A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z
:: Beranda :: Berita :: Profesi :: Politisi :: Pejabat :: Pengusaha :: Pemuka :: Selebriti :: Aneka ::
  H O M E
 ► Home
 ► Biografi
 ► Versi Majalah
 ► Berita
 ► Buku-Artikel
 ► Riset
 ► Galeri
 ► Link
 ► Profesi
 ► Konsultan
 ► Search
 ► Poling Tokoh
 ► Selamat HUT
 ► Pernikahan
 ► In Memoriam
 ► Majalah TI
 ► Redaksi
 ► Buku Tamu
 

 
  C © updated 15032005  
     
  ► e-ti  
  Nama:
Effendi Gazali
Lahir:
-
Pekerjaan:
- Staf Pengajar Pascasarjana Komunikasi UI
- Research Associate di Radboud, Nijmegen University
 
     
 
GAZALI HOME

 

Effendi Gazali

"I Don’t Care"


Saya terpana cukup lama menyimak ungkapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono: "But everybody should know this: I don’t care about my popularity"" (The Jakarta Post, 4/2/2005). Ingatan saya kembali ke lima tahun lalu ketika saya menganalisis ungkapan yang lebih kurang sama oleh presiden yang berbeda: "Gitu Saja Kok Repot!" (Kompas, 13/3/2000).

Tersedia paling sedikit tiga interkoneksi atau interkonteks komunikasi di seputar pernyataan semacam itu. Pertama, SBY capek campur kesal melihat pembahasan persepsi publik tentang popularitasnya lebih riuh-rendah dibandingkan substansi kerja yang (menurut SBY) sudah dilakukannya. Sayangnya, dalam hal ini logika kita jadi terbentur-bentur. Duet SBY-JK, atau siapa pun yang memenangkan pemilu presiden langsung September lalu, dalam konteks transisi demokrasi Indonesia adalah pemenang kontes citra atau popularitas; belum kompetisi pemaparan program (prospective policies) sebagaimana yang sejatinya dituntut komunikasi politik.

Berbagai penampilan SBY melantunkan lagu Zamrud Pelangi di Matamu adalah salah satu kenangan riil kita akan nuansa tersebut. Lalu kenapa sekarang konsep "popularitas" jadi dicuekin?

Bisa saja SBY mengatakan ia tak pernah janji soal 100 hari, atau lebih spesifik tidak pernah menjanjikan kalau dalam 100 hari program pemerintahannya dapat membereskan sebagian masalah kenegaraan. Tapi dalam komunikasi berlaku asumsi, jika Anda (dari awal) tidak bereaksi ke arah berlawanan saat isu semacam "gebrakan 100 hari" diudarakan dan dijadikan wacana penting di mana-mana, maka Anda dianggap "ikut dalam irama gendang itu", lepas dari siapa yang menabuhnya. Apalagi kini komunikasi politik memang semakin mendapat tantangan dari pemasaran politik yang amat menekankan kontinuitas citra dan popularitas sekalipun seseorang sudah duduk di kursi kepresidenan, parlemen, senat, dan sebagainya.

Sebetulnya ada cara lain menjelaskan soal 100 hari ini. SBY cukup memakai fakta dan mengatakan: "Sebagaimana kita semua ketahui, di banyak negara, bahkan di Amerika Serikat sekalipun, lazim sekali popularitas seorang presiden turun pada 100 hari pertamanya. Jangan lupa, tentu kita maklum bahwa di Indonesia tantangan kita jauh lebih berat, apalagi kita punya beban khusus peninggalan persoalan masa sebelumnya…(dan seterusnya)!" Tentu pernyataan seperti ini jauh lebih cantik dan strategik daripada I don’t care.

Interkoneksi atau interkonteks komunikasi kedua adalah SBY yang mulai tak peduli pada pers. Ibaratnya, anjing menggonggong kafilah (tetap) berlalu! Apalagi sekarang sering dibuat dikotomi bahwa apa yang ada di media bukanlah suara rakyat seluruhnya, namun cuma suara sekelompok elite. Sikap ini juga membentur-benturkan logika kita. Orang mungkin saja tidak suka pada kenyataan bahwa bagaimanapun public sphere kita coba dorong, tetap saja manajemen isu lebih merefleksikan persepsi sekelompok elite dalam masyarakat.

Di atas semua itu (yang amat hakiki), ketidaksetujuan terhadap jajak pendapat ilmiah manapun mestilah diarahkan pada aspek metodologisnya (jika ada masalah) atau menekankan berkali-kali cara membaca hasil jajak pendapat itu pada konteks validitas yang bagaimana.

Saya pribadi tidak buru-buru percaya bahwa SBY mulai mengindikasikan sikap "pers menggonggong, pemerintah berlalu". Kontribusi persoalan ini pada kejatuhan Gus Dur dalam waktu relatif singkat tentu merupakan pelajaran berharga yang belum jauh dari ingatan kita. Apalagi SBY sendiri, pada kesempatan lain menyatakan bahwa dirinya dan para menteri, gubernur, serta pimpinan daerah perlu menyambut kritik pers dengan jiwa besar dan terbuka.

Mengontrol lagi?
Kalau begitu, interkoneksi atau interkonteks komunikasi ketiga yang mungkin lebih menonjol, yakni terdapatnya lingkungan di sekitar SBY, yang sengaja atau tidak, mendorongnya berjalan ke arah berlawanan. Salah satu yang paling kentara adalah terbentuknya Departemen Komunikasi dan Informatika melalui Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 ditetapkan 31 Januari. Menurut hemat saya, sangat sulit bagi siapa pun untuk membuat dalih bahwa departemen ini tak membawa semangat Departemen Penerangan.

Perhatikan kata-kata "telematika" dan "diseminasi informasi" sebagai kunci yang vital. Istilah ini relatif mirip gaya Orde Baru melalui apa yang disebut Dedy N Hidayat (dalam International Journal for Communication Studies, 2002) sebagai "mekanisme kontrol yang efektif dan menyeluruh"; bukankah "telematika" dimaksudkan meliputi telekomunikasi, media, dan informatika? Pendek kata, alatnya dikuasai, medianya di sana-sini diatur pemerintah (lihat kontroversi antara kewenangan independent regulatory body seperti Komisi Penyiaran Indonesia dan kewenangan pemerintah yang masih berlanjut) serta ada pula didesiminasi content oleh pemerintah. Jadi dengan begini, akan mudah didengung-dengungkan bahwa rakyat puas terhadap pemerintah seperti dahulu.

Konsep "telematika" semacam itu terkesan memanipulasi istilah telematics yang kalaupun memberikan peran pada pemerintah lebih pada membuat pasar advanced telematics equipment and services menjadi tidak monopolistik, transparan, dan memberi pelayanan tersebar luas serta termurah pada rakyat (lihat antara lain bahasan Schiller sejak 1982). Bahwa lahan itu akan tumbuh subur dengan persaingan ketat antar-investor sudah hal lumrah dan tak perlu dibesar-besarkan.

Di lain pihak, bagi ilmuwan dan praktisi komunikasi, strategi serta isi pesan jauh lebih penting, sedangkan alat dan teknologi cuma membantu mewujudkannya. Karena itu kita perlu khawatir bahwa kegetolan dan aspek bisnis teknologi komunikasi bisa membuat strategi komunikasi publik jadi terbengkalai. Selain pernyataan I don’t care SBY tadi, keberangkatan tim Indonesia berunding dengan wakil-wakil Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang umumnya bukan lagi pemegang paspor Indonesia, di luar negeri, dengan hasil pahit pula, adalah cerminan kedodoran tersebut. Padahal inilah saat yang paling tepat untuk menjawab aksi diplomasi GAM dengan gaya komunikasi no need to communicate with!

Untunglah, kabarnya SBY sedang menggagas sebuah institusi bernama Badan Informasi Publik. Nama ini lumayan benar paradigmanya karena ialah yang paling pas mencerminkan konsep "komunikasi publik" atau fungsi pemerintah sebagai fasilitator dalam masyarakat sipil. Mestinya badan ini nanti tidak berada di bawah kementerian manapun. Ia harus menjadi "ruang publik" di mana masyarakat melalui aneka kelompok arisan, wadah komunikasi tradisional, radio komunitas, dan lain-lain terlayani untuk menjadi senceiver (sender sekaligus receiver, atau pengelola informasinya sendiri); kira-kira seperti fasilitasi United States Information Services (USIS). Rekam jejak Kementerian Negara Kominfo yang dinilai tidak memihak lembaga penyiaran komunitas semakin membuat Badan Informasi Publik perlu bebas dari paradigma lama, "bekerja untuk masyarakat".

Ke depan, sebagai gantinya, SBY amat perlu memerhatikan konsep "bekerja dengan masyarakat". Artinya, sambil ia tetap bekerja keras, publik pun perlu diyakinkan agar memiliki persepsi bahwa SBY memang telah bekerja untuk hal-hal yang dirasakan berpihak pada publik serta sejalan dengan ekspektasi publik. Hanya strategi ini yang pas untuk mengubah luapan rasa kesal I don’t care menjadi pesan peyakinan yang cantik: I do care. (Kompas, Senin, 07 Februari 2005 ).

 

 

WAWANCARA

      BUKU