|
C © updated 27102006 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
► e-ti/kompas |
|
|
Nama:
Prof Dr Paulus Wirutomo
Lahir:
Solo, 29 Mei 1949
Pendidikan:
- SD di Padang, Bogor, Jakarta, Surabaya dan Malang
- SMP Seminarium Marianum, Lawang, Jawa Timur
- SMA Seminarium Marianum, Lawang, Jawa Timur
- Sarjana Sosiologi, Universitas Indonesia, 1976
- S2 bidang Perencanaan Sosial, University College of Swansea Wales,
Inggris, 1978
- S3 bidang Sosiologi Pendidikan dari State University of New York at
Albany, USA, 1986
Jabatan:
- Guru Besar FISIP Universitas Indonesia
- Ketua Departemen Sosiologi FISIP UI, 2005-2009
- Ketua Program Magister Manajemen Pembangunan Sosial Pascasarjana UI,
1997-sekarang
|
|
|
|
|
|
|
PAULUS W HOME |
|
|
Prof Dr Paulus Wirutomo
Sosiolog Universitas Indonesia Prof Dr Paulus Wirutomo
sosiolog dan guru besar FISIP Universitas Indonesia. Pria kelahiran
Solo, 29 Mei 1949, ini menamatkan sarjana sosiologi dari Universitas
Indonesia, 1976. Meraih S2 bidang Perencanaan Sosial dari University
College of Swansea Wales, Inggris, 1978 dan S3 bidang Sosiologi Pendidikan dari State University of New York at
Albany, USA, 1986.
Dia menjabat Ketua Departemen Sosiologi FISIP UI, 2005-2009 dan Ketua Program Magister Manajemen Pembangunan Sosial Pascasarjana UI,
1997-sekarang.
Dalam wawancara dengan Kompas di ruang kerjanya di Kampus FISIP UI
Depok, beberapa hari menjelang Idul Fitri 1427 H, Prof Dr Paulus Wirutomo
melihat sosial saat ini masih disalahpahami. Menurutnya, pembangunan sosial saat ini masih disalahpahami. Bagi pemerintah,
pembangunan sosial hanya dianggap sebagai sektor pembangunan saja.
Meskipun hal ini tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak bisa
dibenarkan.
Pasalnya, kata Paulus, pengertian pembangunan sosial yang benar itu lebih
dari sekadar pembangunan sektor. Dalam pembangunan sosial, harus termuat
peningkatan interaksi dan hubungan sosial dalam masyarakat. Tanpa
terjadi kualitas hubungan sosial dari langkah pembangunan sosial yang
diambil, sulit mengatakan adanya pembangunan sosial.
Menurutnya, bukan hanya pemerintah, tetapi sebagian besar kita masih
memahami pembangunan sosial itu sekadar charity yang tidak menghasilkan
uang. "Mengikuti logika pembangunan sosial sebagai sektor, maka
pembangunan sosial ini membutuhkan masukan berupa penyediaan anggaran,
perlu pembiayaan. Dan mengikuti pemahaman pembangunan sosial sebagai
charity, maka pembangunan sosial itu dianggap sebagai sebuah langkah
yang tidak menghasilkan apa pun. Atau paling tidak output-nya dinyatakan
tidak menghasilkan uang," jelasnya.
Bahkan, menurut ahli sosiologi pendsidikan itu, pendidikan, sama halnya dengan
kesehatan dan agama yang juga dianggap pembangunan sosial, terkadang
dianggap sebagai anggaran yang habis terpakai tanpa menghasilkan uang.
Padahal, ujarnya, pembangunan pendidikan itu akan menghasilkan peningkatan
kualitas sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang meningkat inilah
yang nantinya diharapkan akan menjadi pendorong terjadinya peningkatan
kualitas hubungan sosial.
Ditanya tentang adakah usaha yang sudah dilakukan untuk memberikan pemahaman yang betul?
Paulus mengatakan bahwa Departemen Sosiologi UI sudah lebih dari 10 tahun terakhir sebenarnya
sudah memberikan pemahaman yang betul, melalui pembukaan program
manajemen pembangunan sosial. Bahkan, menurutnya, sebenarnya Menteri Negara Pemuda
dan Olahraga Adyaksa Dault dan Menteri Negara Urusan Koperasi dan Usaha
Kecil Menengah Suryadharma Ali merupakan sebagian kecil dari orang
Indonesia yang pernah mendapatkan pendidikan manajemen pembangunan
sosial di pascasarjana UI.
"Dulu kita membuka program manajemen pembangunan sosial ini karena kita
di UI merasakan kok Sosiologi sebagai ilmu enggak punya sesuatu yang
berguna bagi masyarakat. Kami membuat program lanjutan S2, terutama pada
pekerja sosial, pembangunan sosial, LSM, dan Bappeda. Ketika itu, kami
melihat tenaga Bappeda yang ada, SDM-nya seadanya. Ada yang diambil
dengan latar belakang ekonomi, hukum, pertanian, ataupun pakar teknik.
Mestinya orang sosial budaya yang punya ilmu untuk pembangunan sosial
bisa menyumbangkan pengetahuannya. Dengan membuka program manajemen
pembangunan sosial ini diharapkan akan lahir kader manusia Indonesia
yang memahami pembangunan sosial dan punya sumbangan besar bagi
pembangunan bangsa," jelasnya.
Hasilnya? "Sesudah 10 tahun, kok hasilnya masih kurang dirasakan. Saya berpikir,
persoalannya terletak pada inti pembangunan sosial yang ternyata memang
belum bisa ditangkap secara baik oleh masyarakat dan terutama oleh
pemerintah. Sekali lagi saya tegaskan, inti dari adanya pembangunan
sosial adalah kualitas interaksi sosial, dan kualitas hubungan sosial di
masyarakat. Interaksi sosial itu sifatnya lebih kasat mata. Misalnya
orang berkonflik dengan saling lempar batu, tetapi ada yang lebih
mendalam dari interaksi sosial, misalnya hubungan itu antara buruh dan
majikan, guru dan murid, rakyat dan pemerintah. Yang menyangkut hubungan
kekuasaan, bagaimana kekuasaan yang Anda punya dan yang saya punya,
bagaimana kekuasaan yang senjang bisa menghasilkan eksploitasi. Ini yang
disebut hubungan sosial," jels Paulus.
Paulus sangat risau dengan perjalanan bangsa yang kualitas hubungan
sosialnya sepertinya hanya jalan di tempat. Menurut Paulus, banyak bibit
kreatif sumber daya manusia yang telah dimatikan oleh kebijakan nasional
yang tidak berpihak pada usaha kreatif. Padahal, usaha kreatif ini mampu
memberikan sumbangan yang sangat besar bagi kemajuan bangsa.
Dia memisalkan: Si A baru lulus kuliah
dari teknik industri dan berhasil memproduksi ataupun menciptakan alat
pertanian, katakanlah pacul. Persoalan pertama yang dihadapi si A, dia
tidak punya dana untuk memproduksi ciptaannya. Sistem perbankan yang ada
tidak memungkinkannya meminjam dari bank karena tidak punya jaminan.
Solusi yang mungkin si A lakukan jika tetap ingin memproduksi idenya
adalah meminjam uang dari saudara, kenalan, atau dari rentenir.
Katakanlah dia berhasil mendapatkan pinjaman dana, lantas dia memulai
produksi pacul ciptaannya. Apa yang terjadi kemudian, pemerintah
mengimpor pacul dalam jumlah banyak dan dijual dengan harga lebih murah
dari harga jual buatan si A. Jelas produksi si A tidak laku, kalah
bersaing, dan akhirnya terpaksa menutup usaha produksinya yang menjadi
produk kreatif anak bangsa. Karena tutup usaha pada saat belum
berkembang, si A meninggalkan utang, hidupnya terbelit utang.
Cita-citanya pupus dan tidak banyak yang bisa dilakukannya.
Dia berharap pemerintah sebagai pengambil kebijakan memberikan
dukungan pada usaha-usaha anak bangsa yang kreatif untuk meningkatkan
kualitas kehidupannya. "Persoalan ini tidak sulit kalau memang pemerintah
mau dan punya keberpihakan pada usaha kreatif. Inilah yang harus
dilakukan sekarang, yaitu membuat kebijakan nasional yang berpihak pada
usaha kreatif. Tanpa ini, saya kira, bangsa ini akan tetap seperti
sekarang, kualitas hubungan sosialnya tidak meningkat," katanya.
►e-ti
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
|
|