|
C © updated 23022005 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
► e-ti/rp |
|
|
Nama:
Prof Dr Kuntowijoyo
Lahir:
Bantul, Yogyakarta, 18 September 1943
Meninggal:
Yogyakarta, 22 Februari 2005
Agama:
Islam
Isteri:
Drs Susilaningsih MA (Menikah 8 November 1969)
Anak:
- Ir Punang Amaripuja SE MSc
- Alun Paradipta
Pendidikan:
- SRN, Klaten (1956)
- SMPN, Klaten (1959)
- SMAN, Surakarta (1962)
- S1 (Sarjana) Fakultas Sastra UGM, Yogyakarta (1969)
- S2 (MA) Universisity of Connecticut, AS (1974)
- S3 (Doktor) Ilmu Sejarah dari Universitas Columbia, AS (1980)
Karir:
- Asisten Dosen Fakultas Sastra UGM (1965-1970)
- Dosen Fakultas Sastra UGM (1970-2005)
Kegiatan Lain:
- Sekretaris Lembaga Seni & Kebudayaan Islam (1963-1969)
- Ketua Studi Grup Mantika (1969-1971)
- Pendiri Pondok Pesantren Budi Mulia (1980)
- Pendiri Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan (PPSK) di Yogyakarta
(1980)
Karya, al:
- Khotbah Di Atas Bukit, Pustaka Jaya (1976)
- Isyarat, Pustaka Jaya (1976)
- Suluk Awang-Uwong, Budaya Jaya (1975)
- Kumpulan puisi Daun Makrifat Makrifat Daun (1995)
- Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, Shalahuddin Press, 1985
- Intelektualisme Muhammadiyah: Menyongsong Era Baru
- Identitas Politik Umat Islam
- Esai-Esai Budaya dan Politik 2002
- Demokrasi dan Budaya (1994)
- Pengantar Ilmu Sejarah (1995)
- Metodologi Sejarah (1994)
- Radikalisme Petani (1993)
Penghargaan:
- Penghargaan Kebudayaan ICMI (1995)
- Satyalencana Kebudayaan RI (1997)
- ASEAN Award on Culture and Information (1997)
- Mizan Award (1998)
- Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Sastra dari Menristek (1999)
- FEA Right Award Thailand (1999)
- Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan, cerpen terbaik versi Harian Kompas
berturut-turut pada 1995, 1996 dan 1997
- Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1968), memenangkan penghargaan
pertama dari sebuah majalah sastra.
- Novel Pasar meraih hadiah Panitia Hari Buku, 1972
- Naskah drama Rumput-Rumput Danau Bento (1968) dan Topeng Kayu (1973)
mendapatkan penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta.
- Hadiah Sastra dari Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) atas novel
Mantra Pejinak Ular (2001)
Alamat Rumah:
Jalan Ampelgading 429 Perumnas UGM Condongcatur, Sleman, Yogyakarta
|
|
|
|
|
|
|
KUNTO HOME |
|
|
Kuntowijoyo (1943-2005) Sejarawan Beridentitas Paripurna
Pria kelahiran Bantul, Yogyakarta, 18 September 1943, ini seorang
sejarawan beridentitas paripurna. Dia menyandang sejumlah identitas dan
julukan. Penulis lebih 50-an buku ini seorang guru besar, sejarawan,
budayawan, sastrawan, penulis-kolumnis, intelektual muslim, aktivis,
khatib dan sebagainya. Guru besar emeritus Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, ini seorang yang sangat menghargai
kearifan budaya Jawa, rendah hati dan bisa bergaul dengan semua golongan.
Dia seorang intelektual muslim yang jujur dan berintegritas.
Kendati menjalani hidup dalam keadaan sakit, semenjak mengalami serangan
virus meningo enchepalitis pada 6 Januari 1992, dia terus berkarya sampai
detik-detik akhir hayatnya. Prof Dr Kuntowijoyo, yang akrab dipanggil Pak
Kunto, ini meninggal dunia di Rumah Sakit Dr Sardjito Yogyakarta, Selasa
22 Februari 2005 pukul 16.00 akibat komplikasi penyakit sesak napas, diare
dan ginjal.
Jenazahnya disemayamkan di rumah duka Jl Ampelgading 429, Perumahan
Condongcatur dan di Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM). Dikebumikan
Rabu 23 Februari 2005 di Makam Keluarga UGM di Sawitsari, Yogyakarta. Dia
meninggalkan seorang istri, Drs Susilaningsih MA yang dinikahi pada 8
November 1969, beserta dua putra, yakni Ir Punang Amaripuja SE MSc (34)
dan Alun Paradipta (22).
Tidaklah terlalu membesar-besarkan, jika doktor ilmu sejarah dari Columbia
University, Amerika Serikat, ini dijuluki seorang sejarawan beridentitas
paripurna. Karena memang, dia menjalani hidup di beragam habitat dan
identitas itu. Dia guru besar sejarah di Universitas Gadjah Mada.
Pengarang berbagai judul novel, cerpen dan puisi. Pemikir dan penulis
beberapa buku tentang Islam. Kolomnis di berbagai media. Aktivis
berintegritas di Muhammadiyah. Sangat sering menjadi penceramah di masjid.
Dan sebagainya, dan sebagainya.
Bayangkan, kendati sebagaian hari-hari (puluhan tahun) dijalaninya dalam
keadaan sakit, dia telah menulis lebih 50 judul buku. Belum terhitung
kolom-kolomnya di berbagai media. Tak jarang pula bukunya mendapat acungan
jempol dari berbagai kalangan intelektual. Seperti buku, Paradigma Islam:
Interpretasi untuk Aksi (1991) dan Identitas Politik Umat Islam, terbitan
Mizan, Bandung, 1997. Sebuah penuangan pemikiran yang mampu menerjemahkan
konsep perjuangan ke dalam langkah nyata.
Sebagai seorang sejarawan, dia sangat menghargai kearifan dan budaya Jawa.
Kedalaman pengetahuan tentang sejarah, memang mengajarkannya kearifan itu.
Baginya, belajar sejarah adalah proses belajar kearifan. Dia
mengimplementasikan dalam kesehariannya. Dia rendah hati dan bisa bergaul
dengan semua golongan.
Selain sebagai sastrawan dan budayawan yang arif, dia juga pemikir (intelektual)
Islam yang cerdas, jujur dan berintegritas. Buku-bukunya, seperti
Paradigma Islam dan Politik Islam, Intelektualisme Muhammadiyah:
Menyongsong Era Baru, Identitas Politik Umat Islam, sungguh mencerminkan
kecerdasan, kejujuran dan integritasnya sebagai seorang intelektual muslim.
Para mahasiswanya juga memandangnya seorang guru yang bijaksana. Meski
dalam kondisi sakit, ia tetap mau merelakan waktunya untuk membimbing
mahasiswanya.
Selain seorang sejarawan, Kunto juga seorang kiyai. Dia ikut membangun dan
membina Pondok Pesantren Budi Mulia tahun 1980 dan mendirikan Pusat
Pengkajian Strategi dan Kebijakan (PPSK) di Yogyakarta tahun 1980. Dia
menyatu dengan pondok pesantren yang menempatkan dirinya sebagai seorang
kiai.
Dia juga seorang aktivis Muhammadiyah. Dia sangat lekat dengan
Muhammadiyah. Dia pernah menjadi anggota PP Muhammadiyah. Bahkan dia
melahirkan sebuah karya Intelektualisme Muhammadiyah: Menyongsong Era Baru.
Ketua PP Muhammadiyah Prof Dr Syafii Maarif menyebut Kunto merupakan sosok
pemikir Islam dan sangat berjasa bagi perkembangan Muhammadiyah. Menurut,
Syafii, kritiknya sangat pedas tetapi merupakan pemikiran yang sangat
mendasar.
Muhammadiyah dan Seni
Kuntowijoyo lahir di Desa Ngawonggo, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten, 18
September 1943. Pendidikan SD dan SMP ditempuhnya di Sekolah Rakyat Negeri
Klaten (1956) dan SMP Negeri Klaten (1959). Lalu melanjut ke SMA Negeri
Solo (1962). Kemudian melanjutkan studinya di Fakultas Sastra UGM
Yogyakarta (1969).
Kunto meraih master di University of Connecticut, AS (1974) dan gelar
doktor Ilmu Sejarah dari Universitas Columbia, AS (1980) dengan disertasi
Social Change in an Agrarian Society: Madura 1850-1940.
Anak kedua dari sembilan bersaudara ini dibesarkan di lingkungan
Muhammadiyah dunia seni. Ayahnya yang Muhammadiyah juga suka mendalang.
Dia diasuh dalam kedalaman relijius dan seni. Dua lingkungan yang sangat
mempengaruhi pertumbuhannya semasa kecil dan remaja.
Semasa kuliah, dia sudah akrab dengan dunia seni dan teater. Dia bahkan
pernah menjabat sekretaris Lembaga Kebudayaan Islam (Leksi) dan ketua
Studi Grup Mantika, hingga 1971. Pada kesempatan ini, dia berkesempatan
bergaul dengan beberapa seniman dan budayawan muda, seperti Arifin C. Noer,
Syu’bah Asa, Ikranegara, Chaerul Umam dan Salim Said.
Sementara minat belajar sejarah sudah terlihat sejak kecil. Konon, saat
belajar di madrasah ibtidaiyah di sebuah desa di Klaten, Jawa Tengah
(1950-1956), Kunto kecil sangat kagum kepada guru mengajinya, Ustad
Mustajab, yang piawai menerangkan peristiwa tarikh (sejarah Islam) secara
dramatik. Seolah dia dan murid-murid lainnya ikut mengalami peristiwa yang
dituturkan Sang Ustad itu. Sejak itu, dia tertarik dengan sejarah.
Bakat menulisnya juga tumbuh sejak masih duduk di bangku madrasah
ibtidaiyah itu. Gurunya, Sariamsi Arifin, seorang penyair dan Yusmanam,
seorang pengarang. Kedua guru inilah yang membangkitkan gairah menulis
Kunto.
Dia pun mengasah kemampuan menulis dengan terus menulis. Baginya, cara
belajar menulis adalah banyak membaca dan menulis. Kunto, kemudian
melahirkan sebuah novel berjudul Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari
dimuat di Harian Jihad sebagai cerita bersambung.
Karya dan Penghargaan
Karya-karyanya pun terus mengalir sampai menjelang akhir hayatnya. Lebih
50 buku telah dirulisnya. Begitu juga cerpen dan kolom-kolomnya di
berbagai media. Tak sedikit di antaranya meraih hadiah dan pengharaan.
Cerita pendeknya, Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1968), memenangkan
penghargaan pertama dari sebuah majalah sastra.
Kemudian kumpulan cerpennya yang diberi judul sama Dilarang Mencintai
Bunga-Bunga, mendapat Penghargaan Sastra dari Pusat Bahasa (1994).
Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan, mendapat penghargaan sebagai cerpen
terbaik versi Harian Kompas berturut-turut pada 1995, 1996 dan 1997.
Novel Pasar meraih hadiah Panitia Hari Buku, 1972. Naskah dramanya
berjudul Rumput-Rumput Danau Bento (1968) dan Topeng Kayu (1973)
mendapatkan penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta. Penghargaan
Kebudayaan diterima dari ICMI (1995), Satyalencana Kebudayaan RI (1997),
ASEAN Award on Culture and Information (1997), Mizan Award (1998),
Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Sastra dari Menristek (1999) dan FEA
Right Award Thailand (1999).
Juga menerima penghargaan dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Indonesia (1999). Novelnya, yang pernah menjadi cerita bersambung di
harian Kompas, berjudul Mantra Pejinak Ular, ditetapkan sebagai satu di
antara tiga pemenang Hadiah Sastra Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera)
pada 2001.
Sementara, karya-karya intelektualnya antara lain Demokrasi dan Budaya
(1994), Pengantar Ilmu Sejarah (1995), Metodologi Sejarah (1994), dan
Radikalisme Petani (1993). Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (1991)
dan Identitas Politik Umat Islam, terbitan Mizan, Bandung, 1997.
Dukungan Susilaningsih
Pernikahannya dengan Susilaningsih, dikaruniai dua anak yakni Punang Amari
Puja (dosen UMY) dan Alun Paradipta (mahasiswi Fakultas Teknik UGM).
Perempuan yang akrab dengan baju muslimah ini dikenal sejak 1967. Saat itu
mereka secara kebetulan bersua di Rumah Sakit Bethesda, Yogyakarta, tempat
Kunto sedang dirawat karena penyakit batu ginjal. Ning, gadis asli
Karanganyar, Jawa Tengah, sedang menjenguk temannya yang sakit dan dirawat
di rumah sakit itu.
Ketika itu, Ning, panggilan akrab Susilaningsih, masih kuliah tingkat II
di IAIN Sunan Kalijaga. Dua tahun kemudian, tepatnya 8 November 1969,
mereka menikah.
Sejak 1985, keluarga bersahaja ini menempati rumah bertipe 70 di Jalan
Ampel Gading 429, Condong Catur, Sleman, Yogyakarta. Pada waktu itu, rumah
itu dibeli dengan harga Rp 4,5 juta. Belakangan rumah itu diperluas
menjadi sekitar 180 meter persegi dan berlantai dua. Ruang tamunya yang
berukuran sekitar 4 X 5 meter hanya diisi dengan meja kursi tamu warna
cokelat tua. Tak ada lukisan di dinding dan perabotan mahal.
Harta yang paling mahal di rumah itu hanyalah tumpukan buku dan
piala-piala penghargaan untuk karya-karya tulisnya. Ruang perpustakaan di
lantai atas penuh sesak dengan buku. Ruang keluarga, ruang tamu, lantai
atas dan lantai bawah juga dijejali buku. Meja dan tangga ke lantai atas
pun berisi buku-buku.
Isterinya, Ning, yang kini menjadi dosen Fakultas Tarbiyah UIN Sunan
Kalijaga Jogja, juga telah menyelesaikan studi Psychology Department,
Hunter College of The City University of New York, tahun 1980.
Dukungan Susilaningsih Kuntowijoyo MA, sang istri yang dengan sabar dan
tekun menemani, telah menjadi kekuatan dan inspirasi tersendiri bagi Kunto.
Ketika Kunto jatuh sakit dan sulit melafalkan kalimat-kalimat dengan jelas,
Ning, yang selalu setia mendampingi menerima tamu, sekaligus menjadi
penerjemah ucapan-ucapannya.
Begitu juga ketika wawancara dengan wartawan. Ning juga yang membacakan
makalah Kunto dalam berbagai forum seminar. Jika Ning berhalangan, putra
sulungnya, Punang, yang sedang menyelesaikan studinya di Jurusan Geologi
UGM, menggantinya sebagai penerjemah.
Adalah Ning juga yang selalu setia menadampinginya melakukan olah raga
senam, jogging atau jalan kaki. Sekali dua hari, dia berolah raga. Kunto
biasanya sudah bangun tidur sekitar pukul 03.30. Kemudian salat tahajud,
salat fajar dan berzikir. Selepas itu, dia menulis sampai beduk subuh.
Setelah salat subuh, meneruskan menulis lagi. Kala jadual jalan pagi, dua
hari sekali, setelah salat subuh, ia berjalan-jalan untuk melemaskan otot
kakinya sampai sejauh 5 kilometer, kegiatan menulis juga dilanjutkan lagi
setelah jalan pagi. Siang hari, dia tidur siang. Sorenya, ia kembali
menulis. Beristerahat sejenak dan sehabis salat isya, menulis lagi sampai
tengah malam, bahkan kadang-kadang hingga pukul 02.00.
Namun, di tengah keasyikannya menulis, Kunto juga senang menonton acara
pertandingan tinju dan film koboi di televisi. Pada saat menonton dan ke
mana pun perginya, ia selalu mengantongi sebuah notes untuk mencatat
ide-ide yang secara kebetulan muncul. Novel Khotbah di Atas Bukit (1976)
yang menjadi master piece-nya, ternyata ditulisnya hanya sambil lalu di
sela-sela waktu mengajar.
Menurut Ning, hingga menjelang akhir hayat, Kunto masih menulis. Minggu
pagi mereka setelah jalan-jalan ke rumah ibunya di Klitren, lalu
putar-putar ke Nogotirto melihat tanah milik anaknya. Setelah pulang masih
sempat mengetik, melanjutkan menulis buku Mengalami Sejarah. Bahkan, Kunto
juga bercerita ingin menulis buku tentang Muhammadiyah untuk menyambut
muktamar.
Hampir tidak ada tanda-tanda dia akan pergi selamanya dalam waktu dekat.
Aktivitas kesehariannya hingga Minggu malam 20 Februari 2005 masih
biasa-biasa. Bahkan pada Sabtu, masih sempat ke kampus untuk menanyakan
syarat kenaikan pangkat IV D-nya. Minggu masih berkunjung ke adiknya yang
hamil tua.
Pada Minggu itu, Kunto berangkat tidur pukul 22.30. Rasa sakit di pinggang
baru dirasakan pada pukul 24.00. Ning mencoba mengobati. Tapi, pukul 03.00
Senin 21 Februari 2005, dia menderita diare. Lalu dia dibawa ke Rumah
Sakit Sardjito. Dirawat di Paviliun Cendrawasih hingga sore. Sekitar pukul
20.00, kondisinya menurun dan harus dirawat di intensive care unit (ICU).
Selasa 22 Februari 2005 pukul 16.00 dia menghembuskan nafas terakhir.
|
|