A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z
:: Beranda :: Berita :: Profesi :: Politisi :: Pejabat :: Pengusaha :: Pemuka :: Selebriti :: Aneka ::
  H O M E
 ► Home
 ► Biografi
 ► Versi Majalah
 ► Berita
 ► Galeri
  P R O F E S I
 ► Guru-Dosen
 ► Konsultan
 ► Peneliti-Ilmuwan
 ► Majalah TI
 ► Nusantara
 ► Search
 ► Poling Tokoh
 ► Selamat HUT
 ► Pernikahan
 ► In Memoriam
 ► Redaksi
 ► Buku Tamu
 

 
  C © updated 25082007  
   
  ► e-ti/kompas  
  Nama:
Prof Dr Muhammad Yamin Lubis
Lahir:
Taming, Kotanopan, Mandailing Natal, 1 Januari 1961

Karir:
- Guru Besar hukum agraria Universitas Sumatera Utara (USU)
- Ketua Program Studi Magister Kenotariatan USU

 
 
     
 
M YAMIN LUBIS HOME

 

Muhammad Yamin Lubis

Negara Belum Jamin Hak atas Tanah


Mencuatnya kasus-kasus sengketa tanah di Indonesia beberapa waktu terakhir seakan kembali menegaskan kenyataan bahwa selama 62 tahun Indonesia merdeka, negara masih belum bisa memberikan jaminan hak atas tanah kepada rakyatnya.


Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) baru sebatas menandai dimulainya era baru kepemilikan tanah yang awalnya bersifat komunal berkembang menjadi kepemilikan individual.


UU PA memperkenalkan hak-hak penguasaan atas tanah melalui lembaga negara (Badan Pertanahan Nasional). Menurut ahli hukum agraria Universitas Sumatera Utara (USU), Prof Dr Muhammad Yamin Lubis, sejarah kepemilikan tanah di Indonesia berbeda dengan di negara kerajaan, seperti Inggris dan Malaysia. Sekalipun Belanda memperlakukan model kepemilikan tanah di Nusantara sama dengan di negaranya, menurut Yamin, itu hanya untuk memudahkan Belanda menguasai tanah di Hindia Belanda.


Belanda memperlakukan raja adalah pemilik tanah sehingga ketika mereka membutuhkan tanah di Hindia Belanda, mereka hanya menghubungi raja. Tetapi, untuk Indonesia, raja bukanlah pemilik tanah. Atas nama rakyat, raja berkuasa untuk mengawasi dan memberikan tanah itu untuk menyejahterakan kehidupan rakyatnya.


Dari sejarah inilah, menurut Yamin, sebenarnya akar konflik pertanahan di Indonesia bisa dilacak. Sayangnya, menurut Ketua Program Studi Magister Kenotariatan USU itu, sering kali sejarah justru tak mendapat tempat dalam upaya penyelesaian sengketa tanah. Bahkan, petugas dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) sering kali tak pernah mengecek ke lapangan terkait tanah yang diajukan pemohon untuk disertifikatkan.
Kompas berbincang dengan guru besar kelahiran Taming, Kotanopan, Mandailing Natal, 1 Januari 1961 itu, dalam dua kesempatan.


Sebenarnya, apa akar permasalahan sengketa tanah di Indonesia?
Pertama, karena tidak dihormatinya kebhinnekaan oleh penguasa. Contohnya, Pasal 3 dan Pasal 5 UU PA memberi kesempatan pada hukum adat, tetapi ternyata tetap harus tunduk pada peraturan yang di atas. Hukum adat tetap harus menghormati aturan yang lebih tinggi. Jadi, seolah-olah hukum adat itu ada namanya, hanya saja tidak boleh melampaui batas yang diinginkan penguasa.


Kedua, masalah sengketa hak. Hak ini ada pendaftarannya, ada tumpang tindihnya, ada prosedur memperolehnya, mempertahankan atau mendaftarkannya. Ini semua jadi permasalahan awal, di mana hak atas tanah di Indonesia dianggap tidak punya kepastian. Hak atas tanah masih belum terlindungi oleh negara.


Bagaimana bisa UU PA tidak menghormati kebhinnekaan?
Contohnya begini. Kalau ada persengketaan hak ulayat, tetap nanti yang dimenangkan bukan sesuai hukum adat yang berlaku di situ, padahal tanah di situ lebih condong diatur oleh hukum adat. Tetapi, nanti tetap juga diatur oleh pemerintah pusat.


Di Nusa Tenggara Barat, ketika ada pembukaan lapangan terbang di atas tanah yang nyata-nyata hak masyarakat, tetapi yang berlaku hukum yang lebih tinggi demi pembangunan. Ini kan kesalahan fatal, bagaimanapun juga hukum adat dan hukum nasional harus sejajar. Kalaupun dia harus tunduk pada peraturan yang lebih tinggi, dominasi masyarakat itu tetap harus dihormati.


Seharusnya bagaimana memperlakukan hak ulayat itu?
Sebenarnya kalau kita mau konsekuen dengan UU PA, begitu negara Republik Indonesia itu ada, hak ulayat itu diserahkan ke negara. Artinya, kalaupun demi rakyat, silakan, tapi begitu NKRI ada, tanah itu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka hilanglah eksistensi hak ulayat.


Negaralah yang memegang hak ulayat, tetapi apakah ini diterapkan, kan tidak. Kalau memang masyarakat itu eksis punya hak ulayat, ya diakui. Kalau yang tidak, jadi hak ulayat negara. Tidak ada masalah.


Bagaimana dengan persoalan hak yang tumpang tindih?
Kasus Meruya ini adalah contoh dari tumpang tindihnya hak atas tanah di Indonesia. Ada orang yang merasa itu haknya, meski mungkin bukan haknya, tetapi diajukan juga sebagai haknya. Ada orang yang tidak mau mengonversi haknya setelah UU PA lahir. Kalau tumpang tindih ini tidak ada kesepakatan yang bisa dicapai, akan sulitlah penyelesaian yang diharapkan dari kasus Meruya.


Berarti, BPN sebagai lembaga resmi yang mengeluarkan hak ikut juga menjadi penyebab tumpang tindihnya hak atas tanah?
Inilah masalahnya. Bagaimana negara lewat BPN masih belum bisa mengeluarkan hak secara benar. Mestinya, sebelum mengeluarkan hak, BPN harus mencari kebenaran materiil, mencari sejarah sampai seseorang bisa mendapatkan tanahnya. Kan, ada Panitia Tanah di BPN. Mereka seharusnya membuat sejarah tanah, bagaimana hak itu menjadi hak orang yang belakangan.


Panitia Tanah harus datang ke lokasi, cari kebenaran hak atas tanah itu, tanya ke orang-orang di sana. Kalau benar, baru diputuskan. Ini tidak. Begitu datang pemohon dengan bukti formal, BPN langsung bilang bisa diterbitkan sertifikat. Itulah mengapa ada istilah sertifikat ganda.


Bagaimana menyelesaikan tumpang tindih hak ini?
Tanah sengketa harus diambil alih pemerintah, dalam hal ini pemerintah daerah, dan dijadikan status quo. Pemerintah daerah kemudian menerbitkan hak pengelolaan lahan (HPL) di atas tanah tersebut. Baru dari situ tumbuh hak-hak lain, seperti hak milik atau hak pakai. Tentu saja perkebunan atau pemilik hak guna bangunan (HGB) harus rela menyerahkan tanah sengketa tersebut sebagai HPL pemerintah daerah. Perkebunan dan masyarakat yang bersengketa harus bermitra di tanah sengketa tersebut.


Banyak terjadi, orang yang sudah punya sertifikat, tetapi masih juga bisa digugat?
Itu maksudnya kan mempertahankan hak. Kalau sudah ada sertifikat, seharusnya negara bertanggung jawab supaya nanti kalaupun ada orang yang sudah punya sertifikat, tetapi di tanahnya keluar sertifikat orang lain, negara bisa mengganti kerugian ke orang yang sertifikatnya kalah di pengadilan.
Jika ada itu, sekali dibuat sertifikat, orang pun akan merasa terlindungi oleh negara. Negara kita belum sepenuhnya melaksanakan title insurance. Apakah karena negara kita kurang uang atau belum punya perhatian karena asas pendaftaran tanah yang negatif, di mana setiap saat orang yang memegang sertifikat bisa dibatalkan pengadilan.


Apa yang harus dilakukan negara untuk melindungi hak rakyat atas tanah ini?
Sebenarnya kalau dari awal petugas agraria bekerja dengan benar, hukum pasti melindungi. Dari pembayaran saat pendaftaran hak, kan bisa saja tanah yang disertifikatkan tersebut diasuransikan. Kalau bayar Rp 500.000, ditarik Rp 600.000, yang Rp 100.000 untuk ganti kerugian kalau ada yang menggugat sertifikat.


Asas negatif dalam pendaftaran tanah ini bisa dilihat dari posisi sertifikat yang hanya digunakan salah satu alat bukti yang kuat. Bukan satu-satunya bukti. Ini yang ada dalam UU. Seharusnya satu-satunya bukti sehingga tidak ada masalah.
Kemudian kita harus membiasakan bahwa orang yang sudah meninggalkan tanahnya jangan lagi dianggap sebagai pemilik. Istilah dalam bahasa Belandanya adalah Rechts Verwerking, orang yang belakangan tinggal di situ harus diakui sebagai pemilik.


Mengapa orang Indonesia rata-rata malas mendaftarkan hak atas tanahnya?
Karena ada unsur spekulasi. Masyarakat kita ini sebenarnya pura-pura bodoh, tetapi mereka rakus akan tanah. Kadang-kadang mereka meninggalkan tanah sampai waktu yang lama, tiba-tiba ada investor mau membangun gedung di atas tanahnya, mereka baru ribut, karena nilai tanah yang mereka klaim kan jadi lebih tinggi.


Mengapa bisa terjadi sengketa tanah negara versus rakyat dalam soal pengelolaan hutan?
Ini karena pemerintah dari awal memberikan hak pengusahaan hutan (HPH) secara sentralistik. Pemerintah tak pernah melihat, apakah dalam areal konsesi yang diberikan HPH itu ada masyarakat yang mendiaminya. Mestinya kalau ada, areal itu harus dikeluarkan dari konsesi HPH. (khaerudin & mohammad bakir, Kompas Sabtu, 25 Agustus 2007)