|
C © updated 21112005 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
► e-ti/kps |
|
|
Nama:
HJC Princen
Nama Lengkap:
Haji Johannes Cornelis Princen
Lahir:
Den Haag, Belanda, 21 November 1925
Meninggal:
22 Februari 2002
Agama:
Islam
Isteri:
Sri Mulyati
Anak:
Ratna, Iwan, Nico, dan Milanda
Pendidikan :
- Sekolah Dasar (SD) 7 tahun
- Sekolah Menengah Seminari 6 tahun
- Pendidikan Tentara Perwira Intelijen sampai tahun 1952
Jabatan:
- Ketua Lembaga Pembela Hak-hak Asasi Manusia (Institute For
Defence Of Human Rights)
- Pengacara
Perjalanan Karir:
- Biro Penasehat Ekonomi Teppema dan Vargroup Groothandel voor
Chemische Producten di Den Haag (1942-1943)
- Stoottroepen Regiment Brabant dan bekerja pada Bureau voor Nationale
Veiligheid (1945)
- Ikut Long March dari Jateng ke Jabar bersama Batalyon Kala Hitam,
kemudian bekerja di SUAD (1948-1956)
- Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) (1956)
- Ketua Umum Lembaga Pembela Hak-Hak Azasi Manusia ({LPHAM) (sejak 1966)
- Pimpinan Yayasan LBH Indonesia (1970)
- Wartawan untuk suratkabar dan Radio Belanda di Indonesia (1969-1972)
- Pengacara (sejak 1979)
- Pendengar dalam Pengkajian Pokja Petisi 50 (1988)
- Mendirikan Serikat Buruh Merdeka - Setia Kawan dan menjadi ketuanya
(1990)
- Menjadi Wakil Ketua Caretaker Yayasan LBH Indonesia (YLBHI) (1995)
Kegiatan Lain:
- Dijatuhi Hukuman mati di Utrecht
- Penghuni kamp konsentrasi Jerman di 7 kota Eropa
- Ditangkap sewaktu peristiwa Madiun, bebas 19 Desember 1948
- Ditahan atas peristiwa PRRI Permesta
- Ditahan atas perintah Presiden Soekarno (1962-1966)
- Ditahan akibat peristiwa Malari (1972-1976)
- Ditahan atas tuduhan menganggu sidang DPR (1978)
- Turut membela para tertuduh dalam kasusTanjung Priok (1984)
- Dipanggil Kejaksaan Agung (Kejakgung) berkaitan dengan
keikutsertaannya pada konferensi tentang Timor Timur (APCET/Asia Pacific
Conference on East Timor) di Kuala Lumpur, Malaysia (November 1996)
Publikasi:
- Menerbitkan buku "Riwayat Hidup di Negeri Belanda" dalam bahasa
Belanda (1989) yang menimbulkan kontroversi mengenai pro dan anti
Indonesia
- Menerbitkan buku "Een Kwestie van Kiezen" (Persoalan Memilih) di
Belanda (1995)
Penghargaan:
- Bintang Gerilya dari Presiden Soekarno (5 Oktober 1949)
- Penghargaan Yap Thiam Hien Award 1992
Alamat Rumah Keluarga:
Jln.Arjuna III/15, Jatinegara, Jakarta Timur
Alamat Kantor:
Jln. Kramat Asem Raya No37, Jakarta 13120
Telp/Fax. (021) 856-3389
|
|
|
|
|
|
|
HJC PRINCEN HOME |
|
|
HJC Princen
Haji Belanda Pejuang HAM
Haji Johannes Cornelis Princen kelahiran Den Haag, Belanda 21 November
1925, tokoh pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi yang konsisten
berjuang sejak jaman kolonial Belanda, era demokrasi terpimpin, era Orde
Baru dan era reformasi. Dia meninggal dunia pada Jumat 22 Februari 2002
dinihari pukul 00:55 WIB di kediamannya Jalan Arjuna 3 Nomor 24,
Pisangan Baru, Utan Kayu Selatan, Jakarta Timur setelah beberapa lama
lumpuh akibat stroke.
Dia pejuang HAM sejati. Sejak 1996 dia sudah terpaksa menggunakan kursi
roda, namun tetap mendampingi simpatisan Megawati yang ditangkapi polisi
dalam kasus 27 Juli 1996 hingga pertengahan tahun 2001 ketika
mendampingi warga yang digusur aparat Tramtib Pemprov DKI.
Sebelumnya, dia dirawat di RS PGI Cikini, Jalan Raden Saleh, Jakarta
Pusat akibat beberapa kali terserang stroke serta sakit diabetes. Dia
meninggalkan, istrinya, Sri Mulyati juga sudah menggunakan kursi roda
dan empat orang anak yaitu Ratna, Iwan, Nico, dan Milanda. Jenazahnya
dimakamkan usai shalat Jumat di Pemakaman Umum Pondok Kelapa, Jakarta
Timur.
Penerima penghargaan Yap Thiam Hien Award 1992 untuk perjuangannya
menegakkan demokrasi dan HAM, ini disebut para sahabatnya sebagai
serdadu Belanda yang bergabung dengan pejuang kemerdekaan. Ia merupakan
tokoh penting di masa perdebatan konstitusi pada dasawarsa 50'an.
Sumbangan terbesar Princen untuk demokrasi adalah perjuangannya merubah
model komunikasi politik dari tidak mempedulikan hak masyarakat menjadi
model komunikasi yang menekankan hak masyarakat.
Mantan Ketua Lembaga Pembela Hak-hak Asasi Manusia (Institute For
Defence Of Human Rights) ini setelah menamatkan Sekolah Dasar (SD) 7
tahun, melanjut ke Sekolah Menengah Seminari 6 tahun dan Pendidikan
Tentara Perwira Intelijen sampai tahun 1952.
Perjalanan karirnya dimulai dari Biro Penasehat Ekonomi Teppema dan
Vargroup Groothandel voor Chemische Producten di Den Haag (1942-1943).
Kemudian Stoottroepen Regiment Brabant dan bekerja pada Bureau voor
Nationale Veiligheid (1945). Lalu ikut Long March dari Jateng ke Jabar
bersama Batalyon Kala Hitam, kemudian bekerja di SUAD (1948-1956).
Sempat menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) (1956). Setelah
itu dia menjabat Ketua Umum Lembaga Pembela Hak-Hak Azasi Manusia
({LPHAM) (sejak 1966). Juga memimpin Yayasan LBH Indonesia (1970),
seraya aktif sebagai wartawan untuk suratkabar dan Radio Belanda di
Indonesia (1969-1972).
Sejak 1979 dia pun aktif sebagai pengacara. Tahun 1988, dia aktif
sebagai pendengar dalam Pengkajian Pokja Petisi 50. Kemudian mendirikan
Serikat Buruh Merdeka - Setia Kawan dan menjadi ketuanya (1990). Tahun
1995 menjabat Wakil Ketua Caretaker Yayasan LBH Indonesia (YLBHI)
Perjalanan hidup dan perjuangan penerima Bintang Gerilya dari Presiden
Soekarno (5 Oktober 1949), ini telah dilalui dengan beberapa kali
dijatuhi hukuman dan ditahan. Dia pernah dijatuhi Hukuman mati di
Utrecht. Dia juga ikut menghuni kamp konsentrasi Jerman di 7 kota Eropa.
Di Indonesia, dia ditangkap sewaktu peristiwa Madiun, bebas 19
Desember 1948. Kemudian ditahan atas peristiwa PRRI Permesta. Ditahan
lagi atas perintah Presiden Soekarno (1962-1966). Kemudian, akibat
peristiwa Malari dia pun ikut ditahan (1972-1976). Tahun 1978, dia
ditahan atas tuduhan menganggu sidang DPR (1978).
Dia juga mendapat berbagai tantangan karena turut membela para
tertuduh dalam kasusTanjung Priok (1984). Dia dipanggil Kejaksaan Agung
(Kejakgung) berkaitan dengan keikutsertaannya pada konferensi tentang
Timor Timur (APCET/Asia Pacific Conference on East Timor) di Kuala
Lumpur, Malaysia (November 1996)
Dia juga telah menerbitkan beberapa buku, antara lain buku "Riwayat
Hidup di Negeri Belanda" dalam bahasa Belanda (1989) yang menimbulkan
kontroversi mengenai pro dan anti Indonesia. Juga buku "Een Kwestie van
Kiezen" (Persoalan Memilih) di Belanda (1995). ►e-ti/mlp
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
In Memoriam HJC Princen
Poncke Bukan Serdadu Biasa
Setiap bangsa memiliki definisinya sendiri tentang siapa yang disebut
pahlawan. Setiap bangsa tentu juga memiliki definisinya sendiri tentang
siapa yang disebut sebagai penghianat. Tapi dimana sebetulnya beda
antara pahlawan dan penghianat itu. Dalam setiap pertempuran, seorang
serdadu hanya memiliki dua pilihan: menjadi pahlawan atau penghianat.
Jan Cornelis Princen adalah sebuah perkecualian. Lelaki kelahiran Den
Haag, Belanda, 21 November 1925 mengecap dua pilihan itu. Pada jamannya
di negeri asalnya di Belanda sana, dia dikecam, dicacimaki dan
berkali-kali diancam akan dibunuh sebagai disertir. Begitulah memang
hukum perang. Bagaimana tidak, ketika perang kemerdekaan melawan Belanda
pecah di negeri ini, seorang serdadu bule membelot, bergabung dengan
tentara-tentara republiken.
Tapi toh, dia punya alasan. "Saya ini kan mengenal Symphoni ke-9 ciptaan
Beethoven. Bunyi syairnya antara lain semua anak manusia harus
bersaudara. Mengenai perasaan sesama saudara itu, saya rasakan ketika
saya mendekam di kamp konsentrasi Jerman. Saya pernah mau dihukum mati.
Dan itulah pengalaman dari sebuah negara yang pernah menjajah, yang
kemudian dijajah negara lain," katanya dalam sebuah perbincangan
(Kompas, 26/11/95).
Poncke, demikian dia akrab dipanggil, memang bukan serdadu biasa. Ketika
100-an ribu serdadu Belanda manut taat pada komando parlemen selama masa
kolonialisme di Indonesia, serdadu Poncke berpikir keras tentang
realitas politik di tanah jajahan itu. Sejak awal serdadu bule ini
memang gerah dengan perang. Tak heran ketika ada pendaftara prajurit dia
memilih untuk tidak mendaftarkan diri, lari ke Perancis. Lebih baik
menjadi buruh pemetik anggur daripada membunuh para pejuang Indonesia.
Membekas dihatinya pengalaman mendiami kamp konsentrasi di tujuh kota di
Eropa ketika negerinya dijajah tentara-tentara Jerman. Ketika dia
bergabung dalam tentara kerajaan negerinya dan menjadi tentara penjajah
di negeri orang lain, hati nuraninya terusik. Jika dia tetap menjadi
serdadu Belanda dan menembaki bangsa yang sedang memperjuangkan
kemerdekaannya apa beda dia dengan serdadu-serdadu Jerman yang menjajah
negerinya.
Tanggal 26 September 1948, serdadu Poncke meninggalkan Jakarta
menyeberangi garis demarkasi dan bergabung dengan pihak lawan. Ketika
tentara negerinya menyerang Yogyakarta tahun 1949 dia telah bergabung
dengan divisi Siliwangi. Malah ikut longmarch ke Jawa Barat dan terus
aktif dalam perang gerilya. Isterinya, seorang peranakan republiken
sunda dibunuh tentara Belanda dalam sebuah pertempuran sengit. Tidak
cuma isterinya, anaknya yang dalam kandungan ikut tewas. Poncke mendapat
anugerah Bintang Gerilya dari Presiden Soekarno pada tahun 1949.
Sesudah perang usai, dia menulis kepada orangtuanya, ingin belajar
sejarah kebudayaan atau susastra. Dia menegaskan tidak ingin selamanya
menjadi tentara. "Sementara ini saya tentu saja masih tetap dalam
tentara (TNI) untuk sedikit menyumbang, tetapi toh sebisa mungkin saya
ingin keluar. Masih ada karya lain yang lebih penting perlu dikerjakan,"
begitu dia menulis surat kepada Ibunya di tanah air.
Entah apa yang dipikirkan Poncke pada waktu itu tentang tentang karya
lainnya itu. Menjadi terang kemudian, karya lain itu juga adalah sebuah
pertempuran baru. Pertempuran yang tak kalah sengit dan kejam.
Pertempuran membela yang miskin dan tertindas. Pertempuran membela
hak-hak asasi manusia.
Tahun 1948 ketika dia membelot ke pihak RI, sebenarnya sudah jelas apa
yang dia perjuangkan sebagai seorang serdadu. Dia berperang untuk
membela hak asasi sebuah bangsa atas kemerdekaannya. Pilihan
eksistensialnya itu mengental dalam pilihan perjuangan selanjutnya.
Setelah bangsa ini memperoleh kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus
1945, serdadu Poncke masih terus berperang membela hak-hak asasi manusia
bangsa Indonesia.
Di negeri barunya, serdadu Poncke dikenal sebagai pejuang hak asasi
manusia yang tangguh. Dia berganti nama Haji Johannes Cornelis Princen.
Nama boleh berubah. Tapi semangatnya tak bergeming barang seinci.
Seperti dulu, ia tetap tak pandang bulu membela apa yang digetarkan oleh
hati nuraninya. Apapun ditabraknya. Lihat saja namanya yang bertabrakan
tak menentu itu. Ia membela bekas tahanan politik PKI, padahal mereka
dulu menjadi musuh politiknya. Dia juga membela para mahasiswa yang
berbeda dengan pemerintah.
Tahun 1966 dia mendirikan Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia. Tahun 1970
dia ikut membidani lahirnya Yayasan Lembagai Bantuan Hukum Indonesia.
Lembaga terakhir ini sangat disegani kiprah dan suaranya oleh
pemerintah. Sampai sekarang YLBHI masih eksis dalam kerja-kerja
pembelaan hak asasi manusia. Tahun 1992, sebagai pengakuan atas komitmen
dan konsistensinya pada perjuangan hak asasi manusia, Poncke mendapat
anugerah Yap Thiam Hien.
Poncke bukanlah orang suci. Poncke orang yang berani mengamini apa yang
diyakininya sebagai benar. Dia konsekuen untuk itu. Akibatnya, dia
dipenjara oleh pemerintahan yang pernah dibelanya yang kepadanya dia
mempertaruhkan nyawa dan kehancuran nama baiknya di negerinya sendiri.
Ia dipenjara di masa orde lama karena menentang politik Soekarno dan
membentuk Liga Demokrasi. Di masa orde barupun, selama dua tahun dia
mondok di hotel prodeo karena keterlibatannya dalam peristiwa Malari.
Buat Poncke barangkali hidup ini hampir-hampir tidak memiliki dasar
apapun untuk untuk dijalankan. Hidup seperti perburuan yang tak kunjung
usai. Perburuan yang tak pernah mengecap hasil buruan Namun serdadu
Poncke telah memberikan dasar bagi hidupnya. Sesungguhnya dia telah
memilih menjadi seorang serdadu. Kesetiannya sebagai serdadu tidak dia
berikan kepada satuan kompinya bahkan bukan kepada negaranya. Serdadu
Poncke adalah serdadu yang setia pada hati nurani, kebenaran, dan Hak
Asasi Manusia. Itulah kenapa Serdadu Poncke bukan serdadu biasa. Selamat
jalan Serdadu (KCM, 22/2/2002, Heru Margianto)
|
|