemahan Pramuka Cibubur, 3-7 September 1994.
3. Pembina Teladan Klub Jantung Sehat Pondok Kelapa, 1994.
4. LSM Dur Randha Peduli Anak Bangsa dalam pelaksanaan operasi Jantung
pasien tak mampu Mara Alivia, dari Aceh tahun 2000.
5. Gubernur Sumatra Barat, atas jasa, Pengabdian dan Sumbangsih dalam
rangka pengembangan Pusat Jantung Regional Rumah Sakit Dr. M. Djamil
Padang, 21 Juni 2004.
Alamat kantor:
Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (PJNHK) Instalasi Rehab,
Gedung 2 Lantai 2.
Alamat rumah:
JI. Sabut Blok E-10 No. 11 -12, Kav-DKI Pondok Kelapa, Jakarta Timur.
|
|
|
|
|
|
|
AULIA SANI HOME |
|
|
Dr. Aulia Sani
Spesialis Jantung yang Bersahaja
Pesan sang ayah dan dukungan istri membuat Dr. H Aulia Sani, SpJP(K),
FJCC, FIHA menjadi dokter yang tidak materialistis, lebih penting
menolong orang daripada uang. Ia juga murah hati dalam berbagi ilmu,
sangat mencintai Indonesia dan mendedikasikan hidupnya mendidik
masyarakat agar terhindar dari penyakit jantung.
Sejarah mencatat, dokter merupakan profesi yang mulia karena berusaha
menyelamatkan nyawa dan menyembuhkan manusia. Kemuliaannya sulit diukur
dengan sesuatu yang berbau materiil. Konon ketika negara kita belum
merdeka, para dokter pribumi, seperti dokter Wahidin dan dokter Sutomo
sangat jarang dibayar. Ada suatu kenikmatan apabila dokter berhasil
menyembuhkan pasiennya.
Namun, di era modern sekarang ini, dokter-dokter yang memiliki jiwa
pengabdian semakin langka. Nilai-nilai kemanusiaan tergantikan
nilai-nilai materi. Sebagian dokter kemudian dicap ‘matre’, tidak peka
terhadap pasien, angkuh dan sebagainya.
Meski para dokter harus membayar mahal (biaya studi, waktu, tenaga
dan pikiran) agar bisa mengabdi sesuai tuntutan masyarakat, masih ada
dokter-dokter di negeri ini yang tetap terpanggil untuk memberikan
dirinya menolong orang-orang yang membutuhkan. Salah satunya, dr Aulia
Sani, mantan Direktur Utama Pusat Jantung Harapan Kita (PJNHK) yang kini
lebih banyak menghabiskan waktunya mengajar di Universitas Indonesia dan
bekerja di unit rehabilitasi rumah sakit PJNHK. Meski pernah menjadi
orang nomor satu di rumah sakit rujukan nasional ini, hidupnya tetap
bersahaja. Sebab baginya, profesi dokter adalah pengabdian.
Bagi sebagian besar orang, istilah pengabdian cuma sebuah kata yang
sudah lama dibuang dari kamus kehidupan mereka. Namun bagi dr Sani,
begitu ia biasa dipanggil, pengabdian adalah panggilan. Pilihan hidupnya
ini bisa ia lakoni tidak lepas dari dukungan istri dan pesan ayahnya
sebelum meninggal.
Selain itu, rencana Tuhan jualah yang menjadikan ia bisa dikenal sebagai
dokter spesialis jantung yang cukup terkenal di Tanah Air. Pilihannya
untuk menjadi kardiolog bukan karena kebetulan. Namun lewat pengalaman
dramatis yang sulit untuk dilupakannya. Sang ayah yang sangat
dicintainya, datang mengunjunginya yang sedang bekerja sebagai dokter
Puskesmas di Riau.
Saat itu ia menjabat sebagai Kepala Puskesmas kecamatan Siak Hulu,
Kabupaten Kampar, di Simpang Tiga Propinsi Riau. Dalam perjumpaan dengan
ayahnya di tahun 1977 itu, dr Sani mendapat berbagai nasihat. Ayahnya
berpesan agar ia menjadi dokter yang baik, yang tidak mementingkan uang
tetapi menolong orang. Dr Sani juga diminta untuk menjaga dan mendidik
anak-anaknya menjadi orang yang baik serta memintanya agar menikah satu
kali saja.
Saat itu, dr Sani tidak menyangka kalau perjumpaan dengan ayahnya itu
akan menjadi perjumpaan yang terakhir. Esoknya, sang ayah pergi
menghadap Yang Maha Kuasa meninggalkan pesan-pesannya di hati dr Sani.
Pesan-pesan ayahnya itu lah yang membakar semangatnya untuk menjadi
dokter yang baik dan mengabdi. Baginya, meski cuma lulusan universitas
kecil, Universitas Andalas, Padang, ia bertekad untuk berpikir dan
berkarya lebih maju dibandingkan lulusan-lulusan dari universitas yang
terkenal.
Berkat tekadnya itu dan bekerja disiplin selama di Puskemas, dokter yang
lahir di Bagan Siapi-api, 9 Mei 1945 ini mendapat predikat dokter
teladan se Propinsi Riau tahun 1980. Selama bertugas mengobati
masyarakat, ia melihat banyak kasus-kasus penyakit jantung. Sebagai
dokter umum, ia kesulitan mengobati pasien-pasien seperti itu. Saat itu,
dokter jantung masih terhitung jari dan rumah sakit jantung belum ada.
Kenyataan ini dan ingatan akan pesan ayahnya mendorong dr Sani datang ke
Jakarta mencoba melamar ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)
mengambil jurusan kardiologi. Ia menemui almarhum dr. Sukaman yang saat
itu menjabat sebagai kepala bagian kardiologi Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM). Ada satu pertanyaan dr. Sukarman yang masih diingat
olehnya, “Kenapa saudara memilih kardiologi?”
Dr Sani kemudian menjawab, “Menurut saya, masalah kardiologi akan
menonjol di masa depan dan memerlukan ahli yang banyak.” Jawaban dr Sani
ini rupanya menyukakan hati dr Sukaman yang juga menjadi dokter pribadi
mantan Presiden Soeharto (alm) dan meminta dr Sani agar segera pulang ke
Riau mengumpulkan uang untuk biaya sekolah. Satu tahun kemudian, 1981,
dr Sani diterima di FKUI RSCM bagian kardiologi. Tahun 1984, dr Sani
menyelesaikan studinya dan dilantik menjadi spesialis Penyakit Jantung
dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 1985.
Kedekatannya dengan dr Sukaman membuatnya tidak perlu bersusah payah
meretas karir sebagai dokter. Dr Sukaman memintanya agar tidak pergi ke
daerah sebab ia akan mendirikan Rumah Sakit Jantung Harapan Kita.
Singkat cerita, dr Sani bekerja di rumah sakit yang baru didirikan
tersebut sebagai staf di bagian Unit Pelayanan F Rehabilitasi.
Pekerjaannya di Unit Pelayanan F Rehabilitasi sempat terhenti karena ia
diangkat menjadi Direktur Penunjang Medik dan Pendidikan Rumah Sakit
Jantung Harapan Kita dari tahun 1994-1998. Setelah itu ia dipercaya
menjabat sebagai direktur utama sampai 2005. Karena usianya yang sudah
berkepala enam, dr Sani mengundurkan diri dan kembali ke Unit Pelayanan
F Rehabilitasi dan mengajar di kampus almamaternya Universitas
Indonesia.
Meski sudah tidak muda lagi, sebagai seorang ilmuwan, dr Sani tidak
berhenti membaca. Dengan mengutip isi sebuah jurnal terbitan terbaru
yang sedang dibacanya, dr Sani mengatakan bahwa medical is a long life
study (ilmu kedokteran adalah ilmu seumur hidup). Ia mengingatkan bahwa
penyakit terus berkembang. Bila hari ini disebut indikasi, di lain waktu
akan menjadi kontra indikasi. Kalau dulu ada obat yang disangka hanya
untuk demam seperti aspirin, namun menurut riset di negara maju bisa
digunakan untuk pengencer darah.
Keteguhannya untuk tidak berhenti belajar tidak lepas dari mimpinya,
mendidik dokter-dokter baru agar bisa lebih pintar darinya. Ia berusaha
agar semakin banyak dokter yang mau bergerak di bidang jantung sebab di
negeri ini, penyakit jantung menjadi penyebab kematian nomor satu.
Menurut statistik, tahun 1996 terdapat 16,4% kematian akibat penyakit
jantung, meningkat menjadi 24,5% tahun 2001.
Dr Sani memperkirakan, tahun 2008 persentasenya meningkat bisa
mencapai 30% melanda orang-orang berusia produktif di kota-kota besar
seperti Jakarta, Medan, Surabaya dan sebagainya.
Fakta statistik ini membuat dr Sani ingin berperan lebih besar mendidik
masyarakat untuk mencegah penyakit jantung. Peran ini bisa ia lakukan di
Yayasan Jantung Indonesia (YJI) sejak tahun 1981 sampai sekarang. Ia
mengatakan, yayasan ini menjadi tempat yang baik bagi orang yang mau
berbakti sebab sebagai relawan tidak dibayar. Ia pun sempat menjadi
pengurus di bagian penerangan klub jantung sehat, menjadi Ketua 3 di YJI
bersama Ibu Nina Akbar Tandjung dan terakhir menjadi anggota dewan
pembina YJI dari tahun 2005 sampai sekarang.
Segudang prestasi juga diraihnya diantaranya menjadi orang Indonesia
pertama dan terakhir - bersama rekannya Prof Hamid Umar - meraih
penghargaan bergengsi, Fellow Japanese College of Cardiology tahun 2001.
Penghargaan ini buah dari dedikasinya di bidang pengobatan penyakit
jantung dan pengalamannya beberapa kali menimba ilmu di negeri matahari
terbit itu. Meski rekan-rekannya sesama dokter banyak yang menolak studi
di Jepang karena tidak bisa praktek untuk mendapatkan penghasilan, dr
Sani tetap memanfaatkan kesempatan. Sebab bagi dia, rejeki ada di tangan
Tuhan. Saat itu, demi pendidikan yang lebih tinggi, ia rela pulang balik
ke Indonesia empat bulan sekali meninggalkan anak dan istrinya.
Pendidikan selama satu tahun itu ia lakoni dengan bijaksana.
Ia juga mengikuti berbagai pelatihan di bidang sub-spesialisasi Cardiac
Rehabilitation, Hoehenried, Jerman dan Heart Reseach Center, Melbourne,
Australia. Pelatihan di bidang Economic and Management of Health Care di
National University of Singapore. Kemudian berkesempatan mendapatkan
pelatihan Study on Educational System and Hospital Management Japanese
Council for Medical Training, Jepang. Pelatihan di bidang Public Health
diperolehnya dari The Bill and Melinda Gates Institute Bloomberg School
of Public Health, AS, hasil kerjasama antara Departement Kesehatan
Republik Indonesia dan John Hopkins University AS di Jakarta.
Berkat kiprahnya sebagai dokter yang baik, ia mendapat sejumlah
penghargaan di antaranya penghargaan dari Gubernur Sumatra Barat atas
Jasa, Pengabdian dan Sumbangsih dalam rangka pengembangan Pusat Jantung
Regional Rumah Sakit Dr. M. Djamil Padang tahun 2004 ; Satya Lancana
Karya Satya XX dari Presiden RI tahun 2004 ; Tanda Penghargaan Tri Windu
(Sakti Karya Husada Tri Windu) dari Menteri Kesehatan RI tahun 2004 ;
penghargaan dari LSM Dur Randha Peduli Anak Bangsa dalam Pelaksanaan
Operasi Jantung pasien tak mampu bernama Mara Alivia, dari Aceh tahun
2000 ; dan Pembina Teladan Klub Jantung Sehat Pondok Kelapa tahun 1994.
Tidak Pernah Bermimpi
Dr Sani sama sekali tidak berniat tinggal di Jakarta apalagi bermimpi
memimpin sebuah rumah sakit besar di Jakarta. Namun karena mentornya, dr
Sukaman memintanya untuk tinggal di Jakarta sebagai pendidik, ia melihat
itu sebagai tantangan. Seiring dengan berjalannya waktu, dr Sani
akhirnya dipercaya menjadi Direktur Rumah Sakit Jantung Harapan Kita
tahun 1998-2001. Rumah sakit ini kemudian berubah nama menjadi Pusat
Jantung Nasional Harapan Kita dan dia dipercaya kembali menjadi Direktur
Utama dari tahun 2001-2005.
Bagi sebagian orang, jabatan direktur adalah lahan untuk menumpuk
kekayaan. Namun lain halnya dengan dr Sani. “Saat saya direktur, jangan
Anda bayangkan saya kaya raya. Saya selalu mengikuti aturan, makanya
saya selamat. 11 tahun di direksi saya begini-begini saja, ya tidak
apa-apa, yang penting bisa berbuat sesuatu untuk rumah sakit,” katanya
lugas kepada Tokoh Indonesia.
Selama menjabat sebagai direktur, beberapa perbaikan dan perubahan di
rumah sakit PJNHK dilakukannya. Salah satunya adalah mengubah logo rumah
sakit. Berubahnya logo ini juga karena ada peristiwa tersendiri.
Dr Sani mengisahkan saat itu, rumah sakit Jantung Harapan Kita akan
membuat perjanjian kerjasama dengan National Heart Centre of Singapura.
Perjanjian ini dibuat agar Indonesia tidak dipandang enteng sekaligus
mengurangi jumlah pasien yang berobat ke Singapura. Sebelum perjanjian (MoU)
ditandatangani, Prof Liem, presiden direktur National Heart Centre of
Singapore memintanya agar mengirimkan logo Rumah Sakit Jantung Harapan
Kita yang akan dicetak dalam MoU.
Namun belakangan dalam MoU itu cuma logo National Heart Centre of
Singapura yang muncul sebab logo Rumah Sakit Jantung Harapan Kita
katanya tidak bisa ditiru karena terlalu rumit. Kata dr Sani, saat itu,
logo Rumah Sakit Jantung Harapan Kita seperti Pancasila, ada lambang
padi, kapas, bintang dan banteng. Sedangkan logo National Heart Centre
of Singapore sederhana, jantung dalam tulisan China yang didesain oleh
Prof Liem.
Pengalaman ini membuat dr Sani berpikir untuk mengubah logo rumah sakit
Jantung Harapan Kita. Ia bertemu dengan temannya seorang seniman, Ade
Rastiadi yang terkenal menggambar Konkopilan di Harian Kompas. Setelah
mengutarakan visi, misi dan falsafah yang dianut rumah sakit kepada
temannya itu, dibuatlah 80 model logo. Perwakilan dari dokter, perawat
dan karyawan dilibatkan untuk memilih logo mana yang terbaik menurut
mereka. Singkat cerita, terpilihlah logo yang kini digunakan oleh rumah
sakit PJNHK.
Dalam logo yang baru itu terdapat gambar hati berwarna merah berarti
darah bersih dan berani. Lingkaran biru menggambarkan pusat/centre, biru
menggambarkan darah kotor tetapi di sisi lain melambangkan kepercayaan.
Lingkaran hilang timbul menggambarkan irama atau ritme. Huruf jenis sans
serif sengaja digunakan karena huruf ini bisa dibaca dari jauh. Warna
biru digunakan karena kebanyakan orang akrab dengan warna biru. Begitu
pula dengan warna merah.
Sebagai pusat jantung nasional, selama memimpin rumah sakit PJNHK, dr
Sani berupaya melakukan terobosan-terobosan di antaranya mengirim
dokter-dokter belajar ke luar negeri seperti Belanda. Para perawat pun
diharuskan pandai berbahasa Inggris dengan skor TOEFL 400-500. Sedangkan
untuk para dokter wajib memiliki skor TOEFL 500-600 supaya bisa
berbicara dengan orang asing.
Penemuan-penemuan baru di bidang kedokteran juga terus diikuti seperti
bedah tanpa mesin (off pump). Ia sempat mengundang ahli bedah tanpa
mesin yang ditolak melakukan operasi di China. Dr Sani merasa bangga
saat mendengar jawaban ahli bedah tersebut tentang rumah sakit PJNHK
kepada Metro TV, “They have many complete resources, they are very brave
to invited me to Jakarta. Many doctor in China didn’t agree to give me
opportunity to do operation.” (Mereka mempunyai banyak peralatan lengkap,
mereka sangat berani mengundang saya ke Jakarta. Banyak dokter di China
yang tidak setuju saya melakukan operasi). Saat itu, sekitar tahun 2001,
Indonesia menjadi pusat pelatihan bedah tanpa mesin pertama di Asia
Pasifik dan negara ketiga di dunia yang mampu mengerjakan itu selain
Argentina dan Italia.
Harapan dan Kegelisahan
Sebagai seorang dokter sekaligus pendidik, dr Sani menyimpan sejumlah
harapan dan kegelisahan. Menurutnya, para pendidik masa kini harus mampu
mendidik dokter yang mumpuni, spesialis yang mempunyai kemampuan dan
hati nurani yang baik dan mau membantu rakyat kecil karena penyakit
jantung banyak diderita orang miskin.
Sementara orang kaya - biasanya menderita penyakit jantung koroner –
masih bisa menanggung biaya operasi dan pengobatannya, tetapi bagi
rakyat kecil - kebanyakan menderita penyakit jantung bawaan - biaya
untuk periksa saja sudah tergolong mahal. Biaya yang mahal itu bukan
karena biaya dokter yang tinggi tetapi karena peralatannya yang
berteknologi tinggi.
Untuk menyiasati biaya peralatan yang tinggi dan impor itu, dr Sani
melihat perlu dikembangkan riset mencari obat-obatan dalam negeri
sendiri agar tidak ‘dicuri’ negara lain. Dr Sani mencontohkan curcuma
atau temulawak yang dipatenkan oleh Jerman atau tempe dipatenkan Jepang.
Bahkan ada obat untuk mengencerkan darah yang disebut NATO dipatenkan
Jepang padahal bahannya terbuat dari tempe.
Agar hal-hal seperti itu tidak terjadi lagi, dr Sani berharap adanya
peneliti-peneliti yang fokus melakukan riset. Ia mengaku pernah
memfasilitasi peneliti-peneliti muda dari Universitas Indonesia untuk
mengikuti pendidikan riset selama empat tahun di Jepang. Saat pulang ke
Indonesia memboyong gelar PhD, umur mereka masih 30-an lalu
menyelesaikan studi kardiologinya.
Namun sayang, kebanyakan di antara mereka menjadi dokter yang hanya
mencari pasien melalui praktek saja. Mereka enggan menjadi peneliti
karena gaji sebagai peneliti kecil. Selain itu jarang ada yang mau
membiayai riset. Kenyataan menyedihkan di negeri ini berbeda dengan
negara lain yang memprioritaskan riset dan menggaji layak para
penelitinya.
Selain itu, dr Sani juga menyayangkan mentalitas sebagian rakyat
Indonesia yang lebih suka berobat ke luar negeri seperti Singapura.
Padahal fasilitas dan kemampuan dokter Indonesia sudah sama bagusnya
dengan dokter luar negeri. Biayanya pun lebih murah dibanding berobat ke
luar negeri. Bahkan bagi mereka yang kurang mampu sudah disediakan Askes.
Sewaktu dr Sani menjabat sebagai direktur utama PJNHK, pasien kurang
mampu dibebaskan biaya berobat.
Saat itu, dari segi biaya yang ditanggung, terdapat 50% pasien askes,
30% pribadi dan 20% asuransi. Bagi pasien yang tidak mampu dibebaskan
biaya dengan membuat surat yang menyatakan pembebasan. Biaya untuk
kalangan tidak mampu ini bisa ditanggung karena pasien yang kaya
menyubsidi pasien yang miskin. Mereka yang berobat di kelas VIP dan
Utama menopang mereka yang kurang mampu. Kebijakannya ini membuat rumah
sakit PJNHK diberi penghargaan sebagai provider Askes Terbaik.
Dr Sani juga melihat, dari segi ekonomi, orang Indonesia yang berobat ke
luar negeri membuat sumber devisa berkurang. Padahal kalau berobat di
Indonesia, menurut dia, akan memberi makan banyak orang. Contoh
sederhananya, tukang gado-gado di depan rumah sakit PJNHK bisa
menghidupi keluarganya. Ia kemudian mengambil contoh yang lebih besar
yang pernah dilakukan Presiden Benjamin Franklin pada masanya untuk
mengatasi krisis di Amerika.
Ia bukan membagi-bagikan uang namun dengan membuat bendungan di
Arizona untuk mengatasi kekeringan. Lapangan kerja dibuka, buruh-buruh
bisa bekerja dan membeli bahan pangan dari petani. Efeknya merambat
membuat ekonomi rakyat berputar. Itulah mengapa ia menjadi sedih setiap
kali melihat orang antri minta BLT (Bantuan Langsung Tunai). Baginya,
bangsa kita bukan bangsa pengemis yang suka minta sedekah atau sumbangan.
Di sisi lain, dr Sani mengakui, budaya berobat ke luar negeri juga
dialami oleh negara-negara lain. Banyak orang Jerman dan Belanda berobat
ke Swiss karena berobat di Swiss tidak dikenakan pajak. Bahkan penemu
transplantasi jantung membuka praktek di Swiss, bukan di negeri sendiri
Afrika Selatan. Oleh sebab itu, kenyataan ini bukan hal yang aneh lagi.
Sambil mengutip pepatah terkenal “rumput tetangga lebih hijau’, urusan
berobat pun sama halnya.
Padahal kalau mau mengakui, rumput negeri kita sendiri sama hijaunya
dengan negara lain. Kini, sudah banyak dokter Indonesia yang bagus dan
mampu. Ia mencontohkan, rata-rata ada sembilan operasi setiap harinya di
rumah sakit PJNHK, sedangkan di Singapura rata-rata dua operasi. Selain
itu, banyak dokter asing yang belajar di PJNHK. Meski demikian, masih
banyak orang kurang percaya dengan kemampuan dokter-dokter Indonesia. Dr
Sani melihatnya mungkin disebabkan kurangnya rasa kebangsaan.
Masyarakat juga seharusnya tidak lagi memandang sebelah mata rumah sakit
yang berdiri sejak tahun 1985 ini. PJNHK yang kini menjadi rujukan
nasional sudah memiliki rumah sakit binaan di Surabaya, Bandung, Medan,
Makasar, Manado, Padang, dan Banda Aceh. Dokter-dokter spesialis jantung
sudah tersebar. Kalau dulu Indonesia hanya memiliki 15-16 dokter jantung,
sekarang Indonesia sudah mempunyai sekitar 500-600 dokter ditambah
dokter-dokter lain yang bergerak di bidang jantung seperti dokter bedah
jantung dan dokter anestesi jantung dengan jumlah sekitar 600-700 dokter.
Namun, harus diakui, jumlah ini masih sangat sedikit bila
dibandingkan dengan negara lain. Saat ini Filipina mempunyai 2.000
dokter jantung, Jepang 10.000-15.000 dokter jantung dan Belanda
mempunyai 5.000-6.000 dokter jantung. Sedangkan Indonesia yang
penduduknya sekitar 220 juta jiwa hanya memiliki 500-600 dokter jantung.
Oleh sebab itu, dr Sani berharap pusat-pusat jantung regional seperti di
Medan, Padang dan Surabaya bisa menjadi pusat pendidikan untuk
menghasilkan dokter-dokter jantung berkualitas. Diharapkan, Medan bisa
menghasilkan minimal 10 dokter per tahun, Surabaya minimal 15 dokter per
tahun, Padang minimal 10 dokter per tahun dan rumah sakit PJNHK minimal
bisa menghasilkan 20 dokter per tahun.
Sehingga total dokter jantung yang bisa dihasilkan sekitar 200-300
dokter jantung per tahun. Jumlah ini menjadi terbilang sedikit kalau
melihat jumlah dokter-dokter yang sudah tua dan akan pensiun. Sebagian
besar dokter jantung sekarang berusia di atas 50 tahun. Kaderisasi
terlambat karena dulu pusat pendidikan hanya ada di Jakarta dan
Surabaya. Namun sekarang sudah memiliki 11 pusat pendidikan.
Dr Sani juga menyambut baik program dokter PTT (Pegawai Tidak Tetap)
yang ditempatkan di daerah-daerah terpencil. Dengan ditempatkan di sana,
para dokter bisa dilatih kepekaannya dalam memberikan layanan kesehatan
kepada penduduk setempat. Pengalamannya di Muara Kuala Kampar, Riau
tahun 1974 memberikan banyak pelajaran berharga.
Ia pernah dikirim ke Pulau Penyalai, dimana mata pencaharian
penduduknya adalah menjala ikan. Di pulau itu banyak ditemui penyakit
malaria, penyaki kuru/patek, frambusia, dan muntaber. Makanan utama
penduduknya adalah sagu yang dikukus dengan ikan lunak yang pedas. Tidak
ada beras di sana. Dengan melihat kondisi masyarakat itu, para dokter
diharapkan bisa tergerak hatinya untuk tidak menjadi dokter di kota
besar saja.
Indonesia juga kesulitan mengejar ketertinggalan dengan negara lain di
bidang kesehatan, menurut dr Sani karena Indonesia masih dipusingkan
dengan masalah-masalah kecil. Itulah sebabnya dukungan yang diberikan
Departemen Kesehatan untuk PJNHK tidak bisa seratus persen.
Meski Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari juga seorang kardiolog,
ia tidak bisa hanya memikirkan masalah penyakit jantung, namun juga
penyakit lainnya. Selain harus berurusan dengan penyakit negara maju
seperti jantung, kanker, hipertensi, atau kencing manis, Indonesia masih
berkutat pada penyakit-penyakit ‘kecil’ seperti demam berdarah, malaria,
muntaber, dan infeksi saluran pernapasan. Padahal di negara maju seperti
Amerika, penyakit infeksi seperti tetanus sudah sangat jarang ditemukan.
Itulah sebabnya, dr Sani melihat, masalah kesehatan bukan hanya tanggung
jawab Departemen Kesehatan (Depkes). Dukungan dari masyarakat dan
lembaga-lembaga sosial masyarakat untuk membantu Depkes sangat
diperlukan. Khusus untuk penyakit jantung, PJNHK melalui Yayasan Jantung
Indonesia (YJI) berusaha melakukan perannya secara optimal. Salah
satunya melakukan penyuluhan di berbagai daerah.
Selain memberikan penyuluhan kepada masyarakat, dr Sani juga menulis
sebuah buku tentang heart failure agar para dokter umum dan profesi
kesehatan lainnya bisa paham seluk beluk penyakit jantung. Sebab jumlah
penderita penyakit jantung terus bertambah. Dalam buku itu diterangkan,
hidup sehat dan rutin berolahraga akan memperkecil kemungkinan terkena
penyakit jantung.
Selama ini penyebab gagal jantung adalah penanganan penyakit awal
yang kurang baik seperti hipertensi, diabetes, koroner, penyakit jantung
katup, dan penyakit jantung infeksi. Bila hipertensi ditangani dengan
baik maka angka gagal jantung akan turun menjadi setengah. Dr Sani juga
melihat pengetahuan dokter umum dalam penanganan gagal jantung sangat
rendah. Oleh sebab itu, lewat buku yang ditulisnya, dokter umum bisa
mengetahui paradigma baru dalam penanganan gagal jantung. Dr Sani
bersyukur kalau bukunya itu mendapat sambutan bagus dari para dokter
umum.
Cinta Indonesia
Di tengah era globalisasi sekarang ini, banyak orang dengan berbagai
alasan berlomba-lomba pindah keluar negeri dan kalau bisa mengganti
kewarganegaraannya. Berbagai kesempatan dan tawaran untuk menetap di
luar negeri juga datang kepada dr Sani, namun semuanya ia tampik.
Ia mengaku sangat mencintai Indonesia dan ingin memberikan dirinya
untuk membangun negeri ini. Ia tetap teguh dengan pendiriannya itu
meskipun semua saudaranya sudah pindah dan menjadi warga negara Amerika.
Saudara-saudaranya berulang kali mengajaknya, namun dengan alasan yang
masuk akal ia menjawab, “Kalau saya ikut kalian, siapa yang akan
mengurus kalian bila pulang ke Indonesia.” Dr Sani tidak bisa
menyalahkan pilihan saudara-saudaranya itu sebab saat mereka pindah,
kondisi Indonesia sedang sangat susah.
Pernah suatu kali, ibunya yang sakit ingin dibawanya pulang untuk
berobat di Indonesia. Namun, dalam pemungutan suara di antara
saudara-saudaranya, ia kalah. Seorang saudaranya bertanya kepada dia,
apakah di Indonesia, sang ibu bisa dibawa ke rumah sakit dalam 15 menit.
Sebuah pertanyaan yang bagi dokter paling berpengalaman pun cukup
mengada-ada.
Belum lagi argumen dari saudaranya bahwa pelayanan kesehatan di
Amerika sangat baik. Sang ibu mendapat tunjangan pensiun $3.000 dollar
AS sedangkan kalau di Indonesia cuma mendapat Rp 170.000. Pertanyaan dan
argumen saudaranya itu membuat dr Sani tidak bisa bersikeras memboyong
ibunya berobat di Indonesia.
Meski banyak suara-suara negatif tentang Indonesia, dr Sani tetap
mencintai Indonesia. Baginya Indonesia adalah negara besar yang memiliki
segalanya. Namun mengapa, Singapura dan Jepang yang luas negara dan
jumlah penduduknya lebih sedikit bisa lebih kaya. Ia melihat,
keberhasilan negara-negara itu karena ada tenaga ahli yang mengelola.
Indonesia sebenarnya mempunyai orang-orang yang cerdas dan berpotensi.
Ia mengambil contoh siswa-siswi pemenang olimpiade Fisika, yang
menurutnya harus dididik dengan baik. Kalau perlu mereka dibebaskan
biaya pendidikan. Jangan sampai anak Indonesia yang berpotensi itu putus
sekolah karena biaya pendidikan yang semakin mahal sekarang ini.
Termasuk biaya pendidikan untuk masuk fakultas kedokteran yang bisa
ratusan juta rupiah. Bagi dr Sani, sudah sepatutnya pemerintah
memprioritaskan pendidikan dan memenuhi janjinya meningkatkan anggaran
pendidikan minimal hingga 20%.
Istri dan Anak
Berbagai keberhasilan dan karya yang ia sumbangkan tidak lepas dari
peran istri dan anak-anaknya. Saat bercerita tentang istrinya,
Firdanerri A. Sani, tersirat kebanggaan dan keharuan dari setiap kata
yang keluar dari mulutnya. Meski sang istri seorang ibu rumah tangga
biasa, kuliahnya di fakultas peternakan tidak selesai karena menikah, dr
Sani mengaku bangga bisa memiliki pasangan hidup seperti dia. Bahkan dr
Sani mengakui, tanpa bermaksud gombal, ia tidak akan bisa hidup tanpa
istrinya.
Berbagai pujian tentang istrinya ia utarakan. Cantik, sangat setia,
tidak pernah cemburu meski dr Sani mempunyai banyak pasien perempuan,
sangat cekatan, perfeksionis, rapi bersih, dan pintar masak. Hingga kini,
bila di rumah, dr Sani tidak pernah makan masakan orang lain. Meskipun
waktu itu istrinya sedang sibuk-sibuknya sebagai Ketua Umum Yayasan
Jantung Indonesia (YJI), sang istri tetap menyempatkan diri memasak di
rumah. Kualitas lainnya adalah istrinya mau belajar dan banyak membaca,
kualitas ini yang membuat istrinya bisa memimpin organisasi sebesar YJI.
Kedekatannya dengan sang istri juga buah dari pengalaman mengarungi
hidup dalam suka dan duka. Kemanapun dr Sani pergi, ia selalu berusaha
membawa istrinya. Bila ada seminar di mana saja termasuk di luar negeri,
ia berusaha mengumpulkan ongkos untuk istrinya agar bisa ikut.
Saat dr Sani mengikuti seminar, istrinya pergi melihat pameran di
tempat lain sehingga punya banyak wawasan. Istrinya pun sangat mendukung
pilihan yang diambil dr Sani. Saat dr Sani masih menimba ilmu dan mereka
sudah tidak punya uang lagi, sang istri rela pergi ke pasar menjual emas
yang masih dimiliki untuk menutupi biaya hidup dan biaya sekolah. Sang
istri selalu mengingatkannya untuk berhati-hati mengelola hidup, jangan
terlalu berkelimpahan, jangan menyusahkan orang lain dan jangan mengemis
kepada orang lain.
Dr Sani juga menceritakan sedikit kisah bagaimana sang istri bisa
menjabat sebagai Ketua Umum Yayasan Jantung Indonesia. Semuanya berawal
dari kesibukan sebagai ibu rumah tangga yang sudah sangat berkurang
karena anak-anaknya sudah besar.
Selain itu, istrinya merasa terpanggil untuk menolong orang lain.
Istrinya kemudian bergabung dengan YJI tahun 1985 sebagai relawan lalu
berlanjut menjadi pengurus di bagian medik. Dimulai dari hal kecil
seperti memperhatikan apakah ada pasien yang perlu dibantu. Bila ada
pasien yang meninggal, istrinya datang ke kamar jenazah untuk mengurus
keberangkatan jenazah itu esoknya. Dr Sani sering menemani istrinya
melakukan hal itu. Agar lebih efisien, istrinya menjalin kerjasama
dengan Garuda.
Diangkatlah beberapa pegawai untuk mengurus soal pemberangkatan
jenazah tersebut sehingga istrinya tidak perlu lagi datang ke kamar
jenazah. Istrinya juga banyak mencanangkan program atau kegiatan baru
seperti program ibu angkat untuk pasien miskin yang sudah dioperasi.
Ibu-ibu angkat ini kebanyakan adalah istri-istri duta besar dan pejabat.
Ada pula upaya menggalang dana lewat malam dana. Dana yang berhasil
dikumpulkan digunakan untuk membiayai kegiatan preventive care melalui
Yayasan Jantung Sehat dan Klub Jantung Remaja. Para guru dididik tentang
kesehatan jantung di sekolah-sekolah.
Berkat kepemimpinan dan dedikasinya, sang istri kemudian dipercaya
menjadi Ketua Umum Yayasan Jantung Indonesia untuk periode 2003-2008.
Bersama sang istri, dr Sani bergerak membantu masyarakat yang tidak
mampu dalam menangani penyakit jantung. Sosialisasi dan penyuluhan
banyak dilakukan di cabang-cabang Yayasan Jantung Indonesia diantaranya
Klub Jantung Sehat (KJS). Klub yang sudah ada di berbagai provinsi
hingga kecamatan ini berdiri berkat swadaya masyarakat.
Dr Sani merasa bangga karena Indonesia menjadi satu-satunya negara di
dunia yang memiliki klub yang terorganisasi dengan baik. YJI pernah
mendapat penghargaan dari World Heart Federation berkat upayanya
mengedukasi masyarakat lewat klub-klub tersebut. Dr Sani berterima kasih
kepada para tokoh di belakang layar yang sudah banyak memberi dukungan
di antaranya Bapak Bustanil Arifin beserta ibu, Prof. Dede Kusmana, Prof
Hanafiah, dan masih banyak yang lain. Selesai menjabat sebagai ketua
umum, sang istri kini menjabat Ketua 3 YJI.
Saat ditanya tentang anak-anak, dr Sani tambah bersemangat menjelaskan.
Meski kedua putrinya tidak ada yang mau menjadi dokter, dr Sani tetap
bangga terhadap mereka. Putrinya yang pertama, Annelia Sari Sani kini
bekerja sebagai psikolog yang menangani anak-anak autis di sebuah Rumah
Sakit Anak dan Bersalin. Putri kedua, Audianne Ferdiani Sani adalah
lulusan sastra Jepang Universitas Indonesia dan S2 Jurusan Businness
Communication KEIO University Tokyo Jepang. Putrinya ini sekarang banyak
mengajar orang Jepang dan menerjemahkan komik-komik Jepang.
Sisa Waktu
Kini, di usianya yang sudah tidak muda lagi, dr Aulia Sani lebih banyak
mengisi waktunya menjadi staf pengajar Bagian Kardiologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dan bekerja di unit rehabilitasi
rumah sakit PJNHK. Sebagai pegawai negeri, ia seharusnya sudah pensiun,
namun karena ilmu dan pengalamannya masih sangat dibutuhkan, ia diangkat
lagi menjadi staf pengajar di UI. “Usia saya sudah 63 tahun. Sekarang
saya lebih banyak terjun di bidang pendidikan, menulis, ceramah, di
samping praktek,” ujarnya sebelum mengakhiri wawancara dengan Tokoh
Indonesia.
Dr Sani mengakui pekerjaan di unit rehabilitasi merupakan pekerjaan yang
tidak menarik. Tidak banyak yang mau bekerja di situ karena ‘tidak ada
duitnya’. Sedangkan unit yang banyak duit ada di kamar kateterisasi,
bedah jantung, dan poliklinik. Meski unit rehabilitasi kurang ‘menjanjikan’,
namun dari unit inilah sebagian besar direktur berasal sebab keahlian
manajemen mereka lebih bagus. Pengganti dr Sani yang kini menjadi
direktur utama, dr. Faisal juga berasal dari unit rehabilitasi.
Dr Sani tidak menyesal berkiprah di unit rehabilitasi meski uangnya
sedikit. Baginya unit rehabilitasi merupakan unit yang paling sulit
karena membantu pasien untuk kembali hidup normal setelah terkena
serangan jantung. Membangun kerjasama antara dokter, pasien dan keluarga
pasien menjadi tantangan tersendiri di unit ini. Bagaimana mendidik para
pasien untuk berpikir positif, rajin berolahraga, dan tetap melakukan
pekerjaannya.
Dr Sani mencontohkan Bapak Habibie yang sudah menjalani operasi
jantung tetap bisa mengemban tanggung jawab sebagai presiden. Menurutnya,
orang yang jantungnya sudah dibalon atau di-bypass, tetap bisa hidup
seperti orang normal. Membentuk paradigma yang benar dan mengembalikan
semangat hidup pasien, itulah tugas para dokter di unit rehabilitasi.
Di sela kesibukan dan sisa waktunya, dr Sani juga ingin menulis buku
sebanyak-banyaknya. Meski sudah berpengalaman menulis di berbagai
majalah kesehatan serta telah memublikasikan lebih dari 40 penulisan
ilmiah, menulis buku menjadi tantangan tersendiri baginya. Selain itu,
dengan menulis buku, kebiasaan membaca buku bisa tetap terpelihara. Di
sisi lain, keinginan menulis buku ini terkendala karena ia mengaku
gaptek (gagap teknologi). Membuka dan berkirim e-mail bisa menjadi
aktivitas yang membingungkan baginya.
Meski demikian, ia tetap berusaha mewujudkan mimpinya menulis buku. Ia
tulis dulu materi bukunya lalu diketik pelan-pelan di rumah. Saat ini ia
sedang menulis buku tentang hipertensi. Buku ini merupakan buku kedua.
Buku pertamanya, Heart Failure yang dicetak 4.000 eksemplar habis laris
manis.
Ada kebanggaan tersendiri dari buku pertamanya ini sebab bukunya itu
dibaca oleh gurunya Prof Askin Hanafiah. “Buku ye bagus, ek sdh baca. Ye
bakat menulis,” kata sang guru memuji dr Sani. Setelah buku pertama ini
dilepas ke pasar, dr Sani semakin sering diundang ke berbagai ceramah
dan diskusi. Hingga kini, ia tetap fokus memberikan penyuluhan kepada
masyarakat tentang bagaimana mengelola kesehatan agar terhindar dari
penyakit jantung. ► dgr,mlp - Majalah Tokoh Indonesia Edisi 39 Thn V,
Agustus-September 2008 -
www.rumahkesehatan.com
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
|
|